Politik 
Muhammad sesudah Uhud, Pasukan Abu Salama, Pasukan Abdullah b. 'Unais, Peristiwa 
ar-Raji' (tahun 625), Zaid b. Khubaib dibunuh, Orientalis diam saja, Orang-orang 
Yahudi dan orang-orang Munafik di Medinah, Yahudi 
berkomplot terhadap Muhammad, Abdullah b. Ubayy membakar 
semangat orang-orang Yahudi, Banu Nadzir dikepung, 
Exodus, Sekretaris Nabi, Badr terakhir, Ekspedisi 
Dhat'r-Riqa', Ekspedisi Duma'l-Jandal, Catatan kaki
Politik Muhammad sesudah 
Uhud          ▲
ABU SUFYAN telah kembali dari Uhud ke Mekah. Berita-berita 
kemenangannya sudah lebih dulu sampai, yang disambut penduduk dengan rasa 
gembira, karena dianggap sudah dapat menghapus cemar yang dialami Quraisy selama 
di Badr. Begitu sampai ia ke Mekah, langsung menuju Ka'bah sebelum ia pulang ke 
rumah. Kepada Hubal dewa terbesar ia menyatakan puji dan syukur. Dicukurnya 
lebih dulu rambut yang di bawah telinganya, lalu ia pulang ke rumah sebagai 
orang yang sudah memenuhi janji bahwa ia takkan mendekati isterinya sebelum 
dapat mengalahkan Muhammad. 
Sebaliknya kalangan Muslimin, mereka melihat kota Medinah 
sudah banyak terasa aneh sekali, meskipun musuh tetap mengejar-ngejar mereka. 
Selama tiga hari terus-menerus mereka tetap tabah menghadapi musuh yang masih 
tidak mempunyai keberanian menghadapi mereka itu. Padahal belum selang duapuluh 
empat jam yang lalu musuh telah merasa sebagai pihak yang menang. 
Pihak Muslimin melihat keadaan Medinah itu sudah terasa 
banyak sekali mengalami perubahan, meskipun kekuasaan Muhammad di kota itu tetap 
di atas. Dalam pada itu Nabi as. merasa, bahwa keadaan memang sudah sangat 
genting dan gawat sekali, bukan hanya dalam kota Medinah saja, bahkan juga sudah 
melampaui sampai kepada kabilah-kabilah Arab lainnya, yang memang sudah merasa 
ketakutan. Peristiwa Uhud membawa perasaan lega kepada mereka, sehingga terpikir 
oleh mereka itu hendak menentangnya lagi dan mengadakan perlawanan. Oleh karena 
itu ia ingin sekali mengikuti berita-berita sekitar penduduk Medinah dan 
kalangan Arab umumnya, yang kiranya akan memberikan suatu kemungkinan 
menempatkan kembali kedudukan, kekuatan dan kewibawaan Muslimin kedalam hati 
mereka. 
Berita pertama yang sampai kepadanya sesudah peristiwa Uhud, 
ialah bahwa Tulaiha dan Salama bin Khuailid dua bersaudara - dan keduanya waktu 
itu yang memimpin Banu Asad - sedang mengerahkan masyarakatnya dan mereka yang 
mau mentaatinya, untuk menyerang Medinah dan menyerbu Muhammad sampai ke dalam 
rumahnya sendiri dengan maksud memperoleh keuntungan dan merampas ternak 
Muslimin yang dipelihara di ladang-ladang sekeliling kota itu. Yang menyebabkan 
mereka berani berbuat begitu ialah karena anggapan bahwa Muhammad dan 
teman-temannya masih menderita karena telah mengalami pukulan hebat selama di 
Uhud. 
Berita itu terbetik juga oleh Nabi. Ia segera memanggil Abu 
Salama b. Abd'l-Asad yang lalu diserahi pimpinan pasukan yang terdiri dari 150 
orang, termasuk Abu 'Ubaida bin'l-Jarrah, Sa'd b. Abi Waqqash dan Usaid b. 
Hudzair. Mereka diperintahkan supaya berjalan pada malam hari dan siangnya 
bersembunyi dengan menempuh jalan yang tidak biasa dilalui orang, supaya jangan 
ada orang yang mengenal jejak mereka. Dengan demikian mereka akan dapat 
menyergap musuh dengan cara yang tiba-tiba sekali. Perintah ini oleh Abu Salama 
dilaksanakan. Ia berhasil menyerbu musuh dalam keadaan tidak siap. Dalam pagi 
buta mereka sudah terkepung. Dikalahkannya anak buahnya dalam menghadapi 
perjuangan itu. Tetapi pihak musyrik sudah tak dapat bertahan lagi. Dua pasukan 
segera dikirim mengejar mereka dan merebut rampasan perang yang ada. Ia dan anak 
buahnya menunggu di tempat itu sambil menantikan pasukan pengejar itu kembali 
membawa rampasan perang. 
Setelah seperlima rampasan itu dikeluarkan untuk Tuhan, untuk 
Rasul, orang miskin dan orang yang dalam perjalanan, selebihnya mereka bagi 
sesama mereka, lalu mereka kembali ke Medinah dengan sudah membawa kemenangan. 
Kewibawaan yang karena peristiwa Uhud itu terasa sudah agak berkuramg, kini 
mulai kembali lagi. Hanya saja Abu Salama sendiri hidup tidak lama lagi sesudah 
ekspedisi itu. Ia menderita luka-luka akibat perang Uhud dan luka-lukanya itu 
belum sembuh benar kecuali yang tampak dari luar saja. Tetapi sesudah ia bekerja 
keras lukanya itu terbuka dan kembali mengucurkan darah, yang diderita terus 
sampai meninggalnya. 
Sesudah itu kemudian sampai pula berita kepada Muhammad bahwa 
Khalid b. Sufyan b. Nubaih al-Hudhali yang tinggal di Nakhla atau di 'Urana 
telah mengumpulkan orang pula hendak menyerangnya. Mendengar ini Muhammad segera 
mengutus Abdullah b. Unais meneliti dan mencek kebenaran berita tersebut. 
Abdullah berjalan menuju ke tempat Khalid, yang ketika itu dijumpainya ia sedang 
berada di rumah bersama dengan isteri-isterinya. 
"Siapa kamu," tanya Khalid setelah Abdullah sampai. 
"Saya dari golongan Arab juga," jawabnya. "Mendengar tuan 
mengumpulkan orang hendak menyerang Muhammad maka saya datang kemari." 
Khalid berterus-terang, bahwa ia memang sedang mengumpulkan 
orang hendak menyerang Medinah. Setelah Abdullah melihat sekarang ia seorang 
diri jauh dari anak-buahnya - kecuali isteri-isterinya - dicarinya jalan supaya 
ia mau berjalan bersama-sama. Begitu ia mendapat kesempatan dihantamnya orang 
itu dengan pedangnya dan dia pun menemui ajalnya. Dibiarkannya dia di tangan 
isteri-isterinya yang berkerumun menangisinya. Sekembalinya ke Medinah 
disampaikannya berita itu kepada Rasul. 
Setelah kematian pemimpinnya itu, Banu Lihyan sebagai cabang 
Hudhail yang selama beberapa waktu tenang-tenang saja, sekarang mulai terpikir 
akan mengadakan pembalasan dengan suatu tipu-muslihat. 
Pada waktu itulah kabilah yang berdekatan itu mengutus 
rombongan kepada Muhammad dengan mengatakan: Di kalangan kami ada beberapa orang 
Islam. Kirimkanlah beberapa orang sahabat tuan bersama kami, yang akan dapat 
kelak mengajarkan hukum agama dan Qur'an kepada kami. 
Untuk menunaikan tugas agama yang mulia itu, setiap 
diperlukan pada waktu itu Muhammad selalu siap mengutus sahabat-sahabatnya untuk 
memberikan bimbingan kepada orang dalam mengenal Tuhan dan agama yang benar, 
serta untuk menjadi pengikut Muhammad dan sahabat-sahabatnya menghadapi lawan, 
seperti yang sudah kita lihat, ketika mereka dulu diutus ke Medinah sesudah 
Ikrar 'Aqaba kedua. Oleh karena itu enam orang sahabat besar kemudian diutusnya 
berangkat bersama-sama dengan rombongan utusan itu. Tetapi sesampainya di suatu 
pangkalan air kepunyaan Hudhail di bilangan Hijaz, di suatu daerah yang disebut 
ar-Raji', ternyata mereka telah dikhianati, dengan tindakan rombongan itu yang 
sudah tentu dengan meminta bantuan Hudhail. Tetapi ini tidak membuat keenam 
orang Muslimin itu jadi gugup ketakutan, yang dalam perlengkapannya itu mereka 
hanya membawa pedang. Kaum Muslimin itu segera mencabut pedang hendak 
mempertahankan diri. Tetapi pihak Hudhail berkata kepada mereka: 
"Demi Allah, kami tidak ingin membunuh kamu. Tapi dengan kamu 
ini kami ingin memperoleh keuntungan dari penduduk Mekah. Kami berjanji atas 
nama Tuhan bahwa kami tidak bermaksud membunuh kamu." 
Keenam orang Muslim itu berpandang-pandangan. Mereka sadar 
sudah bahwa dibawanya mereka satu-satu ke Mekah itu berarti suatu penghinaan 
yang sebenarnya lebih jahat dari pembunuhan. Mereka menolak janji Hudhail itu, 
dan mereka tetap akan mengadakan perlawanan, meskipun mereka sudah menyadari, 
bahwa dalam jumlah yang sekecil itu mereka tidak berdaya. Tiga orang dari mereka 
ini dibunuh oleh Hudhail, sedang sisanya sudah makin tak berdaya. Mereka semua 
ditangkap dan dibawa sebagai tawanan, yang kemudian dibawa ke Mekah dan dijual. 
Abdullah b. Tariq, salah seorang dari ketiga orang Islam itu di tengah jalan 
berhasil melepaskan belenggu dari tangannya lalu ia mencabut pedang. Oleh karena 
rombongan yang lain berada di belakangnya, dihujaninya ia dengan batu dan ia 
puntewas karenanya. 
Kedua orang tawanan lainnya sempat dibawa oleh Hudhail ke 
Mekah, lalu dijual. Zaid bin'd-Dathinna dijual kepada Shafwan b. Umayya yang 
sengaja membelinya untuk dibunuh. Ia diserahkan kepada Nastas, budaknya supaya 
membunuhnya sebagai balasan atas kematian ayahnya Umayya b. Khalaf. Ketika 
dibawa, oleh Abu Sufyan ia ditanya: 
"Zaid, sangat kuharapkan sekali. Bersediakah engkau 
memberikan tempatmu itu kepada Muhammad ? Dialah yang harus dipenggal lehernya, 
sedang engkau dapat kembali kepada keluargamu." 
"Tidak," jawab Zaid. "Sekiranya Muhammad ditempatnya sekarang 
ini akan menderita karena tusukan duri sekalipun, sedang aku di tempat keluarga, 
aku tidak sudi." 
Abu Sufyan kagum sekali, seraya katanya: 
"Belum pernah aku melihat seseorang mencintai kawannya 
demikian rupa seperti sahabat-sahabat Muhammad mencintai Muhammad." 
Zaid lalu dibunuh oleh Nastas. Maka ia pun gugur sebagai 
syahid yang memegang teguh agama dan amanat Nabi. 
Adapun Khubaib waktu itu dalam penjara, yang kemudian dibawa 
keluar untuk disalib. Tapi ia berkata kepada mereka: 
"Dapatkah kamu membiarkan aku sekadar melakukan salat dua 
raka'at?" 
Permintaan demikian itu dikabulkan. Iapun sembahyang dua 
raka'at dengan baik dan sempurna. Kemudian ia menghadap mereka lagi: 
"Kalau tidak karena kamu akan menyangka saya sengaja 
memperlambat karena takut dibunuh, niscaya saya masih akan sembahyang lebih 
banyak lagi." 
Setelah ia dinaikkan dan diikat di atas tonggak kayu, 
dipandangnya mereka itu dengan mata sayu seraya katanya: "
Ya Allah, hitungkan bilangan mereka itu, binasakan mereka 
dalam keadaan cerai-berai dan jangan dibiarkan seorangpun dari mereka itu." 
Mendengar suara yang keras itu mereka gemetar, mereka 
merebahkan diri takut terkena kutukannya. Sesudah itu ia pun dibunuh. Seperti 
Zaid yang telah gugur sebagai syahid, Khubaib juga kemudian gugur pula sebagai 
syahid untuk agama dan untuk Nabi. Dua ruh yang suci itu pun kini melayang pula. 
Padahal, sebenarnya mereka akan dapat menyelamatkan diri dari pembunuhan itu 
kalau saja mereka mau jadi murtad meninggalkan agamanya. Tetapi demi keyakinan 
mereka kepada Tuhan, kepada keluhuran rohani dan hari kemudian - tatkala setiap 
jiwa hanya akan mendapat balasan sesuai dengan perbuatannya dan tak ada orang 
yang akan memikul beban orang lain - mereka melihat maut itu - sebagai tujuan 
hidup - adalah tujuan yang paling baik dalam hidupnya demi akidah, demi iman dan 
demi kebenaran. Mereka pun yakin bahwa darah mereka, yang kini ditumpahkan di 
atas bumi Mekah, akan memanggil saudara-saudaranya kaum Muslimin supaya memasuki 
kota itu sebagai pihak yang menang, yang akan menghancurkan berhala-berhala, 
akan membersihkan segala noda paganisma dan kehidupan syirik. Dan kesucian 
Ka'bah sebagai Baitullah akan dikembalikan juga sebagaimana mestinya, bersih 
dari segala sebutan nama-nama selain asma Allah. 
Dalam menghadapi peristiwa ini pihak Orientalis tidak bicara 
apa-apa seperti ketika menghadapi peristiwa tawanan Badr yang dibunuh pihak 
Muslimin. Mereka tidak berusaha untuk memandang jijik perbuatan khianat yang 
diiakukan Banu Hudhail terhadap dua orang yang tidak berdosa itu, yang bukan 
ditawan dari medan perang, tapi diambil dengan cara tipu-muslihat, yang 
berangkat karena perintah Rasul dengan maksud supaya mengajarkan agama kepada 
orang-orang yang mengkhianati mereka itu, orang-orang yang menyerahkan mereka 
kepada Quraisy, setelah kawan-kawannya yang lain pun dibunuh secara gelap dan 
licik. Kaum Orientalis tidak menganggap jijik perbuatan Quraisy terhadap dua 
orang yang tak bersenjata itu, padahal apa yang mereka lakukan adalah suatu 
perbuatan pengecut dan tindakan permusuhan yang rendah sekali. Pada dasarnya 
prinsip kejujuran yang harus menjadi pegangan kaum Orientalis, yang merasa tidak 
dapat menerima apa yang dilakukan kaum Muslimin terhadap dua tawanan perang Badr 
itu, ialah akan merasa jijik sekali terhadap pengkhianatan Quraisy yang menerima 
penyerahan dua orang untuk dibunuh itu, sesudah empat orang lainnya yang 
didatangkan atas permintaan mereka untuk mengajarkan agama, telah lebih dulu 
pula mereka bunuh. 
Semua Muslimin merasa sedih, Muhammad juga merasa sedih 
sekali atas malapetaka yang telah menimpa keenam orang yang gugur sebagai syahid 
di jalan Tuhan karena pengkhianatan Hudhail itu. Ketika itulah Hassan b. Thabit 
mengirimkan sajak-sajaknya sebagai elegi yang mendalam sekali buat Khubaib dan 
Zaid. 
Dalam pada itu lebih banyak lagi Muhammad memikirkan keadaan 
umat Muslimin. Kuatir sekali ia kalau hal semacam itu terulang lagi. Masyarakat 
Arab akan sangat merendahkan mereka. 
Sementara ia sedang berpikir-pikir demikian itu tiba-tiba 
datang Abu Bara' 'Amir b. Malik. Muhammad menawarkan kepadanya supaya ia sudi 
masuk Islam, tapi ia menolak. Sungguhpun begitu juga ia tidak menunjukkan sikap 
permusuhannya terhadap Islam. Bahkan katanya: "Muhammad, kalau ada 
sahabat-sahabatmu yang dapat diutus ke Najd dan mengajak mereka itu menerima 
ajaranmu saya harap mereka itu akan menerima." 
Tetapi Muhammad masih kuatir akan melepaskan 
sahabat-sahabatnya itu ke Najd dan takut ia penduduk daerah itu nanti akan 
mengkhianati mereka seperti pernah dilakukan Hudhail terhadap Khubaib dan 
kawan-kawan. Ia tidak yakin dan tidak dapat mengabulkan permintaan Abu Bara'. 
"Saya menjamin mereka," katanya lagi. "Kirimkanlah utusan 
kesana untuk mengajak mereka menerima ajaranmu." 
Abu Bara' adalah orang yang ditaati di kalangan masyarakatnya 
dan didengar orang perkataannya. Barangsiapa yang sudah diberinya perlindungan 
ia tidak kuatir akan mendapat serangan pihak lain. 
Dengan demikian Muhammad mengutus al-Mundhir b. 'Amr dari 
Banu Sa'ida dengan memimpin 40 orang Muslimin pilihan. Mereka pun berangkat. 
Sampai di Bi'ir Masuna - antara daerah Banu 'Amir dan Banu Sulaim - mereka 
berhenti. Dari sana mereka mengutus Haram b. Milhan membawa surat Muhammad 
kepada 'Amir bin't-Tufail. Tetapi oleh 'Amir surat itu tidak dibacanya, malah 
orang yang membawanya dibunuh, dan dia minta bantuan Banu 'Amir supaya membunuhi 
kaum Muslimin. Tetapi setelah mereka menolak untuk melakukan pelanggaran atas 
pertanggung-jawaban dan perlindungan yang telah diberikan oleh Abu Bara' 'Amir 
meminta bantuan kabilah-kabilah lain. Permintaan ini oleh mereka dipenuhi dan 
kemudian bersama-sama dia mereka berangkat dan mengepung rombongan Muslimin di 
tempat itu. Melihat keadaan ini pihak Muslimin pun segera mencabut pedang. 
Mereka mengadakan perlawanan mati-matian sampai akhirnya mereka terbunuh semua. 
Hanya Ka'b b. Zaid yang masih selamat, yang dibiarkan begitu 
saja oleh Ibn't-Tufail. Ternyata ia belum mati. Kemudian ia pun pergi pulang ke 
Madinah. Demikian juga 'Amr b. Umayya, yang oleh 'Amir bin't-Tufail dimerdekakan 
karena dikiranya ia masih terikat dengan suatu niat ibunya. Dalam perjalanan 
pulang di tengah jalan 'Amr bertemu dengan dua orang yang dikiranya turut 
menyerang kawan-kawannya. Dibiarkannya kedua orang itu sampai tidur lebih dulu, 
kemudian diserangnya dan dibunuhnya. Sesudah itu ia melanjutkan lagi 
perjalanannya. Sesampainya di Medinah diberitahukannya perbuatannya itu kepada 
Rasul a.s. Ternyata kedua orang itu dari Banu 'Amir, dari golongan Abu Bara' dan 
yang juga terikat oleh suatu perjanjian Jiwar (bertetangga baik) dengan 
Rasulullah, dan ini berarti harus diselesaikan dengan diat. 
Bukan main Muhammad menahan perasaan pilu karena pembunuhan 
di Bi'ir Ma'una itu. Sungguh berat hatinya menahan dukacita atas 
sahabat-sahabatnya itu. Ia berkata: "Ini adalah perbuatan Abu Bara'. Sejak 
semula saya sudah berat hati dan kuatir sekali." 
Abu Bara' juga merasa sangat terpukul karena pelanggaran 
'Amir bin't-Tufail atas dirinya itu. Karena itu, Rabi'a anaknya lalu bertindak 
menghantam 'Amir dengan tombak sebagai balasan atas perbuatannya terhadap 
ayahnya. Begitu dalamnya rasa dukacita Muhammad sehingga sebulan penuh setiap 
selesai salat Subuh ia berdoa semoga Tuhan mengadakan pembalasan terhadap mereka 
yang telah membunuh sahabat-sahabatnya itu. Demikian juga seluruh umat Muslimin 
turut merasa pilu karena malapetaka yang telah menimpa saudara-saudaranya 
seagama itu, meskipun sudah dengan penuh iman bahwa mereka semua gugur sebagai 
syuhada, dan mereka semua akan mendapat surga. 
Malapetaka yang telah menimpa kaum Muslimin di Raji' dan di 
Bi'ir Ma'una mengingatkan kaum munafik dan Yahudi Medinah akan kemenangan 
Quraisy di Uhud, dan membuat mereka lupa akan kemenangan Muslimin atas Banu 
Asad, juga mengurangi pandangan mereka terhadap kewibawaan Muhammad dan 
sahabat-sahabatnya. Dalam menghadapi hal ini sekarang Nabi a.s. berpikir dengan 
suatu pemikiran politik yang cermat sekali serta pandangan yang jauh. Ketika itu 
bahaya yang paling besar mengancam kaum Muslimin ialah sikap penduduk Medinah 
yang kiranya akan merendahkan kewibawaan mereka. Begitu juga yang sangat 
diharapkan oleh kabilah-kabilah Arab, mereka akan dapat menanamkan perpecahan 
didalam, yang berarti akan dapat menimbulkan perang saudara jika nanti ada saja 
tetangga yang menyerbu Medinah. Disamping itu pihak Yahudi dan orang-orang 
munafik seolah-olah memang sedang menantikan bencana yang akan menimpa itu. 
Karena itu dilihatnya tak ada jalan lain yang lebih baik daripada membiarkan 
mereka, supaya nanti niat mereka terbongkar. 
Oleh karena Yahudi Banu Nadzir itu sekutu Banu 'Amir, maka 
Nabi berangkat sendiri ke tempat mereka - yang tidak jauh dari Quba'[ - dengan 
membawa sepuluh orang Muslimin terkemuka, diantaranya Abu Bakr, Umar dan Ali. Ia 
minta bantuan Banu Nadzir dalam membayar diat dua orang yang telah dibunuh tidak 
sengaja oleh 'Amr b. Umayya itu dan tidak diketahuinya pula bahwa Nabi telah 
memberikan perlindungan kepada mereka. 
Setelah dijelaskan maksud kedatangannya, mereka 
memperlihatkan sikap gembira dan dengan senang hati bersedia mengabulkan. Akan 
tetapi, sementara sebagian mereka sedang asyik bercakap-cakap dengan dia, 
dilihatnya yang lain sedang berkomplot. Salah seorang dari mereka pergi menyisih 
ke suatu tempat dan tampaknya mereka sedang mengingatkan kematian Ka'b b. 
Asyraf. Salah seorang dari mereka itu ('Amr b. Jihasy b. Ka'b) tampak memasuki 
rumah tempat Muhammad sedang duduk-duduk bersandar di dinding. Ketika itulah ia 
merasa curiga sekali, lebih-lebih lagi karena persekongkolan mereka dan 
percakapan mereka itu telah didengarnya. 
Dengan demikian, diam-diam ia menarik diri dari tempat itu 
dengan meninggalkan sahabat-sahabatnya. Mereka menduga ia pergi untuk suatu 
urusan. 
Sebaliknya pihak Yahudi, mereka jadi kebingungan. Tidak tahu 
lagi mereka; apa yang harus mereka katakan, dan apa pula yang harus mereka 
perbuat terhadap sahabat-sahabat Muhammad. Kalau mereka ini yang akan mereka 
jerumuskan niscaya Muhammad akan mengadakan pembalasan keras. Jika mereka 
biarkan saja, kalau-kalau persekongkolan mereka terhadap Muhammad dan 
sahabat-sahabatnya tetap tak akan terbongkar. Dengan demikian perjanjian mereka 
dengan pihak Muslimin tetap berlaku. Jadi sekarang mereka berusaha meyakinkan 
tamu-tamu Muslimin itu yang mungkin akan dapat menghilangkan rasa kecurigaan 
mereka tanpa samasekali menyebut-nyebut hal tersebut. 
Tetapi sahabat-sahabat Muhammad setelah lama menunggunya, 
mereka pun pergi pula mencarinya. Tatkala ada orang yang datang dari Medinah 
dijumpai, tahulah mereka bahwa Muhammad sudah sampai di kota itu dan langsung 
menuju ke mesjid. Mereka pun juga pergi ke sana. Ia menceritakan kepada mereka 
mengenai apa yang telah menimbulkan kecurigaan dari sikap orang Yahudi itu serta 
maksud mereka yang hendak mengkhianatinya. Barulah mereka menyadari apa yang 
telah mereka lihat itu. Mereka percaya akan ketajaman pandangan Rasul serta akan 
apa yang telah diwahyukan kepadanya. 
Kemudian Nabi memanggil Muhammad b. Maslama, dan katanya: 
"Pergilah kepada Yahudi Banu Nadzir dan katakan kepada 
mereka, bahwa Rasulullah mengutus aku kepada kamu sekalian supaya kamu keluar 
dari negeri ini. Kamu telah melanggar perjanjian yang sudah kubuat dengan kamu 
dengan maksudmu hendak mengkhianati aku. Aku memberikan waktu sepuluh hari 
kepada kamu. Barangsiapa yang masih terlihat sesudah itu akan dipenggal 
lehernya." 
Yahudi Banu Nadzir sekarang merasa putus asa dan kebingungan. 
Atas keterangan itu mereka tidak dapat membela diri lagi, mereka tidak menjawab 
apa-apa lagi; kecuali katanya kepada Ibn Maslama: 
"Muhammad, kami tidak menduga hal ini akan datang dari orang 
golongan Aus." Ini adalah suatu isyarat tentang persekutuan mereka dengan pihak 
Aus dahulu dalam perang dengan Khazraj, tetapi Ibn Maslama hanya menjawab: 
"Hati orang sudah berubah." 
Selama beberapa hari golongan ini sudah bersiap-siap. Tetapi 
dalam pada itu tiba-tiba datang pula dua orang suruhan Abdullah b. Ubayy dengan 
mengatakan: "Jangan ada orang yang mau meninggalkan rumah-rumah kamu dan harta 
benda kamu. Tetaplah bertahan dalam benteng kamu sekalian. Dari golonganku 
sendiri ada dua ribu orang dan selebihnya dari golongan Arab yang akan bergabung 
dengan kita dalam benteng dan mereka akan bertahan sampai titik darah 
penghabisan, sebelum ada pihak lain menyentuh kamu." 
Banu Nadzir mengadakan perundingan atas keterangan Ibn Ubayy 
itu. Mereka tambah bingung. Ada yang samasekali tidak percaya kepada Ibn Ubayy. 
Bukankah dulu pernah ia menjanjikan Banu Qainuqa' seperti yang dijanjikannya 
kepada Banu Nadzir sekarang, tetapi tiba waktunya ia cuci tangan dan menghilang 
meninggalkan mereka? Juga mereka mengetahui, bahwa Banu Quraidza takkan dapat 
membela mereka mengingat adanya suatu perjanjian dengan pihak Muhammad. 
Disamping itu, kalau mereka keluar dari kampung mereka itu ke Khaibar atau ke 
tempat lain yang berdekatan mereka masih akan dapat kembali ke Yathrib bila 
kurma mereka nanti sudah berbuah; mereka akan memetik buah kurma itu lalu 
kembali ke tempat mereka semula. Mereka tidak akan mengalami banyak kerugian 
"Tidak," kata Huyayy b. Akhtab pemimpin mereka. "Malah kita 
yang harus mengirim pesan kepada Muhammad: bahwa kita tidak akan meninggalkan 
kampung kita dan harta-benda kita. Terserah apa yang akan diperbuat. Kita hanya 
tinggal memperbaiki kubu kita; kita akan memasuki tempat ini sesuka hati kita. 
Kita akan membiasakan memakai jalan-jalan kita, kita pindahkan batu-batu ke 
tempat itu. Persediaan makanan kita cukup buat setahun, air pun tidak pernah 
terputus. Muhammad tidak akan mengepung kita setahun penuh." 
Tetapi sepuluh hari sudah lampau. Mereka tidak juga keluar 
dari perkampungan itu. 
Dengan membawa senjata pihak Muslimin selama duabelas malam 
bertempur melawan mereka. Ketika itu bila sudah tampak Muslimin di jalan-jalan 
atau di rumah-rumah, mereka mundur ke rumah berikutnya sesudah rumah-rumah itu 
mereka robohkan. Kemudian Muhammad memerintahkan sahabat-sahabatnya menebangi 
pohon-pohon kurma kepunyaan orangorang Yahudi itu, lalu membakarnya. Dengan 
demikian orang-orang Yahudi itu tidak akan terlalu terikat pada harta-bendanya 
lagi dan tidak akan terlalu bersemangat mau berperang 
Dengan tidak sabar orang-orang Yahudi itu berteriak: 
"Muhammad! Tuan melarang orang berbuat kerusakan. Tuan cela 
orang yang berbuat begitu. Tetapi kenapa pohon-pohon kurma ditebangi dan 
dibakar?!" 
Dalam hal ini firman Tuhan turun: 
"Mana pun pohon kurma yang kamu tebang atau kamu biarkan 
berdiri dengan batangnya, adalah dengan ijin Allah juga, dan karena Ia hendak 
mencemoohkan mereka yang melanggar hukum itu."(Qur'an, 59: 5) 
Sia-sia saja rupanya pihak Yahudi itu menunggu adanya bantuan 
dari Abdullah b. Ubayy atau pertolongan yang mungkin datang dan salah satu 
golongan Arab. Sekarang mereka yakin, bahwa mereka hanya akan beroleh nasib 
buruk saja apabila terus bersitegang hendak berperang. Setelah ternyata mereka 
dalam putus-asa dan ketakutan, mereka meminta damai kepada Muhammad, meminta 
jaminan keamanan atas harta-benda, darah serta anak-anak keturunan mereka; 
sampai mereka keluar dari Medinah. Muhammad pun mengabulkan permintaan mereka; 
asal mereka keluar dari kota itu: Setiap tiga orang diberi seekor unta dengan 
muatan harta-benda; persediaan makanan dan minuman sesuka hati mereka. Di luar 
itu tidak ada. Pihak Yahudi menerima. Mereka dipimpin oleh Huyayy b. Akhtab. 
Dalam perjalanan itu mereka ada yang berhenti di Khaibar, 
yang lain meneruskan perjalanan sampai ke Adhri'at di bilangan Syam. Harta-benda 
yang mereka tinggalkan menjadi barang rampasan Muslimin yang terdiri dari hasil 
bumi, senjata berupa 50 buah baju besi, 340 bilah pedang, di samping tanah milik 
orang-orang Yahudi itu. Tetapi tanah ini tidak dapat dianggap sebagai rampasan 
perang; oleh karenanya tak dapat dibagi-bagikan kepada kaum Muslimin, melainkan 
khusus di tangan Rasulullah yang nantinya akan ditentukan sendiri menurut 
kebijaksanaannya. Dan tanah itu kemudian dibagi-bagikan kepada golongan 
Muhajirin yang pertama di luar golongan Anshar, setelah dikeluarkan bagian 
khusus yang hasilnya akan menjadi hak fakir-miskin. Dengan demikian kaum 
Muhajirin itu tidak perlu lagi harus menerima bantuan kaum Anshar dan inipun 
sudah menjadi harta kekayaan mereka. Dari pihak Anshar yang turut mendapat 
bagian hanya Abu Dujana dan Sahl b. Hunaif, yang sudah terdaftar sebagai orang 
miskin. 
Muhammad memberikan bagian kepada mereka ini seperti kepada 
kaum Muhajirin. 
Dari golongan Yahudi Banu Nadzir sendiri tak ada yang masuk 
Islam kecuali dua orang. Mereka masuk Islam karena harta mereka, yang kemudian 
mereka peroleh kembali. 
Tidak begitu sulit orang akan menilai arti kemenangan 
Muslimin serta pengosongan Banu Nadzir dari Medinah itu, setelah kita kemukakan 
betapa Rasul .a.s. memperhitungkan, bahwa adanya mereka di tempat itu akan 
memberikan semangat dalam menimbulkan bibit-bibit fitnah, akan mengajak 
orang-orang munafik itu mengangkat kepala setiap mereka melihat pihak Muslimin 
mendapat bencana dan mengancam timbulnya perang saudara bila saja ada musuh 
menyerang kaum Muslimin. 
Tentang perginya Banu Nadzir itu Surah Hasyr (59) ini turun: 
"Tidakkah engkau perhatikan orang-orang yang bersikap 
munafik, yang berkata kepada saudara-saudaranya yang tak beriman dari kalangan 
Ahli Kitab: Kalau kamu diusir keluar, niscaya kami pun akan keluar bersama kamu, 
dan tidak sekali-kali kami akan dipengaruhi oleh siapa pun menghadapi 
persoalanmu ini; dan kalau kamu dipengaruhi niscaya kami pun akan membelamu. 
Tetapi Tuhan mengetahui, bahwa mereka adalah pendusta belaka. Kalaupun mereka 
ini diusir keluar, mereka pun tidak akan ikut bersama-sama keluar, juga kalau 
mereka ini diperangi, mereka pun tidak akan turut membantu. dan kalaupun mereka 
sampai membantu, niscaya mereka akan lari mengundurkan diri; lalu mereka ini 
tidak mendapat pertolongan. Sungguh dalam hati mereka kamu sangat ditakuti lebih 
dari Allah. Demikian itulah, sebab mereka adalah golongan yang tidak mengerti." 
(Qur'an, 59: 11-13) 
Kemudian Surah itu dilanjutkan dengan memberi keterangan 
tentang iman dan kekuasaannya. Iman hanya kepada Allah semata-mata. Bagi jiwa 
manusia, yang tahu harga diri dan kehormatan dirinya, yang dikenalnya hanyalah 
kekuasaan Tuhan. 
"Dialah Allah. Tiada tuhan selain Dia. Maha mengetahui segala 
yang gaib dan yang nyata. Dia Pengasih dan Penyayang. Dialah Allah. Tiada tuhan 
selain Dia. Maha Raja, Maha Kudus. Pembawa Keselamatan, Keamanan, Penjaga 
segalanya, Maha Kuasa, Maha Perkasa, Maha Agung. Maha Suci Allah dari segala 
yang mereka persekutukan. Dialah Allah. Pencipta, Pengatur, Pembentuk rupa, 
PadaNyalah ada Asma Yang Indah. Segala yang ada di langit dan di bumi berbakti 
kepadaNya. Dan Dia Maha Kuasa, Maha Bijaksana." (Qur'an, 59: 22 - 24) 
Sampai pada waktu dikosongkannya Medinah dari Banu Nadzir, 
yang menjadi sekretaris Nabi ketika itu ialah orang Yahudi. Hal ini dimaksudkan 
untuk memudahkan pengiriman surat-surat dalam bahasa Ibrani dan Asiria. Tetapi 
setelah orang-orang Yahudi keluar, Nabi jadi kuatir kalau jabatan yang memegang 
rahasianya itu bukan di tangan orang Islam. Dari kalangan pemuda Islam di 
Medinah dimintanya Zaid b. Thabit supaya mempelajari kedua bahasa tersebut, yang 
dalam segala urusan kemudian ia akan menjadi sekretaris Nabi. Dan Zaid b. Thabit 
inilah yang telah mengumpulkan Qur'an pada masa khilafat Abu Bakr, dan dia pula 
yang kembali dan mengawasi pengumpulan Qur'an tatkala terjadi perbedaan cara 
membaca pada masa pemerintahan Usman. Lalu yang dipakai hanya Mushhaf Usman, 
yang lain dibakar. 
Suasana Medinah jadi tenteram setelah Yahudi Banu Nadzir 
keluar. Pihak Muslimin tidak lagi merasa takut terhadap orang-orang munafik. 
Bahkan kaum Muhajirin bersuka hati memperoleh tanah bekas orang-orang Yahudi 
itu. Juga kalangan Anshar turut gembira karena Muhajirin sudah tidak lagi 
bergantung pada bantuan mereka. Hati mereka semua merasa lega. Dalam suasana 
yang begitu tenang, aman dan tenteram, baik Muhajirin maupun Anshar, semua 
mereka merasa senang. Dalam pada mereka dalam keadaan demikian, setelah berlalu 
waktu setahun sejak peristiwa Uhud, teringat oleh Muhammad 'alaihi'sh shalatu 
was-salam - ucapan Abu Sufyan: "Yang sekarang ini untuk peristiwa perang Badr. 
Sampai jumpa tahun depan!" serta ajakannya kepada Muhammad untuk mengadakan 
perang Badr lagi. Tetapi tahun itu sedang terjadi musim kering (paceklik). 
Harapan Abu Sufyan ialah sekiranya perang itu diadakan dalam waktu lain saja. 
Untuk itu diutusnya Nusaim (b. Mas'ud) ke Medinah dengan 
mengatakan kepada pihak Muslimin, bahwa Quraisy telah mengerahkan tentaranya 
begitu besar yang belum ada taranya dalam sejarah Arab; sudah siap akan 
memerangi mereka, akan menghancur-luluhkan mereka sehingga tidak akan tersisa 
lagi. Tampaknya kaum Muslimin pun mau menghindari bahaya itu. Banyak diantara 
mereka yang memperlihatkan keengganan pergi ke Badr. Tetapi Muhammad jadi marah 
karena sikap lemah dan mau surut itu. Ia bersumpah mengatakan kepada mereka, 
bahwa ia akan pergi juga ke Badr walaupun seorang diri. 
Melihat kejengkelan yang luar biasa itu segala sikap maju 
mundur dan perasaan takut-takut segera lenyap. Kaum Muslimin sekarang siap 
memanggul senjata dan berangkat ke Badr. Dalam hal ini pimpinan kota Medinah 
oleh Nabi diserahkan kepada Abdullah b. Abdullah b. Ubayy b. Salul. 
Muslimin yang sudah sampai di Badr, sekarang menantikan 
kedatangan Quraisy. Mereka sudah siap bertempur. Demikian juga pihak Quraisy 
dengan pimpinan Abu Sufyan sudah pula berangkat dari Mekah dengan kekuatan 2000 
orang. Tetapi sesudah dua hari perjalanan tampaknya Abu Sufyan mau kembali 
pulang. Ia memanggil-manggil teman-temannya sambil katanya: 
"Saudara-saudara dari Quraisy, sebenarnya yang cocok buat 
kita hanyalah dalam musim subur, sedang sekarang kita dalam musim kering. Saya 
sendiri mau kembali pulang. Maka pulang sajalah kamu sekalian." 
Mereka itu kembali pulang. 
Tinggal lagi Muhammad dengan tentara Muslimin selama delapan 
hari terus-menerus menantikan mereka, yang selama di Badr itu pula waktu mereka 
pergunakan sambil berdagang. Dan dalam perdagangan itu mereka mendapat laba. 
Mereka kembali ke Medinah pun kemudian dengan gembira, telah mendapat karunia 
dari Tuhan. Dalam Badr Terakhir itulah firman Tuhan ini turun: 
"Mereka yang berkata kepada teman-temannya, dan mereka 
sendiri tinggal di belakang: 'Sekiranya mereka itu mengikut kita, niscaya mereka 
takkan mati terbunuh.' Katakanlah: Cobalah hindarkan dirimu dari kematian, kalau 
memang kamu orang-orang yang benar. Jangan kamu kira orang-orang yang terbunuh 
di jalan Allah itu sudah mati. Tidak! Mereka itu hidup dengan mendapat bagian 
dari Tuhan. Mereka dalam suasana gembira karena karunia yang diberikan Tuhan 
juga; mereka girang sekali terhadap mereka yang tidak ikut dan tinggal di 
belakang, bahwa mereka tidak merasa takut dan tidak pula berdukacita. Mereka 
girang karena karunia dan nikmat Tuhan dan Tuhan tidak akan menghilangkan jasa 
orang-orang beriman, orang-orang yang telah memenuhi panggilan, Tuhan dan Rasul 
meskipun mereka sudah mengalami malapetaka, orang-orang yang berbuat baik dan 
dapat memelihara diri dari kejahatan; mereka itulah yang akan mendapat pahala 
besar. Orang yang sudah berkata kepada mereka: 'Sebenarnya orang-orang sudah 
berkumpul hendak melawan kamu. Karena itu hendaklah kamu takut kepada mereka. 
Tetapi hal ini bahkan menambah kuat iman mereka, dan jawab mereka: Cukup Tuhan 
bersama kami dan Ia Pelindung yang sebaik-baiknya. Mereka kembali mendapatkan 
nikmat dan karunia dari Tuhan. Mereka tidak mengalami bencana, dan mereka 
mengikut perkenaan Allah. Dan Allah Maha Pemberi karunia yang besar. Yang 
demikian itu hanyalah setan yang menakut-nakuti pengikut-pengikutnya. Jangan 
kamu takut kepada mereka, tapi takutlah kepadaKu, kalau benar-benar kamu 
orang-orang beriman." (Qura'an, 3: 168 - 175) 
Dengan demikian perang Badr yang terakhir benar-benar telah 
menghapus pengaruh perang Uhud samasekali. Buat Quraisy hanya tinggal lagi 
menunggu kesempatan lain, dengan tetap mereka bergelimang dalam kecemaran karena 
sifat pengecutnya yang tidak kurang cemarnya dari kekalahan yang mereka derita 
dalam perang Badr pertama. 
Dengan pertolongan Tuhan itu Muhammad merasa lega tinggal di 
Medinah, merasa tenteram hatinya karena kewibawaan Muslimin kini telah kembali. 
Sungguhpun begitu ia selalu waspada terhadap segala tipu-muslihat musuh, selalu 
awas-awas ke segenap jurusan. 
Sementara dalam keadaan demikian itu, tiba-tiba terbetik 
berita, bahwa ada sebuah kelompok dari Ghatafan di Najd yang sedang bersepakat 
hendak memeranginya. Dan taktiknya selalu dalam hal ini ialah menyergap musuh 
secara tiba-tiba sebelum musuh itu sempat mengadakan persiapan mempertahankan 
diri. Oleh karena itulah, dengan kekuatan empat ratus orang ia berangkat menuju 
Dhat'r-Riqa'. Di tempat ini pihak Banu Muharib dan Banu Tha'laba dari Ghatafan 
sudah berkumpul. Begitu ia dilihat oleh mereka, ia langsung melakukan penyerbuan 
ke tempat-tempat mereka itu. Dengan meninggalkan kaum wanita dan harta, mereka 
lari tunggang-langgang. Apa yang dapat dibawa oleh Muslimin dibawanya, dan 
mereka kembali pulang ke Medinah. 
Akan tetapi, karena dikuatirkan pihak musuh akan kembali 
menyerang mereka, siang malam mereka pun secara bergantian mengadakan penjagaan. 
Dalam pada itu dalam memimpin sembahyang juga oleh Muhammad dilakukan dengan 
salat khauf.1 Dalam hal ini sebagian mereka menghadap ke jurusan musuh, karena 
dikuatirkan kalau-kalau pihak musuh menyusul menyerang mereka, sementara mereka 
sedang bersembahyang dua raka'at bersama-sama Muhammad itu. Akan tetapi selama 
itu tidak ada bayangan musuh yang tampak. Kemudian Nabi dan sahabat-sahabat 
kembali ke Medinah setelah 15 hari meninggalkan kota itu. Dengan sukses demikian 
ini mereka kembali dengan gembira sekali. 
Tidak lama sesudah itu Nabi pun berangkat lagi dalam suatu 
ekspedisi, yakni ekspedisi Dumat'l-Jandal. Dumat'l-Jandal ini adalah sebuah 
wahah (oasis) pada perbatasan Hijaz-Syam, yang terletak pada pertengahan jalan 
antara Laut Merah dengan Teluk Persia. Muhammad sendiri tidak sampai bertemu 
dengan kabilah-kabilah yang ingin dihadapinya itu dan yang suka menyerang 
kafilah-kafilah di sana; sebab baru mereka mendengar namanya saja, mereka sudah 
ketakutan dan sudah kabur lebih dulu, dengan meninggalkan harta benda yang 
kemudian dibawa Muslimin sebagai barang ghanima (rampasan perang). Berdasarkan 
batas Dumat'l-Jandal secara geografis kita sudah dapat melihat betapa luasnya 
pengaruh Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu, betapa jauhnya kekuasaan mereka 
dan betapa pula seluruh jazirah itu merasa takut. Begitu juga kita melihat 
bagaimana Muslimin itu menanggung segala macam beban dalam ekspedisi-ekspedisi 
itu, dengan tidak pedulikan panas terik yang rnembakar, tanah yang kering dan 
gersang, air yang sukar diperoleh, bahkan maut sendiri pun tidak lagi mereka 
hiraukan. Hanya satu yang menggerakkan mereka sampai mencapai kemenangan dan 
sukses itu, yang telah memberikan kekuatan moril kepada mereka, yaitu: keteguhan 
iman, iman yang hanya kepada Allah semata-mata. 
Sekarang tiba waktunya buat Muhammad beristirahat di Medinah 
untuk selama beberapa bulan berikutnya, sementara menantikan Quraisy sampai 
tahun depan - tahun kelima Hijrah - dan menjalankan perintah Tuhan menyelesaikan 
suatu susunan masyarakat bagi umat Islam yang baru tumbuh itu, suatu organisasi 
yang pada waktu itu meliputi beberapa ribu orang dan yang kemudian akan meliputi 
jutaan bahkan ratusan juta umat Islam. Dalam membuat struktur masyarakat itu, ia 
bertindak dengan cara yang begitu cermat dan baik sekali, sejalan dengan wahyu 
Tuhan yang diberikan kepadanya, dan ditentukannya sendiri pula mana-mana yang 
sesuai dengan perintah dan ajaran wahyu itu, dengan ketentuan-ketentuan 
terperinci yang oleh sahabat-sahabat pada waktu itu diberi tempat yang suci, dan 
yang selanjutnya akan tetap berlaku begitu sepanjang masa dan generasi; wahyu 
yang tiada dimasuki kepalsuan dari manapun juga, baik dari semula maupun sesudah 
itu. 
1 Shalat'l-khauf, harfiah salat ketakutan, yakni sembahyang 
darurat dalam keadaan bahaya. Syarat-syarat dan ketentuan-ketentuannya terdapat 
dalam buku-buku fikih (A). 
Sumber: Sejarah Hidup Muhammad oleh Dr. Mohammad Hussein Haekal 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar