Minggu, 08 Maret 2015

Sibuk Bekerja ataukah Ibadah?

Seringkali urusan dunia menjadikan sibuk manusia. Banyak aktivitas yg dilakukan hingga bekerja seharian menjadikan manusia sering mengeluh dan merasa lelah...
Kadangkala mereka merasa iri dengan mereka yang selalu taat beribadah didalam Mesjid. Mereka merasa sulit untuk berlama-lama di rumah Allah itu, bahkan untuk sekedar melakukan shalat wajib berjamaah pun sering tidak sempat.
Bahkan mereka sempat berangan2, "Andai aku bisa seperti mereka, menggunakan waktunya hanya untuk beribadah kepadaNYA. Betapa beruntungnya aku..Bukan hanya sekedar direpoti oleh urusan kerja dan mencari nafkah belaka.."

Ada hadits yang cukup menghibur mereka:
"Suatu ketika Nabi SAW dan para sahabat melihat ada seorang laki-laki yang sangat rajin dan ulet dalam bekerja, seorang sahabat berkomentar:"Wahai Rasulullah, andai saja keuletannya itu dipergunakannya dijalan Allah.” Rasulullah saw menjawab: “Apabila dia keluar mencari rezeki karena anaknya yang masih kecil, maka dia dijalan Allah. Apabila dia keluar mencari rejeki karena kedua orang tuanya yang sudah renta, maka dia dijalan Allah. Apabila dia keluar mencari rejeki karena dirinya sendiri supaya terjaga harga dirinya, maka dia dijalan Allah. Apabila dia keluar mencari rejeki karena riya’ dan kesombongan, maka dia di jalan setan.”
(Al-Mundziri, At-Targhîb wa At-Tarhîb).

Sungguh penghargaan yang luar biasa kepada siapa pun yang lelah bekerja mencari nafkah. Islam memandang bahwa usaha mencukupi kebutuhan hidup di dunia juga memiliki dimensi akhirat.Bahkan secara khusus Rasulullah saw memberikan kabar gembira kepada siapa pun yang kelelahan dalam mencari rejeki."Barangsiapa pada malam hari merasakan kelelahan mencari rejeki pada siang harinya, maka pada malam itu ia diampuni dosanya oleh Allah SWT."

Tidak ada halangan mengerahkan berbagai sebab untuk mencari rizki. Akan tetapi selayaknya bagi seorang muslim untuk berlebihan dalam bekerja sehingga menghabiskan seluruh waktunya dengan mengorbankan ketaatan dan kesehatannya dan pendidikan terhadap anak-anaknya. Hendaknya dia bersungguh-sungguh dan selalu mendekat kepada Allah.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menghadiri shalat berjamaah di masjid. Mayoritas ulama memandang wajib, sedangkan sebagian kalangan lagi mengatakan sunah.

Ulama yang mewajibkan shalat berjamaah punya landasan dalil yang sangat kuat, baik dari kitab (Alquran) maupun hadis Nabi. Sebagaimana perintah shalat dalam Alquran,

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

 Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.
 (QS al-Baqarah [2]: 43). 
Perintah untuk rukuk bersama orang-orang yang rukuk dimaknai dengan menghadiri shalat berjamaah.

Karena kata warka'u (rukuklah) dalam ayat ini merupakan fi'lul amri (kata kerja perintah), hukum menghadiri shalat berjamaah menjadi wajib. Berdalil dari kaidah fikih Al-Aslu fil amri lil wujub (Asal dari fi'lul amri mengindikasikan wajib untuk dilaksanakan).

Selain dari Alquran, kewajiban shalat berjamaah juga didukung banyak hadis. Misalkan hadis Nabi SAW yang menyebutkan, "Siapa yang mendengar azan untuk shalat, tetapi tidak dipenuhinya (untuk datang ke masjid), maka tidak sah shalat yang dia lakukan." (HR Muslim). Demikian juga hadis Nabi SAW, "Tidak sah shalat orang yang bertetangga dengan masjid kecuali di masjid." (HR Baihaqi).

Kata La shalata yang terdapat dalam dua hadis ini dimaknai dua hal. Pertama, tidak sah. Sebagaimana lafaz asli hadis, kata la dalam bahasa Arab berarti tidak. Artinya, shalatnya tidak dianggap atau tidak sah. Sedangkan, kalangan fuqaha lainnya lebih menafsirkan tidak sempurna. Artinya, shalat sendiri yang dilakukan tetap sah, tapi tidak sempurna.

Di samping dalil dari kitab dan sunah tersebut, sudah mentradisi pada zaman para Nabi SAW dan salafus saleh untuk selalu memelihara shalat berjamaah, sesibuk apa pun aktifitas mereka. Mereka memahami pelaksanaan shalat harus dilakukan berjamaah. Orang yang tak mau menghadiri shalat berjamaah pada zaman Nabi dipandang buruk, bahkan erat kaitannya dengan akhlak orang munafik.

Nabi SAW tak memberikan dispensasi kepada para sahabatnya untuk tidak datang ke masjid menunaikan shalat berjamaah. Sebagaimana salah seorang sahabat, Abdullah bin Ummi Maktum, yang buta dan sudah lansia meminta izin untuk tidak ikut shalat berjamaah. Rasulullah menolak memberikan izin kepadanya. Ibnu Munzir mengatakan, "Orang buta sekalipun tetap wajib shalat berjamaah (ke masjid) walau rumah mereka jauh dari masjid."

Walau banyak kecaman kepada mereka yang tak mau shalat berjamaah ke masjid, sebagian fuqaha memandang shalat yang dilakukan sendiri tetap sah selama rukun dan syaratnya terpenuhi sempurna. Ada pula yang memandang, shalat berjamaah ke masjid adalah sunah, tidak wajib. Namun, pendapat ini banyak menuai bantahan dari kalangan ulama.

Wajibnya shalat fardlu dengan berjama'ah:
Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf berkata, telah mengabarkan kepada kami Malik dari Abu Az Zinad dari Al A'raj dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku ingin memerintahkan seseorang mengumpulkan kayu bakar kemudian aku perintahkan seseorang untuk adzan dan aku perintahkan seseorang untuk memimpin orang-orang shalat. Sedangkan aku akan mendatangi orang-orang (yang tidak ikut shalat berjama'ah) lalu aku bakar rumah-rumah mereka. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya seseorang di antara kalian mengetahui bahwa ia akan memperoleh daging yang gemuk, atau dua potongan daging yang bagus, pasti mereka akan mengikuti shalat 'Isya berjama'ah." (No.Hadist: 608 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)

Keterangan:
Dari hadits diatas terlihat ekstrim/radikal, namun sebenarnya hal itu menunjukkan betapa pentingnya mendirikan sholat fardlu berjamaah. Rasulullah sendiri tidak pernah sekalipun melakukan pembakaran terhadap rumah-rumah bagi yg laki-lakinya tidak sholat fardlu berjamaah di Masjid. Rasulullah SAW selalu sholat fardlu berjamaah di Masjid, demikian pula istri2 beliau. Juga para sahabat yg nyata2 keimanannya kepada Allah SWT.
Ada juga yang berpendapat tidaklah sah sholat fardlu seorang laki-laki yang tidak berjamaah, apabila ia:
1. Bermukim
2. Sehat atau tidak terkena uzhur
3. Tidak bepergian
Berarti hukum sholat fardlu berjamaah oleh sebagian ulama adalah lebih dari sekedar wajib, seperti keterangan diatas.
Hukum Sholat berjamaah oleh Ibn Hajar Al Atsqalani dalam Fathul Bari, adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat2 dianjurkan), namun ada sebagian ulama (mis: ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim) yg mengatakan, tidak sah sholat seorang laki2 jika ia tidak sholat fardlu berjamaah.

Bahkan pernah terjadi, khalifah Umar ra. menyedekahkan kebunnya yg subur dan menyejukkan mata, hanya gara2 kebun yg subur itu, menjadikan beliau ketinggalan sholat Asar berjamaah. Beliau terlalu sibuk mengurusi kebunnya, hingga terlambat sholat Asar berjamaah. Tidak pernah sekalipun para sahabat yg ketinggalan sholat fardlu berjamaah di Masjid. Bahkan hingga beberapa jaman sesudah mereka.
Umar bin Abdul Aziz juga tidak pernah ketinggalan sholat fardlu berjamaah di Masjid.

Berikut sedikit uraian ttg khalifah Umar bin Abdul Aziz:
Khalifah Umar bin Abdul Aziz wafat sekitar umur 40 thn, dan memerintah hanya sekitar 2,5 tahun. Dengan waktu sependek itu, beliau sudah bisa menjadikan rakyatnya makmur. Hingga janda2 dan para yatim sudah tdk mau diberi sedekah lagi, karena sudah tercukupinya mereka. Beliau sangat merasa berat unt menjadi kholifah, hingga beliau hampir pingsan ketika diangkat menjadi khalifah, seraya mengucap, "Innalillahi ...". Beliau meninggalkan gemerlap dunia unt diri dan keluarganya. Dijauhinya kemewahan dunia, dan didekatinya Masjid Allah, sehingga tidak pernah sekalipun beliau ketinggalan Sholat fardlu berjammah di Masjid. Beliau juga sangat memperhatikan rakyatnya. Banyak yg membencinya, yakni dari golongan pejabat yg korup dan zhalim. Hingga akhirnya, pembantu beliau disuap unt meracuninya. Umar bin Abdul Aziz berkata pada pembantunya,"Mengapa kau meracuniku?", dijawab oleh pembantunya, "karena mereka memberiku 1000 dinar unt ini". Umar bin Abdul Aziz berkata lagi," segeralah pergi wahai pembantuku, karena kalau mereka melihatmu yg meracuniku, niscaya mereka akan menghukummu". Lalu pembantu itupun pergi. Betapa mulyanya sifat  Umar bin Abdul Aziz, yg masih punya garis keturunan dng Khalifah Umar bin Khattab ra ...

Hadis riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu: Dari Nabi Shallallahu alaihi wassalam, beliau bersabda: Ada tujuh golongan yang bakal dinaungi oleh Allah di bawah naungan-Nya, pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, yaitu: Pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dengan ibadah kepada Allah (selalu beribadah), seseorang yang hatinya bergantung kepada mesjid (selalu melakukan salat jamaah didalamnya), dua orang yang saling mengasihi di jalan Allah, keduanya berkumpul dan berpisah karena Allah, seorang yang diajak perempuan berkedudukan dan cantik (untuk berzina), tapi ia mengatakan: Aku takut kepada Allah, seseorang yang memberikan sedekah kemudian merahasiakannya sampai tangan kirinya tidak tahu apa yang dikeluarkan tangan kanannya dan seseorang yang berzikir (mengingat) Allah dalam kesendirian, lalu meneteskan air mata dari kedua matanya.
(Shahih Muslim No.1712)

Hal ini mengingat sangat banyaknya kecaman bagi mereka yang tak menunaikan shalat pada awal waktu secara berjamaah. Misalkan, penafsiran ayat Alquran, 
"Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya." 
(QS al-Ma'uun [107]: 4-5). 
Ibnu Abbas RA menafsirkan ayat ini dengan perangai orang yang suka mengulur-ulur waktu shalat. Demikian disebut Abu Ja'far bin Jarir Ath Thabari dalam Jami al Bayan fi Ta'wil Alquran (24/631).


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah mencontohkan kepada umatnya supaya selalu sholat berjamaah ke Masjid bagaimanapun keadaannya:
1. Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,

كَانَ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesibukan membantu istrinya, dan jika tiba waktu sholat maka beliaupun pergi shalat” (HR Bukhari).

2. Saat sakit parah menjelang kematian, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak meninggalkan shalat berjamaah. 
Imam al-Bukhâri rahimahullah (Hadits Shahih) meriwayatkan dari ‘Ubaidullâh bin ‘Abdillâh bin ‘Utbah, “Aku masuk menemui ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma. Lalu aku bertanya kepadanya, “Maukah engkau menceritakan kepadaku sakitnya Rasûlullâh?”. ‘Aisyah menjawab, “Ya. Sakit Beliau kian parah, lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah orang-orang telah mengerjakan shalat?”. Kami menjawab, “Belum. Mereka menunggu engkau”. Beliau bersabda, “Letakkan buat aku air di bejana”. Kami pun melakukannya. Kemudian Beliau mandi dan hendak bangkit. Tiba-tiba Beliau tak sadarkan diri. Kemudian Beliau siuman, lalu bertanya, “Apakah orang-orang sudah shalat?”. Kami menjawab, “Belum. Mereka menunggu engkau, wahai Rasûlullâh”. Beliau meminta, “Letakkah buatku air dalam bejana”.  ‘Aisyah mengatakan, “Kemudian Beliau duduk dan mandi. Kemudian hendak bangkit, tapi Beliau tak sadarkan diri kembali. Kemudian Beliau siuman, dan bertanya,”Apakah orang-orang sudah mengerjakan shalat?”. Kami menjawab, “Belum, mereka menunggu engkau wahai Rasûlullâh”. Beliau meminta kembali, “Letakkan buat aku air dalam bejana”. Kemudian Beliau duduk dan mandi. Ketika akan bangkit, Beliau tak sadarkan diri kembali, lalu siuman, dan bertanya, “Apakah orang-orang telah mengerjakan shalat?”. Kami menjawab, “Belum, mereka menunggu engkau wahai Rasûlullâh?”. Sedangkan orang-orang telah duduk di masjid, menunggu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk shalat Isya. Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang ke Abu Bakar agar memimpin shalat orang-orang. Utusan datang kepadanya, seraya berkata, “Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan engkau untuk memimpin shalat”. Abu Bakar Radhiyallahu anhu berkata, “Wahai ‘Umar, jadilah engkau imam shalat bagi orang-orang”. ‘Umar menjawab, “Engkau lebih berhak untuk itu”. Maka, Abu Bakar Radhiyallahu anhu  menjadi imam shalat untuk beberapa hari…”.

3. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat sangat memperhatikan urusan shalat berjamaah walaupun mereka berada dalam medan peperangan yang sengat dan menghadapi musuh. Jâbir bin ‘Abdillâh Radhiyallahu anhu mengisahkan, “Kami pernah memerangi kaum Juhainah bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menghadapi kami dengan perlawanan yang sangat sengit. Tatkala kami mengerjakan shalat Zhuhur, orang-orang musyrikin berkata, “Bila kita bisa menyergap mereka sekaligus, pastilah kita dapat menghabisi mereka”. Maka, Jibril mengabarkan hal itu kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan itu kepada kami. Beliau menyampaikan,  orang-orang musyrikin berkata, “Akan tiba kepada mereka shalat yang lebih mereka cintai daripada anak-anak mereka. Tatkala datang waktu shalat Ashar, kami berbaris dalam dua barisan. Sementara kaum musyrikin ada di antara kami dan arah kiblat. Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir dan kami pun bertakbir. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam  melakukan rukuk dan kami pun ruku (mengikuti Beliau). Kemudian Beliau  Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersujud, dan bersujudlah barisan pertama bersama Beliau. Ketika mereka semua telah berdiri (kembali), barisan kedua bersujud. Lalu barisan pertama mundur ke belakang. Sementara barisan kedua maju menggantikan posisi barisan pertama. Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir, dan kami pun bertakbir. Beliau rukuk dan kami pun mengikuti rukuk. Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersujud. Dan barisan pertama ikut bersujud bersama Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sementara barisan kedua tetap berdiri. Ketika barisan kedua telah bersujud, mereka semua duduk dan kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam bersama mereka semua. [HR. Muslim no.840.]

Bolehnya Tidak Pergi ke Masjid karena Sebab Tertentu:

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ أَيُّوبَ، وَعَبْدِ الْحَمِيدِ، صَاحِبِ الزِّيَادِيِّ وَعَاصِمٍ الأَحْوَلِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ قَالَ خَطَبَنَا ابْنُ عَبَّاسٍ فِي يَوْمٍ رَدْغٍ، فَلَمَّا بَلَغَ الْمُؤَذِّنُ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ‏.‏ فَأَمَرَهُ أَنْ يُنَادِيَ الصَّلاَةُ فِي الرِّحَالِ‏.‏ فَنَظَرَ الْقَوْمُ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ فَقَالَ فَعَلَ هَذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْهُ وَإِنَّهَا عَزْمَةٌ‏.‏

Artinya: Seperti dinarasikan `Abdullah bin Al-Harith: "Hari itu sedang hujan dan berlumpur saat Ibnu Abbas hendak sholat bersama kami. Ketika muadzin yang mengumandangkan adzan berkata Hayyaa 'alas Salaah, Ibnu Abbas mengatakan untuk mengubahnya menjadi As Shalaatu fir Rihaal (sholatlah di rumah masing-masing). Orang-orang saling melihat dengan wajah kaget. Ibny berkata, hal ini pernah dilakukan di masa orang yang lebih baik dibanding dirinya (merujuk pada masa Rasulullah SAW) dan ini terbukti." (HR Bukhari).

Hadits lain menyatakan seperti itu dan ditambah disuatu malam yang dingin.

"Semua Nabi yang terdahulu, sebelum aku, menyibukkan diri mereka dengan berburu dan bepergian (di gurun pasir dan hutan-hutan) karena hanya dengan jalan ini mereka dapat memperoleh penghidupan. Mengenai shalat berjamaah, cukuplah bagi kamu, jika kamu mencintai jamaah, mencintai orang-orang yang shalat berjamaah, mencintai Asma' Allah, mencintai orang-orang yang memuji Allah, dan berkeinginan untuk memperoleh nafkah yang halal untuk keluarga. Semua hal itu cukup untuk menggantikan ketidakhadiranmu dari berjamaah. Hendaklah kamu berusaha untuk memperoleh nafkah yang halal bagi keluargamu, sebab itu sama dengan berjuang di jalan Allah" (HR Thabrani).
--> Bolehnya meninggalkan sholat jamaah karena sebab tertentu yg diperbolehkan namun dengan syarat, MENCINTAI Mukmin yang suka BERJAMAAH DI MASJID dan bukannya malah membuli atau bahkan MEMUSUHI mereka!.  


Ingatlah, bekerja yang diniatkan sebagai ibadah jangan sampai keluar dari niat awal. Jangan sampai bekerja keras siang-malam untuk urusan dunia, namun malah melupakan urusan akhirat yang jelas2 jauh lebih baik.
Bekerja itu wajib, namun kewajiban bekerja adalah untuk mendukung masalah akhirat. Misalkan untuk menafkahi diri sendiri, dan keluarga. Juga untuk berjuang dijalanNya.
Tujuan utama manusia adalah masalah akhirat, sehingga kejarlah akhirat dengan sungguh2 namun jangan melupakan masalah duniamu ...
Dan jangan sebaliknya, mengejar dunia dengan sungguh2 mulai pagi hingga malam mencari kekayaan yang melimpah ruah, sehingga akhirat terlupakan atau tersingkirkan ...

QS.30. Ar Ruum:

يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
7. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai. 

(Mereka hanya mengetahui yang lahir saja dari kehidupan dunia) maksudnya urusan penghidupan dunia seperti berdagang, bercocok tanam, membangun rumah, bertanam dan kesibukan-kesibukan duniawi lainnya. (Sedangkan mereka terhadap kehidupan akhirat adalah lalai) diulanginya lafal hum mengandung makna taukid atau untuk mengukuhkan makna kelalaian mereka.

Mereka hanya melihat kepada sebab dan memastikan perkara karena ada sebab-sebabnya, dan mereka meyakini tidak akan terjadi perkara apa pun tanpa ada sebab-sebabnya. Mereka hanya berdiri bersama sebab, dan tidak melihat kepada yang mengadakan sebab itu.

Hati mereka, hawa nafsu mereka, dan keinginan mereka tertuju kepada dunia dan perhiasannya. Oleh karena itu, mereka lakukan sesuatu untuknya dan berusaha keras kepadanya dan lalai dari akhirat. Mereka berbuat bukan karena rindu kepada surga dan takut kepada neraka serta takut berhadapan dengan Allah nanti pada hari Kiamat. Ini merupakan tanda kecelakaan seseorang. Namun sangat mengherankan sekali, orang yang seperti ini adalah orang yang pandai dan cerdas dalam urusan dunia sampai membuat manusia terkagum kepadanya. Mereka membuat kendaraan darat, laut dan udara, serta merasa ujub (kagum) dengan akal mereka dan mereka melihat selain mereka lemah dari kemampuan itu yang sesungguhnya Allah yang memberikan kepada mereka kemampuan itu, sehingga mereka merendahkan orang lain, padahal mereka adalah orang yang paling bodoh dalam urusan agama, paling lalai terhadap akhirat, dan paling kurang melihat akibat (kesudahan dari segala sesuatu). Selanjutnya mereka melihat kepada kemampuan yang diberikan Allah berupa berpikir secara teliti tentang dunia dan hal yang tampak daripadanya, namun mereka dihalangi dari berpikir tinggi, yaitu mengetahui bahwa semua perkara milik Allah, hukum (keputusan) hak-Nya, memiliki rasa takut kepada-Nya dan meminta kepada-Nya agar Dia menyempurnakan pemberian-Nya kepada mereka berupa cahaya akal dan iman. Semua perkara itu jika diikat dengan iman dan menjadikannya sebagai dasar pijakan tentu akan membuahkan kemajuan, kehidupan yang tinggi, akan tetapi karena dibangun di atas sikap ilhad (ingkar Tuhan), maka tidak membuahkan selain turunnya akhlak, menjadi sebab kebinasaan dan kehancuran.


Nah, sekarang bagaimana pilihan kita? Mengejar kemewahan dunia ataukah bekerja hanya sekedar untuk hidup didunia, yang intinya menuju negeri Akhirat? Meremehkan/meninggalkan sholat fardlu berjamaah dengan alasan masih bekerja demi profesionalisme? Ataukah hanya ke Masjid saja dengan meninggalkan bekerja mencari Nafkah? Ataukah bekerja mencari nafkah namun minimal tetap menjaga sholat fardlu berjamaah di Masjid? Semua pilihan adalah tergantung Anda, karena hanya Anda yg bertanggung-jawab kelak dihadapan Allah ...
Wa Allahu 'alam ...
--------------------------

Ulama besar Kerajaan Saudi Arabia di masa silam dan pakar fikih pada abad ke-20, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah mengungkapkan,

Perkataan …

اعمل لدنياك كأنك تعيش أبداً ، واعمل لآخرتك كأنك تموت غداً

I’mal lidunyaaka ka-annaka ta’isyu abadan, wa’mal li-aakhiratika ka-annaka tamuutu ghadan.” [Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya. Beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok].

Ungkapan di atas termasuk HADITS PALSU (hadits maudhu’).

Maknanya pun tidak seperti dipahami kebanyakan orang. Banyak yang memahami maksud ungkapan tersebut adalah hendaknya kita mati-matian dalam mengejar dunia, akhirat akhirnya terlupakan.

Bahkan makna yang tepat adalah sebaliknya. Hendaklah kita semangat dalam menggapai akhirat dan tak perlu tergesa-gesa dalam mengejar dunia.

Ungkapan “bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya”, maksudnya adalah apa yang tidak selesai hari ini dari urusan dunia, selesaikanlah besok. Yang tidak bisa selesai besok, selesaikanlah besoknya lagi. Jika luput hari ini, masih ada harapan untuk besok.

Adapun untuk urusan akhirat, maka beramallah untuk urusan akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok. Maksudnya kita diperintahkan untuk segera melakukan amalan shalih, jangan menunda-nundanya. Anggap kita tak bisa lagi berjumpa lagi dengan esok hari. Bahkan kita katakan, bisa jadi kita mati sebelum esok tiba. Karena siapa pun kita tak mengetahui kapan maut menghampiri.

Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah menyatakan,

إذا أصبحت فلا تنتظر المساء ، وإذا أمسيت فلا تنتظر الصباح ، وخذ من صحتك لمرضك ، ومن حياتك لموتك

“Jika engkau berada di pagi hari, jangan tunggu sampai petang hari. Jika engkau berada di petang hari, jangan tunggu sampai pagi. Manfaatkanlah waktu sehatmu sebelum datang sakitmu. Manfaatkanlah waktu hidupmu sebelum datang matimu.” (HR. Bukhari)

Itulah makna ungkapan yang masyhur di atas.

Namun sekali lagi, kesimpulannya, ungkapan tersebut salah alamat jika disandarkan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu maknanya pun bukan seperti dipahami kebanyakan orang untuk terus mengejar dunia hingga kurang semangat menggapai akhirat.

Bahkan makna yang tepat, hendaklah semangat bersegera dalam melakukan amalan akhirat, jangan sampai menunda-nunda.

Adapun urusan dunia, ada kelapangan dalam menggapainya. Kalau tidak bisa menggapai hari ini, masih ada harapan untuk esok hari.

[Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb • Fatawa Musthalah Al-Hadits, Syarh Al-Hadits wa Al-Hukmu ‘alaiha]
Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/13417-bekerja-untuk-duniamu-seakan-akan-hidup-selamanya.html

--------------------------
Artikel lain yg sejenis dan melengkapi: http://tausyiahaditya.blogspot.com/2014/07/perintah-sholat.html

--------------------------

Sebagai renungan:

Seringkali orang mengatakan:"Kerjakan hari ini, jangan tunda hingga esok hari, karena belum tentu esok hari kita sempat/hidup".
Seringkali orang memakainya supaya semangat unt bekerja, bekerja lembur tanpa lelah. Namun benarkah demikian?
Perkara dunia itu tidak kekal, dan tidak akan dibawa sbg bekal mati. Sedangkan perkara akhirat, pasti akan dibawa sampai mati. Sehingga, seharusnya mengatakan, "Janganlah menunda2 unt mendirikan sholat, zakat, puasa dan Haji!, karena belum tentu esok hari kita sempat/hidup".

>> Ada yg mengerjakan amal dunia sangat banyak, hingga kepayahan. Mulai pagi, hingga malam hari, bekerja tanpa memperdulikan ibadah. Sholat dilupakan bahkan ditinggalkan, merasa dirinya sudah berbuat baik. Berbuat baik kepada sesama, kepada keluarga, namun meninggalkan ibadah. Kasihan sekali, padahal merasa amal baiknya sangat banyak, hingga menuai kepayahan. Namun akhirnya dicampakkan ke dalam Neraka yg menyala-nyala.
Amal baik yg dikerjakan ketika di dunia namun sia2, hingga akhirnya dicampakkan ke dalam Neraka.

Atau bisa juga bekerja keras didunia namun dicampur dng kemaksiatan dalam memperolehnya. Sogok-menyogok, tipu-menipu, main cewek, zina dsb., hingga merasakan kepayahan di dalam Neraka dng adzab dan kebinasaan. (diringkas dari tafsir ibnu katsir surat al Ghasyiyah).

QS.88. Al Ghaasyiyah ayat 3-4:

عَامِلَةٌ نَّاصِبَةٌ

3. bekerja keras lagi kepayahan,


تَصْلَىٰ نَاراً حَامِيَةً

4. memasuki api yang sangat panas (neraka),


>> Bagaimana kalau sudah parah dalam mencintai dunia?

Surat Al Quran berikut ini mengemukakan celaan dan ancaman terhadap orang-orang yang bermegah-megahan dengan apa yang diperolehnya dan tidak membelanjakannya di jalan Allah. Mereka lupa dan melupakan segala perintah Allah, dengan bermegah2an mencari kemewahan dunia, mereka meninggalkan sholat, zakat dll, dan terjebak dengan kesombongan karena harta yg melimpah dan keturunan yg baik. Karena itu, mereka pasti diazab dan pasti akan ditanya tentang apa yang dimegah-megahkannya itu.

QS.102. At Takaatsur:

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ ﴿١﴾ حَتَّىٰ زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ ﴿٢﴾ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ ﴿٣﴾ ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ ﴿٤﴾ كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ ﴿٥﴾ لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ ﴿٦﴾ ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ ﴿٧﴾ ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ 

1. Bermegah-megahan telah melalaikan kamu
2. sampai kamu masuk ke dalam kubur.
3. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), 
4. dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. 
5. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, 
6. niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, 
7. dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin[mata kepala sendiri sehingga menimbulkan keyakinan yang kuat]. 
8. kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).
[At-Takatsur/102:1-8] 

AYAT DAN TAFSIRNYA
Firman Allâh Azza wa Jalla : أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. 
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Kecintaan terhadap dunia, kenikmatannya dan keindahannya, telah melalaikan kamu dari mencari akhirat. Dan itu terus terjadi pada kamu sehingga kematian mendatangimu dan kamu mendatangi kuburan serta menjadi penghuninya”. [Tafsir Ibnu Katsir, surat at-Takâtsur, ayat 1] 

Syaikh  Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “At-Takâtsur (bermegah-megahan) mencakup berbangga dengan banyaknya harta, qabilah, kedudukan, ilmu, dan semua yang memungkinkan terjadi saling berbangga dengannya. Ini ditunjukkan oleh perkataan pemilik sebuah kebun kepada kawannya:
 أَنَا أَكْثَرُ مِنْكَ مَالًا وَأَعَزُّ نَفَرًا 
Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat [Al-Kahfi/18: 34. Tafsir Juz ‘Amma, hlm: 305-306] 
Beliau rahimahullah juga berkata, “Makna ”telah melalaikan kamu” yaitu, telah menyibukkan kamu sehingga  kamu lalai dari yang lebih penting, yaitu dzikrullah dan melaksanakan ketaatan kepada-Nya. Perkataan ini ditujukan kepada seluruh umat, namun itu dikecualikan orang yang disibukkan oleh perkara-perkara akhirat dari perkara-perkara dunia, dan mereka ini sedikit”.  [Tafsir Juz ‘Amma, hlm: 305] 

Ayat ini juga telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para Sahabat sebagaimana disebutkan di dalam hadits-hadits berikut:

 عَنْ مُطَرِّفٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقْرَأُ أَلْهَاكُمْ التَّكَاثُرُ قَالَ يَقُولُ ابْنُ آدَمَ مَالِي مَالِي قَالَ وَهَلْ لَكَ يَا ابْنَ آدَمَ مِنْ مَالِكَ إِلَّا مَا أَكَلْتَ فَأَفْنَيْتَ أَوْ لَبِسْتَ فَأَبْلَيْتَ أَوْ تَصَدَّقْتَ فَأَمْضَيْتَ 

Dari Mutharrif, dari bapaknya, dia berkata, “Aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang membaca ayat “Al-hâkumut Takâtsur”, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Anak Adam mengatakan, ‘Hartaku, hartaku!’, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda lagi, “Bukankah engkau tidak memiliki harta kecuali harta yang telah engkau makan, sehingga engkau habiskan;  Atau apa yang telah engkau pakai, sehingga engkau menjadikannya usang; Atau apa yang telah engkau sedekahkan, sehingga engkau meneruskan (yaitu terus memilikinya sampai hari kiamat-pen)”. [HR. Muslim, no. 2958] 
Di dalam riwayat lain, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan:
 وَمَا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ ذَاهِبٌ وَتَارِكُهُ لِلنَّاسِ 
Dan selain itu, maka dia akan mati dan akan meninggalkan hartanya untuk manusia (ahli waris-pen)”. [HR. Muslim, no. 2959, dari Abu Hurairah Radhiyallahu]

--------------------------

Bab: Cemas dengan Perolehan Rejeki?
Sesungguhnya rejeki itu seperti ajal ...
Telah ditetapkan dalam diri tiap2 makhluq sejak Roh ditiupkan kedalam dirinya ...
Jika ia lari menghindari rejeki, maka rejeki itu akan mengejarnya, seperti seseorang yang lari menghindari Al Maut, namun Al Maut tetap saja mengejarnya ...
Jika makhluq itu sambat perolehan rejekinya lambat, maka ketahuilah, Al Maut juga bisa lambat datangnya ...
Jika makhluq itu sambat perolehan rejekinya sedikit sehingga ia sengsara, maka ketahuilah, Al Maut juga bisa sengsara datangnya ...
Jika makhluq itu menyangka usahanya pasti dapat mendatangkan banyak rejeki, maka ketahuilah, Al Maut juga bisa tidak segera datang, walaupun makhluq itu menghendaki kematian ...

Karena itu, wahai makhluq, janganlah mengejar rejeki secara serampangan, namun carilah dengan cara yang baik ...
Atau kalau Anda meninggalkan rejeki itu karena memilih ibadah, maka ketahuilah, rejeki itu yang akan mengejarmu, jika rejeki itu memang bagianmu ...

Jangan takut rejekimu disabotase orang lain, karena rejekimu tidak akan bisa pindah ke orang lain, jika rejeki itu memang bagianmu ...
Namun takutlah ibadahmu kurang, karena tidak ada satupun orang lain yang bersedia beribadah untuk dirimu ...!
Segala sesuatu dari rejeki yg engkau dapatkan, itulah bagianmu ...
Dan segala sesuatu dari rejeki yg luput dari perolehanmu, itu memang bukan bagianmu ...
Buat apa kecewa, sedih, dongkol, cemas dan lebay, kalau memang bukan bagian dari rejekimu ...?

Anda mengenal Al Maut, dan sudah pasti Anda akan berusaha menghindari Al Maut, hingga Anda ke dokter ketika sakit, Anda berjalan di pinggir jalan supaya tidak tertabrak mobil, dan Anda berhenti ketika kereta api lewat didepan Anda ...
Demikian juga dengan perolehan rejeki, tentu Anda akan berusaha mencari rejeki, dan tidak hanya berpangku tangan dalam mencari rejeki ...

Itulah persamaan antara Rejeki dan Al Maut ...!

Hadis riwayat Abdullah bin Masud Radhiyallahu’anhu, ia berkata:
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. sebagai orang yang jujur dan dipercaya bercerita kepada kami:
Sesungguhnya setiap individu kamu mengalami proses penciptaan dalam perut ibunya selama empat puluh hari (sebagai nutfah). Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga kemudian menjadi segumpal daging selama itu pula. Selanjutnya Allah mengutus malaikat untuk meniupkan roh ke dalamnya dan diperintahkan untuk menulis empat perkara yaitu:
Menentukan rezekinya, 
Ajalnya, 
Amalnya, serta 
Apakah ia sebagai orang yang sengsara ataukah orang yang bahagia. 
Demi Zat yang tiada Tuhan selain Dia, sesungguhnya salah seorang dari kamu telah melakukan amalan penghuni surga sampai ketika jarak antara dia dan surga tinggal hanya sehasta saja namun karena sudah didahului takdir sehingga ia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah ia ke dalam neraka. Dan sesungguhnya salah seorang di antara kamu telah melakukan perbuatan ahli neraka sampai ketika jarak antara dia dan neraka tinggal hanya sehasta saja namun karena sudah didahului takdir sehingga dia melakukan perbuatan ahli surga maka masuklah dia ke dalam surga. (Shahih Muslim No.4781)


وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۚ كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)”.[Hud/11:6].


وَكَأَيِّنْ مِنْ دَابَّةٍ لَا تَحْمِلُ رِزْقَهَا اللَّهُ يَرْزُقُهَا وَإِيَّاكُمْ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rizkinya sendiri. Allah-lah yang memberi rizki kepadanya juga kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. [al Ankabut/29:60].


Apakah itu Rejeki?

هُوَ كُلُّ مَا تَنْتَفِعُ بِهِ مِمَّا اَبَاحَهُ اللهُ لَكَ سَوَاءٌ كَانَ مَلْبُوْسٌ اَوْ مَطْعُوْمٌ … حَتَّى الزَّوْجَة رِزْق، الاَوْلاَدُ وَ البَنَاتُ رِزْقٌ وَ الصِّحَةُ وَ السَّمْعُ وَ العَقْلُ …الخ

“Segala sesuatu yang bermanfaat yang Allah halalkan untukmu, entah berupa pakaian, makanan, sampai pada istri. Itu semua termasuk rezeki. Begitu pula anak laki-laki atau anak peremupuan termasuk rezeki. Termasuk pula dalam hal ini adalah kesehatan, pendengaran dan penglihatan.”
(Rumaysho.Com juga dari hasil mengaji dengan Prof. Dr. KH, Husein Aziz sekitar tahun 1993 yl)

Sesungguhnya segala sesuatu yang halal, bermanfaat dan kita habiskan di Dunia ini, itulah rezeki, sehingga rezeki bisa berupa:
1. Pakaian yang kita pakai hingga rusak
2. Makanan yang kita makan hingga habis
3. Istri yang mendampingi kita hingga wafat
4. Anak laki-laki atau anak perempuan kita
5. Kesehatan
6. Pendengaran dan penglihatan
7. Harta yang kita sedekahkan dijalan Allah
8. Tanah, rumah, pekarangan yang kita wakafkan dijalan Allah
Itu semua termasuk rezeki kita.

Yang bukan termasuk rezeki, namun malah menjadi bumerang/siksaan yang sangat dahsyat:
1. Pakaian yang tidak kita pakai, namun rusak karena terlalu lama di simpan.
2. Makanan yang kita tidak kita makan, dan mubazir.
3. Istri yang menjadikan kita tidak syukur nikmat kepada Allah
4. Anak laki-laki atau anak perempuan kita yang durhaka dan menentang Allah, RasulNya dan kita
5. Harta yang kita habiskan untuk sesuatu yang sia-sia, meskipun murah atau sedikit, seperti beli petasan, mercon, kembang api dan narkoba
6. Harta yang kita peroleh dengan cara haram, misalnya korupsi, memalak, merampok, mencuri dan mencopet.
7. Tabungan, deposito, giro, dan saham yang kita tinggalkan karena kita wafat, itu milik ahli waris.
8. Tanah, rumah, pekarangan yang tidak kita manfaatkan dijalan Allah. Termasuk juga yang kita wariskan (ketika kita wafat) itu juga sebenarnya bukan milik kita, itu sudah menjadi harta milik ahli waris.


Ada yang bertanya, "bagaimana dengan perolehan rejeki yang haram?"
Jawaban:
Sesungguhnya rejeki itu adalah segala sesuatu yang halal yang kita manfaatkan dan habiskan di dunia ini untuk kepentingan kita, baik itu untuk tujuan dunia (makan, minum pakaian) ataupun akhirat (sedekah, wakaf, infaq).
Harta adalah bagian dari rejeki, karena rejeki itu sangatlah luas, seperti terdapat pada keterangan sebelumnya.
Jika harta itu haram, tentunya bukan dari bagian rejeki kita. Lho mengapa? Karena harta itu tidak bisa kita manfaatkan untuk kebaikan tubuh kita di dunia ini apalagi di akhirat kelak. Daging yang tumbuh dari rejeki yang haram adalah bagiannya Neraka, sedangkan sedekah dari sesuatu yang haram adalah tertolak !.

Andaikan seseorang telah korupsi hingga trilyunan rupiah, maka sesungguhnya itu juga bukan hartanya. Apakah mungkin ia seorang diri bisa menghabiskan harta trilyunan rupiah, apalagi harta itu adalah harta yang haram, yang jelas2 daging yang tumbuh dari yang haram adalah bagiannya Neraka.
Sisa harta haram yang ditinggalkannya itu menjadi milik ahli warisnya. Sehingga dapat dikatakan ia mewariskan harta yang haram dan menjadikan keluarganya menjadi bagian dari siksa Neraka ...
Dan itu bukanlah rejeki, dan ia tidaklah mewariskan rejeki kepada keluarganya, namun mewariskan Neraka ...
Na 'udzubillahi min Dzalika ...


Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاةً بِغَيْرِ طَهُورٍ ، وَلاَ صَدَقَةً مِنْ غُلُولٍ

"Allah tidak akan menerima shalat seseorang tanpa berwudlu (bersuci), dan tidak akan menerima sedekah dengan harta ghulul (curian/korupsi, merampok, palak, mencopet dll)" [HR. Muslim]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا أَدَّيْتَ زَكَاةَ مَالِكَ فَقَدْ قَضَيْتَ مَا عَلَيْكَ، وَمَنْ جَمَعَ مَالًا حَرَامًا ثُمَّ تَصَدَّقَ مِنْهُ لَمْ يَكُنْ لَهُ فِيهِ أَجْرٌ وَكَانَ إِصْرُهُ عَلَيْهِ

"Jika engkau telah menunaikan zakat hartamu maka engkau telah melaksanakan kewajiban dan barang siapa yang mengumpulkan harta dari jalan yang haram, kemudian dia menyedekahkan harta itu, maka sama sekali dia tidak akan memperoleh pahala, bahkan dosa akan menimpanya". [HR. Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibbân dalam Shahihnya]

Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ

"Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari makanan haram." [HR. Ibn Hibban dalam Shahîhnya]

Dari Ka’ab bin ‘Ujrah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحتٍ إلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَولَى بِهِ

"Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, tidaklah daging manusia tumbuh dari barang yang haram kecuali neraka lebih utama atasnya." [HR. Tirmidzi]

Kata السحت dalam hadits di atas maksudnya adalah semua yang haram dalam segala bentuk dan macamnya, seperti hasil riba, hasil sogokan, mengambil harta anak yatim dan hasil dari berbagai bisnis yang diharamkan syari’at.

-----------------------------------------------------------

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوْتَ حَتَّى تَسْتَوْفِي رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ خُذُوْا مَا حَلَّ وَدَعُوْا مَا حَرُمَ.

“Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah dan sederhanalah dalam mencari nafkah. Karena sesungguhnya seseorang tidak akan mati hingga sempurna rizkinya. Meskipun (rizki itu) bergerak lamban. Maka, bertakwalah kepada Allah dan sederhanalah dalam mencari nafkah, ambillah yang halal dan tinggalkan yang haram”.[HR Ibnu Majah no. 2144, Ibnu Hibban no. 1084, 1085-Mawarid, al Hakim (II/4), dan Baihaqi (V/264), dari Sahabat Jabir Radhiyallahu ‘anhuma. Dishahihkan oleh al Hakim dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Silsilah al Ahadits ash-Shahihah no. 2607.]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan penjelasan tentang rizki ini dengan perumpamaan yang sangat mudah dipahami, dan setiap orang hendaknya dapat mengambil pelajaran darinya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ؛ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا.

“Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Dia akan memberi kalian rizki sebagaimana Dia memberikan rizki kepada burung, yang pergi pagi dalam keadaan lapar dan pulang dalam keadaan kenyang”.[Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/30 dan 52), at-Tirmidzi no.2344, Ibnu Majah no. 4164, Ibnu Hibban no. 730, Ibnul Mubarak di dalam kitab az-Zuhd no. 559, al-Hakim (IV/318), al Baghawi dalam Syarhus-Sunnah no. 4108, Abu Nu’aim dalam kitab al Hilyah (X/69), dan lain-lainnya. Dari Sahabat ‘Umar bin al Khaththab. At-Tirmidzi berkata,”Hasan shahih.” Al Hakim juga menilai hadits ini shahih, dan disetujui oleh adz-Dzahabi]

Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berjalan mencari maisyah (pekerjaan/usaha) untuk mendapatkan rizki. Allah Ta’ala berfirman:

هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ ۖ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ

“Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. [al-Mulk/67:15].

Rizki akan mengejar manusia, seperti maut yang mengejarnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

إِنَّ الرِّزْقَ لَيَطْلُبُ الْعَبْدَ كَمَا يَطْلُبُهُ أَجَلُهُ.

“Sesungguhnya rizki akan mengejar seorang hamba seperti ajal mengejarnya”.[HR Ibnu Hibban (1087-Mawarid) dan lainnya, dari Sahabat Abud-Darda’. Hadits ini memiliki penguat dari Sahabat Jabir yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliya`. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al Albani dalam Silsilah al-Ahadiits ash-Shahihah no. 952]


Bagaimana jika terjadi kenaikan harga pangan yang sangat tinggi? 

Salah seorang ulama yang zuhud berkomentar,

والله لا أبالي ولو أصبحت حبة الشعير بدينار! عليَّ أن أعبده كما أمرني، وعليه أن يرزقني كما وعدني

“Demi Allah, saya tidak peduli dengan kenaikan harga ini, sekalipun 1 biji gandum seharga 1 dinar! Kewajibanku adalah beribadah kepada Allah, sebagaimana yang Dia perintahkan kepadaku, dan Dia akan menanggung rizkiku, sebagaimana yang telah Dia janjikan kepadaku.”
----------------------------------------------------

Bab: Susahnya Mencari Rejeki hingga Disibukkan dengan Dunia
Ada yang mengatakan, “Mencari yang haram saja susah, apalagi yang halal!”, sehingga ia berlaku korup, menipu, transaksi riba, pergi ke dukun dan cara lain yang diharamkan.

QS. al-Baqarah: 268

الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ ۖ وَاللَّهُ يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً مِنْهُ وَفَضْلًا ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir, korup, menipu, transaksi riba, atau pergi ke dukun dll); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengatahui.

Atau mereka meninggalkan yang haram, namun karena mengkhawatirkan dirinya fakir, maka ia-pun tenggelam dengan kesibukan mencari penghasilan, hingga menelantarkan kewajiban dan ketaatan kepada Allah. Ketika itu, berarti ia telah mentaati setan dan mempercayai ancaman setan. Padahal, karakter setan itu ‘kadzuub’, pendusta.
Berapa banyak dari kita yang menghabiskan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memikirkan dan memburu harta. Di hari-hari biasa mereka sibuk belajar ilmu duniawi, yang lain lagi hanya fokus dengan bisnis duniawi, sementara hari libur dipergunakan untuk rekreasi. Lantas kapan mereka sempatkan belajar ilmu syar’i, kapan pula mereka pikirkan nasib ukhrawi?.
Bagaimana masuk akal ketika seseorang menyiapkan bekal untuk hidup selama 60 atau 70 tahun dengan bekerja seharian, namun mereka melupakan bekal untuk akhirat yang lamanya tak berujung?

Padahal, rejeki itu mutlak dalam kekuasaan Allah. Dia memberi atau menahan rejeki bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya dan mencegah siapapun yang Dia kehendaki. Meski dengan cash flow yang meyakinkan, rencana yang jitu, peluang yang menjanjikan, tetap saja Allah yang menjadi Penentu,

أَمَّنْ هَٰذَا الَّذِي يَرْزُقُكُمْ إِنْ أَمْسَكَ رِزْقَهُ ۚ بَلْ لَجُّوا فِي عُتُوٍّ وَنُفُورٍ

“Atau siapakah dia yang memberi kamu rezeki jika Allah menahan rezeki-Nya? Sebenarnya mereka terus menerus dalam kesombongan dan menjauhkan diri?” (QS. al-Mulk: 21)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّهَا النَّاسُ ، إِنَّ أَحَدَكُمْ لَنْ يَمُوتَ حَتَّى يَسْتَكْمِلَ رِزْقَهُ ، فَلا تَسْتَبْطِئُوا الرِّزْقَ ، اتَّقُوا اللَّهَ أَيُّهَا النَّاسُ ، وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ ، خُذُوا مَا حَلَّ ، وَدَعُوا مَا حَرُمَ

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian tidak akan mati sampai sempurna jatah rezekinya, karena itu, jangan kalian merasa rezeki kalian terhambat dan bertakwalah kepada Allah, wahai sekalian manusia. Carilah rezeki dengan baik, ambil yang halal dan tinggalkan yang haram.” (HR. Baihaqi dalam sunan al-Kubro 9640, dishahihkan Hakim dalam Al-Mustadrak 2070 dan disepakati Ad-Dzahabi)

Hadis ini bukan untuk memotivasi agar anda tidak bekerja atau meninggalkan aktivitas mencari rezeki. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan demikian, tujuannya agar manusia tidak terlalu ambisius dengan dunia, sampai harus melanggar yang dilarang syariat. Kemudian ketika terjadi musibah, manusia tidak sedih yang berlebihan, apalagi harus stres.

Allah berfirman,

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى

Perintahkahlah keluargamu untuk shalat dan bersabarlah dalam menjaga shalat. Aku tidak meminta rizki darimu, Aku yang akan memberikan rizki kepadamu. Akibat baik untuk orang yang bertaqwa.” (QS. Thaha: 132)

Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda,

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ يَا ابْنَ آدَمَ تَفَرَّغْ لِعِبَادَتِى أَمْلأْ صَدْرَكَ غِنًى وَأَسُدَّ فَقْرَكَ وَإِلاَّ تَفْعَلْ مَلأْتُ يَدَيْكَ شُغْلاً وَلَمْ أَسُدَّ فَقْرَكَ

“Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman, “Wahai Anak Adam, luangkanlah olehmu untuk beribadah kepada-Ku, niscaya Aku akan penuhi dadamu dengan kekayaan, dan aku tutup kefakiranmu. Jika tidak, niscaya Aku akan penuhi tanganmu dengan kesibukan, dan tidak Aku tutup kefakiranmu.” (HR Tirmidzi, al-Albani mengatakan “shahih”)

“Kalaulah anak Adam lari dari rezekinya (untuk menjalankan perintah Allah) sebagaimana ia lari dari kematian, niscaya rezekinya akan mengejarnya sebagaimana kematian itu akan mengejarnya.” (HR Ibnu Hibban)


Bab: Bagaimana dengan Harta yang Telah Diusahakan dengan Susah-Payah Namun Dicuri, atau Dimakan Hewan

Dari Jabir ra. pula, berkata: Rasulullah saw. bersabda:
Tiada seorang muslimpun yang menanam suatu tanaman, melainkan apa saja yang dapat dimakan dari hasil tanamannya itu, maka itu adalah sebagai sedekah baginya, dan apa saja yang tercuri daripadanya, itupun sebagai sedekah baginya. Dan tidak pula diambil oleh seseorang, melainkan itupun sebagai sedekah baginya. (HR Muslim)

Dalam riwayat Imam Muslim yang lain disebutkan: Maka tidaklah seseorang muslim itu menanam sesuatu tanaman, kemudian dari hasil tanamannya itu dimakan oleh manusia ataupun binatang, ataupun burung, kecuali semuanya itu adalah sebagai sedekah baginya sampai hari kiamat.

Dalam riwayat Imam Muslim yang lain lagi disebutkan: Tidaklah seseorang muslim itu menanam sesuatu tanaman, tidak pula ia menanam sesuatu tumbuh-tumbuhan, kemudian dari hasil tanamannya itu dimakan oleh manusia, ataupun oleh binatang ataupun oleh apa saja, melainkan itu adalah sebagai sedekah baginya. al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan Hadis-hadis semuanya itu dari riwayat Anas ra.

Bab: Bagaimana yang Tidak mau Membayar Pekerjanya, Padahal Pekerjaan itu Sudah Selesai Dikerjakan

Hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, Allah Ta’ala berfirman,

ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ , وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأكَلَ ثَمَنَهُ , وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ

“Tiga Jenis (manusia) yang Aku akan menjadi musuhnya kelak pada hari kiamat, yaitu: seseorang yang memberi dengan nama-Ku, kemudian berkhianat; seseorang yang menjual orang yang merdeka (bukan budak), kemudian memakan uangnya; dan seseorang yang mempekerjakan pekerja dan telah diselesaikan pekerjaannya, tetapi ia tidak memberikan upahnya.” (HR. Bukhari - Hadis Qudsi)

Cukuplah kita berdoa:
[Ya Allah, cukupkanlah aku dengan yang halal dari-Mu dan jauhkanlah aku dari yang Engkau haramkan. Cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dan jauhkan dari bergantung pada selain-Mu].
 (HR. Tirmidzi no. 3563 dan Ahmad 1: 153. Kata Tirmidzi, hadits ini hasan ghorib. Sebagaimana disebutkan oleh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 1: 474, hadits ini hasan secara sanad)



Bab. Apakah Termasuk Korupsi Waktu, Jika Mendirikan Sholat dan Mengerjakan Perintah Allah Lainnya?

Sesungguhnya kata-kata "Korupsi Waktu", dikeluarkan oleh para pecinta dunia, kaum materialistik dan kapitalis. Dengan slogan "waktu adalah uang". Mereka berharap harta dan keuntungan dunia yang berlebih. Sehingga menganggap semua kesempatan dan "waktu", adalah bernilai uang atau keuntungan dunia lainnya. Mereka akan merasa rugi besar, kalau "waktu" mereka tidak bernilai uang atau harta dunia.
Padahal yang sesungguhnya, "Waktu adalah milik Allah". Sehingga semua kegiatan, pekerjaan dan tindakan harus bersandar kepada Allah. Harus bersandar pada perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Menjadi haram, harta yang diperoleh tidak dengan petunjukNya. Termasuk harta curian, korupsi, hasil menipu dan bahkan harta yang diperoleh dengan meninggalkan Sholat Fardlu. !
Kecuali yang memang diperbolehkan dalam agama, misalnya, dokter bedah yang harus mengoperasi pasiennya selama 12 jam. Demikian juga dengan petugas pemadam kebakaran, yang harus berjuang memadamkan api selama berjam-jam hingga puluhan jam.
Namun setelah selesai operasi dan selesai pemadaman api, maka dokter dan petugas pemadam kebakaran tersebut wajib mengganti semua sholat fardlu yang telah ditinggalkannya.

Seorang mukmin yang telah diberi karunia kepemimpinan oleh Allah, baik itu sebagai direktur, manager, ketua regu, ketua RT/RW, lurah, camat dll., ia wajib untuk memerintahkan rakyat/anak buah/bawahannya yang muslim, untuk mendirikan Sholat juga di Masjid (seperti dirinya sendiri), dengan cara yang baik dan bijaksana. Juga wajib pula menganjurkan kebaikan lainnya dan mencegah kemungkaran, sesuai dengan perintah Allah.
Dan apabila pemimpin tersebut mendapatkan cobaan, yakni akibat/resiko dari perbuatannya dalam melakukan amar ma'ruf dan mencegah kemungkaran, maka hendaknya ia menyerahkannya kepada Allah. Karena hanya kepadaNya kembalinya segala urusan, dan memang semua itu milikNya.
Seperti disebutkan dalam ayat berikut ini:

Surat Al-Hajj Ayat 41

الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ

(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sholat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembalinya segala urusan.

Itulah kewajiban seorang mukmin yang diberi karunia oleh Allah, kedudukan/jabatan/tanggung-jawab/pimpinan/khalifah dimuka bumi ini. Pemimpin itu tidak boleh berorientasi pada kemakmuran dunia saja, namun terlebih, harus dan wajib berorientasi kepada pelaksanaan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.

Jangan seperti pemimpin yang hanya berorientasi pada hal2 dunia saja, berorientasi pada kemakmuran dunia saja, namun meninggalkan Allah. Karena orang semacam ini merupakan sejelek-jelek pemimpin. Seperti ditunjukkan pada ayat berikut ini:

Surat Maryam Ayat 59

۞ فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ ۖ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا

Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan,

Ada yang menafsirkan, bahwa ghay (selain memiliki arti kesesatan) adalah lembah di neraka Jahannam yang berbau busuk. Ada pula yang menafsirkan, bahwa ghay adalah azab yang berlipat ganda lagi keras.

Sungguh merupakan pengganti yang buruk bahkan sangat buruk, ketika penggantinya adalah orang² yang meremehkan sholat bahkan hingga meninggalkannya, demi dunia dan pernak-perniknya. Tidak menganjurkan kebaikan dan tidak melarang kemungkaran. Yang dilakukan hanya menuruti hawa nafsunya, dengan dalih profesionalisme  dan kemajuan bisnis serta dunia. Menganggap dunia ini segala²nya, dan mengabaikan perintah Allah apalagi Sholat. Sholat dianggap mengganggu profesionalisme dan penghambat kemajuan bisnis dan dunia. Sungguh celaka manusia seperti ini, mungkin mereka terlihat kaya raya dan mengagumkan manusia yang melihat dan mendengarkan perkataannya, bagaikan Qorun yang menjalankan bisnisnya hingga ditenggelamkan oleh Allah SWT karena perbuatannya.   

---> kecuali orang yang bertaubat setelah itu, kemudian mendirikan sholat, membayar zakat dan beramal sholeh, seperti ditunjukkan dalam ayat berikut ini:

Surat Maryam Ayat 60

إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَٰئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئًا

kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun,


Seorang pemimpin diharamkan menipu rakyat/anak buah/bawahannya. Andaikan pemimpin itu menipu orang dibawah kepemimpinannya, maka Allah mengharamkan baginya Surga. Seperti disebutkan dalam hadis berikut ini.

صحيح مسلم – كِتَاب الْإِيمَانِ – باب اسْتِحْقَاقِ الْوَالِي الْغَاشِّ لِرَعِيَّتِهِ النَّارَ
203 بَاب اسْتِحْقَاقِ الْوَالِي الْغَاشِّ لِرَعِيَّتِهِ النَّارَ
142 حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَشْهَبِ عَنْ الْحَسَنِ قَالَ عَادَ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ الْمُزنِيَّ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ قَالَ مَعْقِلٌ إِنِّي مُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ عَلِمْتُ أَنَّ لِي حَيَاةً مَا حَدَّثْتُكَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

Diriwayatkan dari Al-Hasan: ‘ Ubaidillah bin Ziyad pernah menjenguk Ma’qil bin Yasar Al-Muzanni pada waktu sakit menjelang wafatnya. Lalu Ma’qil berkata, “Aku akan menceritakan sebuah hadis yang aku dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Kalau aku tahu bahawa aku masih akan hidup, tentu aku tidak mau menceritakannya kepada mu. Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Seseorang yang diberi amanat oleh Allah untuk memimpin rakyat, lalu mati ketika sedang MENIPU rakyatnya, maka Allah mengharamkan baginya syurga.”
(6:9 Shahih Muslim)


Bab. Siapakah yang Beruntung dan Terbaik disisi Allah?

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْمُكْثِرِينَ هُمُ الْمُقِلُّونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، إِلاَّ مَنْ أَعْطَاهُ اللَّهُ خَيْرًا ، فَنَفَحَ فِيهِ يَمِينَهُ وَشِمَالَهُ وَبَيْنَ يَدَيْهِ وَوَرَاءَهُ ، وَعَمِلَ فِيهِ خَيْرًا

Sesungguhnya orang-orang yang memperbanyak (harta) adalah orang-orang yang menyedikitkan (kebaikannya) pada hari Kiamat, kecuali orang yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala berikan kepadanya kebaikan, lalu dia memberi kepada orang yang di sebelah kanannya, kirinya, depannya, dan belakangnya; dan dia berbuat kebaikan pada hartanya (HR. al-Bukhâri, no. 6443; Muslim, no. 94)

al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Yang dimaksudkan dengan ‘memperbanyak’ adalah dengan harta, dan ‘menyedikitkan’ adalah dengan pahala akhirat. Ini (terjadi) pada diri orang yang memperbanyak harta, akan tetapi dia tidak memenuhi sifat dengan yang ditunjukkan oleh pengecualian setelahnya, yaitu berinfaq”. [Fathul Bari 18/261]

"Sesungguhnya orang-orang yang memiliki banyak harta, adalah orang-orang yang sedikit kebaikannya pada hari Kiamat, kecuali yang menggunakan hartanya itu di jalan Allah"
Kebanyakan orang yang memiliki banyak harta, menggunakan hartanya itu untuk hal2 yang mubah (kalau tidak mau dikatakan haram). Beli mobil mewah, motor mewah, atau motor yang bagus. Dan mereka menginfakkan hartanya, kecuali hanya sekedarnya saja.
Bandingkan dengan mukmin yang memiliki harta cuman jutaan atau bahkan jauh lebih kecil dari itu, namun berinfak jauh lebih banyak dari itu, padahal mereka termasuk miskin.
Orang2 mukmin tersebut tidak terlena oleh kehidupan dunia, mereka lebih mementingkan perintah Allah, daripada kebutuhan dirinya sendiri. Tidak jarang mereka mengalami kesulitan2 dalam dunianya, karena perbuatannya itu namun karena cintanya kepada Allah, mereka tidak menggubrisnya.
Memang tidak berdosa mukmin yang menggunakan hartanya untuk kemegahan dirinya, selama tidak menyalahi syariat Islam. Namun mukmin yang seperti itu, pahalanya kelak diakhirat jauh lebih sedikit daripada Mukmin yang miskin, atau Mukmin yang kaya namun menggunakan kekayaannya dijalan Allah.
----------------------------------------------------

PENDAPAT IMAM MALIK DAN IMAM SYAFI’I
*Guru & Murid Tertawa Karena Beda Pendapat Tentang Rezeki*

Imam_Malik ( guru Imam Syafii ) dalam majlis menyampaikan :
*Sesungguhnya rezeki itu datang tanpa sebab, cukup dengan tawakkal yang benar kepada Allah niscaya Allah akan meberikan Rezeki. Lakukan yang menjadi bagianmu, selanjutnya biarkan Allah mengurus lainnya.*

Sementara Imam_Syafii ( sang murid berpendapat lain) :
*Seandainya seekor burung tidak keluar dari sangkarnya, bagaimana mungkin ia akan mendapatkan rezeki.*
Guru dan murid bersikukuh pada pada pendapatnya.

Suatu saat tengah meninggalkan pondok, Imam Syafii melihat serombongan orang tengah memanen anggur. Diapun membantu mereka. Setelah pekerjaan selesai, Imam Syafii memperoleh imbalan beberapa ikat anggur sebagai balas jasa.
Imam Syafii girang, bukan karena mendapatkan anggur, tetapi pemberian itu telah menguatkan pendapatnya. Jika burung tak terbang dari sangkar, bagaimana ia akan mendapat rezeki. Seandainya dia tak membantu memanen, niscaya tidak akan mendapatkan anggur.

Bergegas dia menjumpai Imam Malik sang guru. Sambil menaruh seluruh anggur yang didapatnya, dia bercerita. . Imam Syafii sedikit mengeraskan bagian kalimat “seandainya saya tidak keluar pondok dan melakukan sesuatu (membantu memanen), tentu saja anggur itu tidak akan pernah sampai di tangan saya.”

Mendengar itu Imam Malik tersenyum, seraya mengambil anggur dan mencicipinya. Imam Malik berucap pelan.
“Sehari ini aku memang tidak keluar pondok...hanya mengambil tugas sebagai guru, dan sedikit berpikir alangkah nikmatnya kalau dalam hari yang panas ini aku bisa menikmati anggur. ......Tiba-tiba  engkau datang sambil membawakan beberapa ikat anggur untukku. Bukankah ini juga bagian dari rezeki yang datang tanpa sebab. Cukup dengan tawakkal yang benar kepada Allah niscaya Allah akan berikan Rezeki. Lakukan yang menjadi bagianmu, selanjutnya biarkan Allah yang mengurus lainnya.”

Guru dan murid itu kemudian tertawa.
Dua Imam madzab mengambil dua hukum yang berbeda tapi benar semua
----------------------------------------------------

Silahkan membaca juga:
"Sedekah dan Apa yang Paling Utama?

http://tausyiahaditya.blogspot.co.id/2014/03/sedekah-shodaqoh.html

"Berpangku Tangan dalam Pengharapan Datangnya Rizki?"https://tausyiahaditya.blogspot.co.id/2015/11/berpangku-tangan-dalam-pengharapan.html

1 komentar:

  1. InsyaAllah tidak, tidak terlalaikan oleh dunia (secara pasti hanya Allah yang Maha Mengetahui). Namun perlu diketahui bahawa waktu sholat fardlu itu ada yg waktu afdlol, hingga waktu makruh. Yang utama tentunya yg tepat waktu, yakni sholat berjamaah dimasjid ketika adzan dikumandangkan. Ini waktu afdlol. Namun waktu2 yg lainnya juga boleh selama masih belum tiba waktu sholat berikutnya.
    Seseorang yg selalu istiqomah sholat berjamaah di masjid bersama imam, tanpa ketinggalan pada takbir pertama, ini yg pasti tidak terlalaikan oleh dunia. Sedangkan waktu yg berikutnya, merupakan keringanan, rukhsah, sedangkan perhitungannya terserah Allah.

    BalasHapus