Kamis, 29 November 2012

Keutamaan Hari Jum'at


Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata: "Hari ini dinamakan Jum'at, karena artinya merupakan turunan dari kata al-jam'u yang berarti perkumpulan, karena umat Islam berkumpul pada hari itu setiap pekan di balai-balai pertemuan yang luas. Allah telah memerintahkan hamba-hamba-Nya yang mukmin berkumpul untuk melaksanakan ibadah kepada-Nya.
Hukum dari Sholat Jumat adalah fardlu 'ain bagi laki-laki yg telah baligh. Berdasarkan Ayat dan Hadits berikut ini:
Allah berfirman dalam QS. Al-Jumu'ah:

يٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوۤاْ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ فَٱسْعَوْاْ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ وَذَرُواْ ٱلْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sholat pada hari Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui". (QS. 62:9)


Diantara hadits-hadits yang menerangkan pensyariatan shalat jum’at adalah :
1.     Dari Abi Al-Ja`d Adh-dhamiri ra. berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda,

مَنْ تَرَكَ َثلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا طبَعَ الله عَلىَ قَلْبِهِ

"Orang yang meninggalkan 3 kali shalat Jumat karena lalai, Allah akan menutup hatinya." (HR. Abu Daud)

2.     Dari Thariq bin Syihab radhiyallahu `anhu bahwa Rasulullah Saw bersabda :
"Shalat Jumat itu adalah kewajiban bagi setiap muslim dengan berjamaah, kecuali atas 4 orang, (yaitu) Budak, Wanita, Anak kecil dan Orang sakit." (HR. Abu Daud)

3.     Dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiyallahu `anhuma, bahwa mereka mendengar Rasulullah Saw bersabda di atas mimbar :

لَيَنتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الجُمُعَةَ أَوْ لَيَخْتَمَنَّ الله عَلَى قُلُوْبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُوْنَنَّ مِنَ الغَافِلِيْنَ

Hendaklah orang-orang berhenti dari meninggalkan shalat Jumat atau Allah akan menutup hati mereka dari hidayah sehingga mereka menjadi orang-orang yang lalai." (HR. Muslim)


Beberapa Keutamaan Hari Jum'at:

1. Hari Terbaik

Abu Hurairah - rodhiyollohu 'anhu - meriwayatkan bahwa Rosululloh – sholollohu ‘alahi wasallam - bersabda: “Hari paling baik dimana Matahari terbit pada hari itu adalah hari Jumat, pada hari itu Adam diciptakan, dan pada hari itu pula Adam dimasukkan ke dalam Surga, serta diturunkan dari Surga, pada hari itu juga Kiamat akan terjadi, pada hari tersebut terdapat suatu waktu dimana tidaklah seorang mu’min sholat menghadap Allah mengharapkan kebaikan kecuali Allah akan mengabulkan permintannya.” (HR. Muslim)

Dari Abu Lubabah bin Ibnu Mundzir - rodhiyollohu 'anhu - berkata, Rosululloh – sholollohu ‘alahi wasallam - berkata, “Hari Jum’at adalah penghulu hari-hari dan hari yang paling mulia di sisi Allah, hari Jum’at ini lebih mulia dari hari raya Idhul Fitri dan Idul Adha di sisi Allah, pada hari Jum’at terdapat lima peristiwa, diciptakannya Adam dan diturunkannya ke bumi, pada hari Jum’at juga Adam dimatikan, di hari Jum’at terdapat waktu yang mana jika seseorang meminta kepada Allah maka akan dikabulkan selama tidak memohon yang haram, dan di hari Jum’at pula akan terjadi Kiamat, tidaklah seseorang malaikat yang dekat di sisi Allah, di bumi dan di langit kecuali dia dikasihi pada hari Jum’at.” (HR. Ahmad)

2. Terdapat Waktu Mustajab untuk Berdo'a.

Abu Hurairah - rodhiyollohu 'anhu - berkata Rosululloh – sholollohu ‘alahi wasallam - bersabda: " Sesungguhnya pada hari Jum'at terdapat waktu mustajab bila seorang hamba muslim melaksanakan sholat dan memohon sesuatu kepada Allah pada waktu itu, niscaya Allah akan mengabulkannya. Rosululloh – sholollohu ‘alahi wasallam - mengisyaratkan dengan tangannya menggambarkan sedikitnya waktu itu (H. Muttafaqun Alaih)

Dari Abu Burdah bin Abu Musa al-Asy'ari - rodhiyollohu 'anhu - , katanya: "Abdullah bin Umar - rodhiyollohu 'anhu- berkata: "Apakah engkau pernah mendengar ayahmu menceritakan tentang Rosululloh – sholollohu ‘alahi wasallam - dalam hal sholat Jum'at?" Ia berkata: "Saya -Abu Burdah- menjawab: "Ya, saya pernah mendengar ia berkata: "Saya mendengar Rosululloh – sholollohu ‘alahi wasallam - bersabda: "Waktu yang mustajab itu ialah antara duduknya imam -maksudnya khatib, yang dalam dua khutbah diselingi dengan duduk sesaat-." (Riwayat Muslim)

Ishaq bin Musa Al Anshari menceritakan kepada kami, Ma'n memberitahukan kepada kami, Malik bin Anas memberitahukan kepada kami dari Yazid bin Abdullah bin Al Hadi, dari Muhammad bin Ibrahim, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, ia berkata, "Rasulullah SAW bersabda, 'Sebaik-­baik hari matahari terbit adalah hari Jum 'at; pada hari itu Nabi Adam diciptakan, pada hari itu dia dimasukkan ke surga, dan pada hari itu juga dia diturunkan dari surga. Pada hari itu ada waktu dimana seorang muslim mengerjakan shalat kemudian berdoa kepada Allah, maka tidak ada sesuatu kecuali pasti Allah akan mengabulkan doanya'."

Abu Hurairah berkata, "Aku bertemu dengan Abdullah bin Salam, sehingga aku menuturkan hadits ini kepadanya, maka ia berkata, 'Aku tahu waktu yang mustajab itu'. Aku berkata, 'Kabarkanlah kepadaku tentang hal itu dan janganlah menyembunyikan hal itu dariku?' Ia menjawab, 'Sesudah Ashar sampai matahari terbenam!' Aku berkata, 'Bagaimana hal itu terjadi sesudah Ashar, padahal Rasulullah SAW bersabda, "Dimana seorang muslim mengerjakan shalat bertepatan dengan saat mustajab. Padahal saat itu (setelah Ashar) tidak ada seorangpun yang shalat?' Ia berkata, 'Bukankah Rasulullah bersabda, "Barangsiapa duduk di suatu majelis untuk menunggu shalat, maka perbuatan itu (pahalanya) sama halnya dengan mengerjakan shalat? "' Aku menjawab, 'Ya' Maka ia berkata, 'Ya, itu dia'. "  Shahih: Ibnu Majah (1139) dan shahih sunan tirmidzi (491)

 قال رسول الله ﷺ : (يومُ الجمعة اِثنتا عشرة ساعة ، لايُوجدُ فيها عَبْدٌ مُسلم يَسألُ اللهَ شيئاً إلاَّ آتاهُ إيَّاه فالتَمِسُوها اخِر
ساعة بعد العصر) .
[صحيح النسائي(1389)]
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Pada hari jum'at itu ada dua belas waktu, tidak didapati padanya hamba yang muslim yang meminta sesuatu kepada Allah kecuali Allah beri, maka carilah waktu tersebut pada akhir waktu setelah ashar.
(Shahih An-Nasai no 1389)

 قال رسول الله ﷺ : (إنَّ في الجُمُعة لَساعةً لا يُوافِقُها مُسلمٌ قائمٌ يُصَلِّي يَسألُ اللهَ خيراً إلا أعطاه إيَّاه) . وقال بِيَدِهِ يُقَلِّلُها يُزَهِّدُها
[أخرجه ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ (935) ، ﻭﻣﺴﻠﻢ (852)]

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya pada hari Jum'at itu ada satu waktu, tidaklah seorang muslim menepatinya dengan berdiri shalat, meminta kebaikan kepada Allah kecuali pasti akan Dia beri."
Nabi mengisyaratkan dengan tangannya menunjukkan bahwa waktu tersebut sedikit dan singkat.
(HR Al-Bukhari no 935, Muslim no 852.)

Ibnu Qoyyim Al Jauziah - setelah menjabarkan perbedaan pendapat tentang kapan waktu itu - mengatakan: "Diantara sekian banyak pendapat ada dua yang paling kuat, sebagaimana ditunjukkan dalam banyak hadits yang sahih, pertama saat duduknya khatib sampai selesainya sholat. Kedua, sesudah Ashar, dan ini adalah pendapat yang terkuat dari dua pendapat tadi (Zadul Ma'ad Jilid I/389-390).

Pendapat inilah, yakni di saat duduknya Khotib dan di akhir Ashar di hari Jum'at, yang dipegang oleh sebagian besar golongan salaf, dan telah didukung oleh berbagai hadits. Adapun tentang hadits riwayat Abi Musa yang sebelumnya maka hadits tersebut memiliki banyak cacat dan telah disebutkan oleh Al-hafiz Ibnu Hajar di dalam kitab Fathul Bari.

3. Sedekah pada hari itu lebih utama dibanding sedekah pada hari-hari lainnya.

Ibnu Qoyyim berkata: "Sedekah pada hari itu dibandingkan dengan sedekah pada enam hari lainnya laksana sedekah pada bulan Ramadhan dibanding bulan-bulan lainnya". Hadits dari Ka'ab - rodhiyollohu 'anhu - menjelaskan: "Dan sedekah pada hari itu lebih mulia dibanding hari-hari selainnya".(Mauquf Shahih)

4. Hari tatkala Allah menampakkan diri kepada hamba-Nya yang beriman di Surga.

Sahabat Anas bin Malik - rodhiyollohu 'anhu - dalam mengomentari ayat: " Mereka di dalamnya (di dalam Surga) memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi Kami ada tambahannya." (Al Quran Surat Qaaf ayat 35 (50:35)) mengatakan: "Allah menampakkan diri kepada mereka setiap hari Jum'at".

5. Hari besar yang berulang setiap pekan.

Ibnu Abbas - rodhiyollohu 'anhu - berkata : Rosululloh – sholollohu ‘alahi wasallam - bersabda: "Hari ini adalah hari besar yang Allah tetapkan bagi umat Islam, maka siapa yang hendak menghadiri sholat Jum'at hendaklah mandi terlebih dahulu ...". (HR. Ibnu Majah)

6. Hari dihapuskannya dosa-dosa

Salman Al Farisi - rodhiyollohu 'anhu - berkata : Rosululloh – sholollohu ‘alahi wasallam - bersabda: "Siapa yang mandi pada hari Jum'at, bersuci sesuai kemampuan, merapikan rambutnya, mengoleskan parfum, lalu berangkat ke masjid, dan masuk masjid tanpa melangkahi diantara dua orang untuk dilewatinya, kemudian sholat sesuai tuntunan dan diam tatkala imam berkhutbah, niscaya diampuni dosa-dosanya di antara dua Jum'at". (HR. Bukhari).

Dari Abu Hurairah - rodhiyollohu 'anhu - dari Rasulullah – sholollohu ‘alahi wasallam - bersabda: "Sholat lima waktu, dari Jum'at yang satu ke Jum'at yang berikutnya,dari Ramadhan yang satu ke Ramadhan yang berikutnya itu dapat menjadi penghapus dosa-dosa antara jarak keduanya itu, jikalau dosa-dosa besar dijauhi." (Riwayat Muslim)

 قال رسول الله ﷺ : (مَن توضأَ فأحْسَنَ الوضوء ثم أتى الجمعة فأستمعَ وأنصَت غُفِرَ له ما بينَه وبين الجمعة وزيادة ثلاثة أيام ومَن مَسَّ الحصى فّقّد لَغَا) .
[رواه مسلم (857)]
 Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
"Barang siapa berwudhu dan membaguskan wudhunya kemudian mendatangi shalat Jum'at, lalu mendengar khutbah dan diam, maka diampuni dosanya antara Jum'at tersebut dengan Jum'at berikutnya ditambah tiga hari. Barang siapa yang memegang kerikil maka dia telah berbuat sia-sia. (HR Muslim no 857.)


7. Orang yang berjalan untuk sholat Jum'at akan mendapat pahala untuk tiap langkahnya, setara dengan pahala ibadah satu tahun sholat dan puasa

Aus bin Aus - rodhiyollohu 'anhu - berkata: Rosululloh – sholollohu ‘alahi wasallam - bersabda: "Siapa yang mandi pada hari Jum'at, kemudian bersegera berangkat menuju masjid, dan menempati shof terdepan kemudian dia diam, maka setiap langkah yang dia ayunkan mendapat pahala puasa dan sholat selama satu tahun, dan itu adalah hal yang mudah bagi Allah". (HR. Ahmad dan Ashabus Sunan, dinyatakan shahih oleh Ibnu Huzaimah).


8. Aneka pahala istimewa Jum'at dan Adab di hari Jum'at.

Abu Hurairah - rodhiyollohu 'anhu - mengatakan bahwa Rosululloh – sholollohu ‘alahi wasallam - bersabda, "Barangsiapa yang mandi Jumat seperti mandi junub kemudian berangkat (ke masjid), maka seolah-olah ia berkurban Unta. Barangsiapa yang berangkat pada saat yang kedua, maka seolah-olah ia berkurban Lembu. Barangsiapa yang berangkat pada saat ketiga, maka seolah-olah ia berkurban Kambing Kibas yang bertanduk. Barangsiapa yang berangkat pada saat yang keempat, maka seolah-olah ia berkurban Ayam. Dan, barangsiapa yang berangkat pada saat kelima, maka seolah-olah ia berkurban Telur. Apabila imam keluar (naik mimbar), maka para Malaikat mendengarkan khutbah."

Abu Hurairah - rodhiyollohu 'anhu - berkata, "Nabi – sholollohu ‘alahi wasallam -bersabda, 'Apabila hari Jumat, maka para Malaikat berdiri di pintu masjid sambil mencatat orang yang datang dahulu, lalu yang dahulu (sesudah itu). Perumpamaan orang-orang yang datang pada waktu yang paling awal adalah seperti orang yang berkurban seekor Unta, berkurban Sapi, berkurban Kambing Kibas, berkurban seekor Ayam, lalu berkurban sebutir Telur. Kemudian apabila imam sudah keluar (dalam satu riwayat: duduk 4/79), para Malaikat itu melipat buku-buku catatannya dan mendengarkan zikir (khutbah)." (Shohih Bukhori)

Amr bin Sulaim al-Anshari - rodhiyollohu 'anhu - berkata, "Aku bersaksi kepada Abu Sa'id, ia berkata, 'Saya bersaksi atas Rosululloh – sholollohu ‘alahi wasallam - , beliau bersabda, 'Mandi pada hari Jumat itu wajib atas setiap orang yang sudah baligh (dewasa), menggosok gigi, dan memakai minyak wangi jika ada.'" Amr berkata, "Adapun mandi, maka saya bersaksi bahwa ia adalah wajib. Sedangkan, menggosok gigi dan mengenakan wewangian, maka Allah lebih tahu apakah ia wajib atau tidak. Akan tetapi, demikianlah di dalam hadits." (Shohih Bukhori)

Dari Ibnu Umar - rodhiyollohu 'anhu - bahwasanya Rosululloh – sholollohu ‘alahi wasallam - bersabda: "Jikalau seseorang diantara engkau semua mendatangi sholat Jum'at, maka hendaklah mandi dulu." (Muttafaq 'alaih)

Dari Samurah - rodhiyollohu 'anhu -, katanya: "Rasulullah Rosululloh – sholollohu ‘alahi wasallam - bersabda: "Barangsiapa berwudhu' pada hari Jum'at, maka dengan keringanan itu -bolehlah dilakukan dan tanpa mandi- dan itupun sudah baik. Tetapi barangsiapa yang mandi, maka mandi itu adalah lebih utama." Diriwayatkan oleh Imam-imam Abu Dawud dan Tirmidzi dan Tirmidzi mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan.

Jabir bin Abdullah - rodhiyollohu 'anhu - berkata, "Seorang laki-laki datang dan Nabi sedang berkhutbah kepada para manusia pada hari Jumat. Lalu beliau bertanya, 'Apakah kamu sudah sholat, hai Fulan?' Ia menjawab, 'Belum.' Beliau bersabda, 'Berdirilah dan sholatlah dua rakaat.'" (Shohih Bukhori)

Keterangan:
Bagi makmum yg datang ketika khutbah sedang berlangsung, maka hendaknya ia segera sholat tahiyatul Masjid dahulu 2 rakaat yg ringan dan pendek, kemudian ia duduk, diam dan mendengarkan.

Ibrahim bin Sa'd berkata dari az-Zuhri, "Apabila muadzin telah mengumandangkan azan pada hari Jumat, padahal seseorang sedang bepergian, maka hendaklah ia menghadiri sholat Jumat itu." (Shohih Bukhori)

Keterangan:
Ketika sedang bepergian, dan ia mendengar suara adzan Jumat, maka hendaknya ia menghadiri sholat Jumat itu.

Abu Hurairah - rodhiyollohu 'anhu - mengatakan bahwa Rosululloh – sholollohu ‘alahi wasallam - bersabda, "Seandainya aku tidak khawatir akan memberatkan orang-orang beriman (dalam hadis riwayat Zuhair, umatku), niscaya aku perintahkan mereka bersiwak setiap kali akan sholat." (Shohih Muslim)

Perbanyak Sholawat
Dari Aus bin Aus - rodhiyollohu 'anhu - , katanya: " Rosululloh – sholollohu ‘alahi wasallam - bersabda: "Sesungguhnya diantara hari-harimu semua yang lebih utama ialah hari Jum'at, maka dari itu perbanyakkanlah membaca Sholawat padaku dalam hari Jum'at itu, sebab sesungguhnya shalawatmu semua itu ditunjukkan kepadaku." Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dengan isnad shahih. (Riyadhu Sholihin)

Larangan Saat Khutbah Jumat Berlangsung 
Dari Abu Hurairah - rodhiyollohu 'anhu - , katanya: "Rosululloh – sholollohu ‘alahi wasallam - bersabda: "Barangsiapa yang berwudhu' lalu memperbaguskan wudhu'nya kemudian mendatangi sholat Jum'at, lalu mendengarkan -khutbah serta berdiam diri- tidak bercakap-cakap sedikitpun, maka diampunilah untuk antara Jum'at itu dengan Jum'at yang berikutnya dan ditambah pula dengan tiga hari lagi. Barangsiapa yang memegang -mempermainkan- batu kerikil -di waktu ada khutbah- maka ia telah berbuat kesalahan." (Riwayat Muslim)

Abu Hurairah - rodhiyollohu 'anhu - mengatakan bahwa Rosululloh – sholollohu ‘alahi wasallam - bersabda, "Apabila kamu mengatakan kepada temanmu, 'Diamlah', padahal imam sedang berkhutbah, maka kamu telah berbuat sia-sia (pahala kamu menjadi sia-sia)." (Shohih Bukhori)

---> Jika kita ingin beramar ma’ruf kala itu, maka cukuplah sambil diam dengan berisyarat yang membuat orang lain paham.
Hadits Anas bin Malik. Ia berkata, “Tatkala Rasulullahh shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di atas mimbar, berdirilah seseorang dan bertanya, “Kapan hari kiamat terjadi, wahai Nabi Allah?”. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diam, tidak mau menjawab. Para sahabat lalu berisyarat pada orang tadi untuk duduk, namun ia enggan.” (HR. Bukhari no. 6167, Ibnul Mundzir no. 1807, dan Ibnu Khuzaimah no. 1796).  Hadits ini menunjukkan bahwa para sahabat melakukan amar ma’ruf ketika imam berkhutbah hanya dengan isyarat.


9. Wafat pada malam hari Jum'at atau siangnya adalah tanda Khusnul Khotimah (akhiran yang baik), yaitu dibebaskan dari Fitnah (azab) Kubur.

Diriwayatkan oleh Ibnu Amru - rodhiyollohu 'anhu - , bahwa Rosululloh – sholollohu ‘alahi wasallam - bersabda: "Setiap muslim yang mati pada siang hari Jum'at atau malamnya, niscaya Allah akan menyelamatkannya dari fitnah kubur". (HR. Ahmad dan Tirmizi, dinilai shahih oleh Al-Bani).

Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab shohihnya dari Abi Hurairah dan Hudzaifah - rodhiyollohu anhum - berkata: Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah merahasiakan hari Jum’at terhadap umat sebelum kita, maka orang-orang Yahudi memiliki hari Sabtu, orang-orang Nashrani hari Ahad, maka Allah subhanahu wata'ala mendatangkan umat ini, lalu Dia menunjukan kita hari Jum’at ini, maka Dia menjadikan urutannya menjadi Jum’at, sabtu, ahad, demikian pula mereka akan mengikuti kita pada hari kiamat, kita adalah umat terakhir di dunia ini namun yang pertama di hari kiamat, yang akan diputuskan perkaranya sebelum makhluk yang lain”. (Shahih Muslim no: 856 dan diriwayatkan oleh Al-Bukhari dengan maknanya dari Abi Hurairah ra no: 876).

10. Amalan yang Dikerjakan

 قال رسول الله ﷺ : (مَن قرَأ سورةَ الكهفِ في يومِ الجمُعةِ أضاء له منَ النورِ ما بين الجمُعتَين)ِ .
[صحيح الجامع (6407)]
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
"Barang siapa membaca surat Al-Kahfi pada hari Jum'at akan diterangi dengan cahaya selama di antara dua Jum'at."
(Shahihul Jami' no 6407)

 قال رسول الله ﷺ : (أكثِروا الصَّلاةَ عليَّ يومَ الجمُعةِ
 وليلةَ الجمُعةِ ، فمَن صلَّى عليَّ صلاةً صلَّى اللهُ عليهِ عَشرًا) .
[صحيح الجامع (1209)]
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
"Perbanyaklah shalawat kepadaku pada hari Jum'at dan malam Jum'at, barang siapa yang bershalawat kepadaku satu kali maka Allah bershalawat kepadanya sepuluh kali.
(Shahihul Jami no 1209)

11. Berhubungan suami istri

Dari Aus bin Aus, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَغَسَّلَ ، وَبَكَّرَ وَابْتَكَرَ ، وَدَنَا وَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ ، كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ يَخْطُوهَا أَجْرُ سَنَةٍ صِيَامُهَا وَقِيَامُهَا

“Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at dengan mencuci kepala dan anggota badan lainnya, lalu ia pergi di awal waktu atau ia pergi dan mendapati khutbah pertama, lalu ia mendekat pada imam, mendengar khutbah serta diam, maka setiap langkah kakinya terhitung seperti puasa dan shalat setahun.” (HR. Tirmidzi no. 496. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Ada ulama yang menafsirkan maksud  hadits penyebutan mandi dengan ghosala bermakna mencuci kepala, sedangkan ightasala berarti mencuci anggota badan lainnya. Demikian disebutkan dalam Tuhfatul Ahwadzi, 3: 3. Bahkan inilah makna yang lebih tepat.

Ada tafsiran lain mengenai makna mandi dalam hadits di atas. Sebagaimana kata Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad,

قال الإمام أحمد : (غَسَّل) أي : جامع أهله ، وكذا فسَّره وكيع

Imam Ahmad berkata, makna ghossala adalah menyetubuhi istri. Demikian ditafsirkan pula oleh Waki’.

Tafsiran di atas disebutkan pula dalam Fathul Bari 2: 366 dan Tuhfatul Ahwadzi, 3: 3. Tentu hubungan intim tersebut mengharuskan untuk mandi junub.

Sebagaimana hal ini dipahami oleh para ulama dan mereka tidak memahaminya pada malam Jum’at.

وقال السيوطي في تنوير الحوالك: ويؤيده حديث: أيعجز أحدكم أن يجامع أهله في كل يوم جمعة، فإن له أجرين اثنين: أجر غسله، وأجر غسل امرأته. أخرجه البيهقي في شعب الإيمان من حديث أبي هريرة.

As Suyuthi dalam Tanwirul Hawalik dan beliau menguatkan hadits tersebut berkata:
Apakah kalian lemas menyetubuhi istri kalian pada setiap hari Jum’at (artinya bukan di malam hari, -pen)? Karena menyetubuhi saat itu mendapat dua pahala: (1) pahala mandi Jum’at, (2) pahala menyebabkan istri mandi (karena disetubuhi). Yaitu hadits yang dimaksud dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari hadits Abu Hurairah.

Dan bolehnya mandi Jum’at digabungkan dengan mandi junub.
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Jika seseorang meniatkan mandi junub dan mandi Jum’at sekaligus, maka maksud tersebut dibolehkan.” (Al-Majmu’, 1: 326)

Penjelasan lainnya:
Dari Aus bin Abi Aus radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من اغتسل يوم الجمعة وغسّل وغدا وابتكر ومشى ولم يركب ودنا من الإمام وأنصت ولم يلغ كان له بكل خطوة عمل سنة
“Barang siapa yang mandi pada hari Jumat dan "memandikan", dia berangkat pagi-pagi dan mendapatkan awal khotbah, dia berjalan dan tidak berkendaraan, dia mendekat ke imam, diam, serta berkonsentrasi mendengarkan khotbah maka setiap langkah kakinya dinilai sebagaimana pahala amalnya setahun.” (H.R. Ahmad, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah; dinilai sahih oleh Imam An-Nawawi dan Syekh Al-Albani)

Sebagian ulama mengatakan, “Kami belum pernah mendengar satu hadis sahih dalam syariat yang memuat pahala yang sangat banyak selain hadis ini.” Karena itu, sangat dianjurkan untuk melakukan semua amalan di atas, untuk mendapatkan pahala yang diharapkan.” (Al-Mirqah, 5:68)

Disebutkan dalam Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud, bahwa ada sebagian ulama yang mengartikan kata “memandikan” dengan ‘menggauli istri’, karena ketika seorang suami melakukan hubungan intim dengan istri, berarti, dia memandikan istrinya. Dengan melakukan hal ini sebelum berangkat shalat Jumat, seorang suami akan lebih bisa menekan syahwatnya dan menahan pandangannya ketika menuju masjid. (Lihat Aunul Ma’bud, 2:8)

Jika kita menganggap pendapat ini adalah pendapat yang kuat maka anjuran melakukan hubungan intim di hari Jumat seharusnya dilakukan sebelum berangkat shalat Jumat di siang hari, bukan di malam Jumat, karena batas awal waktu mandi untuk shalat Jumat adalah setelah terbit fajar hari Jumat.

Allahu a’lam
___

Beberapa Permasalahan  
Bab. Pelaksanaan Sholat Jumat Hendaknya:
1. Dikerjakan Berjamaah

Mengapa mesti berjamaah? Nabi memang disebutkan tidak pernah melaksanakan shalat Jumat sendirian. Begitu pula pendapat para ulama tentang ayat berikut:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah menuju dzikrullâh dan tinggalkanlah jual beli. Itulah yang baik buat kamu jika kamu mengetahui.” (QS Al Jumu’ah: 9)

Ayat di atas menggunakan lafal fas‘au, yang menunjukkan persona jama’ (lebih dari satu orang), dan sasaran perintah ini adalah untuk umat muslimin. Dari shighat (persona) jama’ inilah diskusi seputar batas minimal sembahyang Jumat bermula.
Kata benda jama’ atau plural, secara bahasa bermakna sesuatu yang lebih dari satu. Namun secara lumrah, penggunaan shighat jama’ ini terkait kumpulan yang lebih dari tiga atau empat. Dari pemahaman ini saja, muncul ragam pendapat jumlah minimum jamaah Jumat.
Pendapat yang populer di masyarakat kita adalah pendapat Imam as-Syafii, bahwa shalat Jumat dinilai sudah wajib dan sah jika diikuti minimal 40 orang. Pendapat yang mengharuskan 40 orang jamaah ini dipakai oleh Imam as-Syafii dan Ahmad bin Hanbal.
Para imam mujtahid yang menyandarkan pendapat pada jumlah minimal jamaah adalah 40 orang, mereka mengikuti keterangan bahwa shalat Jumat yang pertama kali didirikan pada masa Nabi adalah sejumlah orang tersebut.

Ibnu Qudamah mencatat, haditsnya pun diriwayatkan oleh para penyusun kitab Sunan. (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Mesir, Maktabah al Qahirah, 1968, Juz 2, halaman 244). Disebutkan dalam sebuah riwayat:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: مَضَتْ السُّنَّةُ أَنَّ فِي كُلِّ أَرْبَعِينَ فَمَا فَوْقَهَا جُمُعَةً

Artinya: “Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: telah menjadi Sunnah, bahwa Jumat selalu dilakukan untuk 40 orang atau lebih.” (HR. Daruquthni)

Menurut pendapat lain cukup dilakukan 12 orang, versi lain ada yang mencukupkan 4 orang.

Al-Jamal al-Habsyi sebagaimana dikutip Syekh Abu Bakr bin Syatha mengatakan:

قَالَ الْجَمَلُ الْحَبْشِيُّ فَاِذَا عَلِمَ الْعَامِيُّ أَنْ يُقَلِّدَ بِقَلْبِهِ مَنْ يَقُوْلُ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ بِإِقَامَتِهَا بِأَرْبَعَةٍ أَوْ بِاثْنَيْ عَشَرَ فَلَا بَأْسَ بِذَلِكَ إِذْ لَا عُسْرَ فِيْهِ

“Berkata Syekh al-Jamal al-Habsyi; Bila orang awam mengetahui di dalam hatinya bertaklid kepada ulama dari ashab Syafi’i yang mencukupkan pelaksanaan Jumat dengan 4 atau 12 orang, maka hal tersebut tidak masalah, karena tidak ada kesulitan dalam hal tersebut”. (Syekh Abu Bakr bin Syatha, Jam’u al-Risalatain, hal.18).

Tidak termasuk jamaah yang mengesahkan Jumat yaitu orang yang tidak bermukim di daerah pelaksanaan Jumat, musafir dan perempuan, meskipun mereka sah melakukan Jumat. (islam.nu.or.id dan K.H. Fawaid)

2. Rakaat pertama Jumat harus dilaksanakan secara Berjamaah
Minimal pelaksanaan jamaah shalat Jumat adalah dalam rakaat pertama, sehingga apabila dalam rakaat kedua jamaah Jumat niat mufaraqah (berpisah dari Imam) dan menyempurnakan Jumatnya sendiri-sendiri, maka shalat Jumat dinyatakan sah.
Apabila dijumpai makmum masbuq A pada sholat jumat yang mendapati 1 rakaat bersama imam jumat, lalu datang lagi masbuq lain (B) yang tidak mendapati rakaat imam jumat, namun mendapati 1 rakaat bersama makmum masbuq A, maka sholat jumatnya sah.
Namun jika ada makmum masbuq B tidak mendapati 1 rakaatpun bersama imam jumat atau bersama makmum masbuq A tersebut diatas, maka makmum masbuq B wajib merubah niat menjadi sholat dhuhur 4 rakaat. (K.H. Fawaid)
Wa Allahu 'alam

3. Sholat Jumat Wajib bagi Orang Mukim Penduduk Setempat
Orang mukim hendaknya sholat Jumat ditempatnya bermukim, supaya sholat jumat ditempatnya sah (seperti dijelaskan sebelumnya)
Dari Thoriq bin Syihab, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia bersabda,

الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ

“Shalat Jum’at itu wajib bagi setiap muslim secara berjama’ah selain empat orang: budak, wanita, anak kecil, dan orang sakit” (HR. Abu Daud no. 1067. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ عَلَى الْمُسَافِرِ جُمُعَةٌ

“Tidak ada kewajiban shalat Jum’at bagi musafir.” (HR. Ad Daruquthni, namun sanadnya dho’if).

Walaupun hadits di atas dho’if, namun para ulama sepakat bahwa shalat Jum’at tidak wajib bagi musafir. Berikut rinciannya.
Pertama: Seorang musafir tidak punya kewajiban untuk mendirikan shalat Jum’at, ia tidak punya kewajiban untuk mendirikan shalat Jum’at pada saat ia safar, ia juga tidak punya keharusan shalat ketika ia berada di jalan. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan shalat Jumat saat safar. Dan tidak ada yang pernah mengetahui beliau melakukannya. Yang dimaksud dalam bahasan kita adalah musafir mendirikan shalat Jumat sendiri. Ini jelas tidak dituntunkan. Jika para musafir mendirikan shalat Jumat bersama mereka sendiri, maka shalatnya tidak sah menurut pendapat empat madzhab.
Kedua: Jika mereka bisa melakukan shalat Jum’at karena mengikuti orang lain yang dikenai kewajiban Jum’at. Untuk kondisi kala ini, para ulama berselisih pendapat. Ada yang menganggap wajib Jum’at dan jama’ah. Ada yang menyatakan tidak wajib Jum’at dan tidak wajib Jama’ah. Jika musafir dikenakan kewajiban untuk berjama’ah karena mendengar adzan Jum’at, maka di sini pun mereka masih diberi keringanan, tidak sebagaimana orang mukim. Jika punya udzur, seperti kecapekan dan butuh istirahat, maka ia boleh tidak hadir Jum’at. [Disarikan dari http://www.taimiah.org/index.aspx?function=item&id=956&node=4856]

---> Syaikh Ibnu Baz rahimahullah ditanya, “Saya pernah shalat Jum’at dan kala itu saya adalah musafir. Apakah yang kulakukan benar? Jika tidak demikian, apa yang mesti dilakukan?”

Jawab Syaikh rahimahullah, “Jika seorang musafir shalat Jum’at bersama orang yang mukim, shalat Jum’atnya sah dan ia tidak perlu shalat Zhuhur lagi, alhamdulillah.

Apakah jama’ah musafir dianjurkan untuk melakukan jam’ah shalat Zhuhur? Jika mereka adalah para musafir, maka diperintahkan untuk shalat Zhuhur sebanyak dua raka’at (secara qoshor). Jika mereka shalat bersama orang-orang yang mukim, maka hendaklah mereka mengerjakan shalat sebagaimana orang mukim. Jika orang mukim melakukan empat raka’at, maka hendaklah mereka pun melakukan demikian. Inilah yang diajarkan dalam ajaran Islam. Namun jika mereka shalat bersama para musafir, maka shalat Zhuhur, Ashar dan Isya dikerjakan sebanyak dua raka’at (secara qoshor) dan qoshor ini yang lebih afdhol. Jika mereka melakukan empat raka’at, maka tidaklah masalah.” [Sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/16374]

Ringkasnya, shalat Jum’at tidaklah wajib bagi musafir. Bahkan jika mereka membentuk jama’ah untuk mendirikan shalat Jum’at sesama musafir, shalatnya tidak sah. Jika musafir tidak melaksanakan shalat Jum’at, maka diganti dengan shalat Zhuhur 2 raka’at secara qoshor. Namun jika berada di belakang orang mukim, maka ia boleh saja melaksanakan shalat Jum’at bersama mereka dan tidak perlu lagi melaksanakan shalat Zhuhur. (Muhammad Abduh Tuasikal, MSc)

4. Dilaksanakan di area pemukiman warga
Shalat Jumat wajib dilakukan di tempat pemukiman warga, sekiranya tidak diperbolehkan melakukan rukhsah shalat jama’ qashar di dalamnya bagi musafir. Tempat pelaksanaan Jumat tidak disyaratkan berupa bangunan, atau masjid. Boleh dilakukan di lapangan dengan catatan masih dalam batas pemukiman warga.

Syekh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali mengatakan:

وَلَا يُشْتَرَطُ أَنْ يُعْقَدَ الْجُمُعَةُ فِي رُكْنٍ أَوْ مَسْجِدٍ بَلْ يَجُوْزُ فِي الصَّحْرَاءِ إِذَا كاَنَ مَعْدُوْداً مِنْ خِطَّةِ الْبَلَدِ فَإِنْ بَعُدَ عَنِ الْبَلَدِ بِحَيْثُ يَتَرَخَّصُ الْمُسَافِرُ إِذَا انْتَهَى إِلَيْهِ لَمْ تَنْعَقِدْ اَلْجُمُعَةُفِيْهَا

“Jumat tidak disyaratkan dilakukan di surau atau masjid, bahkan boleh di tanah lapang apabila masih tergolong bagian daerah pemukiman warga. Bila jauh dari daerah pemukiman warga, sekira musafir dapat mengambil rukhshah di tempat tersebut, maka Jumat tidak sah dilaksanakan di tempat tersebut(karena tidak adanya warga mukim yang sholat ditempat itu)”. (al-Ghazali, al-Wasith, juz.2, hal.263, [Kairo: Dar al-Salam], cetakan ketiga tahun 2012).

>>> Sahkah Shalat Jum’at di Perkantoran?
Mayoritas ulama’ Syafii’yyah berpandangan bahwa termasuk syarat sah pelaksanaan khutbah Jum’at berikut shalatnya harus diikuti oleh minimal 40 orang ahli Jum’at (muslim, bukan budak, telah baligh dan dinyatakan sebagai penduduk tetap untuk satu daerah setempat yang mengadakan shalat Jum’at/mustauthin).

Permasalahan ini sebenarnya pernah dibahas dalam musyawarah nasional alim ulama pada tahun 1997 di Lombok dengan keputusan bahwa Shalat Jum’at tanpa mustauthin dan muqimin atau dengan mustauthin dan muqimin, tetapi tidak memenuhi syarat, hukumnya tafshil atau dirinci sebagai berikut:

1. Tidak sah, menurut mayoritas ulama Syafi’iyyah. Sementara Imam Syafi’i sendiri dalam qaul qadim yang dikuatkan oleh al-Muzanni memandang sah bila jumlah jama’ah itu diikuti mustauthin minimal 4 orang.

2. Imam Abu Hanifah mengesahkan secara mutlak. Adapun rujukan yang digunakan antara lain:  Risalah Bulugh al-Umniyah fi Fatawa al-Nawazil al-‘Ashriyah karya Muhammad Ali al-Maliki:

بَلْ قَالَ شَيْخُنَا فِيْ تَقْرِيْرِهِ عَلَى إِعَانَتِهِ أَنَّ لِلشَّافِعِيِّ قَوْلَيْنِ قَدِيْمَيْنِ فِيْ الْعَدَدِ أَيْضًا أَحَدُهُمَا أَقَلُّهُمْ أَرْبَعَةٌ. حَكَاهُ عَنْهُ صَاحِبُ التَّلْخِيْصِ وَحَكَاهُ فِيْ شَرْحِ الْمُهَذَّبِ

Artinya: Bahkan guruku, al-Bakri bin Muhammad Syaththa, dalam catatan atas kitab I’anah at-Thalibinnya berkata: “Sungguh Imam Syafi’i punya dua qaul qadim tentang jumlah jamaah shalat Jum’at pula. Salah satunya adalah minimal empat orang. Pendapat ini dikutip oleh pengarang kitab al-Talkhish dan dihikayatkan al-Nawawi dalam Syarh al-Muhadzdzab.

Dalam Al-Muhadzdzabyang disusun oleh Abu Ishaq al-Syairazi:

 مِنْ شَرْطِ الْعَدَدِ أَنْ يَكُوْنُوْا رِجَالاً أَحْرَارًا مُقِيْمِيْنَ بِالْمَوْضِعِ فَأَمَّا النِّسَاءُ وَالْعَبِيْدُ وَالْمُسَافِرُ فَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِمْ الْجُمْعَةُ لِأَنَّهُ لاَ تَجِبُ عَلَيْهِمْ الْجُمْعَةُ فَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِمْ كَالصِّبْيَانِ وَهَلْ تَنْعَقِدُ بِمُقِيْمِيْنَ غَيْرَ مُسْتَوْطِنِيْنَ فِيْهِ وَجْهَانِ قَالَ أَبُوْ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ هُرَيْرَةَ تَنْعَقِدُ بِهِمْ لِأَنَّهُ تَلْزَمُهُمْ الْجُمْعَةُ فَانْعَقَدَتْ بِهِمْ كَالْمُسْتَوْطِنِيْنَ

Artinya: Di antara syarat jumlah jamaah tersebut adalah, mereka terdiri dari laki-laki, merdeka dan menetap di suatu tempat. Adapun perempuan, budak dan musafir, maka shalat Jum’at tidak menjadi sah dengan kehadiran mereka, karena mereka tidak berkewajiban melaksanakan shalat Jum’at sehingga shalat itu pun tidak menjadi sah dengan kehadiran mereka, sama seperti anak-anak.

Apakah shalat Jum’at itu sah dengan jamaah terdiri dari para muqimin (penduduk) yang tidak menetap. Dalam hal itu terdapat dua wajh; Abu Ali bin Abi Hurairah berpendapat: “Shalat Jum’at dengan mereka itu sah karena mereka berkewajiban shalat Jum’at, sehingga shalat itu menjadi sah, sama seperti para penduduk tetap.”

Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh karya Syekh Wahbah Zuhaili:

وَأَقَلُّهُمْ عِنْدَ أَبِيْ حَنِيْفَةَ وَمُحَمَّدٍ فِي اْلأَصَحِّ ثَلاَثَةُ رِجَالٍ سِوَى اْلاِمَامِ، وَلَوْ كَانُوْا مُسَافِرِيْنَ أَوْ مَرْضَى لِأَنَّ أَقَلَّ الْجَمْعِ الصَّحِيْحِ إِنَّمَا هُوَ الثَّلاَثُ

Artinya: Dan jumlah minimal jamaah Jum’at menurut Abu Hanifah dan Muhammad dalam pendapat al-Ashah adalah tiga orang selain imam, walaupun mereka itu musafir dan orang sakit, karena minimal jumlah jamak yang sahih itu adalah tiga.

Dari uraian ini ada beberapa pilihan bagi kita dalam menghadapi permasalahan ini:
Pertama, mengikuti pendapat mayoritas ulama syafi’iyah yang menganggap jum’atan tersebut tidak sah dengan konsekuensi karyawan kantor mencari kampung terdekat yang menyelenggarakan shalat Jum’at oleh penduduk setempat.
Kedua, mengikuti pendapat qaul qadim imam Syafi’i dengan konsekuensi harus ada atau kalau perlu mendatangkan minimal 4 orang penduduk di sekitar kantor untuk ikut shalat Jum’at di perkantoran.
Ketiga, mengikuti pendapat imam Hanafi dengan konsekuensi mengetahui tata cara yang terkait dengan pelaksanaan shalat Jum’at mulai dari tata cara wudhu sampai dengan shalatnya berikut syarat,rukun dan hal-hal yang membatalkannya menurut madzhab Hanafi. Wa Allahu Alam.
(Nu online dan KH Fawaid)

Perbandingan Dasar Hukum Hadis Masing-Masing Imam Masalah Minimal Peserta Jumatan
1. Ulama Malikiyyah menyaratkan yang menghadiri Jum’at minimal 12 orang dari orang-orang yang diharuskan menghadirinya. Mereka berdalil dengan hadits Jabir,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْطُبُ قَائِمًا يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَجَاءَتْ عِيرٌ مِنْ الشَّامِ فَانْفَتَلَ النَّاسُ إِلَيْهَا حَتَّى لَمْ يَبْقَ إِلَّا اثْنَا عَشَرَ رَجُلًا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri berkhutbah pada hari Jum’at, lalu datanglah rombongan dari Syam, lalu orang-orang pergi menemuinya sehingga tidak tersisa, kecuali dua belas orang.” (HR. Muslim no. 863)

2. Ulama Syafi’iyah dan Hambali memberi syarat 40 orang dari yang diwajibkan menghadiri Jum’at. Penulis Al Mughni (2: 171) berkata, “Syarat 40 orang dalam jama’ah Jum’at adalah syarat yang telah masyhur dalam madzhab Hambali. Syarat ini adalah syarat yang diwajibkan mesti ada dan syarat sahnya Jum’at. … Empat puluh orang ini harus ada ketika dua khutbah Jum’at.”

Dalil yang menyatakan harus 40 jama’ah disimpulkan dari perkataan Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu,

لأَسْعَدَ بْنِ زُرَارَةَ قَالَ لأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ جَمَّعَ بِنَا فِى هَزْمِ النَّبِيتِ مِنْ حَرَّةِ بَنِى بَيَاضَةَ فِى نَقِيعٍ يُقَالُ لَهُ نَقِيعُ الْخَضِمَاتِ. قُلْتُ كَمْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ قَالَ أَرْبَعُونَ.

“As’ad bin Zararah adalah orang pertama yang mengadakan shalat Jum’at bagi kami di daerah Hazmi An Nabit dari harrah Bani Bayadhah di daerah Naqi’ yang terkenal dengan Naqi’ Al Khadhamat. Saya bertanya kepadanya, “Waktu itu, ada berapa orang?” Dia menjawab, ”Empat puluh.” (HR. Abu Daud no. 1069 dan Ibnu Majah no. 1082. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut hasan).

Ibnu Qudamah mencatat, haditsnya pun diriwayatkan oleh para penyusun kitab Sunan. (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Mesir, Maktabah al Qahirah, 1968, Juz 2, halaman 244). Disebutkan dalam sebuah riwayat:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: مَضَتْ السُّنَّةُ أَنَّ فِي كُلِّ أَرْبَعِينَ فَمَا فَوْقَهَا جُمُعَةً

Artinya: “Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: telah menjadi Sunnah, bahwa Jumat selalu dilakukan untuk 40 orang atau lebih.” (HR. Daruquthni)

3. Pendapat Imam Ahmad mensyaratkan 50 orang, Seperti hadits Abu Umamah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَلَى الْخَمْسِيْنَ جُمْعَةٌ وَلَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ ذَلِكَ

“Diwajibkan Jum’at pada lima puluh orang dan tidak diwajibkan jika kurang dari itu. (HR. Ad Daruquthni dalam sunannya 2: 111. Haditsnya lemah, di sanadnya terdapat Ja’far bin Az Zubair, seorang matruk).

Juga hadits Abu Salamah, ia bertanya kepada Abu Hurairah,

عَلَى كَمْ تَجِبُ الْجُمُعَةُ مِنْ رَجُلٍ ؟ قَالَ : لَمَّا بَلَغَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَمْسِينَ جَمَّعَ بِهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Berapa jumlah orang yang diwajibkan shalat jama’ah?” Abu Hurairah menjawab, ”Ketika sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berjumlah lima puluh, Rasulullah mengadakan shalat Jum’at” (Disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al Mughni 2: 171).

>>>Penulis sendiri lebih suka memilih masjid kampung dengan peserta atau jama'ah yang banyak. Berkumpul dengan orang-orang mukim, tetangga dekat ataupun jauh, untuk silaturahmi, berdasarkan definisi:
Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata: "Hari ini dinamakan Jum'at, karena artinya merupakan turunan dari kata al-jam'u yang berarti perkumpulan, karena umat Islam berkumpul pada hari itu setiap pekan di balai-balai pertemuan yang luas. Allah telah memerintahkan hamba-hamba-Nya yang mukmin berkumpul untuk melaksanakan ibadah kepada-Nya.

Namun apabila penulis berada ditempat yang sangat sedikit muslimnya, sehingga tidak memungkinkan jumlah peserta sholat Jumat sebanyak 40 orang, maka penulis ikut sholat Jumat dengan jama'ah seadanya, walaupun hanya 4 orang saja.
Wa Allahu 'alam.


Bab: Apakah sholat Jumat Dapat menggugurkan kewajiban sholat dhuhur?
Nashr bin Ali, Sa'id Abdurrahman dan dari riwayat lainnya menceritakan kepada kami, mereka berkata, "Sufyan bin Uyainah menceritakan kepada kami dari AzZuhri, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, beliau bersabda, 'Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat (Jum 'at), maka ia telah mendapatkan shalat (Jum 'at) itu'."
Shahih: Ibnu Majah (1122), Sunan Tirmidzi (524) dan Muttafaq 'alaih
Abu Isa berkata, "Hadits ini hasan shahih."
Pengamalan kandungan hadits ini disepakati oleh mayoritas ulama dari kalangan sahabat Nabi SAW dan yang lain, mereka berkata, "Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat Jum'at, maka ia mengerjakan satu rakaat lagi untuk menyelesaikan shalat itu, dan barangsiapa mendapatkan mereka dalam keadaan duduk, maka ia mengerjakan empat rakaat."
Sufyan Ats-Tsauri, Ibnu Al Mubarak, Asy-Syafi'i, Ahmad, dan Ishaq juga berpendapat seperti itu.

Keterangan:
Dari keterangan di atas, yakni '... barangsiapa mendapatkan mereka dalam keadaan duduk, maka ia mengerjakan empat rakaat.', bisa mengandung makna, barangsiapa ketinggalan sholat jumat, maka hendaknya ia menggantinya dengan sholat dhuhur 4 rakaat. Dan secara tidak langsung mengandung makna, barangsiapa mengerjakan sholat jumat, maka ia tidak usah mengerjakan sholat dhuhur 4 rakaat.

Bagaimana bagi orang yg mengerjakan sholat empat rakaat sesudah shalat Jum'at?
Jawaban:
Sesungguhnya sholat empat rakaat sesudah shalat Jum 'at itu hukumnya sunnah. Sunnah bagi yang biasa mengerjakan shalat sesudah shalat Jum 'at.

Berdasarkan hadits:
Ibnu Abu Umar menceritakan kepada kami, Sufyan menceritakan kepada kami dari Suhail bin Abu Shalih, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, ia berkata, "Rasulullah SAW bersabda, 'Barangsiapa di antara kalian biasa mengerjakan shalat sesudah shalat Jum'at maka hendaklah ia shalat empat rakaat'."
Shahih: Ibnu Majah (1132), dan Sunan Tirmidzi (523)
Abu Isa berkata, "Hadits ini hasan shahih"

Pendapat bahwa Sholat Jumat sudah menggugurkan kewajiban sholat dhuhur juga dikuatkan oleh hadits berikut ini:
Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf berkata, telah mengabarkan kepada kami Malik dari Nafi' dari 'Abdullah bin 'Umar, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam biasa melaksanakan dua rakaat sebelum zhuhur dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat setelah Maghrib di rumahnya, dan dua rakaat sesudah Isya. Dan beliau tidak mengerjakan shalat setelah Jum'at hingga beliau pulang, lalu shalat dua rakaat." (No. Hadist: 885 KITAB SHAHIH BUKHARI)

Keterangan:
Nabi SAW tidak mengerjakan shalat setelah Jum'at (berarti tidak mengerjakan sholat dhuhur) hingga beliau pulang, lalu shalat dua rakaat (sholat sunnah dirumah beliau, karena tidak mungkin bagi Nabi SAW mengerjakan sholat fardlu (dhuhur) dirumah beliau, kecuali sudah dipastikan itu adalah sholat sunnah. Hal ini dikuatkan dari sekian banyak hadits yang menjelaskan, bahwa Nabi SAW selalu sholat fardlu di Masjid dan mengimami orang banyak). Tentunya kalau beliau sholat dhuhur sesudah sholat jumat, maka akan diketahui orang banyak, karena pasti beliau mengimami mereka. Namun hal ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW (sholat dhuhur sesudah sholat jumat).

Ingatlah, dalam hadits2 yang masyhur lagi mutawatir disebutkan, Allah mewajibkan sholat fardlu 5 waktu dalam sehari dan Bukan 6 waktu dalam sehari (Isya, Subuh, Jumat, Duhur, Asar dan Maghrib)!!!.

Wa Allahu a'lam


Rukun Khutbah Jumat 
Rukun khutbah tersebut ada lima sebagai berikut:
1- Mengucapkan Alhamdulillah, dengan bentuk ucapan apa pun yang mengandung pujian pada Allah.
2- Bershalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ucapan apa pun yang menunjukkan shalawat.
Di sini dipersyaratkan nama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam disebut secara jelas, seperti menyebut dengan Nabi, Rasul atau Muhammad. Tidak cukup dengan dhomir (kata ganti) saja.
3- Wasiat takwa dengan bentuk lafazh apa pun.

Ketiga rukun di atas adalah rukun dari dua khutbah. Kedua khutbah barulah sah jika ada ketiga hal di atas.

4- Membaca salah satu ayat dari Al Quran pada salah satu dari dua khutbah.
Ayat yang dibaca haruslah jelas, tidak cukup dengan hanya membaca ayat yang terdapat huruf muqotho’ah (seperti alif laa mim) yang terdapat dalam awal surat.
5- Berdoa kepada kaum mukminin pada khutbah kedua dengan doa-doa yang sudah ma’ruf.

Demikian pemahaman dalam madzhab Syafi’i mengenai rukun khutbah.


CONTOH KHUTBAH JUMAT
Khutbah Pertama

إنَّ الـحَمْدَ لِلّهِ نَـحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُـحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُه

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.


قال الله تعالى فى كتابه الكريم، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

وقال تعالى، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
أَمَّا بَعْدُ، 

Ma’asyirol muslimin rahimakumullah …

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kita nikmat iman. Itulah nikmat yang paling besar yang wajib kita syukuri.

Dan kita diperintahkan untuk bertakwa kepada-Nya sebagai bentuk syukur kita kepada-Nya.

Shalawat dan salam kepada sayyid para nabi, nabi akhir zaman, rasul yang syariatnya telah sempurna, rasul yang mengajarkan perihal ibadah dengan sempurna. Semoga shalawat dari Allah tercurah kepada beliau, kepada istri-istri beliau, para sahabat beliau, serta yang disebut keluarga beliau karena menjadi pengikut beliau yang sejati hingga akhir zaman.

Ma’asyirol muslimin rahimakumullah …

Dalam khutbah kali ini ................


...... ISI KHOTBAH......


Demikian khutbah pertama ini. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.

أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ إِنَّهُ هُوَ السَمِيْعُ العَلِيْمُ



Khutbah Kedua

الحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالمِيْنَ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَافِ الأَنْبِيَاءِ وَالمرْسَلِيْنَ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ


يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ 

إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

اِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِىْ 

يَاَ يُّهَاالَّذِيْنَ آمَنُوْاصَلُّوْاعَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

 وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمسْلِمَاتِ وَالمؤْمِنِيْنَ وَالمؤْمِنَاتِ

 الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ


رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

عباد الله:
إِنَّ اللَّـهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ 
فَاذْكُرُوا الله العَظِيْمَ يَذْكُرْكُم، وَاشْكُرُوهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُم، ولذِكرُ الله أكبَر.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar