Senin, 09 September 2013

Tata Cara Bertayamum (bersuci juga Wudlu dan Mandi junub)

QS.5. Al Maa'idah:

يَـٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى ٱلصَّلوٰةِ فٱغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى ٱلْمَرَافِقِ وَٱمْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى ٱلْكَعْبَينِ وَإِن كُنتُمْ جُنُباً فَٱطَّهَّرُواْ وَإِن كُنتُم مَّرْضَىۤ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنْكُم مِّنَ ٱلْغَائِطِ أَوْ لَـٰمَسْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُواْ مَآءً فَتَيَمَّمُواْ صَعِيداً طَيِّباً فَٱمْسَحُواْ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِّنْهُ مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَـٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

6. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka (berwudlu-lah menggunakan air bersih dan suci):
(a.) basuhlah mukamu
(b.) dan tanganmu sampai dengan siku,
(c.) dan sapulah kepalamu
(d.) dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,
dan jika kamu junub maka mandilah (mandi junub dng menyampaikan dan meratakan air keseluruh tubuh), dan jika kamu sakit[sakit yang tidak boleh kena air] atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh[menyentuh. Menurut jumhur ialah: menyentuh kulit, sedang sebagian mufassirin ialah: menyetubuhi] perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih):
(a.) sapulah mukamu
(b.) dan tanganmu dengan tanah itu.
Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.  



QS. 4. An Nisaa':

يَـٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لاَ تَقْرَبُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنتُمْ سُكَـٰرَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلاَ جُنُباً إِلاَّ عَابِرِى سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُواْ وَإِنْ كُنتُم مَّرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّن ٱلْغَآئِطِ أَوْ لَـٰمَسْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُواْ مَآءً فَتَيَمَّمُواْ صَعِيداً طَيِّباً فَٱمْسَحُواْ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَفُوّاً غَفُوراً

43. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub[larangan untuk sholat bagi orang junub yang belum mandi junub], terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.

Bab: Wajibnya Bersuci Ketika Hendak Sholat

Qutaibah bin Said menceritakan kepada kami, Abu Awanah memberitahukan kepada kami dari Simak bin Harb, Hannad menceritakan kepada kami, Waki' menceritakan kepada kami dari Israil, dari Simak, dari Mush'ab bin Sa'id, dari Ibnu Umar, dari Nabi SAW, beliau bersabda, "Tidak diterima shalat tanpa suci dan tidak diterima sedekah dari harta khianat (curian dari harta rampasan perang)." (Hannad berkata di dalam haditsnya, "Kecuali dengan suci"). Shahih: Ibnu Majah (272) dan Shahih Muslim

Outaibah menceritakan kepada kami, mereka berkata, "Waki' bercerita kepada kami dari Sufyan, Muhammad bin Basyar menceritakan kepada kami, Abdurrahman bin Mahdi menceritakan kepada kami, Sufyan menceritakan kepada kami dari Abdullah bin Muhammad bin Aqi), dari Muhammad bin Al Hanafiyyah, dari Ali, dari Nabi SAW, beliau bersabda, "Kuncinya shalat adalah bersuci, sedangkan yang menjadikan pengharamannya (untuk mengerjakan amalan atau ucapan diluar shalat) adalah takbir (Takbiratul ihram - tanda mulai Sholat) dan yang menghalalkannya (sebagai tanda selesainya shalat, dan bolehnya melakukan apa yang dilarang saat shalat) adalah salam." Hasan Shahih: Ibnu Majah (275)

Abu Bakar menceritakan kepada kami, Muhammad bin Zanjawaih Al Baghdad i dan tidak hanya seorang mengatakan: Husain bin Muhammad menceritakan kepada kami, Sulaiman bin Qarm menceritakan kepada kami dari Abu Yahya Al Qattat, dari Mujahid, dari Jabir bin Abdullah RA, dia berkata, "Rasulullah SAW bersabda, 'Kuncinya surga adalah shalat dan kuncinya shalat adalah wudhu'." (Sunan Tirmidzi)

Bab. Memulai Bersuci dengan Membaca Bismillah 

Hadis berikut ini berbicara tentang wudhu, namun ulama mengqiyaskannya untuk mandi dan tayamum, karena semuanya adalah kegiatan bersuci.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ وَلاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ

“Tidak ada shalat bagi yang tidak ada wudhu. Tidak ada wudhu bagi yang tidak membaca bismillah di dalamnya.” (HR. Abu Daud no. 101 dan Ibnu Majah no. 399. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Sebagian ulama mendhaifkan hadits ini, namun dari berbagai jalur, hadits menjadi kuat. Sedangkan penafian (peniadaan) yang disebutkan dalam hadits adalah kesempurnaan. Jadi maksudnya adalah tidak sempurna wudhunya.

Namun jika ditinggalkan karena lupa atau karena jahil (tidak tahu), maka wudhunya sah. Selain itu, beberapa hadits sahih berikut ini juga tidak menunjukkan adanya syarat pembacaan Bismillah ketika memulai berwudlu. 


Bab: Tata Cara Wudlu

Sebelum membahas mengenai Tayammum, ada baiknya kita membahas sedikit tentang tata cara berwudlu.
Berwudlu boleh dilakukan sekali-sekali, dua kali dua kali, atau tiga kali tiga kali, seperti pada hadits berikut ini:

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yusuf berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Zaid bin Aslam dari 'Atha' bin Yasar dari Ibnu 'Abbas berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berwudlu' sekali sekali." (No. Hadist: 153 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)

Telah menceritakan kepada kami Husain bin 'Isa berkata, telah menceritakan kepada kami Yunus bin Muhammad berkata, telah menceritakan kepada kami Fulaih bin Sulaiman dari 'Abdullah bin Abu Bakar bin 'Amru bin Hazm dari 'Abbad bin Tamim dari 'Abdullah bin Zaid, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berwudlu dua kali dua kali."(No. Hadist: 154 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)

Telah menceritakan kepada kami Abdul 'Aziz bin 'Abdullah Al Uwaisy berkata, telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin Sa'd dari Syihab bahwa 'Atha' bin Yazid mengabarkan kepadanya bahwa Humran mantan budak 'Utsman mengabarkan kepadanya, bahwa ia telah melihat 'Utsman bin 'Affan minta untuk diambilkan bejana (berisi air). Lalu dia  
(1) menuangkan pada telapak tangannya tiga kali lalu membasuh keduanya, 
(2) lalu ia memasukkan tangan kanannya ke dalam bejana lalu berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung, 
(3) kemudian membasuh wajahnya tiga kali, 
(4) kemudian membasuh kedua tangan hingga siku tiga kali, 
(5) kemudian mengusap kepala, 
(6) kemudian membasuh kedua kakinya tiga kali hingga kedua mata kaki.
Setelah itu ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa berwudlu seperti wudluku ini, kemudian dia shalat dua rakaat dan tidak berbicara antara keduanya, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni." Dan dari Ibrahim berkata, Shalih bin Kaisan berkata, Ibnu Syihab berkata. Tetapi 'Urwah menceritakan dari Humran, "Ketika 'Utsman berwudlu, dia berkata, "Maukah aku sampaikan kepada kalian sebuah hadits yang kalau bukan karena ada satu ayat tentu aku tidak akan menyampaikannya? Aku pernah mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah seorang laki-laki berwudlu dengan membaguskan wudlunya kemudian mengerjakan shalat, kecuali akan diampuni (dosa) antara wudlunya dan shalatnya itu hingga selesai shalatnya." 'Urwah berkata, "Ayat yang dimaksud adalah: '(Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah kami turunkan…) ' (Qs. Al Baqarah: 159). (No. Hadist: 155 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)

Cara Mengusap Kepala
Mengusap kepala adalah rukun ketiga dari rukun wudhu. Sebagaimana perintah dalam ayat wudhu,

وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ

Dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6).

Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat tentang kadar bagian kepala yang harus diusap saat wudhu. Ulama mazhab Maliki dan Hanbali mewajibkan mengusap seluruh kepala, demi kehati-hatian dalam beribadah. Ulama mazhab Hanafi mewajibkan mengusap seperempat kepala. Sedangkan ulama mazhab Syafi’i mewajibkan mengusap sebagian kepala, walaupun hanya beberapa helai rambut.

Perbedaan ini muncul karena perbedaan dalam memahami makna dan faedah huruf “ba” pada lafad بِرُءُوسِكُمْ/biru’ûsikum dalam ayat di atas. Ulama yang menganggap huruf “ba” tersebut berfaedah “zaidah/tambahan” mewajibkan mengusap seluruh kepala. Artinya, keberadaan huruf “ba” tidak mempengaruhi makna, karena hanya bersifat tambahan. Sedangkan ulama yang menganggap huruf “ba” dimaksud berfaedah “tab’idh/sebagian” mewajibkan mengusap sebagian kepala.

Ulama mazhab Maliki dan Hanbali yang mewajibkan mengusap seluruh kepala beralasan bahwa ayat tentang wudhu (ayat di atas) menyerupai ayat tentang tayammum, yaitu firman Allah subhanahu wata’ala:

فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ

Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); usaplah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. (Al-Maidah: 6).

Pada ayat tayammum, Allah memerintahkan mengusap seluruh wajah. Itu artinya, dalam wudhu pun Allah memerintahkan mengusap seluruh kepala, bukan sebagiannya.

Di samping itu, mereka juga berargumentasi bahwa huruf ‘ba’ pada lafad biru’ûsikum berfaedah zaidah (tambahan), sehingga makna ayat tersebut: “Dan usaplah seluruh kepalamu”.

Sedangkan ulama mazhab Hanafi dan Syafi’i yang mewajibkan mengusap sebagian kepala beralasan bahwa huruf “ba” tersebut bermakna tab’idh (sebagian), sehingga makna ayat itu: “Dan usaplah sebagian kepalamu”.

Hanya saja, ulama mazhab Hanafi mengartikan sebagian kepala dengan seperempat kepala berdasarkan hadis:

عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ: كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَبَرَزَ لِحَاجَتِهِ ثُمَّ جَاءَ فَتَوَضَّأَ وَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ

Dari Mughirah bin Syu’bah, ia berkata: Kami bersama Rasulullah shallallahu a’laihi wa sallam dalam sebuah perjalanan, lalu beliau keluar untuk menunaikan hajatnya, kemudian hadir, berwudhu, dan mengusap jambulnya. (HR. Nasa’i, hadis nomor 109).

Sementara ulama mazhab Syafi’i tidak memberi batasan tertentu. Artinya, wudhu seseorang dikatakan sah jika ia mengusap sebagian kepala, baik seperempatnya atau kurang dari seperempat. Mereka berpedoman pada hadis: 

عَنِ بْنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى العٍمَامةِ

Dari Ibnu Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu a’laihi wa sallam berwudhu, lalu mengusap jambulnya, dan atas surbannya. (HR.Muslim, hadis nomor 247).

Imam Nawawi rahimahullah dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab jilid 1 hal 431-432 menyebutkan:

وَاحْتَجَّ أَصْحَابُنَا بِأَنَّ الْمَسْحَ يَقَعُ عَلَى الْقَلِيْلِ وَالْكَثِيْرِ وَثَبَتَ فِي الصَّحِيْحِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ فَهَذَا يَمْنَعُ وُجُوْبَ الْاِسْتِيْعَابِ وَيَمْنَعُ التَّقْدِيْرَ بِالرُّبْعِ وَالثُّلُثِ وَالنِّصْفِ فَإِنَّ النَّاصِيَةَ دُوْنَ الرُّبْعِ فَتَعَيَّنَ أَنَّ الْوَاجِبَ مَا يَقَعُ عَلَيْهِ الْاِسْمُ

Sahabat-sahabat kita berhujjah (beralasan) bahwa istilah “mengusap” bisa untuk hal sedikit atau banyak. Disebutkan dalam hadis shahih bahwa Nabi shallallahu a’laihi wa sallam mengusap jambulnya. Hadis ini menyanggah kewajiban mengusap seluruh kepala, sebagaimana menyanggah penafsiran seperempat, sepertiga, atau setengah, sebab jambul itu kurang dari seperempat (kepala). Dengan demikian, maka yang diwajibkan adalah mengusap sebagian kepala, yang menurut adat sudah disebut mengusap.  

>>> Hadits yang diriwayatkan Muslim, no. 247, dari Mughirah bin Syu'bah radhiallahu anhu, 'Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa salam mengusap ubun-ubunnya dan imamahnya.' Mereka berkata, 'Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam hanya mengusap ubun-ubunnya, yaitu bagian depan kepalanya.'

Pendapat ini dijawab, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengusap ubun-ubunnya dan menyempurnakan usapannya dengan mengusap imamahnya. Mengusap imamah menggantikan usapan kepala.

Firman Allah Ta'ala,

( وامْسَحُوا بِرُءُوسِكُم )

Huruf 'ba' (بـ) dalam ayat tersebut berfungsi littab'idh (menyatakan sebagian), seakan-akan firmannya adalah, 'Usaplah sebagian kepala kalian'.

Pendapat ini dijawab bahwa huruf 'ba' tersebut tidak berfungsi littab'idh (menyatakan sebagian) akan tetapi lil-ilshaq (menempel), maksudnya kepala harus menempel dengan air yang diusapkan di atasnya.
(Lihat, Majmu Fatawa, 21/123)

Ibnu Qayim rahimahullah berkata dalam Zaadul Ma'ad, 1/193, 'Tidak ada satupun riwayat sahih yang menunjukkan bahwa beliau hanya mengusap sebagian kepalanya saja, akan tetapi jika beliau mengusap ubun-ubunnya, beliau menyempurnakannya dengan mengusap imamahnya."

Ibnu Utsaimin, rahimahullah berkata, 'Dibolehkannya mengusap ubun-ubun di sini, karena bersama itu beliau mengusap imamahnya. Maka riwayat ini tidak menunjukkan dibolehkannya mengusap ubun-ubunnya saja.'

(Asysyarhul-Mumti', 1/178)

Dalil cara mengusap kepala adalah hadits ‘Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu disebutkan ketika ia mempraktikkan wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ ، حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ ، ثُمَّ رَدَّهُمَا إِلَى الْمَكَانِ الَّذِى بَدَأَ مِنْهُ

“Kemudian memulai mengusap bagian depan kepala dan ditarik sampai ke tengkuk, lalu kembali lagi ke tempat di mulainya tadi.” (HR. Bukhari, no. 185 dan Muslim, no. 235)

Dalil bahwa kepala diusap seluruhnya,

وَمَسَحَ رَأْسَهُ كُلَّهُ

“Ia membasuh seluruh kepalanya.” (HR. Ibnu Khuzaimah, 1:81. Al-A’zhami mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.)

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian depan kepalanya saja (nashiyah), beliau mengusap pula ‘imamahnya (serbannya). Kalau dikatakan cukup mengusap bagian depan kepala saja, harusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ikutkan dengan mengusap serbannya. Dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ ، فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ ، وَعَلَى الْعِمَامَةِ ، وَعَلَى الْخُفَّيْنِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dengan mengusap bagian depan kepala dan ‘imamahnya (serbannya), beliau juga mengusap khuf (sepatunya).” (HR. Bukhari, no. 182 dan Muslim, no. 274)

Pendapat terakhir ini, yang diusap adalah seluruh bagian kepala. Kepala yang diusap dimulai dari bagian depan kepala (dari tumbuhnya rambut normal) dan ditarik sampai ke tengkuk, lalu kembali lagi ke tempat di mulainya tadi
Karena perintah pada ayat yang dimaksud adalah seluruh kepala (bukan sebagian saja). Rasul shallalallahu ‘alaihi wa sallam pun mempraktikkannya dengan mengusap seluruh kepala, apa yang beliau lakukan sebagai tafsiran dari ayat yang masih mujmal (global).

> Bagaimana mengusap kepala bagi laki² bersorban dan wanita berjilbab?
Terdapat kesulitan bagi 2 jenis ini, terutama bagi wanita muslimah. Solusinya, insya Allah, dengan mengusap bagian depan kepala (bagian depan rambutnya atau jambulnya) dan ditarik hingga ke jilbabnya atau serbannya, seperti penjelasan sebelumnya. Tanpa melepas jilbab atau sorbannya.
Wa Allahu 'alam

Mengusap kepala dengan kedua telapak tangan tidak disunnahkan tiga kali karena dalam hadits-hadits yang menerangkan tentang cara wudhu tidak menyebut tiga kali berbeda dengan anggota wudhu yang lain.

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Adapun hadits yang membicarakan beliau membasuh kepala lebih dari sekali, terkadang haditsnya shahih, namun tidak tegas. Seperti perkataan sahabat yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dengan mengusap tiga kali tiga kali. Seperti pula perkataan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membasuh kepala dua kali. Terkadang pula haditsnya tegas, namun tidak shahih. Seperti hadits Ibnu Al-Bailamani dari ayahnya dari ‘Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap tangannya tiga kali dan mengusap kepala juga tiga kali. Namun perlu diketahui bahwa Ibnu Al-Bailamani dan ayahnya adalah periwayat yang lemah.” (Zaad Al-Ma’ad, 1:193)


Cara Mengusap Telinga

Cara mengusap telinga disebutkan dalam hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَسَحَ أُذُنَيْهِ دَاخِلَهُمَا بِالسَّبَّابَتَيْنِ وَخَالَفَ إِبْهَامَيْهِ إِلَى ظَاهِرِ أُذُنَيْهِ فَمَسَحَ ظَاهِرَهُمَا وَبَاطِنَهُمَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian dalam kedua telinganya dengan kedua jari telunjuknya dan kedua ibu jari mengusap bagian luar telinga. Jadi, beliau mengusap bagian luar dan dalam dari dua telinga.” (HR. Ibnu Majah, no. 439. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih.)

Yang lebih baik ketika mengusap kepala dilanjutkan dengan mengusap telinga tanpa mengambil air yang baru. Dalilnya adalah hadits Abu Umamah –walau diperselisihkan ini adalah perkataan Abu Umamah ataukah langsung sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam-,

الأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ

“Dua telinga adalah bagian dari kepala.” (HR. Abu Daud no. 134, Tirmidzi no. 37 dan Ibnu Majah no. 444. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.)

Adapun apakah mengusap telinga wajib ataukah sunnah, terdapat perselisihan pendapat Al-Qasimiyyah, Ishaq bin Rahuyah, Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa mengusap telinga adalah wajib. Sedangkan ulama lainnya menganggap tidak wajib.

Adapun dalil yang menyatakan bahwa telinga itu bagian dari kepala tidak menunjukkan bahwa mengusap telinga itu wajib. Lihat Nail Al-Authar, 1:466-467.

Imam Nawawi rahimahullah menyimpulkan, “Mengusap telinga adalah bagian dari sunnah wudhu sebagaimana hadits yang telah lewat.” (Al-Majmu’, 1:228).


Contoh Berwudlu dalam Videonya


Bab: Tayammum

Tafsir Ibnu Katsir:
Istilah tayamum menurut bahasa artinya bertujuan. Orang-orang Arab mengatakan, "Tayammamakalla.hu bihifzihi" artinya semoga Allah berkenan memelihara dirimu, yakni bertujuan untuk melindungimu. As-Sa'id menurut pendapat yang lain adalah segala sesuatu yang muncul di permukaan bumi. Dengan demikian, termasuk pula ke dalam pengertiannya debu, pasir, pepohonan, bebatuan, dan tumbuh-tumbuhan.
Demikianlah menurut pendapat Imam Malik. Menurut pendapat lainnya lagi, yang dimaksud dengan sa'id ialah segala sesuatu yang termasuk ke dalam jenis debu, seperti pasir, granit, dan kapur. Demikianlah menurut mazhab Imam Abu Hanifah.

Menurut pendapat yang lainnya lagi, yang dimaksud dengan sa'id ialah debu saja. Demikianlah menurut pendapat Imam Syafii dan Imam Ahmad serta semua murid mereka. Mereka mengatakan penyebutan debu dalam hadis ini sebagai sarana untuk bersuci merupakan suatu prioritas. Seandainya ada hal lain yang dapat menggantikan fungsinya, niscaya disebutkan bersamanya.

Yang dimaksud dengan istilah tayyib dalam ayat ini ialah yang halal. Menurut pendapat yang lain, yang tidak najis alias suci. Ibnu Abbas pernah mengatakan bahwa tanah (debu) yang paling baik ialah yang dari lahan pertanian. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim, dan Ibnu Murdawaih meriwayatkannya di dalam kitab tafsirnya.
Tayamum merupakan pengganti wudu dalam pengertian kegunaannya, tetapi bukan berarti merupakan pengganti wudu dalam semua anggotanya, melainkan cukup hanya dengan mengusapkannya pada muka dan kedua tangan saja. Demikianlah menurut kesepakatan semua
ulama.

Akan tetapi, para imam berselisih pendapat mengenai cara bertayamum, seperti dalam penjelasan berikut:
 1. Menurut mazhab Syafii dalam qaul jadid-nya, diwajibkan mengusap wajah dan kedua tangan sampai ke batas siku dengan dua kali usapan. Dikatakan demikian karena kata 'kedua tangan' pengertiannya menunjukkan sampai batas kedua pangkal lengan, juga sampai batas kedua siku, sebagaimana yang disebutkan di dalam ayat mengenai wudlu. Adakalanya diucapkan dengan maksud sampai sebatas kedua telapak tangan. Imam Abu Daud meriwayatkan melalui Ibnu Umar dalam sebuah hadis yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. menempelkan telapak tangannya pada tembok, lalu tangannya itu beliau usapkan ke muka. Kemudian beliau tempelkan lagi tangannya (ke tembok), setelah itu ia gunakan untuk mengusap kedua hastanya. Tetapi di dalam sanadnya terdapat Muhammad ibnu Sabit Al-Adbi, sedangkan sebagian huffaz ada yang menilainya daif. Selain Imam Abu Daud ada yang meriwayatkannya dari beberapa orang yang siqah, lalu mereka me-mauqufkannya hanya sampai pada perbuatan Ibnu Umar. Imam Bukhari, Abu Zar'ah, dan Ibnu Addi mengatakan bahwa pendapat yang benar ialah yang menilainya sahih.
Imam Syafii berdalilkan dengan sebuah hadis yang diriwayatkan dari Ibrahim ibnu Muhammad, dari Abui Huwairis, dari Abdur Rahman ibnu Mu'awiyah, dari Al-A'raj, dari Ibnus Summah, bahwa Rasulullah Saw. melakukan tayamum, untuk itu beliau mengusap wajah dan kedua hastanya. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Musa ibnu Sahi Ar-Ramli, telah menceritakan kepada kami Na'im ibnu Hammad, telah menceritakan kepada kami Kharijah ibnu Mus'ab, dari Abdullah ibnu Ata, dari Musa ibnu Utbah, dari Al-A'raj, dari Abu Juhaim yang menceritakan: "Aku pernah melihat Rasulullah Saw. sedang buang air kecil, lalu aku mengucapkan salam penghormatan kepadanya, tetapi beliau tidak menjawab salamku, hingga beliau selesai dari buang air kecilnya. Kemudian beliau berdiri di dekat tembok, lalu menempelkan kedua telapak tangannya ke tembok itu. lalu mengusapkan kedua tangannya ke mukanya. Kemudian menempelkan lagi kedua tangannya ke tembok itu, lalu mengusapkan keduanya pada kedua tangannya sampai kedua sikunya, setelah itu baru beliau menjawab salamku."

2. Pendapat ini mengatakan bahwa yang diwajibkan ialah mengusap wajah dan kedua telapak tangan dengan dua kali usapan (sekali usapan pada masing-masingnya). Pendapat inilah yang dikatakan oleh Imam Syafii dalam qaul qadim-nya.

3. Pendapat ketiga mengatakan, cukup mengusap muka dan kedua telapak tangan dengan sekali usapan (pada kesemuanya). Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Al-Hakam, dari Zar, dari Abdur Rahman ibnu Abza, dari ayahnya, bahwa ada seorang lelaki datang menghadap Khalifah Umar. Lalu lelaki itu berkata, "Sesungguhnya aku terkena jinabah dan aku tidak menemukan air." Khalifah Umar berkata, "Kalau demikian, kamu jangan salat." Ammar (yang hadir di majelis itu) berkata, "Tidakkah engkau ingat, hai Amirul Mu-minin, ketika aku dan engkau berada dalam suatu pasukan khusus. Lalu kita mengalami jinabah, sedangkan kita tidak menemukan air. Adapun engkau tidak melakukan salat karenanya, sedangkan aku berguling di tanah (debu), lalu aku salat. Ketika kita datang kepada Nabi Saw., lalu kuceritakan hal tersebut kepadanya.
Maka beliau Saw. bersabda:" Sebenarnya cukup bagimu seperti ini. Kemudian Nabi Saw. menempelkan telapak tangannya ke tanah, lalu meniupnya, setelah itu beliau gunakan untuk mengusap wajah dan kedua telapak tangannya."
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Abban, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari Urwah, dari Sa'id ibnu Abdur Rahman ibnu Abza, dari ayahnya, dari Ammar, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: "Melakukan tayamum ialah dengan sekali usap pada wajah dan kedua telapak tangan."
Jalur lain. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid, dari Sulaiman Al-A'masy, telah menceritakan kepada kami Syaqiq, bahwa ia pernah duduk bersama Abdullah dan Abu Musa. Lalu Abu Ya'la berkata kepada Abdullah, "Seandainya ada seorang lelaki tidak menemukan air, lalu ia tidak salat. Bagaimanakah menurut pendapatmu?".Abdullah menjawab, "Tidakkah kamu ingat apa yang dikatakan oleh Ammar kepada Khalifah Umar, yaitu: 'Tidakkah kamu ingat ketika Rasulullah Saw. mengirimku bersamamu dalam suatu iringan unta, lalu aku mengalami jinabah, dan kemudian aku berguling di tanah. Ketika aku kembali kepada Rasulullah Saw., kuceritakan hal itu kepadanya. Maka Rasulullah Saw. hanya tertawa dan bersabda: "Sebenarnya kamu cukup melakukan seperti ini. Lalu beliau Saw. menempelkan kedua telapak tangannya ke tanah, kemudian debunya ia gunakan untuk mengusap kedua telapak tangannya, dan mukanya sekali usap dengan sekali ambilan debu tadi'."

Imam Syafii berpendapat bahwa tayamum diharuskan memakai tanah yang suci dan mengandung debu, hingga ada sebagian dari debu itu yang menempel pada muka dan kedua tangan. Seperti yang disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Syafii dengan sanad yang telah disebutkan di atas dari Ibnus Summah, bahwa ia pernah bersua dengan Nabi Saw. yang sedang buang air kecil, lalu ia mengucapkan salam kepadanya. Tetapi Nabi Saw. tidak menjawab salamnya, melainkan beliau langsung menuju ke sebuah tembok dan mengeriknya dengan tongkat yang ada padanya. Setelah itu beliau menempelkan telapak tangannya pada tembok itu, kemudian mengusapkannya pada wajah dan kedua hastanya.

Dari KITAB SHAHIH BUKHARI:
Telah menceritakan kepada kami Hajjaj dia berkata; telah mengabarkan kepada kami Syu'bah telah mengabarkan kepada kami Al Hakam dari Dzarri dari Sa'id bin 'Abdurrahman bin Abza dari bapaknya, telah berkata, pula 'Ammar tentang masalah ini; Maka Syu'bah memukulkan telapak tangannya ke tanah lalu mendekatkannya kepada mulutnya kemudian mengusapkannya ke mukanya dan kedua telapak tangannya. Dan telah berkata An Nadlar telah mengabarkan kepada kami Syu'bah dari Al Hakam dia berkata; saya mendengar Dzarr berkata; dari Ibnu Abdurrahman bin Abzaa, berkata Al Hakam; dan aku telah mendengarnya dari Ibnu Abdurrahman dari ayahnya berkata; Ammar berkata;. (No. Hadist: 327 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar ia berkata; telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Al Hakam dari Dzarr dari Ibnu 'Abdurrahman bin Abza dari Bapaknya ia berkata, " Ammar berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memukulkan telapak tangannya ke tanah lalu mengusapkan pada muka dan kedua telapak tangannya."(No. Hadist: 330 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)

Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan kepadaku Yahya bin Sa'id berkata, telah menceritakan kepada kami 'Auf berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Raja' dari 'Imran berkata, "Kami pernah dalam suatu perjalanan bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, kami berjalan di waktu malam hingga ketika sampai di akhir malam kami tidur, dan tidak ada tidur yang paling enak (nyenyak) bagi musafir melebihi yang kami alami. Hingga tidak ada yang membangunkan kami kecuali panas sinar matahari. Dan orang yang pertama kali bangun adalah si fulan, lalu si fulan, lalu seseorang yang Abu 'Auf mengenalnya namun akhirnya lupa. Dan 'Umar bin Al Khaththab adalah orang keempat saat bangun, Sedangkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bila tidur tidak ada yang membangunkannya hingga beliau bangun sendiri, karena kami tidak tahu apa yang terjadi pada beliau dalam tidurnya. Ketika 'Umar bangun dan melihat apa yang terjadi di tengah banyak orang (yang kesiangan) -dan 'Umar adalah seorang yang tegar penuh keshabaran-, maka ia bertakbir dengan mengeraskan suaranya dan terus saja bertakbir dengan keras hingga Nabi shallallahu 'alaihi wasallam terbangun akibat kerasnya suara takbir 'Umar. Tatkala beliau bangun, orang-orang mengadukan peristiwa yang mereka alami. Maka beliau bersabda: "Tidak masalah, atau tidak apa dan lanjutkanlah perjalanan." Maka beliau meneruskan perjalanan dan setelah beberapa jarak yang tidak jauh beliau berhenti lalu meminta segayung air untuk wudlu, beliau lalu berwudlu kemudian menyeru untuk shalat. Maka beliau shalat bersama orang banyak. Setelah beliau selesai melaksanakan shalatnya, didapatinya ada seorang yang memisahkan diri tidak ikut shalat bersama orang banyak. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya: "Wahai Fulan, apa yang menghalangimu untuk shalat bersama orang banyak?" Orang itu menjawab, "Aku lagi junub, sementara air tidak ada." Beliau lantas menjelaskan: "Kamu cukup menggunakan debu." Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melanjutkan perjalanan hingga akhirnya orang-orang mengadu kepada beliau bahwa mereka kehausan. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam meminta seseorang yang bernama Abu Raja' -namun 'Auf lupa- dan 'Ali seraya memerintahkan keduanya: "Pergilah kalian berdua dan carilah air." Maka keduanya berangkat hingga berjumpa dengan seorang wanita yang membawa kantung-kantung berisi air dengan untanya. Maka keduanya bertanya kepadanya, "Dimana ada air?" Wanita itu menjawab, "Terakhir aku lihat air di (daerah) ini adalah waktu sekarang ini. dan perjalanan kami ini juga dalam rangka mencari air." Lalu keduanya berkata, "Kalau begitu pergilah". Wanita itu bertanya, "Kalian mau kemana?" Keduanya menjawab, "Menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam." Wanita itu bertanya, "Kepada orang yang dianggap telah keluar dari agama (Shabi'i)?" Keduanya menjawab, "Ya dialah yang kamu maksud." Kemudian kedua sahabat Nabi itu pergi bersama wanita tersebut menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Keduanya kemudian menceritakan peritiwa yang baru saja dialami. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu bersabda: "Turunkanlah dia dari untanya." Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam meminta bejana air, beliau lalu menuangkan di mulut kantung-kantung air (milik wanita itu), beliau lepas ikatan kantung-kantung air tersebut seraya berseru kepada orang banyak: "Ambillah air dan minumlah sesuka kalian!" Maka orang-orang memberi minum (tunggangan mereka) dan meminum sesuka mereka. Dan akhir, beliau memberi seember air kepada orang yang tadi terkena janabah. Beliau lalu berkata kepadanya: "Pergi dan mandilah." Dan sambil berdiri wanita tersebut mengamati apa yang diperbuat terhadap air kepunyaannya. Demi Allah, kejadian tadi telah membuatnya terperanjat dan juga kami, kami saksikan airnya bertambah banyak dibanding saat yang pertama. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu bersabda: "Berkumpulkan (makanan) untuknya." Maka orang-orang pun mengumpulkan makanan berupa kurma, tepung, sawiq (campuran antara susu dengan tepung) untuk wanita tersebut. makanan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam kain, mereka menaikkan wanita tersebut di atas kendaraan dan meletakkan makanan tersebut di depannya. Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepada wanita tersebut: "Kamu mengetahui bahwa kami tidak mengurangi sedikitpun air milikmu, tetapi Allah yang telah memberi minum kepada kami." Wanita tersebut kemudian pulang menemui keluarganya, mereka lalu bertanya, "Wahai fulanah, apa yang membuat kamu terlambat?" Wanita tersebut menjawab, "Suatu keajaiban! Aku bertemu dengan dua orang laki-laki yang kemudian membawaku bertemu dengan seorang yang disebut Shabi'I, lalu laki-laki itu berbuat begini begini. Demi Allah, dialah orang yang paling menakjubkan (membuat kejadian luar biasa) di antara yang ada ini dan ini." Wanita tersebut berkata sambil memberi isyarat dengan mengangkat jari tengah dan telunjuknya ke arah langit, atau antara langit dan bumi. Maksudnya bersaksi bahwa dia adalah Utusan Allah yang haq. Sejak saat itu Kaum Muslimin selalu melindungi wanita tersebut dari Kaum Musyrikin dan tidaklah Kaum Muslimin merusak rumah atau kediaman wanita tersebut. Pada suatu hari wanita itu berkata kepada kaumnya, "Aku tidak memandang bahwa kaum tersebut membiarkan kalian dengan sengaja. Apakah kalian mau masuk Islam?" Maka kaumnya mentaatinya dan masuk ke dalam Islam." Abu 'Abdullah berkata, "Yang dimaksud dengan Shabi'i adalah keluar dari suatu agama kepada agama lain." Sedangkan Abu' 'Aliyah berkata, "Ash-Shabi'un adalah kelompok dari Ahlul Kitab yang membaca Kitab Zabur."(No. Hadist: 331 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)

>>> Jika Junub, bagaimana cara bersucinya (dng tayammum/berguling-guling ditanah) ?
 
Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb berkata, telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Al Hakam dari Dzar dari Ibnu 'Abdurrahman bin Abza dari Bapaknya bahwa ia pernah melihat 'Umar saat 'Ammar bertanya kepadanya, "Kami sedang dalam perjalanan, kemudian kami junub?" dia menjawab, "Hendaknya bertayamum."(No. Hadist: 328 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsir telah mengabarkan kepada kami Syu'bah dari Al Hakam dari Dzar dari Ibnu 'Abdurrahman bin Abza dari 'Abdurrahman bin Abza ia berkata; Ammar berkata kepada Umar, "Aku bergulingan (di atas pasir) lalu menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Maka beliau pun bersabda: "Cukup bagimu (mengusap debu) pada muka dan kedua telapak tangan (hanya dng tayamum seperti biasa dan tidak perlu bergulingan ditanah)." Telah menceritakan kepada kami Muslim telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Al Hakam dari Dzar dari Ibnu 'Abdurrahman dari 'Abdurrahman bin Abza ia berkata, "Aku melihat Umar ketika Ammar bertanya kepadanya….lalu ia menyebutkan hadits."(No. Hadist: 329 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)


Dari Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA - Pusat Kajian Hadits-Jkt
Urutan² Bertayammum:
1. Berniat bersuci untuk Sholat/Janabat
2. Menepukkan Kedua telapak tangan ke debu
3. Meniup Kedua Telapak tangan
4. Mengusap Wajah (semua wajah yg bagian depan) satu kali saja - merata
5. Menepukkan Kedua telapak tangan ke debu, usahakan pada debu bagian yg lain
6. Meniup Kedua Telapak tangan
7. Mengusap kedua tangan hingga siku, dng cara: Meletakkan kedua telapak tangan dng telapak tangan kanan diatas. Kemudian menarik tangan kiri dari punggung telapak kanan hingga siku, lalu memutarnya dan menarik telapak kiri dari siku menuju jempol telapak kanan (akhir dari mengusap tangan kanan, jempol kiri -diatas- ketemu jempol kanan). Kemudian menarik tangan kanan dari punggung telapak kiri hingga siku, lalu memutarnya dan menarik telapak kanan dari siku menuju jempol telapak tangan kiri (akhir dari mengusap tangan kiri, jempol kanan -diatas- ketemu jempol kiri).
8. Setiap akan sholat fardlu, bertayamum lagi (Alasannya: tayamum merupakan badal/pengganti, sedangkan wudlu merupakan asal/perintah aslinya. Sehingga wudlu satu kali bisa untuk beberapa kali sholat fardlu, selama belum batal, namun untuk tayamum tidak boleh, satu kali tayamum untuk satu sholat fardlu).

Lihat: Tata cara bertayamum dalam Videonya ...


Selesai Masalah Tayamum, dilanjutkan sedikit mengenai Mandi (menggunakan air)

Bab: Berwudlu' sebelum Mandi karena Janabat

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah berkata, telah menceritakan kepada kami Yazid berkata, telah menceritakan kepada kami 'Amru -yaitu Ibnu Maimun- dari Sulaiman bin Yasar berkata, aku mendengar 'Aisyah berkata. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan kepada kami 'Abdul Wahid berkata, telah menceritakan kepada kami 'Amru bin Maimun dari Sulaiman bin Yasar berkata, "Aku bertanya kepada 'Aisyah tentang mani yang mengenai pakaian. Ia lalu menjawab, "Aku pernah mencuci air mani dari pakaian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau lalu keluar untuk shalat sementara sisa cucian masih nampak pada pakaian beliau." (No. Hadist: 223 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)

Dalil dari tidak najisnya air mani ada banyak, di antaranya adalah hadits berikut ini:

لَقَدْ كُنْتُ أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبٍ رَسُولِ اَللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرْكًا, فَيُصَلِّي فِيهِ وَفِي لَفْظٍ لَهُ: لَقَدْ كُنْتُ أَحُكُّهُ يَابِسًا بِظُفُرِي مِنْ ثَوْبِهِ

Dari Aisyah ra berkata, "Aku mengerok mani dari pakaian Rasulullah SAW dan beliau memakainya untuk shalat. Dalam riwayat lain disebutkan, "Aku menggaruk dengan kuku-ku mani yang kering dari pakaian beliau. (HR Muslim)

Tata Cara Mandi Janabat:
Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf berkata, telah mengabarkan kepada kami Malik dari Hisyam bin 'Urwah dari Bapaknya dari 'Aisyah isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa jika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mandi karena janabat, beliau  
(1) memulainya dengan mencuci kedua telapak tangannya, 
(2) kemudian berwudlu sebagaimana wudlu untuk shalat, 
(3) kemudian memasukkan jari-jarinya ke dalam air lalu menggosokkannya ke kulit kepalanya,
(4) kemudian menyiramkan air ke atas kepalanya dengan cidukan kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali, 
(5) kemudian beliau mengalirkan air ke seluruh kulitnya."
(No. Hadist: 240 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)
---------------------------------

Bab. Alat untuk Bersuci
Tanah, air hujan, air tawar, air laut, Salju, embun dan batu merupakan alat untuk bersuci. Asalnya adalah suci lagi mensucikan. 
Hal ini berdasarkan hadits,

جُعِلَتْ لِي الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا

“Seluruh permukaan bumi dijadikan untukku sebagai tempat shalat dan alat untuk bersuci.” (HR. Bukhari, no. 335 dan Muslim, no. 521)

Air laut meskipun asin juga mensucikan, karena keasinannya secara alami, bukan buatan manusia, berikut hadisnya: 

Dari Abi Hurairah ra bahwa ada seorang bertanya kepada Rasulullah SAW, `Ya Rasulullah, kami mengaruhi lautan dan hanya membawa sedikit air. Kalau kami gunakan untuk berwudhu, pastilah kami kehausan. Bolehkah kami berwudhu dengan air laut?`. Rasulullah SAW menjawab, `(Laut) itu suci airnya dan halal bangkainya. (HR Abu Daud 83, At-Tirmizi 79, Ibnu Majah 386, An-Nasai 59, Malik 1/22).

Air hujan suci lagi mensucikan: 

اِذْ يُغَشِّيْكُمُ النُّعَاسَ اَمَنَةً مِّنْهُ وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِّنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً لِّيُطَهِّرَكُمْ بِهٖ وَيُذْهِبَ عَنْكُمْ رِجْزَ الشَّيْطٰنِ وَلِيَرْبِطَ عَلٰى قُلُوْبِكُمْ وَيُثَبِّتَ بِهِ الْاَقْدَامَۗ ١١

 "(Ingatlah) ketika Allah membuat kamu mengantuk sebagai penenteraman dari-Nya dan menurunkan air (hujan) dari langit kepadamu untuk menyucikan kamu dengan (hujan) itu, menghilangkan gangguan-gangguan setan dari dirimu, dan menguatkan hatimu serta memperteguh telapak kakimu." (QS. Al-Anfal [8] :11)

Imam Ibn Katsir menjelaskan, ayat di atas berkenaan Kaum Muslim tatkala menuju ke Badar mereka mengalami keadaan amat membutuhkan air. Sementara pada saat itu, sumber air dikuasai kaum musyrik. Hal ini menimbulkan rasa khawatir pada hati kaum muslim. Sebab mereka membutuhkan air untuk minum dan bersuci. Maka Allah menurunkan hujan agar dapat digunakan untuk minum dan bersuci.

Ibn Katsir juga menjelaskan, bahwa maksud redaksi “mensucikan” dalam ayat di atas adalah mensucikan secara lahir. Yakni mensucikan diri dari hadas kecil dan besar. Hal ini menepiskan anggapan bahwa maksud dari “mensucikan” adalah selain persoalan anggota lahir (Tafsir Ibn Katsir/4/23).

Salju dan embun juga suci dan mensucikan:

اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنْ خَطَايَايَ كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنْ الدَّنَسِ اللَّهُمَّ اغْسِلْنِي مِنْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ

Allahumma baa’id baynii wa bayna khothoyaaya kamaa baa’adta baynal masyriqi wal maghrib. Allahumma naqqinii min khothoyaaya kamaa yunaqqots tsaubul abyadhu minad danas. Allahummagh-silnii min khothoyaaya bil maa-i wats tsalji wal barod (artinya: Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahan-kesalahanku, sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana baju putih dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan air, salju dan embun).” (HR. Bukhari no. 744, Muslim no. 598, An Nasai no. 896, lafaznya adalah dari An Nasai)



Bab. Hukum Air yang Digunakan 

Hukum air asalnya adalah suci dan mensucikan hingga terkena najis sehingga terjadi perubahan pada rasa, warna, dan baunya biarpun sedikit ataupun banyak.
Namun ada juga air yang suci namun tidak bisa mensucikan karena terkena sesuatu yg suci namun terjadi perubahan pada rasa, warna, dan baunya biarpun sedikit ataupun banyak. Misalnya: air teh.

Abu Ishak As-Syairozi dalam kitabnya Al-Muhadzdzab sempat menuliskan permasalahan ini berikut keputusan hukumnya. Beliau menuturkan empat perilaku orang ketika berhadapan dengan air berkaitan dengan keyakinannya perihal suci tidaknya air tersebut. Beliau menyebutkan:

   إذا تيقن طهارة الماء وشك في نجاسته توضأ به لأن الأصل بقاؤه على الطهارةوإن تيقن نجاسته وشك في طهارته لم يتوضأ به لأن الأصل بقاؤه على النجاسة وإن لم يتيقن طهارته ولا نجاسته توضأ به لأن الأصل طهارته فإن وجده متغيراً ولم يعلم بأي شيء تغير توضأ به لأنه يجوز ان يكون تغيره بطول المكث     

Artinya: “Bila seseorang meyakini sucinya air dan meragukan kenajisannya maka ia bisa berwudlu dengan air itu karena hukum asal air itu adalah tetap pada kesuciannya.
Bila ia meyakini najisnya air dan meragukan kesuciannya maka ia tidak bisa berwudlu dengan air itu karena hukum asal air itu adalah tetap pada kenajisannya (karena awalnya sudah najis).
 Sedangkan bila ia tidak meyakini kesucian dan juga najisnya air maka ia bisa berwudlu dengan air tersebut karena hukum asal air itu adalah suci. 
Dan bila ia menemukan air telah berubah sifatnya namun tidak mengetahui apa yang menyebabkan perubahan tersebut maka ia bisa berwudlu dengan air itu karena bisa jadi perubahan itu dikarenakan lamanya air itu berdiam. (lihat Abu Ishak As-Syairazi, Al-Muhadzdzab, (Beirut: Darul Fikr, 2005), juz 1, hal. 14).

Bab. Mensucikan Benda yang Terkena  Najis

Jika najis yang menempel di tanah dan batu telah hilang, bagaimanapun caranya, maka status benda itu kembali suci. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:

كَانَتِ الْكِلاَبُ تَبُولُ وَتُقْبِلُ وَتُدْبِرُ فِى الْمَسْجِدِ فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم –  فَلَمْ يَكُونُوا يَرُشُّونَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ

“Dulu anjing-anjing sering kencing dan keluar-masuk masjid pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun mereka (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya) tidak mengguyur kencing anjing tersebut.” (HR. Bukhari 174, Abu Daud 382, dan lainnya).

Pada hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam para sahabat menganggap suci semua tanah masjid, padahal bisa jadi ada anjing yang kencing di sana. Namun, mengingat najis itu sudah hilang karena menguap, mereka menghukumi tanah itu tidak najis.

Dalam Aunul Ma’bud dinyatakan,

وَالْحَدِيثُ فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْأَرْضَ إِذَا أَصَابَتْهَا نَجَاسَةٌ فَجَفَّتْ بِالشَّمْسِ أَوِ الْهَوَاءِ فَذَهَبَ أَثَرُهَا تَطْهُرُ إِذْ عَدَمُ الرَّشِّ يَدُلُّ عَلَى جَفَافِ الْأَرْضِ وَطَهَارَتِهَا

Hadis ini menunjukkan dalil bahwa tanah yang terkena najis, kemudian kering karena terik matahari atau ditiup angin, sehingga bekas najisnya sudah hilang maka tanah itu menjadi suci. Karena, tidak diguyur air (pada hadis Ibnu Umar di atas), menunjukkan bahwa tanah itu telah kering, dan kembali suci.

Selanjutnya penulis mengatakan,

فَرُوِيَ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ أَنَّهُ قَالَ جُفُوفُ الْأَرْضِ طُهُورُهَا

Diriwayatkan dari Abu Qilabah bahwa keringnya tanah, merupakan cara mensucikannya (Aunul Ma’bud, Syarh Abu Daud, 2:31).

Menghilangkan Najis dengan Segera 
Jika najis (air) mengenai tanah atau batu lalu dibiarkan begitu saja, maka dia akan hilang dengan sendirinya karena tertiup angin atau terkena terik matahari. Sehingga tanah dan batu tersebut bisa suci. Namun, karena tujuannya ingin agar najis hilang dengan segera, maka digunakanlah air. Selain itu dengan air, bau juga bisa hilang dengan segera.

عن أنس بن مالك -رضي الله عنه-قال: «جاء أعرابِيُّ، فبَالَ في طَائِفَة المَسجد، فَزَجَرَه النَّاسُ، فَنَهَاهُمُ النبِيُّ -صلى الله عليه وسلم- فَلمَّا قَضَى بَولَه أَمر النبي -صلى الله عليه وسلم- بِذَنُوب من ماء، فَأُهرِيقَ عليه».  
[صحيح.] - [متفق عليه.]
المزيــد ...

Dari Anas bin Malik -raḍiyallāhu 'anhu-, ia berkata, "Seorang Arab Badui datang lalu kencing di salah satu sudut masjid. Maka orang-orang membentak dan berusaha mencegahnya. Lantas Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- melarang mereka. Setelah lelaki itu menyelesaikan kencingnya, beliau pun memerintahkan untuk mengambil satu ember air kemudian disiramkan pada bekas kencingnya."  
Hadis sahih - Muttafaq 'alaih - HR. Bukhari no. 221 dan Muslim no. 284

Sedangkan dalam lafazh sahih Bukhari disebutkan berikut ini:

قَالَ: قَامَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي المَسْجِدِ، فَتَنَاوَلَهُ النَّاسُ، فَقَالَ لَهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «دَعُوهُ وَهَرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ، أَوْ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ، وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ

“Abu Hurairah berkata: “seorang Arab Badui berdiri lalu kencing di masjid, lalu orang-orang ingin mengusirnya. Maka Nabi SAW pun bersabda kepada mereka, biarkanlah dia dan siramlah bekas kencingnya dengan setimba atau seember air, sesungguhnya kalian diutus untuk memberikan kemudahan bukan untuk memberikan kesulitan.”


Bagaimana Jika Selain Batu dan Tanah?
Jika selain batu dan tanah yang terkena najis, misalnya kursi atau kain yang terkena najis, maka masih mempunyai sifat najis, dan najis tersebut tidak hilang hanya karena sudah kering. 

Ada beberapa perbedaan keadaan yang menjadikan hukum dari masalah ini juga berbeda: 
1. Apabila najisnya basah, maka jelas pakaian menjadi najis. 
2. Apabila najisnya kering, dan pakaian atau badan yang mengenai najis juga kering, maka pakaian tidak menjadi najis, tidak ada perbedaan ulama dalam masalah ini. Qoidah Fiqhiyyah dalam hal ini adalah
 النجس إذا لاقى شيئا طاهرا و هما جافان لا ينجسه 
(najis apabila mengenai benda suci dalam keadaan keduanya kering maka tidak menjadikannya najis). 
3. Apabila najisnya kering, tapi pakaian atau badan yang mengenainya basah, ada 2 pendapat di kalangan ulama. Seperti yang dijelaskan berikut ini:

Hukum Pakaian atau Badan yang Basah Mengenai Najis yang Kering Ada 2 pendapat dalam masalah ini : 
1. Tidak menjadi najis. Ini adalah Mazhab Maliki, Hanafi dan Hanbali (Madzhab Hanbali mensyaratkan apabila pakaian atau badan basah tapi tidak membasahi. 
2. Menjadi najis. Ini adalah Mazhab Syafi'i. Ibnu Hajar Al Haitami berkata: "Dan boleh bagi seseorang untuk memakai pakaian yang terkena najis, jika tidak digunakan untuk shalat atau selainnya, apabila pakaian tersebut kering dan badannya juga kering. Tapi apabila basah maka tidak boleh".
 Apabila pakaian atau kaki yang mengenai najis tersebut juga kering, maka tidak menjadi najis. Tetapi apabila pakaian atau kaki tersebut basah maka dihukumi menjadi najis.
Namun ada dalil yang menguatkan pendapat Mazhab Syafi'i, yaitu Hadis Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya tentang tikus yang jatuh ke dalam lemak (minyak) dan mati di situ, maka beliau bersabda:
 أَلْقُوهَا وَمَا حَوْلَهَا وَكُلُوهُ
 "Buanglah bangkai tersebut serta minyak sekitarnya, kemudian makanlah (yang tersisa)." (HR Al-Bukhari).

Mensucikan Pakaian Bekas Kencing Bayi
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata:

Bayi laki-laki yang belum mengonsumsi makanan atas dasar ketertarikannya (sudah jadi kebutuhannya, pen.), maka cukup bekas kencingnya diperciki sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلاَمِ

“Kencing bayi perempuan itu dicuci, sedangkan bayi laki-laki diperciki.” (HR. Abu Daud, no. 376 dan An-Nasa’i, no. 305.) Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.

Jika bentuk najis itu hilang, maka tempat yang terkena najis menjadi suci. Kalau ada bekas warna dan bau, maka tidaklah masalah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan pada Khaulah binti Yasar mengenai bekas darah haidh,

يَكْفِيكِ الْمَاءُ وَلاَ يَضُرُّكِ أَثَرُهُ

“Air tadi sudah menghilangkan najis tersebut, sehingga bekasnya tidaklah membahayakanmu.”( HR. Abu Daud, no. 365 dan Ahmad, 2:364.) Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan.

Keterangan: 
Yang dimaksud ‘jariyah’ dalam hadits di atas adalah bayi perempuan yang masih dalam masa menyusui. Sedangkan ‘ghulam’ yang dimaksud adalah untuk anak laki-laki hingga berusia baligh, namun kadang juga dimaksudkan untuk bayi laki-laki yang masih menyusui.

Adapun yang dimaksud ‘yughsalu’ adalah membanjiri air pada pakaian yang terkena kencing. Inilah yang diperlakukan pada bekas kencing bayi perempuan. Sedangkan bayi laki-laki cukup diperciki atau disebut dalam hadits dengan ‘yurosysyu’, dalam lafazh lain disebutkan dengan ‘yundhohu’, juga sama artinya diperciki. Maksud diperciki di sini adalah tidak membuat sampai air tersebut mengalir. Demikian keterangan dalam Minhah Al-‘Allam, 1:124 karya Syaikh ‘Abdullah Al Fauzan.

Beberapa faedah dari hadits di atas:

1- Hadits di atas menunjukkan penanganan yang berbeda antara kencing bayi laki-laki dan kencing bayi perempuan. Keduanya sama-sama menggunakan air, namun cara penyuciannya yang berbeda. Kencing anak laki-laki cukup diperciki pada tempat atau pakaian yang terkena kencing. Dalam hadits lain dari Ummu Qois binti Mihshon, bahwasanya ia datang dengan anak laki-lakinya yang masih kecil dan anaknya tersebut belum mengonsumsi makanan. Ia membawa anak tersebut ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau lantas mendudukkan anak tersebut di pangkuannya. Anak tersebut ternyata kencing di pakaian beliau. Beliau lantas meminta diambilkan air dan memercikkan bekas kencing tersebut tanpa mencucinya. [Lihat. Bukhari, no. 223 dan Muslim, no. 287.]
Sedangkan kencing bayi perempuan tetap dicuci seperti kencing lainnya. (Seperti telah dijelaskan sebelumnya).

2- Anak laki-laki yang kencingnya diperciki adalah yang belum mengonsumsi makanan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Ummu Qois di atas. Namun jika bayi tersebut sudah mengonsumsi makanan secara rutin walaupun kadang-kadang masih mengonsumsi ASI, tetap kencingnya dianggap seperti kencing orang dewasa yang mesti dicuci, tidak cukup diperciki.

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Kencing bayi laki-laki diperciki selama ia masih menyusui. Adapun jika ia sudah mengonsumsi makanan sebagai kebutuhan pokoknya, maka wajib kencing tersebut dicuci tanpa ada perselisihan di antara para ulama.” (Syarh Shahih Muslim, 3:174).

Bagaimana Cara Menghilangkan Najis Selain Kencing Bayi? Namun bukan Termasuk Najis Mughollazoh (najis berat)

Cara menghilangkan najis yang berupa zat basah, cucilah bagian baju yang terkena najis dengan air yang suci dan mengalir. Tak cukup hanya dengan memercikkan atau mengalirkan air, tetapi basuh dan kucek objek yang dimaksud hingga terlihat bersih. Jika proses tersebut sudah dilakukan maka peras bagian yang terdapat najisnya. 

Mensucikan Benda yang Terkena Najis Mughollazoh (najis berat)

وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ: طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيْهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ، أُوْلاَهُنَّ بِالتُّرَابِ. أخْرَجَهُ مُسْلِمٌ.

وَفِيْ لَفظٍ لَهُ: “فَلْيُرِقْهُ” وَلِلتِّرْمِذِيِّ: “أُخْرَاهُنَّ، أَوْ أُوْلاَهُنَّ بِالتُّرَابِ.”

Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Sucinya bejana kamu yang dijilat anjing adalah dengan cara mencucinya sebanyak tujuh kali dan yang pertama dengan tanah.”

Diriwayatkan oleh Muslim. Dan dalam suatu lafaznya: “Hendaklah ia membuang air yang di bejana tersebut.” Dan dalam riwat Tirmidziy dengan lafazh: “Salah satu bilasannya dengan tanah atau yang pertamanya.”

(Hadits SHAHIH. Telah diriwayatkan oleh Muslim ( 1/162), Abu Dawud (no.71), Tirmidziy (no.91) , Nasaa-i(1/178), Ahmad (no.2/265,427,489,508) dan lain-lain banyak sekali yang salah satu lafazh-nya seperti di atas.)

Hadits ini didukung oleh hadits Abdullah bin Mughaffal bahwa Nabi bersabda:

«إذا ولغ الكلب في الإناء فاغسلوه سبع مرات، وعفّروه الثامنة بالتراب» أخرجه مسلم

Apabila Anjing menjilati bejana maka cucilah bejana tersebut tujuh kali dan taburilah yang kedelapan dengan debu. (HR Muslim no. 93).

Adapun selain air liurnya seperti badannya atau bulunya tidak najis, karena hadits di atas tidak menunjukkan najisnya anjing secara mutlak, kecuali air liurnya.

Kemudian Abu Dawud –di dalam salah satu riwayatnya– (no.72), Tirmidziy (no.91), Thahawi dikitabnya Syarah Ma’aa-nil Atsar (1/19-20), Daruquthni (1/64,67,68) dan Baihaqiy (1/247-248) memberikan tambahan .

…وَإِذَا وَلَغَتْ فِيْهِ الْهِرَّةُ غُسِلَ مَرَّةً

“… Dan apabila air di dalam bejana tersebut dijilat oleh kucing dicuci satu kali “

Tambahan ini telah di-Shahih-kan oleh Tirmidziy, Thahawi, Daruquthni Syaikh Ahmad Syakir dan Syaikh Al-Albani.

Bagaimana dengan Bekas Najis yang Sulit Hilang? 
Jika bentuk najis itu hilang, maka hilanglah hukum najisnya. Tempat yang sudah bersih dari bentuk najis dianggap suci walaupun ada bekas warna atau bau setelah dicuci dengan sungguh². Contoh yang dibicarakan adalah tentang darah haidh dalam hadits di atas. Di sini diketahui bahwa pakaian yang terkena darah haidh menjadi suci ketika dicuci walaupun ada bekasnya. Lihat Ghayah Al-Muqtashidin, 1:76.

Rasulullah SAW pada hadits riwayat Asma binti Abu Bakar RA.

  وَعَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ اَلنَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ -فِي دَمِ اَلْحَيْضِ يُصِيبُ اَلثَّوْبَ-: - "تَحُتُّهُ, ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ, ثُمَّ تَنْضَحُهُ, ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ" - مُتَّفَقٌ عَلَيْه 
Artinya, “Dari Asma binti Abu Bakar RA, Rasulullah SAW bersabda, ‘Pada darah haid yang mengenai pakaian, kau mengoreknya, menggosoknya dengan air, membasuhnya, dan melakukan shalat dengannya,’” (HR Bukhari dan Muslim).

Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki dalam Kitab Ibanatul Ahkam, Syarah Bulughul Maram, mengatakan bahwa sisa noda darah haid pada pakaian yang telah dicuci ditoleransi secara syariat.

 يعفى عما بقي من أثر اللون بعد الاجتهاد في الغسل بدليل (ولا يضرك أثره) الآتي في الحديث الذي بعده 

Artinya, “Bekas warna (najis) yang tersisa pada pakaian dimaafkan setelah pakaian dicuci secara serius dengan dalil hadits selanjutnya yang berbunyi, ‘Bekasnya tidak masalah bagimu,’” (Lihat Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1416 H], cetakan pertama, juz I, halaman 54). 

Adapun hadits yang dimaksud oleh Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki adalah hadits Abu Hurairah RA yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi.

 وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَتْ خَوْلَةُ: - يَا رَسُولَ اَللَّهِ, فَإِنْ لَمْ يَذْهَبْ اَلدَّمُ? قَالَ: "يَكْفِيكِ اَلْمَاءُ, وَلَا يَضُرُّكِ أَثَرُهُ" - أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَسَنَدُهُ ضَعِيف 

Artinya, “Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, Khawlah RA berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana jika darah itu tidak hilang?’ ‘Cukup bagimu (mencuci dengan) air itu. Bekasnya tidak masalah bagimu,’” (HR At-Tirmidzi). 

Hadits yang dimasukkan dalam Kitab Bulughul Maram, kumpulan hadits-hadits hukum ini menunjukkan ketiadaan masalah dalam mengenakan pakaian yang masih mengandung noda sisa darah haid setelah dicuci secara sungguhan.

 يقف الإنسان أمام ربه طاهر البدن فيجب عليه أن يكون كذالك طاهر الملبس إذا سقطت على ملبوساته إحدى النجاسات كالدم أن يزيل ذلك بكل ما في وسعه ممن مجهود، فإذا تعسرت عليه إزالة لون النجاسة  في الثوب فيغتفر له ذلك (ولن يشاد هذا الدين أحد إلا غلبه) وهذا من سماحة الإسلام وتيسير أحكامه... لا يضر بقاء ريح النجاسة أو لونها إذا تعسرت إزالة ذلك 

Artinya, “Seseorang berdiri di hadapan Tuhannya dalam kondisi suci secara fisik sehingga ia juga wajib berdiri dalam kondisi suci di pakaian. Bila salah satu jenis najis seperti darah mengenai pakaiannya, maka ia wajib menyucikan najis tersebut secara sungguhan. Bila penghilangan warna najis di pakaian secara total itu sulit, maka itu dimaafkan sebagaimana hadits ‘Tidak ada seorang pun yang mempersulit agama, kecuali agama itu yang menyulitkannya.’ Ini menjadi bagian dari toleransi Islam dan kemudahan hukum Islam… Sisa bau dan sisa warna najis tidak masalah bila sulit dihilangkan,” (Lihat Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1416 H], cetakan pertama, juz I, halaman 55).

Jika Pakaian Terkena Mani yang Masih Basah

Dalil mereka adalah hadits yang diriwayatkan Aisyah RA, beliau mencuci bekas sisa air mani Rasulullah SAW yang telah mengering di pakaian beliau.  

كنت أغسل المني من ثوب رسول الله صلى الله عليه وسلم فيخرج إلى الصلاة، وأثر الغسل في ثوبه بقع الماء 

"Aku mencuci bekas air mani pada pakaian Rasulullah SAW, lalu beliau keluar untuk sholat meski pun masih ada bekas pada bajunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jika Pakaian Terkena Mani yang Sudah Kering 

Dalilnya adalah hadits Nabi Muhammad SAW yang menyamakan air mani dengan dahak yang disepakati kesuciannya. 

عن ابن عباس قال : سئل النبي صلى الله عليه وسلم عن المني يصيب الثوب ، فقال : إنما هو بمنزلة المخاط والبصاق وإنما يكفيك أن تمسحه بخرقة أو بإذخرة

Dari Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW ditanya tentang hukum air mani yang terkena pakaian. Nabi Muhammad SAW menjawab, "Air mani itu hukumnya seperti dahak atau lendir, cukup bagi kamu untuk mengelapnya dengan kain." (HR Baihaqi)

Ada juga hadits yang diriwayatkan dari Aisyah ra, bahwa ia mengerik bekas air mani yang telah kering. Rasulullah SAW lalu menggunakannya untuk sholat, sedangkan sisa-sisa maninya masih ada.

كنت أفرك المني من ثوب رسول الله صلى الله عليه وسلم، فيصلي فيه 

"Dari Aisyah RA bahwa beliau mengerik bekas air mani Rasulullah SAW yang telah kering dan beliau sholat dengan mengenakan baju itu. (HR. Bukhari dan Muslim).


Bab: Banyaknya Air yg Digunakan dan Air musta'mal

No. Hadist: 253 dr KITAB SHAHIH BUKHARI

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ أَخْبَرَنَا أَفْلَحُ بْنُ حُمَيْدٍ عَنْ الْقَاسِمِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ تَخْتَلِفُ أَيْدِينَا فِيهِ

Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Maslamah telah mengabarkan kepada kami Aflah bin Humaid dari Al Qasim dari 'Aisyah berkata, "Aku (istri Nabi SAW) pernah mandi bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dari satu bejana, dan tangan kami saling bersentuhan."

Ahmad bin Mani' dan Ali bin Hujr menceritakan kepada kami, keduanya berkata, "Ismail bin Ulayyah menceritakan kepada kami dari Abu Raihanah, dari Safinah: Nabi SAW berwudhu dengan satu mud (air sebanyak satu mud) dan beliau mandi dengan satu sha' (air yang banyaknya sekitar dua setengah liter). Shahih: Ibnu Majah (267)

Keterangan:
Dengan air yg sedikit seperti itu, maka air yg telah dipakai untuk mandi tentu ada yg nyiprat atau kembali ke wadahnya. Apalagi kalau yg mandi itu berdua (suami-istri), tentunya malah lebih banyak air yg telah dipakai mandi/bersuci yg nyiprat kembali ke wadah. Dan hal itu tidak mengapa. Selengkapnya adalah sebagai berikut:

Air musta`mal dalam pengertian Ulama Al-Malikiyah adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats baik wudhu` atau mandi.
Dan tidak dibedakan apakah wudhu` atau mandi itu wajib atau sunnah. Juga yang telah digunakan untuk menghilangkan khabats (barang najis).
Dan dikatakan bahwa yang musta`mal hanyalah air bekas wudhu atau mandi yang menetes dari tubuh seseorang. Air musta`mal ini suci dan mensucikan. Artinya, bisa dan syah digunakan untuk mencuci najis atau wadah. Air ini boleh digunakan lagi untuk berwudhu` atau mandi sunnah selama ada air yang lainnya. Bila ada sedikit tetesan air musta`mal yang jatuh ke dalam air yang jumlahnya kurang dari 2 qullah, maka tidak mengakibatkan air itu menjadi 'tertular' kemusta`malannya.

Keterangan ini selengkapnya bisa dibaca pada kitab As-Syahru As-Shaghir 37/1-40, As-Syarhul Kabir ma`a Ad-Dasuqi 41/1-43, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah hal. 31, Bidayatul Mujtahid 1 hal 26 dan sesudahnya.

Bab: Bagaimana dengan Air Jika lebih dari 2 qullah?

Dalam suatu lafadz hadits yg dikeluarkan oleh Imam Empat:

وعَنْ عَبدِ اللهِ بنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رسولُ الله صلى اللهُ عليه
وسلم: إِذَا كَانَ المَآءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحمِلِ الخَبَثَ، وفي لَفْظٍ: لَمْ يَنْجُسْ،
.أَخْرَجَهُ الأَرْبَعَةُ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ والحاكمُ وابْنُ حِبَّانَ

Dari Abdullah bin Umar ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Apabila jumlah air mencapai 2 qullah, tidak membawa kotoran." Dalam lafadz lainnya, "Tidak membuat najis." (HR Arba'ah: Abu Daud, Nasai, Tirmizi dan ibnu Majah)

Ibnu Khuzaimah, Al-Hakim dan Ibnu Hibban menshahihkan hadits ini. Sehingga ketentuan air harus berjumlah 2 qullah bukan semata-mata ijtihad para ulama saja, melainkan datang dari ketetapan Rasulullah SAW sendiri lewat haditsnya.

Para ulama kontemporer kemudian mencoba mengukurnya dengan besaran zaman sekarang. Dan ternyata dalam ukuran masa kini kira-kira sejumlah 270 liter (atau dalam suatu wadah kotak yg berukuran 64,64 cm x 64,64 cm x 64,64 cm). Demikian disebutkan oleh Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu.

Tambahan mengenai perbedaan diantara ulama’ kontemporer mengenai kadar air 2 kulah :
1. Versi keterangan dalam kitab Fathul Qodir karya KH M Makshum Ali,volume air 2 kulah adalah 174,58 liter (atau dalam suatu wadah kotak persegi ukuran: 55,89 cm x 55,89 cm x 55,89 cm)
2. Menurut keterangan dalam kitab Ghoyatul Muna Syarah Safinatun Naja karya Syaikh Muhammad bin Ali bin Muhammad Ba ‘AthiyyahAd-Du’ani, volume air 2 kulah adalah 216 liter. (atau dalam suatu wadah kotak persegi ukuran: 60 cm x 60 cm x 60 cm)
3. Menurut keterangan dalam kitab At-taqrirot As-Sadidah, volume air 2kulah adalah 217 liter.(atau dalam suatu wadah kotak persegi ukuran: 60,1 cm x 60,1 cm x 60,1 cm)
4. Menurut keterangan dalam kitab Al-fiqhul Islami Wa Adillatuh karyaSyaikh Dr. Wahabah Az-Zuhaili, volume air 2 kulah adalah 270 liter. (atau dalam suatu wadah kotak persegi ukuran: 64,64 cm x 64,64 cm x 64,64 cm).

Wallohu a’lam.
****************


Bab. Doa Setelah Wudhu

Rasulullah SAW bersabda:

مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأَ فَيَسْبِغُ اْلوُضُوْءَ ثُمَّ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ إِلَّا فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةَ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ

Artinya: “Tidaklah salah seorang di antara kalian berwudhu dengan menyempurnakan wudhunya kemudian ia membaca doa (yang artinya) ‘Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya’ kecuali dibukalah delapan pintu surga untuknya yang dapat ia masuki dari mana saja ia mau.” (HR. Muslim, Abu Dawud dan Ahmad)

****************
Lihat dan baca juga link berikut ini: http://tausyiahaditya.blogspot.com/2014/12/berwudlu-sebelum-mandi-junub.html

****************

1 komentar: