Kamis, 30 Juli 2015

Fiqih Sholat dan Permasalahannya

Bab: Perintah untuk Mengikuti Nabi SAW dalam Tatacara dan Bacaan Sholat

Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Isma'il telah menceritakan kepada kami Ayyub dari Abu Qilabah dari Abu Sulaiman Malik bin Al Huwairits dia berkata; "Kami datang kepada Nabi Shallallahu'alaihi wasallam sedangkan waktu itu kami adalah pemuda yang sebaya. ... (Nabi SAW bersabda) "Pulanglah ke keluarga kalian. Tinggallah bersama mereka dan ajari mereka serta perintahkan mereka dan shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat. Jika telah datang waktu shalat, maka hendaklah salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan, ...". (No. Hadist: 5549 KITAB SHAHIH BUKHARI)

Bab: Wajibnya Membaca Takbir saat memulai berdiri (Takbiratul Ikram, Tanda dimulainya Shalat)
No. Hadist: 747 (KITAB SHAHIH BUKHARI)

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو بَكْرِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ يُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْكَعُ ثُمَّ يَقُولُ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ حِينَ يَرْفَعُ صُلْبَهُ مِنْ الرَّكْعَةِ ثُمَّ يَقُولُ وَهُوَ قَائِمٌ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ صَالِحٍ عَنْ اللَّيْثِ وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَهْوِي ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَسْجُدُ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ ثُمَّ يَفْعَلُ ذَلِكَ فِي الصَّلَاةِ كُلِّهَا حَتَّى يَقْضِيَهَا وَيُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ مِنْ الثِّنْتَيْنِ بَعْدَ الْجُلُوسِ

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair berkata, telah menceritakan kepada kami Al Laits dari 'Uqail dari Ibnu Syihab berkata, telah mengabarkan kepadaku Abu Bakar bin 'Abdurrahman bahwa dia mendengar Abu Hurairah berkata, "Jika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam shalat, beliau takbir saat memulai berdiri (takbiratul Ikram), kemudian ketika akan rukuk sambil membaca: 'SAMI'ALLAHU LIMAN HAMIDAH (semoga Allah mendengar orang yang memuji-Nya) ' ketika mengangkat punggungnya dari rukuk, dalam saat posisi berdiri baliau membaca: RABBANAA LAKAL HAMDU (Ya Rabb kami, milik-Mu lah segala pujian) '." 'Abdullah bin Shalih dari Al Laits menyebutkan, 'WA LAKAL HAMDU', kemudian bertakbir ketika turun (sujud), kemudian bertakbir ketika mengangkat kepala (dari sujud), lalu bertakbir ketika sujud dan ketika mengangkat kepalanya (dari sujud), kemudian Beliau melakukan seperti itu dalam shalat seluruhnya hingga selesai. Dan beliau juga bertakbir ketika bangkit dari dua rakaat setelah duduk (tasyahud awal)."

Memendekkan Bacaan Takbir dan salam
Hadits Tirmidzi Nomor 274
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ وَهِقْلُ بْنُ زِيَادٍ عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ عَنْ قُرَّةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ حَذْفُ السَّلَامِ سُنَّةٌ قَالَ عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ يَعْنِي أَنْ لَا يَمُدَّهُ مَدًّا قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَهُوَ الَّذِي يَسْتَحِبُّهُ أَهْلُ الْعِلْمِ وَرُوِيَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ النَّخَعِيِّ أَنَّهُ قَالَ التَّكْبِيرُ جَزْمٌ وَالسَّلَامُ جَزْمٌ وَهِقْلٌ يُقَالُ كَانَ كَاتِبَ الْأَوْزَاعِيِّ

telah menceritakan kepada kami [Ali bin Hujr] berkata; telah mengabarkan kepada kami [Abdullah bin Al Mubarak] dan [Hiql bin Ziyad] dari [Al Auza'i] dari [Qurrah bin Abdurrahman] dari [Az Zuhri] dari [Abu Salamah] dari [Abu Hurairah] ia berkata; "Memendekkan salam adalah sunnah." Ali bin Hujr berkata; "Abdullah bin Al Mubarak berkata; "Yaitu tidak memanjangkannya." Abu Isa berkata; "Hadits ini derajatnya hasan shahih. Pendapat ini disukai (dipilih) oleh ahli ilmu." Dan telah diriwayatkan pula dari Ibrahim An Nakha'I, bahwasanya ia mengatakan, "Takbir dan salam adalah mati (pendek)." Dikatakan bahwa Hiql adalah penulis Al Auza'i."

---> Hendaknya Takbir dan Salam itu diucapkan, namun bagi makmum jangan terlalu keras, yakni setidaknya dapat didengar oleh si pengucap sendiri

Was-was
-Ibnul Jauzi mengatakan, “Ada juga orang yang bertakbir kemudian dia batalkan takbirnya, bertakbir lagi, dia batalkan lagi, ketika imam mendekati ruku’, barulah orang yang terjangkiti was-was ini berhasil bertakbir, lalu mengejar ruku’ imam. Sungguh aneh, mengapa dia baru berhasil niat ketika itu! Semua ini terjadi karena tipuan iblis yang menggodanya agar dia kehilangan keutamaan takbiratul ihram bersama imam.” (Talbis Iblis, hlm. 169).

-Imam Asy Syafi’i mengingatkan, “Was-was ketika niat shalat dan bersuci adalah bentuk kebodohan dengan syariat dan kurang akalnya.” (Al Qaulul Mubin fi Akhtha Mushallin, hlm. 93).

Untuk mengobati penyakit ini, yakinkan bahwa anda sudah niat, tidak perlu diulangi, dan baca takbiratul ihram sekali. Inilah yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apabila kamu ingin shalat, wudhulah dengan sempurna, lalu menghadaplah ke arah kiblat, dan bertakbirlah” (HR. Bukhari). Perhatikan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengajarkan bacaan apapun sebelum shalat dan beliau hanya mengajarkan takbir sekali.

Jangan ragu dalam memulai Sholat,  karena Nabi saw juga tidak  pernah ragu dalam memulai sholat, yakni hanya dengan sekali takbir. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Alasan berikutnya, jika lebih dari sekali takbir, malah salah dan wajib dipertanyakan, apakah dia sholat biasa, fardlu, ataukah sholat Ied?.
Karena shalat biasa hanya sekali takbir,  namun Sholat Ied berkali-kali takbir.
Alasan lainnya, coba perhatikan hadits berikut, tidak ada satupun yang bisa membatalkan sholat, jika rukun²nya sudah terpenuhi kecuali 3 hal berikut ini:

وَعَنْ أَبِي ذَرٍّ ( قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ ( { يَقْطَعُ صَلَاةَ اَلْمَرْءِ اَلْمُسْلِمِ – إِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ مُؤْخِرَةِ اَلرَّحْلِ – اَلْمَرْأَةُ , وَالْحِمَارُ , وَالْكَلْبُ اَلْأَسْوَدُ . . . ” اَلْحَدِيثَ . } وَفِيهِ { اَلْكَلْبُ اَلْأَسْوَدِ شَيْطَانٌ } . أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ

Dari Abu Dzarr Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Yang akan memutus shalat seorang muslim–jika tidak ada di depannya seperti mu’khiroh ar-rohli (tiang atau kayu sandaran di belakang kendaraannya atau tunggangannya)-, pemutus shalatnya adalah wanita, keledai, dan anjing hitam.” Disebutkan di dalamnya, “Anjing hitam adalah setan.”  [HR. Muslim, no. 510]

وَلَهُ : عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ( نَحْوُهُ دُونَ : “اَلْكَلْبِ”

Menurut riwayat Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ada hadits yang serupa dengannya tanpa menyebutkan lafaz “anjing”. [Dijelaskan oleh Imam Muslim di bab yang sama. Yang tepat kata “anjing” disebutkan dalam lafaz Abu Hurairah atau kita katakan tanpa penyebutan washf atau sifat anjing].

وَلِأَبِي دَاوُدَ , وَالنَّسَائِيِّ : عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ – رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- نَحْوُهُ , دُونَ آخِرِهِ . وَقَيَّدَ اَلْمَرْأَةَ بِالْحَائِضِ

Dari Abu Daud dan An-Nasai dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ada hadits yang semisal tanpa menyebutkan kata akhirnya (yaitu anjing) dan membatasi pada wanita yang telah mengalami haidh (wanita baligh). [HR. Abu Daud, no. 703; An-Nasai, 2:64]

Tiga hadits ini menunjukkan jika orang yang shalat, shalatnya terputus (membatalkan shalat) oleh sebab salah satu dari tiga hal, yaitu: wanita, keledai, dan anjing hitam. Pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud memutus shalat adalah shalatnya batal, dinyatakan oleh beberapa sahabat radhiyallahu ‘anhum seperti Abu Hurairah, Anas bin Malik, dan Ibnu ‘Abbas. Al-Hasan Al-Bashri juga berpendapat demikian. Ulama yang berpendapat seperti ini adalah Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Al-Majd, ‘Abdurrahman bin Qudamah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Ibnul Qayyim.

Dari berbagai alasan diatas, tidak satupun yang membolehkan ragu² dalam memulai sholat. Cukup sekali takbir, takbiratul ihram, lalu sdh mulailah sholat itu. Diharamkan bercakap-cakap atau melakukan kegiatan yang membatalkan shalat, hingga diucapkannya Salam di akhir sholat. 


Bacaan Takbir yang Salah





1. Aaallaahu akbar --> Apakah Allah maha besar?

2.
أَكْـبَار = Bedug, orang dewasa
الله أَكْـبَار
Allaahu akbaar ---> Allah (itu) bedug! (genderang/bedug yang ditabuh sewaktu masuk waktu sholat fardlu)

3.
Aaallaahu akbaar --> Apakah Allah itu bedug/orang dewasa?

>>> Mestinya diucapkan (yang benar):
الله أكبر
  Allaahu Akbar  --> Allah Maha Besar


Bab. Doa Istiftah

اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا

“Allah Maha Besar dengan segala kebesaran, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, Maha Suci Allah, baik waktu pagi dan petang” (HR. Muslim 2/99)

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radhiallahu’anhu, ia berkata:

بينما نحن نصلي مع رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؛ إذ قال رجل من القوم: … فذكره. فقال رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” عجبت لها! فتحت لها أبواب السماء “. قال ابن عمر: فما تركتهن منذ سمعت رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يقول ذلك

“Ketika kami shalat bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, ada seorang lelaki yang berdoa istiftah: (lalu disebutkan doa di atas). Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam lalu bersabda: ‘Aku heran, dibukakan baginya pintu-pintu langit‘. Ibnu Umar pun berkata:’Aku tidak pernah meninggalkan doa ini sejak beliau berkata demikian’”.


Bab: Wajibnya Membaca Surah Al-Fatihah
No. Hadist: 714 (KITAB SHAHIH BUKHARI)

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا الزُّهْرِيُّ عَنْ مَحْمُودِ بْنِ الرَّبِيعِ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

Telah menceritakan kepada kami 'Ali bin 'Adullah berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan berkata, telah menceritakan kepada kami Az Zuhri dari Mahmud bin Ar Rabi' dari 'Ubadah bin Ash Shamit, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca Faatihatul Kitab (Al Fatihah)."

Bagaimana Jika Bacaan Imam Tidak Fasih atau Bahkan Salah?
Imam Syafi’i mengatakan, “Orang yang salah bacaan Al Fatihah-nya yang menyebabkan perubahan makna (pada ayat-red), menurutku shalatnya tidak sah, tidak sah pula orang yang shalat di belakangnya. Jika salah di selain Al Fatihah, aku membencinya, meskipun tidak wajib mengulangi. Karena jika dia tinggalkan selain Al Fatihah dan hanya membaca Al Fatihah, saya berharap shalatnya diterima. Jika shalatnya sah maka shalat makmum juga sah insya Allah. Jika kesalahannya pada Al Fatihah atau lainnya, namun tidak mengubah makna, shalatnya sah, namun saya benci dia jadi imam, apapun keadaannya.” (Al Umm, 1/215)


Bab: Sunnahnya Membaca surah selain Al Fathihah pada dua rakaat pertama
No. Hadist: 734 (KITAB SHAHIH BUKHARI)

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ قَالَ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ يَحْيَى عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي قَتَادَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي الظُّهْرِ فِي الْأُولَيَيْنِ بِأُمِّ الْكِتَابِ وَسُورَتَيْنِ وَفِي الرَّكْعَتَيْنِ الْأُخْرَيَيْنِ بِأُمِّ الْكِتَابِ وَيُسْمِعُنَا الْآيَةَ وَيُطَوِّلُ فِي الرَّكْعَةِ الْأُولَى مَا لَا يُطَوِّلُ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ وَهَكَذَا فِي الْعَصْرِ وَهَكَذَا فِي الصُّبْحِ

Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il berkata, telah menceritakan kepada kami Hammam dari Yahya dari 'Abdullah bin Abu Qatadah dari Bapaknya, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam shalat Zhuhur membaca Al Fathihah dan dua surah (selain Al Fathihah) pada dua rakaat pertama. Dan pada dua rakaat akhir membaca Al Fatihah, yang terkadang ayat yang beliau baca terdengar. Beliau memanjangkannya pada rakaat pertama, dan pada rakaat keduanya tidak sepanjang pada rakaat pertama. Beliau lakukan seperti ini juga dalam shalat 'Ashar, begitu pula pada shalat Shubuh."

Bab: Mengeraskan bacaan ‘Amin‘
Berikut ini hadits yang berstatus muttafaqun ‘alaihi:

إذا أمن الإمام فأمنوا فإنه من وافق تأمينه تأمين الملائكة غفر له ما تقدم من ذنبه

Apabila Imam mengucapkan Amin maka ucapkanlah Amin. Siapa yang amin-nya sesuai dengan amin para malaikat (bersamaan dengan para malaikat), (maka) diampuni dosanya yang sudah lewat (yang lalu). (HR al-Bukhari dan Muslim)

Namun di kalangan jumhur ulama sendiri ternyata masih juga ada perbedaan, yakni apakah imam ikut mengeraskan juga bacaan Amin-nya ataukah membaca dengan perlahan.

Menurut mazhab Asy-Syafi’i dan Maliki dalam riwayat madaniyyin, Imam hendaklah ikut mengeraskan juga bacaan ‘Amin’ itu, sehingga terdengar juga oleh makmum. Berdasarkan Hadits:

عن وائل بن حجر قال: كان رسول الله إذا قرأ ولاالضآلين قال: آمين يرفع بها صوته

Dari Wail bin Hujr berkata bahwa Rasulullah SAW kalau membaca Waladhdhaallin, maka beliau mengucapkan Amin dengan suara yang keras. (HR Ad-Daruquthny dengan sanad yang shahih menurutnya)

Menurut Imam Nawawi: Bacaannya adalah (merujuk Al-Adzkar) ---> Aaaaaamiin , yaitu secara Mad (3 alif atau 6 harakat) dan takhfif (meringan tanpa tasydid). Inilah bacaan yang paling jelas dan masyhur.

Bab: Bagaimana Bacaan Fatihah bagi Makmum?
Markaz al Fatwa didalam fatwanya No. 1740 menyebutkan bahwa pendapat jumhur ulama adalah makmum tidak perlu membaca al Fatihah dan tidak juga membaca yang lainnya (surat) di belakang imam didalam shalat jahriyah apabila dia mendengar bacaan imam. Mereka mendasari pendapatnya (dan juga dari penulis) dengan :

1. Firman Allah swt :

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُواْ لَهُ وَأَنصِتُواْ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Artinya : “Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al A’raf : 204) Terdapat riwayat bahwa para salafussholeh bahwa maksud dari ayat itu adalah mendengarkan bacaan yang dibaca imam. Dan akan dijelaskan lebih detail pada no.5 berikut ini.

2. Berdasarkan Hadits Abu Hurairoh bahwa Nabi saw bersabda,”Sesungguhnya imam dijadikan untuk diikuti. Apabila dia bertakbir maka bartakbirlah kalian dan apabila dia membaca maka dengarkanlah.” Dan hadits ini terdapat di al Musnad dan yang lainnya dinukil dari Imam Muslim yang telah dishahihkan.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّمَا الإِمَامُ – أَوْ إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ – لِيُؤْتَمَّ بِهِ ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا ، وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا ، وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا ، وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ . فَقُولُوا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ . وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا

“Sesungguhnya imam itu diangkat untuk diikuti. Jika imam bertakbir, maka bertakbirlah. Jika imam ruku’, maka ruku’lah. Jika imam bangkit dari ruku’, maka bangkitlah. Jika imam mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’, ucapkanlah ‘robbana wa lakal hamd’. Jika imam sujud, sujudlah.”( HR. Bukhari no. 733 dan Muslim no. 411.)

Dalam riwayat Muslim pada hadits Abu Musa terdapat tambahan,

وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوا

Jika imam membaca (Al Fatihah), maka diamlah.”

Beliau Shalallahu’alahi Wasallam bersabda:

إنما جُعل الإمامُ ليؤتمَّ به ، فلا تَختلفوا عليه ، فإذا كبَّر فكبِّروا ، وإذا قرَأ فأنصِتوا

“sesungguhnya dijadikan seorang imam dalam shalat adalah untuk diikuti, maka jangan menyelisihinya. Jika ia bertakbir, maka bertakbirlah, jika ia membaca ayat, maka diamlah” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Abu Daud, Muslim, Abu ‘Awanah, Ar Ruyani dalam Musnad-nya)

Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu :

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلَا تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ

“Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya imam hanya untuk diikuti, maka janganlah menyelisihnya. Apabila ia ruku’, maka ruku’lah. Dan bila ia mengatakan ‘sami’allahu liman hamidah’, maka katakanlah, ’Rabbana walakal hamdu’. Apabila ia sujud, maka sujudlah. Dan bila ia shalat dengan duduk, maka shalatlah dengan duduk semuanya”. [Muttafaqun ‘alaihi].

Sebagaimana Nabi Shallallahu’alahi Wasallam juga menganggap istima‘ (mendengarkan bacaan imam) itu sudah mencukupi tanpa perlu membaca. Sebagaimana sabdanya:

مَن كان له إمامٌ فقراءةُ الإمامِ له قراءةٌ

Barangsiapa yang memiliki imam, maka bacaan imam itu adalah bacaan baginya” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Ad Daruquthni, Ibnu Majah, Ath Thahawi, Ahmad, dari jalan yang banyak secara musnad maupun mursal. Ibnu Taimiyah menganggap hadits ini kuat dalam kitab Al Furu‘ karya Ibnu ‘Abdil Hadi, dan hadits ini dishahihkan sebagian jalannya oleh Al Bushiri)”

3. Berdasarkan Hadits:
Ishaq bin Musa Al Anshari menceritakan kepada kami, Malik memberitahukan kepada kami dari Abu Nu'aim Wahb bin Kaisan, bahwa ia mendengar Jabir bin Abdullah berkata, "Barangsiapa mengerjakan shalat tanpa membaca Ummul Qur'an (Al Fatihah) dalam shalatnya itu, maka ia belum mengerjakan shalat. Kecuali bila ia berada di belakang Imam".
Shahih Mauquf(dari sahabat): IrwaAl Ghafil (2/273), Shahih sunan Tirmidzi no:313.

Adapun Imam Ahmad, ia mengatakan, "Makna sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Tidak ada (sempurna) shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab," yakni jika ia shalat sendirian. Lalu Imam Ahmad berdalil dengan hadits Jabir bin Abdullah, ia berkata; "Barangsiapa shalat satu rakaat dan tidak membaca Ummul Qur`an di dalamnya maka ia belum shalat, kecuali jika ia shalat di belakang imam."
Imam Ahmad berkata; "Jabir adalah seorang sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, (namun) ia tetap mentakwilkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Tidak shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab, " bahwa hadits ini (berlaku) jika shalat sendirian."

4. Berdasarkan Hadits:
Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda,"Barangsiapa mengerjakan shalat tanpa membaca Ummul Qur'an (Al Fatihah), maka shalatnya kurang dan kurang, tidak sempurna." Kemudian orang yang membawakan hadits itu bertanya kepada beliau, "Aku kadang-kadang berada di belakang Imam." Beliau bersabda, "Bacalah Al Fatihah dalam dirimu (Iqra' bihaa fii nafsika)"
Shahih: Ibnu Majah (838) dan Shahih Muslim

5. Allah subhanahu berfirman:

( وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ ) الأعراف/204

“Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” QS. Al-A’raf: 204.

Syekh As-Sa’dy rahimahullah berkata: “Perintah ini umum bagi semua orang yang mendengarkan Kitabullah ketika dibaca. Maka dia diperintahkan untuk mendengarkan dan memperhatikan dengan tenang. Perbedaan antara mendengarkan dan memperhatikan dengan tenang. ‘Al-Inshot’ adalah sisi penampilan dengan tidak berbicara atau meninggalkan kesibukan yang dapat mengganggu dari mendengarkan.
Sementara ‘Al-Istima’ adalah memasang telinga dan menghadirkan hati untuk mentadaburi dari apa yang didengarkan. Karena  kelaziman dari dua hal ini, ketika Kitabullah dibaca, maka dia akan mendapatkan banyak kebaikan dan ilmu nan luas, terus memperbaharui keimanan, petunjuk yang terus bertambah, pengetahuan agamanya. Oleh karena itu Allah menyambungkan agar mendapatkan rahmat darinya. Dari situ menunjukkan,bahwa ketika dibacakan Kitabullah kepada seseorang sementara tidak mendengarkan dan memperhatikan dengan tenang, maka dia tidak mendapatkan bagian rahmat, maka dia terlepas banyak kebaikan.
Diantara perintah yang ditekankan untuk mendengarkan Al-Qur’an, agar dia mendengarkan dan memperhatikan dengan tenang ketika dalam shalat yang dibaca keras ketika imam membacanya. Maka dia diperintahkan untuk memperhatikan dengan tenang. Bahwasanya kebanyakan ulama’ mengatakan, ‘Bahwa sibuk memperhatikan dengan tenang itu lebih baik daripada membaca Al-Fatihah dan lainnya.” Selesai dari kitab ‘Tafsir As-Sa’dy, 314.

Karena itu, jika Imam membaca Al Quran, sebaiknya didengarkan dan diperhatikan dengan baik, dan jangan dilawan dengan makmum yang juga membaca Al Quran. Kecuali kalau Imam tidak terdengar bacaan Al Quran-nya.


Bagaimana Jika makmum Ketinggalan dan mendapati imam dalam kondisi ruku'?
Pertama, ketika mendapati imam dalam kondisi ruku', lalu dia ruku' bersamanya. Maka dia mendapatkan satu rakaat meskipun dia tidak membaca Al-Fatihah. Yang menunjukkan akan hal  itu adalah hadits Abu Bakrah radhiallahu anhu bahwa beliau berjalan untuk bergabung dalam barisan (shaf) shalat  Nabi sallallahu’alaihi wa sallam yang dalam kondisi ruku', sementara dia sendiri telah ruku' sebelum sampai ke shaf. Ketika hal itu disampaikan kepada Nabi sallallahu’alaihi wa sallam, beliau bersabda:

زَادَكَ اللَّهُ حِرْصًا وَلا تَعُدْ

"Semoga Allah menambah semangat anda, tapi jangan anda ulangi (perbuatan tersebut).” (HR. Bukhari, no. 783)

Dari  dalil ini dipahami bahwa kalau saja mendapatkan ruku' beserta imam tidak dianggap (satu rakaat), maka Nabi sallallahu’alaihi wa sallam akan memerintahkannya untuk mengqadha’ rakaat yang tidak mendapatkan bacaan (Al-Fatihah) di dalamnya. Akan tetapi tidak ada riwayat yang menerangkan  hal tersebut (perintah tersebut). Hal itu menunjukkan bahwa siapa mendapatkan ruku'nya (imam),  maka dia telah mendapatkan (satu) rakaat. (Silakan merujuk Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah, 230)

Kedua, kalau dia masuk bersama imam dalam shalat sebelum ruku', namun tidak memungkinkan baginya menyempurnakan membaca Al-Fatihah. Maka dia ruku' bersama (imam) dan tidak (perlu) menyempurnakan Al-Fatihah. Dia tetap dianggap mendapatkan satu rakaat.

Berdasarkan sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam:

إِنَّمَا جُعِلَ اْلإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ ، فَلاَ تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا ، وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا. (متفق عليه

“Sesungguhnya dijadikan Imam agar diikutinya, maka janganlah anda semua menyalahinya. Kalau takbir, maka takbirlah kamu semua dan ketika ruku', maka ruku'lah kamu semua." (Muttafaq alaih)

Wa Allahu 'alam


Bab: Bacaan Ketika Rukuk (dan juga Sujud)
No. Hadist: 752 (KITAB SHAHIH BUKHARI)

حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ أَبِي الضُّحَى عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي رُكُوعِهِ وَسُجُودِهِ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي

Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin 'Umar berkata, telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Manshur dari Abu Adl Dluha dari Masruq dari 'Aisyah ia berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam membaca do'a dalam rukuk dan sujudnya dengan bacaan: "SUBHAANAKALLAHUMMA RABBANAA WA BIHAMDIKA ALLAHUMMAGHFIRLII (Maha suci Engkau wahai Tuhan kami, segala pujian bagi-Mu. Ya Allah, ampunilah aku) '."

Hadis riwayat Aisyah Radhiyallahu’anhu, ia berkata: Adalah Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam dalam rukuk dan sujudnya banyak membaca: “Subhaanaka Allahumma rabbanaa wa bihamdika, Allahummaghfir li” (Maha suci Allah, ya Allah, ya Tuhan kami, dengan segala puji-Mu, ampunilah aku). Beliau menafsirkan perintah Alquran. (Shahih Muslim No.746)

Tambahan sedikit, yakni bacaan yang biasa dibaca di Indonesia, yg sempat terjadi pertentangan:
Dari Kitab yg jadi rujukan para pesantren pada umumnya yakni Kitab Al Adzkar Annawawiyah, Bacaaan yang dibaca adalah: Subhana Robbiyal Adzimi (hadits dari Aisyah ra juga, yakni bacaan ketika Sholat sunnah tahajjud), sedangkan tambahan Wa Bihamdih, ada dasarnya, walaupun dloif, namun ternyata diriwayatkan oleh beberapa rawi, sehingga menjadi lebih kuat.
> Berikut haditsnya:
Mahmud bin Ghailan menceritakan kepada kami, Abu Daud menceritakan kepada kami, ia berkata, "Syu'bah memberitahukan kepada kami dari Al A'masy, ia berkata, 'Aku mendengar Sa'ad bin Ubaidah menceritakan dari Al Mustaurid, dari Shilah bin Zufar, dari Hudzaifah: Ia pernah shalat bersama-sama dengan Nabi SAW, di dalam ruku'nya beliau membaca, "Subhaana rabbiyal 'adziim'' dan didalam sujudnya beliau membaca, "Subhaana rabbiyal a'la". Setiap kali beliau menjumpai ayat (yang menceritakan) tentang rahmat, maka beliau berhenti dan berdoa meminta (rahmat). Setiap kali menjumpai ayat (yang menceritakan) tentang siksaan, maka beliau berhenti dan meminta perlindungan. "
Shahih: Al Misykah (881); Shahih Sunan Tirmidzi (261).
Abu Isa berkata, "Hadits ini hasan shahih."

Bab:Bacaan Ketika mengangkat Kepalanya dari Rukuk
No. Hadist: 753 (KITAB SHAHIH BUKHARI)

حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ قَالَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَكَعَ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ يُكَبِّرُ وَإِذَا قَامَ مِنْ السَّجْدَتَيْنِ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ

Telah menceritakan kepada kami Adam berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dzi'b dari Sa'id Al Maqburi dari Abu Hurairah berkata, "Jika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam membaca: 'SAMI'ALLAHU LIMAN HAMIDAH (Semoga Allah mendengar pujian orang yang memuji-Nya) ', maka beliau melanjutkan dengan: 'RABBANAA WA LAKAL HAMDU (Wahai Rabb kami, bagi-Mu lah segala pujian) '. Jika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam rukuk dan mengangkat kepalanya (dari sujud), beliau bertakbir, dan jika bangkit dari dua sujud (dua rakaat), beliau mengucapkan 'Allahu Akbar'."

No. Hadist: 757 (KITAB SHAHIH BUKHARI)

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ نُعَيْمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْمُجْمِرِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ يَحْيَى بْنِ خَلَّادٍ الزُّرَقِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ الزُّرَقِيِّ قَالَ كُنَّا يَوْمًا نُصَلِّي وَرَاءَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرَّكْعَةِ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ مَنْ الْمُتَكَلِّمُ قَالَ أَنَا قَالَ رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلَاثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ

Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Nu'aim bin 'Abdullah Al Mujmir dari 'Ali bin Yahya bin Khallad Az Zuraqi dari Bapaknya dari Rifa'ah bin Rafi' Az Zuraqi berkata, "Pada suatu hari kami shalat di belakang Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Ketika mengangkat kepalanya dari rukuk beliau mengucapkan: 'SAMI'ALLAHU LIMAN HAMIDAH (Semoga Allah mendengar punjian orang yang memuji-Nya) '. Kemudian ada seorang laki-laki yang berada di belakang beliau membaca; 'RABBANAA WA LAKAL HAMDU HAMDAN KATSIIRAN THAYYIBAN MUBAARAKAN FIIHI (Wahai Tuhan kami, bagi-Mu segala pujian, aku memuji-Mu dengan pujian yang banyak, yang baik dan penuh berkah) '." Selesai shalat beliau bertanya: "Siapa orang yang membaca kalimat tadi?" Orang itu menjawab, "Saya." Beliau bersabda: "Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berebut siapa di antara mereka yang lebih dahulu untuk menuliskan kalimat tersebut."

Bab: Thuma'ninah Ketika Mengangkat Kepala dari Rukuk -I'tidal- (Jangan terlalu Cepat untuk langsung Sujud)
No. Hadist: 758 (KITAB SHAHIH BUKHARI)

حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ ثَابِتٍ قَالَ كَانَ أَنَسٌ يَنْعَتُ لَنَا صَلَاةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ يُصَلِّي وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ قَامَ حَتَّى نَقُولَ قَدْ نَسِيَ

Telah menceritakan kepada kami Abu Al Walid berkata, telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Tsabit berkata, " Anas pernah menceritakan sifat shalat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada kami, jika beliau shalat dan mengangkat kepalanya dari rukuk, maka beliau berdiri (lama) hingga kami mengatakan 'beliau telah lupa'."

Bagaimana Kalau Seseorang Sholat dengan Terburu-buru, Tidak thuma'ninah (tidak terlihat tenang namun terlihat cepat)?
No. Hadist: 715 (KITAB SHAHIH BUKHARI)

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ وَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ فَرَجَعَ يُصَلِّي كَمَا صَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ ثَلَاثًا فَقَالَ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ فَعَلِّمْنِي فَقَالَ إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا وَافْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar berkata, telah menceritakan kepada kami Yahya dari 'Ubaidullah berkata, telah menceritakan kepadaku Sa'id bin Abu Sa'id dari Bapaknya dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam masuk ke masjid, lalu ada juga seorang laki-laki masuk Masjid dan langsung shalat kemudian memberi salam kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Beliau menjawab dan berkata kepadanya, "Kembalilah dan ulangi shalatmu karena kamu belum shalat!" Maka orang itu mengulangi shalatnya seperti yang dilakukannya pertama tadi kemudian datang menghadap kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan memberi salam. Namun Beliau kembali berkata: "Kembalilah dan ulangi shalatmu karena kamu belum shalat!" Beliau memerintahkan orang ini sampai tiga kali hingga akhirnya laki-laki tersebut berkata, "Demi Dzat yang mengutus Tuan dengan hak, aku tidak bisa melakukan yang lebih baik dari itu. Maka ajarkkanlah aku!" Beliau lantas berkata: "Jika kamu berdiri untuk shalat maka mulailah dengan takbir, lalu bacalah apa yang mudah buatmu dari Al Qur'an kemudian rukuklah sampai benar-benar rukuk dengan thuma'ninah (tenang), lalu bangkitlah (dari rukuk) hingga kamu berdiri tegak, lalu sujudlah sampai hingga benar-benar thuma'ninah, lalu angkat (kepalamu) untuk duduk hingga benar-benar duduk dengan thuma'ninah. Maka lakukanlah dengan cara seperti itu dalam seluruh shalat (rakaat) mu."


Bab: Sujud Dengan (Menempelkan) Hidung
No. Hadist: 770 (KITAB SHAHIH BUKHARI)

حَدَّثَنَا مُعَلَّى بْنُ أَسَدٍ قَالَ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ طَاوُسٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَالْيَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ وَلَا نَكْفِتَ الثِّيَابَ وَالشَّعَرَ

Telah menceritakan kepada kami Mu'alla bin Asad berkata, telah menceritakan kepada kami Wuhaib dari 'Abdullah bin Thawus dari Bapaknya dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhu, ia berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Aku diperintahkan untuk melaksanakan sujud dengan tujuh tulang (anggota sujud); kening -beliau lantas memberi isyarat dengan tangannya menunjuk hidung- kedua telapak tangan, kedua lutut dan ujung jari dari kedua kaki dan tidak boleh menahan rambut atau pakaian (sehingga menghalangi anggota sujud)."

Bab: Orang Yang Membaca Ayat Sajadah dalam Shalat Lalu dia Sujud
No. Hadist: 1016 (KITAB SHAHIH BUKHARI)

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ قَالَ سَمِعْتُ أَبِي قَالَ حَدَّثَنِي بَكْرٌ عَنْ أَبِي رَافِعٍ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ الْعَتَمَةَ فَقَرَأَ إِذَا السَّمَاءُ انْشَقَّتْ فَسَجَدَ فَقُلْتُ مَا هَذِهِ قَالَ سَجَدْتُ بِهَا خَلْفَ أَبِي الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَا أَزَالُ أَسْجُدُ فِيهَا حَتَّى أَلْقَاهُ

Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan kepada kami Mu'tamir berkata; aku mendengar bapakku berkata, telah menceritakan kepada saya Bakar dari Abu Rafi' berkata: "Aku pernah shalat 'Atmah ('Isya di penghujung malam) bersama Abu Hurairah radliallahu 'anhu. Dia membaca idzas samaa-unsyaqqat (QS Al Insyiqaq) lalu dia sujud tilawah. Kemudian aku bertanya kepadanya: "Mengapa anda melakukan ini?" Maka dia menjawab: "Aku pernah sujud di belakang Abul Qasim shallallahu 'alaihi wasallam. Dan senantiasa aku melakukan sujud ketika membacanya sampai akhir hayatku".

Bab: Bacaan yang Diucapkan Saat Duduk Diantara Dua Sujud


Salamah bin Syabib menceritakan kepada kami, Zaid bin Hubab menceritakan kepada kami dari Kamil Abu Al Ala', dari Habib bin Abu Tsabit, dari Sa'id bin Jubair, dari Ibnu Abbas: Ketika Nabi SAW berada diantara dua sujud, maka beliau mengucapkan, 'Allaahummaghfirlii warhamnii wajburnii wahdinii warzuqnii (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, penuhilah (kebutuhan) aku, dan berilah petunjuk dan rezeki kepadaku)."  Shahih: Ibnu Majah (898)

Bacaan Lainnya (lebih lengkap):

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَارْحَمْنِيْ وَاهْدِنِيْ وَاجْبُرْنِيْ وَعَافِنِيْ وَارْزُقْنِيْ وَارْفَعْنِي

“Ya Allah, ampunilah dosaku, berilah rahmat kepadaku, tunjukkanlah aku (ke jalan yang benar), cukupkanlah aku, selamatkan aku (tubuh sehat dan keluarga terhindar dari musibah), berilah aku rezeki (yang halal) dan angkatlah derajatku..”
[Ditakhrij Ashhabussunan, kecuali An-Nasa’i; Abu Dawud, no. 850; At-Tirmidzi, no. 284; Ibnu Majah, no. 898. Lihat Shahih At-Tirmidzi, (1/90) dan Shahih Ibnu Majah, (1/148).]

Shahabat yang meriwayatkan hadits ini adalah Abdullah bin Abbas Radhiyallahu Anhuma.

Ungkapan اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ ‘ya Allah ampunilah dosaku’, dengan kata lain, segala dosaku atau segala keterbatasanku dalam ketaatan kepada-Mu.

Ungkapan وَارْحَمْنِيْ ‘berilah rahmat kepadaku‘, dengan kata lain, dari sisi-Mu dan bukan karena amalku. Atau sayangilah aku dengan penerimaan semua macam ibadahku.

Ungkapan وَاهْدِنِيْ ‘tunjukilah aku‘, dengan kata lain, beri aku taufik untuk melakukan segala macam amal shalih.

Ungkapan وَاجْبُرْنِيْ ‘cukupkanlah aku‘, dari kata جبْر dengan kasrah, bukan dari جبر yang artinya kekuatan untuk memaksa. Artinya, kiranya Engkau menutup semua kebutuhanku dan mencukupkanku.

Ungkapan وَعَافِنِيْ ‘selamatkanlah aku‘, dengan kata iain, dari segala macam bala di dunia dan di akhirat. Atau dari segala macam penyakit yang lahir dan yang batin.

Ungkapan وَارْزُقْنِيْ ‘berilah aku rezeki‘, dengan kata lain, dengan karunia dan anugerah-Mu.

Ungkapan وَارْفَعْنِي ‘dan angkatlah derajatku‘, yakni di dunia dan di akhirat dengan ilmu yang bermanfaat dan amal shalih.[]

Disalin dari Syarah Do’a & Dzikir Hishnul Muslim oleh Madji bin Abdul Wahhab Ahmad dengan Korektor Syaikh Dr. Sa’id bin Ali Wahf al-Qathtani, hal. 174-175 Terbitan Darul Falah, Jakarta.


Bab: Duduk Tasyahud

No. Hadist: 784 (KITAB SHAHIH BUKHARI)

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ كَانَ يَرَى عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَتَرَبَّعُ فِي الصَّلَاةِ إِذَا جَلَسَ فَفَعَلْتُهُ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ حَدِيثُ السِّنِّ فَنَهَانِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ وَقَالَ إِنَّمَا سُنَّةُ الصَّلَاةِ أَنْ تَنْصِبَ رِجْلَكَ الْيُمْنَى وَتَثْنِيَ الْيُسْرَى فَقُلْتُ إِنَّكَ تَفْعَلُ ذَلِكَ فَقَالَ إِنَّ رِجْلَيَّ لَا تَحْمِلَانِي

Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Maslamah dari Malik dari 'Abdurrahman bin Al Qasim dari 'Abdullah bin 'Abdullah ia mengabarkan kepadanya, bahwa dia pernah melihat 'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhuma mengerjakan shalat dengan cara bersimpuh dengan kedua kakinya ketika duduk. Maka aku juga melakukan hal serupa. Saat itu aku masih berusia muda. Namun 'Abdullah bin 'Umar melarangku berbuat seperti itu. Ia mengatakan, "Sesungguhnya yang sesuai sunnah adalah kamu menegakkan telapak kakimu yang kanan sedangkan yang kiri kamu masukkan dibawahnya (melipat)." Aku pun berkata, "Tapi aku melihat anda melakukan hal itu!" Dia menjawab, "Kakiku tidak mampu."

No. Hadist: 785 (KITAB SHAHIH BUKHARI)

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ خَالِدٍ عَنْ سَعِيدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَلْحَلَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَطَاءٍ وَحَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ وَيَزِيدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَلْحَلَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَطَاءٍ أَنَّهُ كَانَ جَالِسًا مَعَ نَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرْنَا صَلَاةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَبُو حُمَيْدٍ السَّاعِدِيُّ أَنَا كُنْتُ أَحْفَظَكُمْ لِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَيْتُهُ إِذَا كَبَّرَ جَعَلَ يَدَيْهِ حِذَاءَ مَنْكِبَيْهِ وَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ هَصَرَ ظَهْرَهُ فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلَا قَابِضِهِمَا وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ وَسَمِعَ اللَّيْثُ يَزِيدَ بْنَ أَبِي حَبِيبٍ وَيَزِيدُ مِنْ مُحَمَّدِ بْنِ حَلْحَلَةَ وَابْنُ حَلْحَلَةَ مِنْ ابْنِ عَطَاءٍ قَالَ أَبُو صَالِحٍ عَنْ اللَّيْثِ كُلُّ فَقَارٍ وَقَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَيُّوبَ قَالَ حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ أَبِي حَبِيبٍ أَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ عَمْرٍو حَدَّثَهُ كُلُّ فَقَارٍ

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair berkata, telah menceritakan kepada kami Al Laits dari Khalid dari Sa'id dari Muhammad bin 'Amru bin Halhalah dari Muhammad bin 'Amru bin 'Atha', dan telah menceritakan kepada kami Al Laits dari Yazid bin Abu Habib dan Yazid bin Muhammad dari Muhammad bin 'Amru bin Halhalah dari Muhammad bin 'Amru bin 'Atha', bahwasanya dia duduk bersama beberapa orang sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, mereka bercerita tentang shalatnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Maka berkatalah Abu Humaid As Sa'idi, "Aku adalah orang yang paling hafal dengan shalatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, jika shalat aku melihat beliau takbir dengan mengangkat kedua tangannya sejajar dengan pundaknya, jika rukuk maka beliau menempatkan kedua tangannya pada lutut dan meluruskan punggungnya. Jika mengangkat kepalanya, beliau berdiri lurus hingga seluruh tulung punggungnya kembali pada tempatnya semula. Dan jika sujud maka beliau meletakkan tangannya dengan tidak menempelkan lengannya ke tanah atau badannya, dan dalam posisi sujud itu beliau menghadapkan jari-jari kakinya ke arah kiblat. Apabila duduk pada rakaat kedua, beliau duduk di atas kakinya yang kiri dan menegakkan kakinya yang kanan. Dan jika duduk pada rakaat terakhir, maka beliau memasukkan kaki kirinya (di bawah kaki kanannya) dan menegakkan kaki kanannya dan beliau duduk pada tempat duduknya." Dan Al Laits telah mendengar dari Yazid bin Abu Habib, dan Yazid dari Muhammad bin Halhalah, dan Ibnu Halhalah dari Ibnu 'Atha'. Abu Shalih menyebutkan dari Al Laits, "Seluruh tulang punggung." Ibnu Al Mubarak berkata dari Yahya bin Ayyub ia berkata, telah menceritakan kepadaku Yazid bin Abu Habib bahwa Muhammad bin 'Amru menceritakan kepadanya, "Seluruh tulang punggung."

Tambahan Keterangan:
Demikianlah pendapat AsySyafi'i,Ahmad, dan Ishaq, mereka berkata, "Pada tasyahud akhir, seseorang hendaknya duduk pada pangkal paha." Mereka mengambil dalil dari hadits Abu Humaid, lalu mereka berkata, "Pada tasyahud awal, seseorang hendaknya duduk pada kaki kirinya dan menegakkan (telapak) kaki kanannya."

Bab: Tentang Lupa Tidak Mengerjakan Tahiyat Awal

Dalam sebuah riwayat Nabi SAW menyatakan, terkadang aku lupa supaya menjadi pelajaran bagi kalian (HR Malik)

Hadis dari Abdullah bin Buhainah radhiallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ مِنَ اثْنَتَيْنِ مِنَ الظُّهْرِ لَمْ يَجْلِسْ بَيْنَهُمَا، فَلَمَّا قَضَى صَلاَتَهُ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ، ثُمَّ سَلَّمَ بَعْدَ ذَلِك

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah langsung bangkit setelah rakaat kedua shalat zuhur dan tidak duduk tasyahud. Setelah selesai tasyahud akhir, beliau sujud dua kali kemudian salam setelah sujud sahwi. (H.R. Muslim 570)

No. Hadist: 1148 (KITAB SHAHIH BUKHARI)

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْأَعْرَجِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ ابْنِ بُحَيْنَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ صَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ مِنْ بَعْضِ الصَّلَوَاتِ ثُمَّ قَامَ فَلَمْ يَجْلِسْ فَقَامَ النَّاسُ مَعَهُ فَلَمَّا قَضَى صَلَاتَهُ وَنَظَرْنَا تَسْلِيمَهُ كَبَّرَ قَبْلَ التَّسْلِيمِ فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ ثُمَّ سَلَّمَ

Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Malik bin Anas dari Ibnu Syihab dari 'Abdurrahman Al A'raj dari 'Abdullah Ibnu Buhainah radliallahu 'anhu bahwa dia berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah shalat dua raka'at diantara shalat Beliau, lalu Beliau berdiri dan tidak duduk, Maka orang-orang ikut berdiri mengikuti Beliau. Ketika Beliau menyelesaikan shalatnya (empat raka'at) sedangkan kami sedang menunggu-nunggu Beliau memberi salam, Beliau bahkan bertakbir sebelum memberi salam kemudian sujud dua kali dalam posisi duduk lalu baru memberi salam".

No. Hadist: 1149 (KITAB SHAHIH BUKHARI)

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْأَعْرَجِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ ابْنِ بُحَيْنَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ مِنْ اثْنَتَيْنِ مِنْ الظُّهْرِ لَمْ يَجْلِسْ بَيْنَهُمَا فَلَمَّا قَضَى صَلَاتَهُ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ بَعْدَ ذَلِكَ

Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Malik dari Yahya bin Sa'id dari 'Abdurrahman Al A'raj dari 'Abdullah Ibnu Buhainah radliallahu 'anhu bahwa dia berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berdiri dari dua raka'at shalat Zhuhur dan tidak duduk diantaranya. Setelah Beliau menyelesaikan shalatnya, Beliau sujud dua kali lalu memberi salam setelah itu".

Dari Mughirah bin Syu’bah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا قَامَ الْإِمَامُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ، فَإِنْ ذَكَرَ قَبْلَ أَنْ يَسْتَوِيَ قَائِمًا فَلْيَجْلِسْ، فَإِنِ اسْتَوَى قَائِمًا فَلَا يَجْلِسْ، وَيَسْجُدْ سَجْدَتَيِ السَّهْوِ

Apabila imam bangkit setelah rakaat kedua dan dia teringat sebelum  sempurna berdiri maka hendaknya dia duduk kembali, dan jika sudah berdiri sempurna maka jangan duduk dan lakukanlah sujud sahwi (sebelum salam).” (HR. Abu Daud 1036 dan dinilai sahih oleh Al-Albani)

Hadis riwayat Ahmad berikut ini:

أَمَّنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الظُّهْرِ أَوْ الْعَصْرِ فَقَامَ فَقُلْنَا سُبْحَانَ اللَّهِ فَقَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ وَأَشَارَ بِيَدِهِ يَعْنِي قُومُوا فَقُمْنَا

Rasulullah s.a.w. mengimami kami shalat zuhur atau ashar, lalu beliau berdiri (padahal seharusnya tahiyat awal), lalu kami katakan: “Subhanalloh.” Beliaupun mengatakan: “Subhanalloh.” Beliau berisyarat dengan tangannya, yaitu: “berdirilah”. Maka kamipun berdiri. (HR. Ahmad)


Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata:

“Rukun-rukun itu wajib dan lebih kuat dari hal-hal yang diwajibkan, yang membedakan keduanya (rukun & kewajiban) bahwa rukun itu tidak bisa gugur dengan lupa, dan kewajiban itu gugur dengan lupa dan diganti dengan sujud sahwi, berbeda dengan rukun, oleh karenanya bagi orang yang lupa satu rukun tertentu maka shalatnya tidak sah sampai ia mengerjakannya”.

Dan ia berkata:

"Dalil yang menunjukkan bahwa rukun itu tidak diharuskan sujud sahwi, Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika beliau mengucapkan salam setelah dua raka’at pada shalat Zhuhur atau Ashar beliau langsung menyempurnakan dan mengerjakan yang tertinggal dan melakukan sujud sahwi, maka hal ini menunjukkan bahwa rukun itu tidak gugur karena lupa dan wajib dikerjakan”. (Asy Syarhu al Mumti’: 3/315-323)

Keterangan:
Dari beberapa hadits tersebut diatas, dapat disimpulkan, Tidak Boleh duduk kembali (untuk Tahiyat Awal), ketika imam telah berdiri sempurna, karena lupa (walaupun sudah diingatkan makmum). Dan makmum wajib mengikuti Imam, dengan berdiri juga mengikuti Imam yang lupa Tahiyat Awal. 
Andaikan Imam tersebut duduk kembali untuk mengerjakan Tahiyat Awal, maka ada pendapat sholatnya batal. Hal ini disebabkan berdiri itu merupakan rukun sholat sedangkan tahiyat awal itu sunnah, sehingga tidak mungkin yg rukun dikalahkan oleh yg sunnah.
Kalau berdasarkan hadits diatas, jika lupa Tahiyat Awal, cukuplah bertakbir sebelum salam kemudian sujud dua kali dalam posisi duduk lalu memberi salam (selesai).

Namun, akan jauh berbeda jika yang terlupa adalah Tahiyat Akhir, yakni Imam tidak memberi salam, namun malah berdiri lagi, maka setelah makmum mengingatkan, Imam hendaknya kembali duduk, kemudian memberi Salam. Hal ini dikarenakan Sholat sudah semestinya selesai, sehingga tidak perlu meneruskan lagi karena lupa (kemudian diingatkan makmum).

Hadits Abu Hurairah, ia berkata,

صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِحْدَى صَلَاتَيْ الْعَشِيِّ إِمَّا الظُّهْرَ وَإِمَّا الْعَصْرَ فَسَلَّمَ فِي رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَتَى جِذْعًا فِي قِبْلَةِ الْمَسْجِدِ فَاسْتَنَدَ إِلَيْهَا مُغْضَبًا وَفِي الْقَوْمِ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرَ فَهَابَا أَنْ يَتَكَلَّمَا وَخَرَجَ سَرَعَانُ النَّاسِ قُصِرَتْ الصَّلَاةُ فَقَامَ ذُو الْيَدَيْنِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَقُصِرَتْ الصَّلَاةُ أَمْ نَسِيتَ فَنَظَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمِينًا وَشِمَالًا فَقَالَ مَا يَقُولُ ذُو الْيَدَيْنِ قَالُوا صَدَقَ لَمْ تُصَلِّ إِلَّا رَكْعَتَيْنِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَسَلَّمَ ثُمَّ كَبَّرَ ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ كَبَّرَ فَرَفَعَ ثُمَّ كَبَّرَ وَسَجَدَ ثُمَّ كَبَّرَ وَرَفَعَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami kami shalat pada salah satu dari dua shalat petang, mungkin shalat Zhuhur atau Ashar. Namun pada raka’at kedua, beliau sudah mengucapkan salam. Kemudian beliau pergi ke sebatang pohon kurma di arah kiblat masjid, lalu beliau bersandar ke pohon tersebut dalam keadaan marah. Di antara jamaah terdapat Abu Bakar dan Umar, namun keduanya takut berbicara. Orang-orang yang suka cepat-cepat telah keluar sambil berujar, “Shalat telah diqoshor (dipendekkan).” Sekonyong-konyong Dzul Yadain berdiri seraya berkata, “Wahai Rasulullah, apakah shalat dipendekkan ataukah anda lupa?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menengok ke kanan dan ke kiri, lalu bersabda, “Betulkan apa yang dikatakan oleh Dzul Yadain tadi?” Jawab mereka, “Betul, wahai Rasulullah. Engkau shalat hanya dua rakaat.” Lalu beliau shalat dua rakaat lagi, lalu memberi salam. Sesudah itu beliau bertakbir, lalu bersujud. Kemudian bertakbir lagi, lalu beliau bangkit. Kemudian bertakbir kembali, lalu beliau sujud kedua kalinya. Sesudah itu bertakbir, lalu beliau bangkit.” (HR. Bukhari no. 1229 dan Muslim no. 573)

Jika yang terlupakan itu rukun sholat, maka wajib menyempurnakan dan mengerjakan yang tertinggal dan melakukan sujud sahwi. Sebab rukun itu tidak gugur karena lupa dan wajib dikerjakan setelah ingat.
Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika beliau mengucapkan salam setelah dua raka’at pada shalat Zhuhur atau Ashar beliau langsung menyempurnakan dan mengerjakan yang tertinggal dan melakukan sujud sahwi”

Sebenarnya ulama berbeda pendapat, apakah sebaiknya sujud sahwi dilakukan sebelum salam atau sesudah salam. Tapi menurut Mayoritas ulama bermazhab syafi’i dalam kitab Al-Bayaan fi Madzhab al-Imam asy-Syafi’i berpendapat bahwa sujud sahwi dilakukan sebelum salam, baik karena sebab pengurangan atau penambahan gerakan salat. Namun jika ia teringat setelah salam maka boleh baginya melakukan sujud sahwi setelah salam. Wallahu’alam.


Bab: Bacaan Tahiyyah
No. Hadist: 1127 (KITAB SHAHIH BUKHARI)

حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عِيسَى حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ الصَّمَدِ عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ الصَّمَدِ حَدَّثَنَا حُصَيْنُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنَّا نَقُولُ التَّحِيَّةُ فِي الصَّلَاةِ وَنُسَمِّي وَيُسَلِّمُ بَعْضُنَا عَلَى بَعْضٍ فَسَمِعَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ قُولُوا التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ فَإِنَّكُمْ إِذَا فَعَلْتُمْ ذَلِكَ فَقَدْ سَلَّمْتُمْ عَلَى كُلِّ عَبْدٍ لِلَّهِ صَالِحٍ فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ

Telah menceritakan kepada kami 'Amru bin 'Isa telah menceritakan kepada kami Abu 'Abdush Shamad 'Abdul 'Aziz bin 'Abdush Shamad telah menceritakan kepada kami Hushain bin 'Abdurrahman dari Abu Wa'il dari 'Abdullah bin Mas'ud radliallahu 'anhu berkata; "Kami pernah membaca at-tahiyat dalam shalat, yang dalam tersebut kami menyebut nama dan memberi salam kepada beberapa diantara kami. Hal ini kemudian didengar oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam hingga akhirnya Beliau bersabda: "Bacalah: "Attahiyyaatu lillahi washshalawaatu waththayyibaat. Assalaamu 'alaika ayyuhannabiyyu wa rahmatullohi wa barakaatuh. Assalaamu 'alainaa wa 'alaa 'ibaadillahish shaolihiin. Asyhadu allaa ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa rasuuluh" " (Segala penghormatan hanya milik Allah, juga segala pengagungan dan kebaikan. Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada engkau wahai Nabi dan juga rahmat dan berkahNya. Dan juga semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi tidak ada ilah yang berhaq disembah selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya"). Karena apabila kalian melakukan seperti ini, maka berarti kalian telah mengucapkan salam kepada seluruh hamba Allah yang shalih yang ada di langit dan bumi".

Bab: Mengangkat jari Telunjuk Tangan Kanan dalam Tasyahud
Dalam kitab sunan disebutkan riwayat dari Ibnu ‘Umar, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا جَلَسَ فِى الصَّلاَةِ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى رُكْبَتِهِ وَرَفَعَ إِصْبَعَهُ الَّتِى تَلِى الإِبْهَامَ الْيُمْنَى يَدْعُو بِهَا وَيَدُهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ بَاسِطَهَا عَلَيْهِ

“Ketika duduk dalam shalat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangan kanannya di paha kanannya, lalu beliau mengangkat jari di samping jari jempol (yaitu jari telunjuk tangan kanan) dan beliau berdoa dengannya. Sedangkan tangan kiri dibentangkan di paha kirinya.” (Shahih: Ibnu Majah (913) dan Shahih Sunan Tirmidzi No.294).

Pada hadits Ibnu ‘Umar di atas pada lafazh hadits “lalu beliau mengangkat jari di samping jari jempol (yaitu jari telunjuk tangan kanan) dan beliau berdoa dengannya”, berdasarkan hal itu mengangkat telunjuk dimulai ketika berdo’a dalam tasyahud.

Berisyarat dilakukan dengan jari tangan kanan, bukan yang lainnya. Jika jari tersebut terpotong atau sakit, maka tidak digunakan jari lain untuk berisyarat, tidak dengan jari tangan kanan yang lain, tidak pula dengan jari tangan kiri. Disunnahkan agar pandangan tidak lewat dari isyarat jari tadi karena ada hadits shahih yang disebutkan dalam Sunan Abi Daud yang menerangkan hal tersebut. Isyarat tersebut dengan mengarah kiblat. Isyarat tersebut untuk menunjukkan tauhid dan ikhlas.

Adapun lafazh doa dimulai dari dua kalimat syahadat. Karena di dalamnya terdapat pengakuan dan penetapan kemahaesaan Allah. Hal itu penyebab suatu doa lebih berpeluang dikabulkan. Selanjutnya mengucapkan inti do’anya “allahumma shalli ‘ala Muhammad …” hingga akhir tasyahuddan sampai akhir salam. Adapun awal tasyahud “attahiyyatulillah …” sampai ucapan “wa ‘ala ‘ibadillahish shalihin” bukanlah termasuk do’a, namun itu adalah bentuk memuji Allah dan do’a keselamatan bagi hamba-Nya.

Adapun masalah kapan selesainya berisyarat dengan telunjuk, para sahabat yang meriwayatkan mengangkat jari telunjuk, tidaklah menyebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menurunkannya di bagian tertentu sebelum selesainya salam, sehingga disimpulkan bahwa mengangkat jari telunjuk itu terus sampai selesai salam, terlebih lagi akhir tasyahud semuanya adalah do’a .

---> Namun pendapat Ulama Malikiyah berisyarat dengan telunjuk dari awal hingga akhir tasyahud.

Bab: Bershalawat untuk Nabi Shollallahu 'alaihi wa Salam
No. Hadist: 5880 (KITAB SHAHIH BUKHARI)

حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا الْحَكَمُ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ أَبِي لَيْلَى قَالَ لَقِيَنِي كَعْبُ بْنُ عُجْرَةَ فَقَالَ أَلَا أُهْدِي لَكَ هَدِيَّةً إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ عَلَيْنَا فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ عَلِمْنَا كَيْفَ نُسَلِّمُ عَلَيْكَ فَكَيْفَ نُصَلِّي عَلَيْكَ قَالَ فَقُولُوا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu'bah telah menceritakan kepada kami Al Hakam dia berkata; saya mendengar Abdurrahman bin Abu Laila dia berkata; Ka'b bin 'Ujrah pernah menemuiku, lalu dia berkata; "Maukah kamu aku beri petunjuk? Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alahi wasallam pernah keluar menemui kami, lalu kami bertanya; "Wahai Rasulullah, kami telah mengetahui salam kepadamu, lalu bagaimanakah caranya bershalawat kepadamu? Beliau menjawab: "Ucapkanlah; ALLAHUMMA SHALLI 'ALAA MUHAMMAD WA 'ALAA AALI MUHAMMAD KAMAA SHALLAITA 'ALAA AALII IBRAAHIM INNAKA HAMIIDUM MAJIID. ALLAAHUMMA BAARIK 'ALAA MUHAMMAD WA'ALAA AALI MUHAMMAD KAMAA BAARAKTA 'ALAA 'AALI IBRAHIIMA INNAKA HAMIIDUM MAJIID (Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberi shalawat kepada Ibrahiim, sesungguhnya Engkah Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah berilah barakah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberi barakah kepada Ibrahim, sesungguhnya Engkah Maha Terpuji dan Maha Mulia)."

Bab: Doa Sebelum Salam (Akhir Shalat/Selesai)
No. Hadist: 1288 (KITAB SHAHIH BUKHARI)

حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُو وَيَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ عَذَابِ النَّارِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ

Telah menceritakan kepada kami Muslim bin Ibrahim telah menceritakan kepada kami Hisyam telah menceritakan kepada kami Yahya dari Abu Salamah dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam berdo'a: "Allahumma innii 'A'uudzu bika min 'adzaabil qabri wa min 'adzaabin naar wa min fitnatil mahyaa wal mamaati wa min fitmatil masiihid dajjaal" (artinya): ("Ya Allah aku berlindung kepadaMu dari suksa kubur dan dari siksa api neraka dan dari fitnah kehidupan dan kematian dan dari fitnah Al Masihid Dajjal"). 


Bab: Ucapan Salam diakhir Sholat
Dari Abdullah bin Mas’ud -radhiallahu anhu- dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

أَنَّهُ كَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ يَسَارِهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ

“Bahwasanya beliau mengucapkan salam ke arah kanan dan kiri seraya mengucapkan: “ASSALAAMU ‘ALAIKUM WA RAHMATULLAH, ASSALAAMU ‘ALAIKUM WA RAHMATULLAH (Semoga keselamatan dan rahmat Allah limpahkan kepadamu).” (Shahih: Ibnu Majah (914), Shahih Sunan Tirmidzi No.295, Abu Daud no. 845, dan An-Nasai no. 1303)

Dari Wasi’ bin Habban, dia berkata:

قُلْتُ لِابْنِ عُمَرَ: أَخْبِرْنِي عَنْ صَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ كَانَتْ؟ قَالَ: فَذَكَرَ التَّكْبِيرَ كُلَّمَا وَضَعَ رَأْسَهُ وَكُلَّمَا رَفَعَهُ، وَذَكَرَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ عَنْ يَمِينِهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ عَنْ يَسَارِهِ

“Saya bertanya kepada Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu: Beritahukanlah kepadaku tentang shalatnya Rasulullah صلى الله عليه وسلم , bagaimanakah ia? Ibnu Umar menyebutkan bahwa Nabi  bertakbir setiap kali meletakkan dan mengangkat kepalanya; dan menyebutkan bahwa Nabi mengucapkan: “Assalamu’alaikum warahmatullah” ke arah kanannya, dan “Assalamu’alaikum” ke arah kirinya.” [HR Ahmad (5402). Hadits shahih.]

Bab: Dianjurkan untuk menoleh secara maksimal ketika salam dua kali, sehingga pipi orang yang shalat kelihatan dari belakang
Dari Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

كُنْتُ أَرَى رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ، وَعَنْ يَسَارِهِ، حَتَّى أَرَى بَيَاضَ خَدِّهِ

”Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan salam dengan menoleh ke kanan dan ke kiri. Hingga aku melihat putihnya pipi beliau.” (HR. Muslim 582).

Bab: Bolehkah Membuka tangan kanan dan kiri ketika menoleh pada saat Salam?
Kebiasaan ini pernah dilakukan sebagian sahabat di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu,
”Ketika kami shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami mengucapkan ”Assalamu alaikum wa rahmatullah – Assalamu alaikum wa rahmatullah” sambil berisyarat dengan kedua tangan ke samping masing-masing. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,

عَلَامَ تُومِئُونَ بِأَيْدِيكُمْ كَأَنَّهَا أَذْنَابُ خَيْلٍ شُمْسٍ؟ إِنَّمَا يَكْفِي أَحَدَكُمْ أَنْ يَضَعَ يَدَهُ عَلَى فَخِذِهِ ثُمَّ يُسَلِّمُ عَلَى أَخِيهِ مَنْ عَلَى يَمِينِهِ، وَشِمَالِهِ

”Mengapa kalian mengangkat tangan kalian, seperti keledai yang suka lari? Kalian cukup letakkan tangan kalian di pahanya kemudian salam menoleh ke saudaranya yang di samping kanan dan kirinya. (HR. Muslim, Nasai, dan yang lainnya).

Bab. Bagaimana Perintah Sholat Fardlu, Jamak,  Qasar, dan Sholat Malam?
Penjelasannya:
https://tausyiahaditya.blogspot.com/2014/07/perintah-sholat.html


Bab: Siapakah yang Pantas Menjadi Imam?
Para ulama telah berhasil membuat peringkat yang paling berhak untuk menjadi imam dalam shalat. Misalnya dalam madzhab Al-Hanafiyah disebutkan peringkat itu yaitu:

Orang Yang Paling Baik Bacaannya
Di antara syarat yang paling utama untuk menjadi imam dalam shalat berjama’ah adalah orang yang paling baik bacaannya atau disebut dengan aqra’uhum. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits beliau:
Dari Abi Mas’ud Al-Anshari bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Yang menjadi imam shalat bagi manusia adalah yang paling baik bacaan kitabullahnya (Al-Quran Al-Karim). Bila mereka semua sama kemampuannya dalam membaca Al-Quran, maka yang paling banyak pengetahuannya terhadap sunnah” (HR. Jama’ah kecuali Bukhari)
Dari Abu Masna Al-Badri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jama’ah di imami oleh yang lebih pandai membaca Kitab Allah. Jika sama-sama pandai dalam membaca Kitab Allah, maka oleh yang lebih alim tentang sunnah. Jika sama-sama pula, maka oleh yang lebih tua.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)
Sebagian ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan aqra’uhum adalah yang paling paham, yakni yang paling paham dalam masalah agama, terutama dalam masalah shalat.

Orang Yang Paling Wara’
Lalu peringkat berikutnya adalah orang yang paling wara’, yaitu orang yang paling menjaga dirinya agar tidak jatuh dalam masalah syubhat
Dari Abi Martsad Al-ghanawi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Rahasia diterimanya shalat kamu adalah yang jadi imam (seharusnya) ulama di antara kalian. Karena para ulama itu merupakan wakil kalian kepada Tuhan kalian.” (HR. At-Thabrani dan Al-Hakim).
Dari Ibnu Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jadikanlah orang-orang yang terpilih di antara kamu sebagai imam; karena mereka adalah orang-orang perantaraan kamu dengan Tuhanmu.” (HR. Ad-Daruqutni).
“Apabila seseorang menjadi imam …, padahal di belakangnya ada orang-orang yang lebih utama daripadanya, maka mereka semua dalam kerendahan terus menerus.” (HR. Ahmad)

Orang Yang Lebih Tua Usianya
Peringkat berikutnya adalah yang lebih tua usianya. Dengan pertimbangan bahwa orang yang lebih tua umumnya lebih khusyu` dalam shalatnya. Selain itu memang ada dasar hadits berikut:
Hendaklah yang lebih tua diantara kalian berdua yang menjadi imam (HR. Imam yang enam).
Apabila derajat mereka semua sama, maka boleh dilakukan undian.
Intinya kita dapat ambil bahwa syarat yang paling utama dari imam itu adalah yang paling baik bacaannya dan paling paham dalam hukum-hukum shalat.

Hal-Hal Lain Yang Perlu Diperhatikan:
a) Pembesar Negara & Tuan Rumah
Imam bagi pembesar-pembesar negara (apabila shalat bersama-sama mereka) & tuan rumah (kecuali jika ia idzinkan yang lain sebagai imam).
Dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah seseorang mengimami seseorang di dalam rumah tangga orang yang di imami itu dan di dalam pemerintahannya.” (HR. Muslim, hadits shahih)

b) Kaum Yang Tidak Menyukai Kita
Janganlah mengimami suatu kaum yang tidak menyukai kita.
Dari Abu Amir Ibnu Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah engkau mengimami suatu kaum, sedangkan mereka membencimu.” (HR. Abu Dawud).

Bab. Shalat seorang fasik atau ahli bid'ah adalah sah (sebagai imam), maka shalat makmum adalah sah, jika ia shalat dibelakangnya. 

Di dalam kitab Shahih Bukhari bahwa Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhu melaksanakan shalat di belakang Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi juga di belakang Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu. Sedangkan Al-Hajjaj adalah seorang fasik dan zalim.

Demikian pula Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu Anhu dan lain-lainnya melaksanakan shalat di belakang Al-Walid bin Uqbah bin Abu Muith. Padahal, dia adalah seorang peminum arak.

Sekalipun shalat di belakang seorang imam ahli bid'ah yang aktif menyeru kepada bid'ahnya atau di belakang seorang fasik, atau dibelakang seorang imam dengan gaji,  sehingga tidak mungkin melaksanakan shalat melainkan di belakang dirinya.
Maka makmum shalat di belakang mereka adalah sah dan tidak perlu mengulangi shalatnya.
Berdasarkan hadits berikut ini :

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda:
"Para imam shalat memimpin kalian. Maka jika dia benar, mereka mendapat pahala dan kalian juga mendapatkan bagian pahalanya. Namun bila dia (imam) salah kalian tetap mendapatkan pahala dan mereka (imam) mendapatkan dosa."
[Shahih, HR Al-Bukhori(694), Ahmad(8309)]



Bab: Bagaimana Jika Imam Sholat sambil Duduk? Makmumnya bagaimana?
No. Hadist: 648 (KITAB SHAHIH BUKHARI)

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكِبَ فَرَسًا فَصُرِعَ عَنْهُ فَجُحِشَ شِقُّهُ الْأَيْمَنُ فَصَلَّى صَلَاةً مِنْ الصَّلَوَاتِ وَهُوَ قَاعِدٌ فَصَلَّيْنَا وَرَاءَهُ قُعُودًا فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا صَلَّى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وَإِذَا صَلَّى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ قَالَ الْحُمَيْدِيُّ قَوْلُهُ إِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا هُوَ فِي مَرَضِهِ الْقَدِيمِ ثُمَّ صَلَّى بَعْدَ ذَلِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسًا وَالنَّاسُ خَلْفَهُ قِيَامًا لَمْ يَأْمُرْهُمْ بِالْقُعُودِ وَإِنَّمَا يُؤْخَذُ بِالْآخِرِ فَالْآخِرِ مِنْ فِعْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf berkata, telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pada suatu hari mengendarai kudanya lalu terjatuh dan terhempas pada bagian lambungnya yang kanan. Karena sebab itu beliau pernah melaksanakan shalat sambil duduk di antara shalat-shalatnya. Maka kamipun shalat di belakang Beliau dengan duduk. Ketika selesai Beliau bersabda: "Sesungguhnya imam dijadikan untuk diikuti, jika ia shalat dengan berdiri maka shalatlah kalian dengan berdiri. Jika ia rukuk maka rukuklah kalian, jika ia mengangkat kepalanya maka angkatlah kepala kalian. Dan jika ia mengucapkan SAMI'ALLAHU LIMAN HAMIDAH (Semoga Allah merndengar orang yang memuji-Nya) ', maka ucapkanlah; RABBANAA WA LAKAL HAMDU (Ya Rabb kami, milik Engkaulah segala pujian) '. Dan jika ia shalat dengan berdiri maka shalatlah kalian dengan berdiri, dan jika ia shalat dengan duduk maka shalatlah kalian semuanya dengan duduk." 
Abu 'Abdullah berkata, Al Humaidi ketika menerangkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, 'Dan bila dia shalat dengan duduk maka shalatlah kalian dengan duduk' dia berkata, "Kejadian ini adalah saat sakitnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di waktu yang lampau. Kemudian setelah itu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam shalat dengan duduk sedangkan orang-orang shalat di belakangnya dengan berdiri, dan beliau tidak memerintahkan mereka agar duduk. Dan sesungguhnya yang dijadikan ketentuan adalah berdasarkan apa yang paling akhir dan terakhir dari perbuatan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam."

Keterangan:
Hadits tersebut menunjukkan bahwa Imam itu dijadikan untuk diikuti, namun untuk masalah sholat fardlu, hendaknya diusahakan dengan berdiri. Jika sangat terpaksa boleh sambil duduk. Para sahabat melakukan sholat fardlu sambil berdiri meskipun imam sambil duduk (karena Nabi SAW sakit keras).
Andaikan sakitnya biasa saja, tetap saja diusahakan untuk sholat sambil berdiri dan menghadap kiblat.
Jika dalam perjalanan, andaikan memungkinkan untuk berhenti, maka berhenti (di masjid misalnya) untuk mendirikan sholat fardlu itu lebih baik.
Namun ada perkecualian, jika sholat dalam pesawat, kapal laut atau dalam kendaraan yang tidak mungkin berhenti untuk mendirikan sholat fardlu di masjid (misalnya), maka kerjakan sholat semampunya.

Tidak diperbolehkan juga bagi makmum untuk berbarengan gerakan sholat dengan imam, apalagi mendahului gerakan imam. Bagi makmum hendaknya mengikuti gerakan imam setelah imam melakukan gerakan sholat.
Bagi imam, dalam mengucapkan takbir ketika perpindahan gerakan sholat juga hendaknya memperhatikannya. Jangan sampai bacaan takbir selesai, namun imam masih belum selesai gerakan sholatnya, sehingga berakibat makmum (yang tidak melihat gerakan imam) terlihat mendahului gerakan imam. Imam harus sadar kalau ia diikuti oleh makmum yang berbeda-beda. Ada makmum yang cepat responnya dan ada pula yang lambat responnya ketika mendengar takbir dari imam. Jangan sampai makmum salah (mendahului atau terlambat mengikuti imam), karena jika makmum salah (karena kesalahan imam -seperti kasus tersebut-) yang bertanggung jawab adalah imam.
Hal ini dijelaskan dalam bab diatas.



Bab: Rukun Shalat 

Ada 13 Perkara (baca juga hadits2 diatas, sebagai dasar hukumnya) :

1. Niat (menyengaja dan bermaksud sungguh2 untuk melakukan sholat tersebut dan tempatnya adalah didalam hati, dan tidak ada lafazh tertentu dari Hadits Nabi SAW ataupun dari sahabat beliau).
2. Berdiri bagi yang mampu dan menghadap kiblat.
    Hendaknya diusahakan berdiri walaupun sakit pada Sholat Fardlu, namun bagi yang cacat atau sakit berat boleh semampu dia. Bahkan dikatakan, tidaklah sah sholat fardlu seseorang, jika ia sholat sambil duduk, padahal ia mampu dengan berdiri, walaupun mungkin agak berat karena sakit.
3. Takbiratul Ihram (mengucapkan Takbir, untuk me-Mulai Sholat, yakni: 'Allahu Akbar').
4. Membaca Al Fatihah pada setiap raka'at (baca dalil2 mengenai hal ini diatas).
5. Ruku' dan thuma'ninah (hingga merasa tenang dan tidak terburu-buru).
6. I'tidal (ketika bangkit dari ruku' dan berdiri lurus) dan thuma'ninah.
7. Sujud dan thuma'ninah.
8. Duduk diantara dua sujud dan thuma'ninah.
9. Duduk pada Tasyahud akhir.
10. Membaca tasyahud akhir.
11. Membaca shalawat Nabi.
12. Memberi Salam yang pertama (mengucapkan Salam untuk meng-Akhiri Sholat, baca dalil2 mengenai hal ini diatas).
13. Tertib.


Bab: Shalat tanpa menggunakan rida' (selendang yang lebar)

Ada yang mengatakan Sholat tanpa selendang yang lebar tidak sesuai dengan Tuntunan Nabi SAW. Benarkah demikian?

No. Hadist: 357 (KITAB SHAHIH BUKHARI)

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي ابْنُ أَبِي الْمَوَالِي عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ وَهُوَ يُصَلِّي فِي ثَوْبٍ مُلْتَحِفًا بِهِ وَرِدَاؤُهُ مَوْضُوعٌ فَلَمَّا انْصَرَفَ قُلْنَا يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ تُصَلِّي وَرِدَاؤُكَ مَوْضُوعٌ قَالَ نَعَمْ أَحْبَبْتُ أَنْ يَرَانِي الْجُهَّالُ مِثْلُكُمْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي هَكَذَا

Telah menceritakan kepada kami 'Abdul Aziz bin 'Abdullah berkata, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Al Mawali dari Muhammad bin Al Munkadir berkata, "Aku masuk menemui Jabir bin 'Abdullah yang saat itu sedang shalat dengan menggunakan kain sarung yang diikatkannya pada tengkuk, sedangkan kain rida' (selendang) nya diletakkan pada gantungan baju. Setelah selesai kami bertanya, "Wahai Abu 'Abdullah, bagaimana kamu shalat sedangkan kain rida' (selendang) mu kau gantung pada gantungan baju? ' Maka Jabir menjawab, "Benar. Sesungguhnya aku senang bila berbuat seperti itu agar bisa dilihat oleh orang bodoh seperti kamu. Aku pernah melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam shalat dengan cara seperti itu."


Bab: Makruhnya mengusap rambut yang terurai atau melipatkan lengan baju yang terulur tanpa sebab dalam shalat.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ أنْ يَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَرَابٍ وَنَهَي أنْ يَكُفَّ شعرَهُ و ثوبَهُ (رواه الشيخان)

Dari Ibnu Abbas: “Aku diperintahkan untuk sujud di atas tujuh anggota badan dan tidak boleh menaikkan rambut (yang terulur) atau melipat baju.” (HR Bukhari Muslim)

Kuraib, maula Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, telah menceritakan kabar dari Abdullah bin Abbas, bahwa beliau pernah melihat Abdullah bin Harits sholat dengan kondisi rambut kepala terikat di belakangnya. Lalu Ibnu Abbas bergegas melepas rambut yang terikat itu.
Seusai sholat, Abdullah bin Harits menemui Ibnu Abbas, “Mengapa Anda memperlakukan rambut kepalaku seperti itu?”
“Aku mendengar…” Jawab Ibnu Abbas,”Rasulullah ﷺ bersabda, “Permisalan orang yang sholat dengan rambut terikat seperti ini, seperti orang yang sholat dengan kondisi kedua tangannya diikat ke belakang.” (HR. Muslim dan yang lainnya)

Hadis ini menjelaskan bahwa, orang yang sholat dengan kondisi rambut kepala terikat, seperti orang sholat dengan keadaan kedua tangan terikat ke belakang.

Mengapa dipermisalkan demikian?

Imam Al Manawi –rahimahullah– memberikan penjelasan dalam kitab Faidhul Qodir:
“Karena rambut yang terikat tidak akan jatuh mengurai ke tanah. Sehingga kondisi seperti ini, tidak menunjukkan persaksian utuh. Seperti kondisi orang yang sujud sementara kedua tangan terikat, sehingga tidak menyentuh tanah (pent, sujud tidak sempurna). (Faidhul Qodir 3/6)

Boleh sujud beralaskan pakaian yang dikenakan, namun Makruh

Dari Anas bin Malik radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

كُنَّا نُصَلِّي مَع النبيِّ صلّى الله عليه وسلّم في شِدَّة الحَرِّ، فإذا لم يستطع أحدُنا أن يُمكِّنَ جبهتَه مِن الأرض؛ بَسَطَ ثوبَه فَسَجَدَ عليه

Kami pernah shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di hari yang sangat panas. Jika ada sahabat yang tidak mampu untuk meletakkan dahinya di tanah, mereka membentangkan ujung bajunya, kemudian bersujud. (HR. Bukhari dan Muslim)

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كُنَّا إِذَا صَلَّيْنَا خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالظَّهَائِرِ فَسَجَدْنَا عَلَى ثِيَابِنَا اتِّقَاءَ الْحَرِّ

“Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, ‘Kami pernah shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat zhuhur di tengah terik yang menyengat. kami sujud beralaskan pakaian kami untuk menghindari panasnya pasir. ”.

Makna Global
Kebiasaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah shalat Zhuhur bersama shahabat pada hari-hari yang terik, sementara panasnya tanah masih sangat terasa, sehingga membuat orang-orang yang shalat tidak kuat menempelkan kening di tanah. Karena itu mereka menggelar kain mereka lalu sujud di atasnya, agar dapat melindungi kening dari panasnya tanah.

Kesimpulan Hadits
1. Waktu shalat Zhuhur yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat pada hari-hari yang panas ialah setelah panas matahari berkurang, namun bekasnya masih tetap terasakan di tanah.
2. Diperbolehkan sujud di atas alas berupa kain atau lainnya jika dibutuhkan, karena panas, dingin, benda-benda yang tajam dan lain sebagainya. Para ulama merinci alas untuk sujud. Jika alas itu tidak dipakai orang yang shalat, seperti sajadah, maka diperbolehkan meskipun bukan keperluan yang mendesak dan juga tidak dimakruhkan. Jika berkaitan dengan hal-hal yang dikenakannya, seperti kain yang biasa diselimutkan ke badan, maka hukumnya makruh.

[Disalin dari kitab Taisirul Allam Syarh Umdatul Ahkam, Edisi Indonesia Syarah Hadits Pilihan Bukhari Muslim, Pengarang Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam, Penerjemah Kathur Suhardi, Penerbit Darul Falah]

Jangan Terlalu Banyak Gerak dalam Sholat
Dari Mu’aiqib Radhiyallahu anhu : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada orang yang mengusap debu ketika sujud, ‘Jika engkau melakukannya, maka cukup sekali saja.’”
Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/79 no. 1207)], Shahiih Muslim (I/388 no. 546 (49)), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/223 no. 934), Sunan at-Tirmidzi (I/235 no. 377), Sunan Ibni Majah (I/327 no. 1026), dan Sunan an-Nasa-i (III/7).


Bab: Sholat Tidak Batal Karena Ada yang Melintas Didepannya, kecuali Anjing Hitam
Hadits Tirmidzi Nomor 309
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ أَبِي الشَّوَارِبِ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كُنْتُ رَدِيفَ الْفَضْلِ عَلَى أَتَانٍ فَجِئْنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِأَصْحَابِهِ بِمِنًى قَالَ فَنَزَلْنَا عَنْهَا فَوَصَلْنَا الصَّفَّ فَمَرَّتْ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ فَلَمْ تَقْطَعْ صَلَاتَهُمْ قَالَ أَبُو عِيسَى وَفِي الْبَاب عَنْ عَائِشَةَ وَالْفَضْلِ بْنِ عَبَّاسٍ وَابْنِ عُمَرَ قَالَ أَبُو عِيسَى وَحَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَالْعَمَلُ عَلَيْهِ عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنْ التَّابِعِينَ قَالُوا لَا يَقْطَعُ الصَّلَاةَ شَيْءٌ وَبِهِ يَقُولُ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ وَالشَّافِعِيُّ

telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Abdul Malik bin Abu Asy Syawarib] berkata; telah menceritakan kepada kami [Yazid bin Zurai'] berkata; telah menceritakan kepada kami [Ma'mar] dari [Az Zuhri] dari [Ubaidullah bin Utbah] dari [Ibnu Abbas] ia berkata; "Aku membonceng Fadll di atas himar miliknya, lalu kami datang sedang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya melaksanakan shalat di Mina." Ibnu Abbas berkata; "Kami lalu turun dari atas keledai dan masuk ke dalam barisan shalat, himar itu lantas melintas di depan mereka, namun himar itu tidak menjadikan shalat mereka batal (karena melintasinya)." Abu Isa berkata; "Dalam bab ini juga ada riwayat dari 'Aisyah, Fadll bin Abbas dan Ibnu Umar." Abu Isa berkata; "Hadits Ibnu Abbas ini derajatnya hasan shahih. Mayoritas ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan orang-orang setelah mereka dari kalangan tabi'in mengamalkan hadits ini. Mereka mengatakan, "Tidak ada sesuatu yang membatalkan shalat." Pendapat ini diambil oleh Sufyan Ats Tsauri dan Syafi'i.

Hadits Tirmidzi Nomor 310
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا يُونُسُ بْنُ عُبَيْدٍ وَمَنْصُورُ بْنُ زَاذَانَ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ هِلَالٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الصَّامِتِ قَال سَمِعْتُ أَبَا ذَرٍّ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى الرَّجُلُ وَلَيْسَ بَيْنَ يَدَيْهِ كَآخِرَةِ الرَّحْلِ أَوْ كَوَاسِطَةِ الرَّحْلِ قَطَعَ صَلَاتَهُ الْكَلْبُ الْأَسْوَدُ وَالْمَرْأَةُ وَالْحِمَارُ فَقُلْتُ لِأَبِي ذَرٍّ مَا بَالُ الْأَسْوَدِ مِنْ الْأَحْمَرِ مِنْ الْأَبْيَضِ فَقَالَ يَا ابْنَ أَخِي سَأَلْتَنِي كَمَا سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ الْكَلْبُ الْأَسْوَدُ شَيْطَانٌ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي سَعِيدٍ وَالْحَكَمِ بْنِ عَمْرٍو الْغِفَارِيِّ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَأَنَسٍ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَبِي ذَرٍّ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَدْ ذَهَبَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ إِلَيْهِ قَالُوا يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ وَالْكَلْبُ الْأَسْوَدُ قَالَ أَحْمَدُ الَّذِي لَا أَشُكُّ فِيهِ أَنَّ الْكَلْبَ الْأَسْوَدَ يَقْطَعُ الصَّلَاةَ وَفِي نَفْسِي مِنْ الْحِمَارِ وَالْمَرْأَةِ شَيْءٌ قَالَ إِسْحَقُ لَا يَقْطَعُهَا شَيْءٌ إِلَّا الْكَلْبُ الْأَسْوَدُ


telah menceritakan kepada kami [Ahmad bin Mani'] berkata; telah menceritakan kepada kami [Husyaim] berkata; telah mengabarkan kepada kami [Yunus bin Ubaid] dan [Manshur bin Zadzan] dari [Humaid bin Hilal] dari [Abdullah bin Ash Shamit] ia berkata; "Aku mendengar [Abu Dzar] berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika seorang laki-laki shalat sedang di depannya tidak ada pelana atau sekedup yang dipasang di atas hewan tunggangan, maka shalat akan rusak dengan melintasnya anjing hitam, wanita atau keledai." Maka aku pun bertanya kepada Abu Dzar, "Kenapa harus hitam dan tidak merah atau putih?" ia menjawab, "Wahai saudaraku, engkau telah bertanya kepadaku dengan sesuatu yang pernah aku tanyakan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Anjing hitam adalah setan." Ia berkata; "Dalam bab ini juga ada riwayat dari Abu Sa'id, Al Hakam bin 'Amru Al Ghifari, Abu Hurairah dan Anas." Abu Isa berkata; "Hadits Abu Dzar ini derajatnya hasan shahih. Sebagian ahli ilmu berpendapat dengan hadits ini, mereka berkata; "Shalat akan batal dengan melintasnya keledai, wanita dan anjing." Ahmad berkata; "Aku tidak ragukan lagi bahwa anjing hitam dapat membatalkan shalat. Sedangkan keledai dan wanita masih menyisakan keraguan dalam hatiku."

---> Namun perlu diingat, berdasarkan hadits dari Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إذا صلَّى أحدُكُم إلى شيءٍ يستُرُهُ من الناسِ،فأرادَ أحَدٌ أنْ يَجتازَ بين يديْهِ، فليدفَعْهُ، فإنْ أبى فَليُقاتِلهُ، فإنما هو شيطانٌ

“Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang ia jadikan sutrah terhadap orang lain, kemudian ada seseorang yang mencoba lewat di antara ia dengan sutrah, maka cegahlah. jika ia enggan dicegah maka tolaklah ia dengan keras, karena sesungguhnya ia adalah setan” (HR. Al Bukhari 509, Muslim 505)

Juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

لَا تُصَلِّ إِلَّا إِلَى سُتْرَةٍ، وَلَا تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ، فَإِنْ أَبَى فَلْتُقَاتِلْهُ؛ فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِينَ

“Janganlah shalat kecuali menghadap sutrah, dan jangan biarkan seseorang lewat di depanmu, jika ia enggan dilarang maka tolaklah ia dengan keras, karena sesungguhnya bersamanya ada qarin (setan)” (HR. Ibnu Khuzaimah 800, 820, 841. Al Albani dalam Sifatu Shalatin Nabi (115) mengatakan bahwa sanadnya jayyid, ashl hadist ini terdapat dalam Shahih Muslim).

Dengan demikian kita tidak boleh lewat diantara orang yang shalat dengan sutrahnya, hendaknya kita mencari jalan di luar sutrah, atau lewat belakang orang yang shalat tersebut, atau mencari celah antara orang yang shalat, atau cara lain yang tidak melanggar larangan ini.

Bagaimana Kalau Sholat Tanpa Menggunakan Sutrah?
Demikian juga terlarang lewat di depan orang yang sedang shalat walaupun ia tidak menghadap sutrah, orang yang melakukannya pun berdosa. Berdasarkan hadits dari Abu Juhaim Al Anshari, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَيِ الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ مِنَ الإِْثْمِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ

“Andaikan seseorang yang lewat di depan orang yang shalat itu mengetahui dosanya perbuatan itu, niscaya diam berdiri selama 40 tahun itu lebih baik baginya dari pada lewat” (HR. Al Bukhari 510, Muslim 507)

Namun para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan lafadz بَيْنَ يَدَيِ الْمُصَلِّي (di depan orang yang shalat) yaitu berapa batasan jarak di depan orang shalat yang tidak dibolehkan lewat?
Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin adalah antara kaki dan tempat sujud orang yang shalat. Karena orang yang shalat tidak membutuhkan lebih dari jarak tersebut, maka ia tidak berhak untuk menghalangi orang yang lewat di luar jarak tadi (Syarhul Mumthi’, 3/246).

Sutrah tidak wajib, seperti disebutkan hadis berikut ini:
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَلَّى فِى فَضَاءٍ لَيْسَ بَيْنَ يَدَيْهِ شَىْءٌ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di tanah lapang dan di hadapannya tidak terdapat sesuatu pun.” (HR. Ahmad 1/224). Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid (2/66) mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat Al Hajjaj bin ‘Arthoh dan ia adalah perowi yang dho’if. Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam takhrijnya terhadap Musnad Ahmad (1/224), mengatakan bahwa hadits ini hasan lighoirihi. Syaikh Ahmad Syakir dalam takhrij beliau terhadap Musnad Ahmad (3/297) mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.

Urutan yang bisa dibuat sutrah, yakni mulai dari
1. Dinding atau tiang, kemudian
2. Tongkat, kemudian
3. Sajdah, lalu terakhir
4. Garis.

Menggunakan sutrah ini dikecualikan bagi makmum. Karena sutrah di dalam shalat berjamaah merupakan tanggungan imam. Dengan kata lain makmum tidak memiliki sutrah. Sutrahnya mengikuti sutrahnya imam. Apabila salah seorang makmum batal dan keluar masjid dengan melewati depan jamaah lain ia tidak berdosa.
Sebab dalam shalat berjamaah yang punya sutrah adalah imam. Makmum atau jamaah ikut pada sutrah imam. Makmum tidak punya sutrah tersendiri.


Bab. Tempat yang Dilarang bahkan Haram untuk shalat 

Dari Ibnu Umar RA berkata: 

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما (أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يُصَلَّى فِي سَبْعَةِ مَوَاطِنَ : فِي الْمَزْبَلَةِ ، وَالْمَجْزَرَةِ ، وَالْمَقْبَرَةِ ، وَقَارِعَةِ الطَّرِيقِ ، وَفِي الْحَمَّامِ ، وَفِي مَعَاطِنِ الْإِبِلِ ، وَفَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِ اللَّهِ

“Bahwa Rasulullah SAW melarang sholat di 7 tempat, yaitu: (1) tempat sampah, (2) tempat penyembelihan hewan, (3) kuburan, (4) jalanan, (5) kamar mandi, (6) tempat unta dan (7) di atas baitullah.” (HR Tirmidzi).

Dari hadits di atas, setidaknya terdapat tujuh tempat yang dilarang untuk dijadikan sebagai tempat sholat, yaitu: 
(1) tempat sampah, 
(2) tempat penyembelihan hewan,
 (3) kuburan, 
(4) jalanan, atau pintu tempat keluar masuknya orang
(5) kamar mandi,  
(6) kandang unta, dan 
(7)  di atas atau di dalam Ka’bah.

Di samping itu, para ulama juga menetapkan larangan mendirikan sholat di tempat lainnya, yaitu: 
 (1) tempat ibadah non muslim. Dengan demikian, tempat yang dilarang untuk sholat di dalamnya berjumlah delapan tempat. 


Bab. Bolehnya Sholat Fardlu dua kali, karena sebab tertentu

Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma menceritakan,

أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، كَانَ يُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ يَأْتِي قَوْمَهُ فَيُصَلِّي بِهِمُ الصَّلاَةَ

Bahwa Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ikut shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (di masjid nabawi). Kemudian dia pulang ke kampungnya, dan mengimami mereka shalat. (HR. Bukhari 6106 dan Muslim 465).

Tindakan Muadz ini tidak diingkari oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang ini menunjukkan bahwa beliau setuju dengan sikap Muadz. Dan persetujuan (taqrir) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk dalil yang diterima.

Mihjan, ia berkata,

أَنَّهُ كَانَ فِى مَجْلِسٍ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَذَّنَ بِالصَّلاَةِ – فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ رَجَعَ وَمِحْجَنٌ فِى مَجْلِسِهِ – فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا مَنَعَكَ أَنْ تُصَلِّىَ أَلَسْتَ بِرَجُلٍ مُسْلِمٍ ». قَالَ بَلَى وَلَكِنِّى كُنْتُ قَدْ صَلَّيْتُ فِى أَهْلِى فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا جِئْتَ فَصَلِّ مَعَ النَّاسِ وَإِنْ كُنْتَ قَدْ صَلَّيْتَ

Bahwa beliau pernah berada di majelis bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu dikumandangkan adzan untuk shalat. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri, lalu mengerjakan shalat, sedangkan Mihjan masih dudk di tempat semula. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ”Apa yang menghalangimu shalat, bukankah engkau adalah seorang muslim?” Lalu Mihjan mengatakan, ”Betul. Akan tetapi saya sudah melaksanakan shalat bersama keluargaku.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan padanya, ”Apabila engkau datang, shalatlah bersama orang-orang, walaupun engkau sudah shalat.” (HR. An-Nasa’i, no. 858 dan Ahmad, 4: 34. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.)

Dari Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,

« كَيْفَ أَنْتَ إِذَا كَانَتْ عَلَيْكَ أُمَرَاءُ يُؤَخِّرُونَ الصَّلاَةَ عَنْ وَقْتِهَا أَوْ يُمِيتُونَ الصَّلاَةَ عَنْ وَقْتِهَا ». قَالَ قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِى قَالَ « صَلِّ الصَّلاَةَ لِوَقْتِهَا فَإِنْ أَدْرَكْتَهَا مَعَهُمْ فَصَلِّ فَإِنَّهَا لَكَ نَافِلَةٌ »

“Bagaimana pendapatmu jika engkau dipimpin oleh para penguasa yang suka mengakhirkan shalat dari waktunya, atau meninggalkan shalat dari waktunya?” Abu Dzarr berkata, “Aku berkata “Lantas apa yang engkau perintahkan kepadaku?” Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lakukanlah shalat tepat pada waktunya. Apabila engkau mendapati shalat bersama mereka, maka shalatlah (bersamanya). Sesungguhnya ia dihitung bagimu sebagai shalat sunnah.” (HR. Muslim, no. 648).

Ada riwayat tambahan,

وَلاَ تَقُلْ إِنِّى قَدْ صَلَّيْتُ فَلاَ أُصَلِّى

“Janganlah mengatakan, aku telah shalat, maka aku tak mau shalat lagi.” (HR. Muslim, no. 648).

Kita bisa meniru perbuatan para sahabat Nabi SAW yakni Shalat di masjid berjamaah bersama masyarakat, kemudian pulang dan mengulangi shalat jamaah, menjadi imam bagi istri, ibu, atau anggota keluarga lainnya. Anda mendapat pahala dua kali, pahala shalat pertama sebagai shalat wajib, dan shalat kedua sebagai shalat sunah.


BAB. Perintah untuk Merapatkan Shaf

Jumhur ulama dari kalangan ulama 4 madzhab menyatakan bahwa hendaknya merapatkan shof untuk kesempurnaan sholat, mereka berdalil dengan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

سوُّوا صفوفَكم فإنَّ تسويةَ الصَّفِّ مِن تمامِ الصَّلاةِ

“Luruskanlah shaf kalian karena lurusnya shaf adalah bagian dari kesempurnaan shalat” (HR.  Bukhari no.723, Muslim no.433)

Menunjukkan bahwa perkara meluruskan dan merapatkan shaf hukumnya mustahab bukan termasuk rukun atau wajib shalat. Karena yang disebut تمامِ (penyempurna) dari sesuatu artinya itu adalah perkara tambahan dari asalnya. Sehingga masalah ini tidak sampai membatalkan sholat. Demikian juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

وأَقِيمُوا الصَّفَّ في الصَّلَاةِ، فإنَّ إقَامَةَ الصَّفِّ مِن حُسْنِ الصَّلَاةِ

”Luruskanlah shaf dalam shalat, karena lurusnya shaf dalam shalat adalah bagian dari bagusnya shalat” (HR. Bukhari no. 722, Muslim no.435).

Selain meluruskan shaf, kita juga diperintahkan untuk merapatkan shaf, sehingga tidak ada celah di antara orang yang shalat. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

اقيمو صفوفكم وتراصوا, فانيِّ اراكم من وراء ظهري

“luruskan shaf kalian dan hendaknya kalian saling merapat, karena aku melihat kalian dari balik punggungku” (HR. Al Bukhari no.719).

Penjelasan Hadits: 
Pendapat pertama:  Menempelkan kaki dengan kaki orang disebelahnya, serta pundak dengan pundak di sebelahnya.

Berdasarkan hadits, yakni perkataan dari Anas bin Malik,

كان أحدُنا يَلزَقُ مَنكِبَه بمَنكِبِ صاحبِه، وقدمَه بقدمِه
“Setiap orang dari kami (para sahabat), merapatkan pundak kami dengan pundak sebelahnya, dan merapatkan kaki kami dengan kaki sebelahnya” (HR. Al Bukhari no.725).

Demikian juga ditunjukkan oleh perkataan Anas bin Malik di atas. Al Imam Bukhari membuat judul bab:

بَاب إِلْزَاقِ الْمَنْكِبِ بِالْمَنْكِبِ وَالْقَدَمِ بِالْقَدَمِ فِي الصَّفِّ  وَقَالَ النُّعْمَانُ بْنُ بَشِيرٍ رَأَيْتُ الرَّجُلَ مِنَّا يُلْزِقُ كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ

“Bab menempelkan pundak dengan pundak dan kaki dengan kaki dalam shaf. An Nu’man bin Basyir berkata: aku melihat seorang di antara kami menempelkan pundaknya dengan pundak sahabatnya”.

Pendapat kedua: Maksud dari hadits-hadits itu bukanlah menempel lahiriyah, namun maksudnya agar tidak ada celah. Sehingga tidak harus menempel. Syaikh Ibnu Al Utsaimin mengatakan:

ولكن المراد بالتَّراصِّ أن لا يَدَعُوا فُرَجاً للشياطين ، وليس المراد بالتَّراص التَّزاحم ؛ لأن هناك فَرْقاً بين التَّراصِّ والتَّزاحم … لا يكون بينكم فُرَج تدخل منها الشياطين ؛ لأن الشياطِين يدخلون بين الصُّفوفِ كأولاد الضأن الصِّغارِ ؛ من أجل أن يُشوِّشوا على المصلين صلاتَهم

“Namun yang dimaksud dengan merapatkan adalah hendaknya tidak membiarkan ada celah untuk setan. Dan yang dimaksud dengan rapat itu bukanlah sangat rapat. Karena ada perbedaan antara at tarash (merapatkan) dan at tazahum (rapat yang sangat rapat) … maka hendaknya tidak membiarkan ada celah yang bisa membuat setan masuk. Karena setan biasa masuk ke shaf-shaf, berupa anak kambing yang kecil, sehingga bisa membuat shalat terganggu” (Asy Syarhul Mumthi’, 7/3-13).

Dari penjelasan beliau di atas, rapatnya shaf tidak harus saling menempel namun sekedar bisa menghalangi anak kambing kecil untuk bisa lewat.

Dari Abdullah bin Umar radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

أقيموا الصفوف وحاذوا بين المناكب وسدوا الخلل ولينوا بأيدي إخوانكم ، ولا تذروا فرجات للشيطان ومن وصل صفا وصله الله ومن قطع صفا قطعه الله
“Luruskan shaf dan luruskan pundak-pundak serta tutuplah celah. Namun berlemah-lembutlah terhadap saudaramu. Dan jangan kalian biarkan ada celah untuk setan. Barangsiapa yang menyambung shaf, Allah akan menyambungnya. Barangsiapa yang memutus shaf, Allah akan memutusnya” (HR. Abu Daud no. 666, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).


Bab. Memisahkan yang Sehat dan yang Sakit, Termasuk Ikhtiar yang diperintahkan 

Dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يُوْرِدُ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحٍّ

“Jangan dikumpulkan (unta) yang sakit dengan (unta) yang sehat.” (HR. Bukhari no. 5771 dan Muslim no. 2221)

Dan Sabda beliau,

فِرَّ مِنَ الْمَجْذُوْمِ فِرَارَكَ مِنَ الأَسَدِ

“Larilah dari penyakit kusta seperti engkau lari dari singa”. (HR. Muslim: 5380)

Ikhtiar untuk sehat itu wajib, hal ini ditunjukkan dalam hadits diatas. Jangan meremehkan penyakit menular, semisal Covid 19 dll. Bahkan kita diperintahkan untuk lari menjauh seperti lari dari Singa.

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ’anhu juga mengatakan,

لقد رَأيتُنا وما يتخلَّفُ عن الصَّلاةِ إلا منافقٌ قد عُلِمَ نفاقُهُ أو مريضٌ
“Aku melihat bahwa kami (para sahabat) memandang orang yang tidak shalat berjama’ah sebagai orang munafik, atau sedang sakit.” (HR. Muslim no. 654)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang shalat Jum’at,

الجمعةُ حقٌّ واجبٌ على كلِّ مسلمٍ فبجماعةٍ إلاَّ أربعةً عبدٌ مملوكٌ أوِ امرأةٌ أو صبيٌّ أو مريضٌ
“Shalat Jum’at adalah wajib bagi setiap muslim dengan berjama’ah kecuali empat orang, hamba sahaya, wanita, anak kecil, dan orang sakit.” (HR. Abu Daud no. 1067, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud)

Akan tetapi, boleh jika dia menginginkan untuk tetap shalat berjamaah di masjid selama tidak membahayakan dirinya. Sebagaimana perkataan sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,

وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِي الصَّفِّ

“Dan sesungguhnya ada orang -dari kalangan sahabat di zaman beliau- (yang sakit tidak bisa jalan) dipapah di antara dua orang sampai diberdirikan di dalam shaf.” (HR. Muslim no. 654)

Akan tetapi, jika penyakitnya tersebut adalah penyakit menular yang berbahaya dan mematikan (semisal penyakit Covid-19), maka hukumnya menjadi haram untuk ikut sholat berjama’ah. 

Jika Ikhtiar Sudah Dilakukan Namun Masih Tertular, Maka itu Sudah Qudarullah

Hal ini diperkuat dengan hadits bahwa Allah yang menciptakan pertama kali penyakit tersebut. Ia tidak menular kecuali dengan izin Allah.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu , bahwa seorang lelaki yang berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa onta yang berpenyakit kudis ketika berada di antara onta-onta yang sehat tiba-tiba semua onta tersebut terkena kudis, maka beliau bersabda:

فَمَنْ أَعْدَى الْأَوَّلَ ؟

“Kalau begitu siapa yang menulari (onta) yang pertama ?”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)


Bab. Posisi Makmum Jika Hanya Seorang Saja

Jika keduanya laki-laki maka posisinya sejajar dan makmum terletak di samping kanan imam. Sebagaimana hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu’ahuma, ia berkata:

بِتُّ فِي بَيْتِ خَالَتِي مَيْمُونَةَ فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ العِشَاءَ، ثُمَّ جَاءَ، فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ نَامَ، ثُمَّ قَامَ، فَجِئْتُ، فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ، فَصَلَّى خَمْسَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ نَامَ

“Saya pernah menginap di rumah bibiku, Maimunah (binti Al Harits, istri Rasulullah). Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat isya (di masjid), kemudian beliau pulang, dan shalat 4 rakaat. Lalu beliau tidur. Kemudian beliau bangun malam. Akupun datang dan berdiri di sebelah kiri beliau. Lalu beliau memindahkanku ke sebelah kanannya. Beliau shalat 5 rakaat, kemudian shalat dua rakaat, lalu tidur kembali” (HR. Bukhari no. 117, 697).

Dalam riwayat lain:

أتيتُ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – من آخر الليل فصلّيتُ خلفه، فأخَذ بيدي فجرّني فجعلني حذاءه

“Aku (Ibnu Abbas) mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sedang shalat di akhir malam. Maka aku pun shalat di belakang beliau. Lalu beliau mengambil tanganku dan menarikku hingga sejajar dengan beliau” (HR. Ahmad 1/330, dan dishahihkan oleh Syuaib Al-Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad).

Dalam riwayat Imam Ahmad yang lain:

ﻗﺎﻝ اﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ : ﺃﺗﻴﺖ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻣﻦ ﺁﺧﺮ اﻟﻠﻴﻞ، ﻓﺼﻠﻴﺖ ﺧﻠﻔﻪ، ﻓﺄﺧﺬ ﺑﻴﺪﻱ، ﻓﺠﺮﻧﻲ، ﻓﺠﻌﻠﻨﻲ ﺣﺬاءﻩ، ﻓﻠﻤﺎ ﺃﻗﺒﻞ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻠﻰ ﺻﻼﺗﻪ، ﺧﻨﺴﺖ، ﻓﺼﻠﻰ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﻓﻠﻤﺎ اﻧﺼﺮﻑ ﻗﺎﻝ ﻟﻲ: " ﻣﺎ ﺷﺄﻧﻲ ﺃﺟﻌﻠﻚ ﺣﺬاﺋﻲ ﻓﺘﺨﻨﺲ؟ "، ﻓﻘﻠﺖ: ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ، ﺃﻭﻳﻨﺒﻐﻲ ﻷﺣﺪ ﺃﻥ ﻳﺼﻠﻲ ﺣﺬاءﻙ،

Ibnu Abbas berkata, "Saya mendatangi Rasulullah SAW di akhir malam. Saya sholat di belakang Nabi. Kemudian Nabi memegang tangan saya dan menarik saya sampai sejajar. Ketika Nabi masuk ke dalam sholat, Saya mundur. Selesai sholat Nabi bertanya: "Kenapa kamu mundur?" Ibnu Abbas: "Apakah layak bagi seseorang sholat berdiri sejajar dengan Engkau?" (HR Ahmad) 

Hal ini berlaku baik pada laki-laki maupun wanita yang shalat berdua sesama wanita.

Bab. Jika makmum lelaki lebih dari satu

Maka posisi makmum berada di belakang imam membentuk barisan. Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu mengatakan:

قُمْتُ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ بِيَدِي فَأَدَارَنِي حَتَّى أَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ ثُمَّ جَاءَ جَبَّارُ بْنُ صَخْرٍ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ فَقَامَ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدَيْنَا جَمِيعًا فَدَفَعَنَا حَتَّى أَقَامَنَا خَلْفَهُ

“Aku berdiri di sisi kiri Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Lalu beliau memegang tanganku dan menarikku hingga aku berdiri di sebelah kanan beliau. Kemudian datang Jabbaar bin Shakhr, lalu ia berwudhu kemudian datang dan berdiri di sebelah kiri Rasulullah Shallallahu‘alaihi wasallam. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memegang tangan kami semua dan mendorong kami hingga kami berdiri di belakang beliau” (HR Muslim no. 5328).

Bab. Jika Makmum wanita

Jika seorang lelaki mengimami wanita, maka perlu diketahui bahwa shalatnya seorang lelaki  bersama wanita perlu dirinci. Al Imam An Nawawi menjelaskan,

قال أصحابنا : إذا أمَّ الرجل بامرأته أو محرم له , وخلا بها : جاز بلا كراهة ; لأنه يباح له الخلوة بها في غير الصلاة . وإن أمَّ بأجنبية ، وخلا بها : حرم ذلك عليه وعليها , للأحاديث الصحيحة التي سأذكرها إن شاء الله تعالى . وإن أمَّ بأجنبيات وخلا بهن : فقطع الجمهور بالجواز

“Para ulama madzhab kami berkata, jika seorang lelaki mengimami istrinya atau mahramnya, dan hanya berdua, hukumnya boleh tanpa kemakruhan. Karena lelaki boleh berduaan dengan mereka (istri dan mahram) di luar shalat. Adapun jika ia mengimami wanita yang bukan mahram, dan hanya berduaan, maka haram bagi si lelaki dan haram bagi si wanita. Karena hadits-hadits shahih yang akan saya sebutkan menunjukkan terlarangnya. Jika satu lelaki mengimami beberapa wanita dan mereka berkhalwat, maka jumhur ulama membolehkannya” (Al Majmu’, 4/173).

Adapun posisi wanita jika bermakmum pada lelaki, baik wanitanya hanya seorang diri ataupun banyak, maka posisinya adalah di belakang imam. Berdasarkan keumuman hadits Anas bin Malik radhiallahu’anhu, ia berkata:

صَلَّيْتُ أَنَا وَيَتِيمٌ فِي بَيْتِنَا خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُمِّي أُمُّ سُلَيْمٍ خَلْفَنَا

“Aku shalat bersama seorang anak yatim di rumah kami di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ibuku Ummu Sulaim di belakang kami” (HR. Bukhari no.727, Muslim no.658).

Bab. Jika Wanita mengimami sesama wanita

Jika seorang wanita mengimami para wanita, maka imam berada di tengah. Dari Rabthah al Hanafiyah, ia berkata :

أَنَّ عَائِشَةَ أَمَّتْهُنَّ وَ قَامَتْ بَيْنَهُنَّ فِيْ صَلاَةٍ مَكْتُوْبَةِ

“‘Aisyah pernah mengimami para wanita dan ia berdiri diantara mereka dalam shalat wajib” (HR. Abdurrazaq dalam Al Mushannaf 3/140, Al Baihaqi 3/131).

Dari Hubairah, ia mengatakan bahwa :

أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ أَمَّتْهُنَّ فَكَانَتْ وَسَطًا

“Ummu Salamah pernah mengimami para wanita dan ia berada di tengah-tengah”. (HR Abdurrazaq dalam Al Mushannaf 3/140, Al Baihaqi 3/131).

Bab. Jika Dalam Kondisi Tempat yang Sempit

Dalam kondisi tempat yang sempit sehingga tidak bisa memposisikan imam dan makmum dalam posisi yang ideal, maka posisinya menyesuaikan keadaan. Sebagaimana hadits dari Al Aswad bin Yazid, ia berkata:

دخلتُ أنا وعَلقمةُ علَى عبدِ اللَّهِ بنِ مَسعودٍ فقالَ لَنا أصلَّى هؤلاءِ ؟ قُلنا : لا ! قالَ قوموا فَصلُّوا. فذَهَبنا لنقومَ خلفَهُ فجعلَ أحدَنا عن يمينِهِ والآخرَ عن شمالِهِ … وقالَ : هكَذا رأيتُ رسولَ اللَّهِ فعلَ

“Aku bersama Alqamah masuk ke rumah Ibnu Mas’ud. Lalu beliau berkata kepada kami: apakah kalian sudah shalat? Kami berkata: belum. Beliau mengatakan: kalau begitu bangunlah dan shalat. Maka kami pergi untuk shalat bermakmum kepada beliau. Beliau memposisikan salah satu dari kami di sebelah kanan beliau dan yang lain di kiri beliau … beliau lalu berkata: demikianlah yang aku lihat dari perbuatan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam” (HR. Muslim no.534, An Nasa-i no.719 dan ini lafadz an Nasa-i).



Bab: Dzikir Setelah Sholat

1. Dzikir setelah sholat boleh secara jahr (keras) [Hadist No:796 dalam KITAB SHAHIH BUKHARI] ataupun sirrun (samar). Hanya saja, dzikir setelah sholat seringkali secara samar (pelan) dan kadangkala secara keras (jahr).

[Hadist No:796 dalam KITAB SHAHIH BUKHARI]

حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ نَصْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ قَالَ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عَمْرٌو أَنَّ أَبَا مَعْبَدٍ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ

Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Nashir berkata, telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq berkata, telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij berkata, telah mengabarkan kepadaku 'Amru bahwa Abu Ma'bad mantan budak Ibnu 'Abbas, mengabarkan kepadanya bahwa Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma mengabarkan kepadanya, bahwa mengeraskan suara dalam berdzikir setelah orang selesai menunaikan shalat fardlu terjadi di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Ibnu 'Abbas mengatakan, "Aku mengetahui bahwa mereka telah selesai dari shalat itu karena aku mendengarnya."

Mengeraskan suara itu supaya dapat mengajari jamaah, sehingga apabila jamaah sudah hapal dzikir dan doa, maka sebaiknya dilakukan secara pelan, supaya tidak mengganggu orang lain dan sesuai dengan hadits berikut ini:
Berikut adalah perintah untuk memelankan suara, ketika berdoa dan berdzikir. 
Disebutkan bahwa para sahabat pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perjalanan. Mereka mengeraskan suara mereka saat berdoa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Wahai sekalian manusia, lirihkanlah suara kalian. Kalian tidaklah berdo’a pada sesuatu yang tuli lagi ghoib (tidak ada). Yang kalian seru (yaitu Allah), Maha Mendengar lagi Maha Dekat. Sungguh yang kalian seru itu lebih dekat pada salah seorang di antara kalian lebih dari leher tunggangannya.” (HR. Ahmad 4: 402. Sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth).

2. Syarat Thowaf dan sholat hampir sama, yang membedakannya adalah jika thowaf boleh sambil berbicara sedangkan dalam sholat tidak boleh.

3. Istighfar paling utama:


اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوءُ لَكَ بِذَنْبِي فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ 


Telah menceritakan kepada kami Abu Ma'mar telah menceritakan kepada kami Abdul Warits telah menceritakan kepada kami Al Husain telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Buraidah dia berkata; telah menceritakan kepadaku Busyair bin Ka'b Al 'Adawi dia berkata; telah menceritakan kepadaku Syaddad bin Aus radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam; "Sesungguhnya istighfar yang paling baik adalah; kamu mengucapkan: 'ALLAHUMMA ANTA RABBI, LAA ILAAHA ILLA ANTA, KHALAQTANI, WA ANA 'ABDUKA, WA ANA 'ALA 'AHDIKA, WA WA'DIKA, MASTATHA'TU, A'UUDZU BIKA MIN SYARRI MAA SHANA'TU, ABUU`U LAKA BINI'MATIKA 'ALAYYA, WA ABUU`U LAKA BIDZANBI, FAGHFIRLI, FA INNAHU LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLA ANTA (Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi selain Engkau. Engkau telah menciptakanku dan aku adalah hamba-Mu. Aku menetapi perjanjian-Mu dan janji-Mu sesuai dengan kemampuanku. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatanku, aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku akui dosaku kepada-Mu, maka ampunilah aku. Sebab tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain-Mu) '." Beliau bersabda: 'Jika ia mengucapkan di waktu siang dengan penuh keyakinan lalu meninggal pada hari itu sebelum waktu sore, maka ia termasuk dari penghuni surga. Dan jika ia membacanya di waktu malam dengan penuh keyakinan lalu meninggal sebelum masuk waktu pagi, maka ia termasuk dari penghuni surga.' (No. Hadist: 5831 dalam KITAB SHAHIH BUKHARI)


4. Biasakan juga membaca:

اللهم أجرني من النار

'Allahumma ajirnii minan naar
"Wahai Allah, hindarkanlah aku daripada Api Neraka"


5. Setelah Sholat, segera ucapkan ini. Seperti yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,

حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ رُشَيْدٍ، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ، عَنِ الْأَوْزَاعِيِّ، عَنْ أَبِي عَمَّارٍ، اسْمُهُ شَدَّادُ بْنُ عَبْدِ اللهِ، عَنْ أَبِي أَسْمَاءَ، عَنْ ثَوْبَانَ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا انْصَرَفَ مِنْ صَلَاتِهِ اسْتَغْفَرَ ثَلَاثًا وَقَالَ: «اللهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ، تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ» قَالَ الْوَلِيدُ: فَقُلْتُ لِلْأَوْزَاعِيِّ: ” كَيْفَ الْاسْتِغْفَارُ؟ قَالَ: تَقُولُ: أَسْتَغْفِرُ اللهَ، أَسْتَغْفِرُ اللهَ

Artinya, "Rasulullah setelah selesai dari sholatnya beliau membaca istighfar (Astaghfirullah) 3x , lalu mengucapkan Allahumma Antassalam wa minkassalam tabarakta dzal jalali wal ikram( “Ya Allah Engkau-lah as salam, dan keselamatan hanya dari-Mu, Maha Suci Engkau wahai Dzat yang memiliki semua keagungan dan kemuliaan.")" (HR Muslim)



 
Bab. Shalat sunnah syuruq, maka baginya pahala seperti pahala mengerjakan haji dan umrah. Sempurna, sempurna, sempurna?


Hadits Tentang Keutamaan Shalat Sunnah Syuruq

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ (رواه الترمذي هذا حديث حسن غريب)

Dari Anas bin Malik ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Barang siapa yang shalat pagi hari (subuh) secara berjamaah, kemudian ia duduk berdzikir kepada Allah SWT hingga terbitnya matahari, kemudian ia shalat dua rakaat, maka baginya pahala seperti pahala mengerjakan haji dan umrah. Rasulullah SAW bersabda, ‘Sempurna, sempurna, sempurna.’ (HR. Turmudzi, beliau berkata bahwa hadits ini hasan gharib)

Takhrij dan Sanad Hadits:

Hadits ini memiliki sanad lengkapnya sebagai berikut:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاوِيَةَ الْجُمَحِيُّ الْبَصْرِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا أَبُو ظِلَالٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ، قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ

Hadits ini diriwayatkan hanya oleh Imam Turmudzi dalam Jami’nya, Kitab Al-Jum’ah an Rasulullah SAW, Bab dzikr ma yustahab minal julus fil masjid ba’da shalatis subhi hatta tatlu’as syamsi, hadits no 535 dari jalur Abdul Aziz bin Muslim dari Abu Dzilal dari Anas bin Malik ra.

Hadits ini dikatakan oleh Imam Turmudzi sebagai “Hasan Gharib”, yaitu bahwa menurut Imam Turmudzi, sanad hadits ini “hasan” artinya tidak mencapai derajat shahih, dan diriwayatkan oleh satu orang perawi saja pada satu tingkatan sanadnya (gharib).

Namun dalam sanad hadits ini terdapat Abu Dzilal, yang diperbincangkan oleh ulama Jarh wa Ta’dil. Nama aslinya adalah Hilal bin Abi Hilal, termasuk tabi’in kecil. Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam taqribut tahdzib mengatakan bahwa Abu Dzilal itu dhaif. Dan pada umumnya, apabila dalam sanad hadits terdapat perawi yang dhaif, maka hadits tersebut dihukumi sebagai hadits dhaif juga.

Namun Imam Turmudzi mengatakan bahwa hadits ini adalah hasan gharib. Kemungkinan yang dimaksudkan oleh Imam Turmudzi adalah hasan li ghairihi, yaitu hadits dhaif yang dikuatkan oleh hadits serupa dengan jalur sanad yang berbeda (syahid).

Bahkan Syekh Albani menghukumi bahwa hadits ini menurutnya adalah hadits shahih, sebagaimana dalam Shahih Jami’ Shaghir 5/ 313 no 6222 dari hadits Anas bin Malik, meskipun dalam sanad hadits ini terdapat perawi yang didhaifkan ulama hadits, yaitu Abu Dzhilal.

Hadits Lain yang Serupa (Syahid):

Memang terdapat beberapa riwayat lainnya yang serupa dengan hadits di atas, di antaranya adalah hadits-hadits berikut:

Hadits Riwayat Imam Baihaqi, dalam Kitab Syu’abul Iman:

عن سعد بن طريف ، عن عمير بن مأمون بن زرارة ، عن حسن بن علي ، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: من صلى الفجر ثم قعد في مجلسه يذكر الله حتى تطلع الشمس ، ثم قام فصلى ركعتين حرمه الله على النار أن تلفحه أو تطعمه (رواه البيهقي)

Dari Sa’d bin Tharif, dari Umair bin Ma’mun bin Zararah, dari Hasan bin Ali ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Barang siapa yang shalat subuh kemudian ia duduk di majelisnya berdzikir kepada Allah hingga matahari terbit, kemudian ia shalat dua rakaat, maka Allah akan haramkan dirinya dijilat atau dimakan api neraka.’ (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman Fashl Al-Masyi Ilal Masjid, Bab Man Shalla Al-Fajr summa Qa’ada fi Majlisihi Yadzkurullah Hatta Tatlu’as Syams, hadits no 2826.

Keterangan:

Hadits ini dhaif, karena terdapat Sa’d bin Tharif. Bahkan ibnu Hibban mengatakan bahwa Sa’d bin Tharif itu matruk, pernah tertuduh memalsukan hadits. Sehingga kesimpulannya, Hadits ini tidak bisa menguatkan atau menjadi syahid bagi hadits bab. Karena hadits dhaif tidak menambah apapun kecuali kedhaifan semata.

Hadits riwayat Imam Muslim

عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا صَلَّى الْفَجْرَ جَلَسَ فِي مُصَلاَّهُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَسَنًا (رواه مسلم وأبو داود والترمذي والنسائي وأحمد)

Dari Jabir bin Samurah ra bahwa Nabi SAW apabila shalat subuh, beliau duduk di tempat shalatnya hingga terbit matahari dengan baik. (HR. Muslim, Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i dan Ahmad)

Keterangan:

Hadits ini shahih, namun tidak sesuai dengan hadits bab dari dua aspek:

Jalur sanadnya dari Jabir bin Samurah, sementara hadits bab dari Anas bin Malik.

Maknanya tidak menguatkan hadits bab. Karena hadits ini hanya menggambarkan bahwa

Nabi SAW duduk di tempat shalatnya setelah shalat subuh, tanpa menggambarkan keutamaan yang terkandung di dalamnya, sebagaimana dalam hadits bab.

Kesimpulan:

Hadits ini tidak bisa menguatkan hadits bab, kecuali hanya dari sisi makna bahwa Nabi SAW duduk di tempat shalatnya ba’da shalat subuh, hingga matahari terbit dengan baik. Adapun keutamaan akan mendapatkan pahala seperti haji atau umrah, adalah tidak ada. Karena tidak ada satu keterangan pun yang menggambarkan hal tersebut dalam hadits ini.

Kesimpulan dan Penjelasan Terkait Sanad Hadits:

Dalam kutubut tis’ah (kitab hadits yang sembilan), hadits ini hanya diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi. Sementara tidak ada satupun dari Imam yang 9 (Imam Bukhari, Muslim, Turmudzi, Abu Daud, Nasa’i, Ibnu Majah, Imam Ahmad, Darimi dan Imam Malik) yang meriwayatkan hadits ini selain Imam Turmudzi. Jadi, Imam Turmudzi lah satu-satunya yang meriwayatkan hadits ini.

Bahwa Imam Turmudzi pun ketika meriwayatkan hadits ini, beliau mengatakan bahwa derajat hadits ini hasan gharib. Hasan artinya bahwa hadits ini tidak mencapai derajat shahih. Sementara gharib maknanya adalah bahwa hadits yang dalam salah satu tingkatan perawinya hanya diriwayatkan oleh satu orang perawi hadits saja.

Di dalam sanad hadits ini terdapat perawi yang dhaif, yaitu Abu Dzilal. Beliau adalah Hilal bin Abi Hilal, merupakan salah seorang tabi’in. Beliau hanya mengambil hadits dari Anas bin Malik. Dan beliau sendiri merupakan perawi yang didhaifkan oleh para Ulama Jarh wa Ta’dil.

Keterangan mengenai Abu Dzilal dapat dilihat misalnya dari pendapat Imam Yahya bin Ma’in, yang mengatakan bahwa beliau (Abu Dzilal) adalah dhaif. Demikian juga Imam Nasa’i mengatakan bahwa beliau adalah dhaif, serta Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam taqribut tahdzibnya menyimpulkan bahwa Abu Dzilal adalah dhaif.

Umumnya, hadits yang dalam sanadnya terdapat perawi yang dhaif, maka hadits tersebut akan dihukumi sebagai hadits dhaif. Karena tingkatan dan derajat suatu hadits ditentukan oleh kredibilitas para perawinya. Jika perawinya tsiqah dari awal sanad hingga akhirnya, maka hadits tersebut menjadi hadits shahih. Sebaliknya jika dalam hadits terdapat perawi yang lemah (dhaif), maka juga akan menjadikannya sebagai hadits dhaif, kecuali jika terdapat riwayat lain yang serupa dengan hadits tersebut namun memiliki jalur sanad yang berbeda, maka hadits tersebut bisa menguatkannya dan bisa meningkatkan derajat haditsnya dari dhaif menjadi “hasan li ghairihi”, yaitu hadits hasan karena sebab ada hadits dari jalur sanad lainnya yang menguatkannya.

Sejauh pengamatan penulis, memang terdapat beberapa riwayat yang memiliki kemiripan dengan hadits tersebut sebagaimana pembahasan di atas, namun tidak satupun dari hadits-hadits yang mirip tersebut memiliki kesamaan, khususnya dari sisi keutamaannya; yaitu bahwa siapa yang shalat subuh berjamaah di masjid lalu duduk berdzikir kepada Allah hingga matahari terbit kemudian ia melaksanakan shalat dua rakaat, maka baginya pahala haji dan umrah, sempurna sempurna sempurna. Salah satu hadits yang menguatkannya adalah dhaif, bahkan termasuk hadits dhaif yang berat dikarenakan salah seorang perawinya ada yang tertuduh pernah berdusta atas nama Nabi SAW, sedangkan yang satunya lagi tidak menjelaskan tentang keutamaannya melainkan hanya menjelaskan bahwa Nabi SAW pernah shalat subuh berjamaah kemudian duduk berdzikir hingga matahari terbit.

Kesimpulan akhir, mengenai tambahan keutamaan akan mendapatkan pahala seperti haji atau umrah, adalah tidak ada.

Wallahu A’lam bis shawab.

Di Ringkas dari: https://www.dakwatuna.com/2015/03/26/66337/kedudukan-hadits-tentang-keutamaan-shalat-sunnah-syuruq/

Tidak Usah Memberatkan Diri

Jika memang ada keperluan setelah sholat subuh, maka Tidak Usah Memberatkan Diri dengan duduk hingga matahari terbit. Cukup baca bacaan berikut ini -sebanyak tiga kali- :

سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ عَدَدَ خَلْقِهِ وَرِضَا نَفْسِهِ وَزِنَةَ عَرْشِهِ وَمِدَادَ كَلِمَاتِهِ

Berdasarkan Hadits Muslim Nomor 4905:

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَابْنُ أَبِي عُمَرَ وَاللَّفْظُ لِابْنِ أَبِي عُمَرَ قَالُوا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَوْلَى آلِ طَلْحَةَ عَنْ كُرَيْبٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ جُوَيْرِيَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ مِنْ عِنْدِهَا بُكْرَةً حِينَ صَلَّى الصُّبْحَ وَهِيَ فِي مَسْجِدِهَا ثُمَّ رَجَعَ بَعْدَ أَنْ أَضْحَى وَهِيَ جَالِسَةٌ فَقَالَ مَا زِلْتِ عَلَى الْحَالِ الَّتِي فَارَقْتُكِ عَلَيْهَا قَالَتْ نَعَمْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ قُلْتُ بَعْدَكِ أَرْبَعَ كَلِمَاتٍ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ لَوْ وُزِنَتْ بِمَا قُلْتِ مُنْذُ الْيَوْمِ لَوَزَنَتْهُنَّ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ عَدَدَ خَلْقِهِ وَرِضَا نَفْسِهِ وَزِنَةَ عَرْشِهِ وَمِدَادَ كَلِمَاتِهِ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو كُرَيْبٍ وَإِسْحَقُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ بِشْرٍ عَنْ مِسْعَرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي رِشْدِينَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ جُوَيْرِيَةَ قَالَتْ مَرَّ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ صَلَّى صَلَاةَ الْغَدَاةِ أَوْ بَعْدَ مَا صَلَّى الْغَدَاةَ فَذَكَرَ نَحْوَهُ غَيْرَ أَنَّهُ قَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ خَلْقِهِ سُبْحَانَ اللَّهِ رِضَا نَفْسِهِ سُبْحَانَ اللَّهِ زِنَةَ عَرْشِهِ سُبْحَانَ اللَّهِ مِدَادَ كَلِمَاتِهِ

Telah menceritakan kepada kami [Qutaibah bin Sa'id] dan ['Amru An Naqid] dan [Ibnu Abu 'Umar] -dan lafadh ini milik Ibnu Abu 'Umar- mereka berkata; telah menceritakan kepada kami [Sufyan] dari [Muhammad bin 'Abdurrahman] -budak- keluarga Thalhah dari [Kuraib] dari [Ibnu 'Abbas] dari [Juwairiyah] bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam keluar dari rumah Juwairiyah pada pagi hari usai shalat Subuh dan dia tetap di tempat shalatnya. Tak lama kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kembali setelah terbit fajar (pada waktu dhuha), sedangkan Juwairiyah masih duduk di tempat shalatnya. Setelah itu, Rasulullah menyapanya: "Ya Juwairiyah, kamu masih belum beranjak dari tempat shalatmu?" Juwairiyah menjawab; 'Ya. Saya masih di sini, di tempat semula ya Rasulullah.' Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata: 'Setelah keluar tadi, aku telah mengucapkan empat rangkaian kata-kata -sebanyak tiga kali- yang kalimat tersebut jika dibandingkan dengan apa yang kamu baca seharian tentu akan sebanding, yaitu 'SUBHAANALLOOHI WABIHAMDIHI, 'ADA KHOLQIHI WARIDHOO NAFSIHI WAZINATA 'ARSYIHI WAMIDAADA KALIMAATIHI."Maha Suci Allah dengan segala puji bagi-Nya sebanyak hitungan makhluk-Nya, menurut keridlaan-Nya, menurut arasy-Nya dan sebanyak tinta kalimat-Nya.' Telah menceritakan kepada kami [Abu Bakr bin Abu Syaibah] dan [Abu Kuraib] dan [Ishaq] dari [Muhammad bin Bisyr] dari [Mis'ar] dari [Muhammad bin 'Abdurrahman] dari [Abu Risydin] dari [Ibnu 'Abbas] dari [Juwairiyah] dia berkata; bahwa suatu ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melewatiku ketika beliau usai shalat shubuh. -lalu dia menyebutkan redaksi yang serupa. Namun beliau dengan menggunakan kalimat; 'SUBHANALLAH 'ADADA KHALQIHI, SUBHANALLAH RIDHO NAFSIHI, SUBHANALLAH ZINATA 'ARSYIHI, SUBHANALLAH MIDADA KALIMAATIHI. Maha suci Allah sebanyak hitungan makhluk-Nya. Maha Suci Allah menurut keridlaan-Nya. Maha Suci Allah menurut kebesaran arasy-Nya. Maha Suci Allah sebanyak paparan kelimat-Nya.'



Bab.  Beberapa Hukum Mengenai Pelaksanaan Sholat:
1. Hukum Shalat Gerhana Bulan Setelah Subuh?
 https://konsultasisyariah.com/35172-hukum-shalat-gerhana-bulan-setelah-subuh.html

2. Bolehkah Shalat Tahiyatul Masjid Di Waktu Terlarang?
https://rumaysho.com/595-bolehkah-shalat-tahiyatul-masjid-di-waktu-terlarang.html

3. TAHLILAN MENURUT MADZHAB SYAFI’I
 https://firanda.com/726-tahlilan-adalah-bid-ah-menurut-madzhab-syafi-i.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar