Senin, 25 April 2011

Sesungguhnya Al Qur'an diturunkan, diantara kandungannya...


Sesungguhnya Al Qur'an diturunkan, diantara kandungannya:

1. Ayat-ayat yang terang, jelas dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah (muhkamaat)
2. Ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain (mutasyaabihaat)

Adapun orang-orang yang hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyaabihaat ...
Mereka bertujuan untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah ...
Seperti الم, المص, الر, كهيعص

Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami."
Mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan, sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)...



QS 3.Ali 'Imran:7-8

هُوَ ٱلَّذِىۤ أَنزَلَ عَلَيْكَ ٱلْكِتَـٰبَ مِنْهُ ءَايَـٰتٌ مُّحْكَمَـٰتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلْكِتَـٰبِ وَأُخَرُ مُتَشَـٰبِهَـٰتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فى قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَـٰبَهَ مِنْهُ ٱبْتِغَآءَ ٱلْفِتْنَةِ وَٱبْتِغَآءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ ٱللَّهُ وَٱلرَٰسِخُونَ فِي ٱلْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُواْ ٱلأَلْبَـٰبِ
رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنتَ ٱلْوَهَّابُ

"Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat[ayat-ayat yang terang, jelas dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah], itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat[ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain]. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal."

"(Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).""

Secara lebih luas dijelaskan oleh Imam Zarkasyi dalam al-Burhan mengenai masalah ayat dan hadits mutasyabihat:

وقد اختلف الناس فى الوارد منها – يعنى المتشابهات – فى الآيات والأحاديث على ثلاث فرق :
أحدها : أنه لامدخل للتأويل فيها, بل تجرى على ظاهرها ولانؤول شيئا منها وهم المشبهة
الثانية : أن لها تأويلا ولكنا نمسك عنه مع تنزيه اعتقادنا عن الشبه والتعطيل ونقول لايعلمه إلا الله وهو قول السلف
والثالثة : أنها مؤولة وأولوها على ما يليق به
والأول باطل يعني مذهب المشبهة والأخران منقولان عن الصحبة

Artinya : Sungguh berbedalah pendapat para ulama tentang ayat dan hadits mutasyabihat mejadi tiga pendapat :
1. Tidak ada takwil sama sekali pada ayat tersebut, tetapi di berlakukan sebagaimana makna dhahirnya dan tidak di takwilkan sama sekali, mereka adalah kaum MUSYABIHAH (kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk)
2. Ada takwil tetapi kami menahan diri darinya (tidak menentukan makna yang di maksudkan) serta meyakini bersihnya Allah SWT dari serupa dan ta’thil (meniadakan sifat bagi Allah) dan kami berkata hanya Allah SWT yang mengetahui maknanya, ini pendapat Salaf
3. Ayat dan hadits tersebut di takwil dan para ulama mentakwilnya (diberi makna) berdasarkan makna layak dengan Allah SWT
Yang pertama BATHIL yaitu mazhab MUSYABIHAH sedangkan dua pendapat yang akhir ternyata di riwayatkan dari sahabat.(Imam Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Quran, Jilid 4 Hal 78, Beirut, Dar Ma’rifah th 1391 H)

Imam Nawawi mengatakan dalam kitab Majmuk Syarh Muhazzab :

اختلفوا فى آيات الصفات وأخبارها هل يخاض فيها بالتأويل أم لا ؟ فقال قائلون تتأول على ما يليق بها, وهذا أشهر المذهبين للمتكلمين وقال آخرون : لا تتأول بل يمسك عن الكلام فى معناها ويوكل علمها الى الله تعالى ويعتقد مع ذلك تنزيه الله تعالى وانتفاء صفات الحوادث عنه فيقال مثلا نؤمن بأن الرحمن على العرش استوى, ولا نعلم حقيقة معنى ذلك والمراد به مع أنا نعتقد أن الله تعالى ليس كمثله شئ, وأنه منزه عن الحلول وسامت الحدوث, وهذه الطريقة السلف أو جماهريهم وهي أسلم

Artinya : Para Ulama berbeda pendapat tentang ayat-ayat dan hadits sifat (sifat Allah) apakah ditakwil ataupun tidak ? Maka berkata sebagian ulama nash tersebut ditakwil berdasarkan makna yang layak dengan Allah SWT. Ini merupakan pendapat yang paling masyhur diantara mazhab-mazhab mutakallimin, dan sebagian ulama lain berkata jangan ditakwil tetapi tahanlah dari pada membicarakan maknanya dan diserahkan maknanya kepada Allah dan mengiktiqad bersihnya Allah SWT dari sifat-sifat baharu, misalnya dikatakan kami beriman sesungguhnya Ar-rahman ‘ala arsy istawa dan kami tidak tahu hakikat makna demikian dan maksud demikian beserta kami mengi’tiqad sesungguhnya Allah SWT tidak serupa dengan sesuatu apapun dan sesungguhnya Allah SWT bersih dari tempat dan tanda hudus, ini thariqat Salaf atau mayoritas ulama Salaf dan jalan ini lebih aslam (selamat). (Imam Nawawi, Majmuk Syarh Muhazzab, Jld 1 hal 439 Dar Kutub Ilmiyah 2007)

Bab. Tafwid , Takwil dan lsbat
Tidak bisa dipungkiri bahwa pembahasan tentang apakah Allah punya sifat atau tidak, sudah menjadi polemik sejak dulu. Sebagian aliran mengatakan bahwa Tuhan itu mempunyai sifat dan sebagian lainya mengatakan tidak.

Mu’tazilah dengan tegas menolak Allah memiliki sifat. Mereka tidak mengakui sifat-sifat Allah sebagai suatu yang qadim, yang lain daripada zatnya. Sedang Ahlus Sunnah menerimanya dengan catatan sifat Allah berbeda dengan sifat mahluk.

Di kalangan Ahlusunnah sendiri kemudian juga terjadi perdebatan dalam menetapkan sifat Allah. Setidaknya ada tiga kelompok ulama dalam memahami masalah ini yaitu 3 mazhab; tafwid , takwil dan isbat.

Berkaitan dengan masalah di atas, sebetulnya, banyak ulama seperti Syeikh Ali as Shobuni, Syeikh Dr Yusuf al Qaradhawy yang mengatakan bahwa ketiga mazhab tersebut sudah menjadi bagian pemikiran para ulama ahlu sunnah Karenanya, persoalan tersebut tidak layak diperdebatkan dan diperuncing.

Mazhab isbat yang menetapkan sifat Allah tanpa mempertanyakan maknanya, maksudnya bukan menyamakan sifat Allah dengan sifat mahluk. Dalam hal ini Ibnu Taimiyah,ulama yang menganut mazhab ini, menjelaskan bahwa sifat-sifat Allah seperti irada(berkehendak), ilman (berilmu) sama dengan sifat Allah seperti yadain (memiliki dua tangan) dan melihat.

Semuanya harus ditetapkan sebagaimana dhahir  nashnya (al-Fatawa al-Qubra, juz 6/656). Namun berkaitan dengan sifat Allah seperti memiliki tangan dan melihat, ia mengatakan tidak ada musyabbihah (penyamaan) dengan tangan dan penglihatan  mahluk (dalam Dar ut taahrudh al aql wan naql 5/363).

Ini artinya, ulama yang mendapat julukun Syaikul Islam ini dengan tegas menolak menyamakan sifat Allah dengan sifat mahluk.

Demikian pula mazhab tafwid  yang menyerahkan secara bulat lafad atau terjemahannya serta maknanya kepada Allah, sudah diikuti oleh ulama salaf.

Imam Tirmudzi dalam kitabnya menjelaskan bahwa mazhab ini diikuti oleh Sofyan at-Tsuari, Malik bin Anas, Ibnu Mubarok, Ibnu Uyaina, Wakiq dan lainnya dari kalangan ahli hadits dan ulama salaf (Sunan Turmudzi 4/492).

Hal ini juga dipertegas oleh Imam Suyuti bahwa jumhur ulama ahlu sunnah dari kalangan salaf dan ahlu hadits mengikuti mazhab tafwid  (al-Itqon fi ulumil Qur’an 2/10).

Sedang mazhab takwil juga dipakai oleh sebagian ulama salaf dalam rangka mengalihkan makna dhahir dari sifat Allah agar tidak sama dengan sifat manusia.

Imam Thabari dalam kitabnya menjelaskan bahwa Ibnu Abbas telah melakukan beberap takwil terhadap al-Qur’an, diantaranya ketika mentakwil surat al-Dariyat ayat 47.
Surat Az-Zariyat Ayat 47

وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ

47. Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa

 Kata "aydin" dalam ayat ini oleh Ibnu Abbas ditakwili menjadi quwwah (kekuatan), bukan diartikan tangan. Ini karena Allah Maha Suci dari menyerupai mahluk-Nya (Tafsir Thabari 7/27).

Dari keterangan di atas, sebenarnya tidak ada alasan bagi kita mempersoalkan masalah tersebut dengan cara yang tidak elegan, yaitu tidak jujur yang hanya membuat perpecahan di kalangan umat Islam ahlu sunnah.

Sebagian ulama menjelaskan bahwa ketiga mazhab tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Ketiganya bisa digunakan sesuai dengan kondisi dan tempatnya masing-masing.

Pembahasan masalah di atas tidak akan pernah selesai jika masing-masing hati kita sudah ada keinginan untuk tafaruq (berpecah). Padahal dalam kondisi umat yang sudah terlanjur carut-marut ini dibutuhkan hati yang legowo dalam menerima perbedaan yang sebenarnya hanya bersifat furu’ aqidah. Kita harus  mengedepankan persatuan umat daripada menjerumuskan mereka dalam perpecahan.

Karena itu diperlukan sikap yang ihlas menerima perbedaan tersebut dengan mengabaikan perbedaan yang sifatnya tidak terlalu prinsip.

Kita jaga persatuan umat ini karena hal tersebut merupakan perintah Allah.

Allah berfirman:

وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَّ لاَ تَفَرَّقُوْا، وَاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ اِذْ كُنْتُمْ اَعْدَآءً فَاَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَاَصْبَحْتُمْ بِنِعْمِتِه اِخْوَانًا، وَ كُنْتُمْ عَلى شَفَا حُفْرَةٍ فَاَنْقَذَكُمْ مِّنْهَا، كَذلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ ايتِه لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ. ال عمران:103

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan ni’mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni’mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari pada­nya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” [Ali ‘Imran : 103]

وَ اَطِيْعُوا اللهَ وَ رَسُوْلَه وَلاَ تَنَازَعُوْا فَتَفْشَلُوْا وَ تَذْهَبَ رِيْحُكُمْ وَ اصْبِرُوْا، اِنَّ اللهَ مَعَ الصّبِرِيْنَ. الانفال:46

“Dan thaatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berban­tah-bantah, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” [QS: Al-Anfaal : 46]

Demikian juga Rasulullah bersabda,

عَنْ اَنَسٍ رض عَنِ النَّبِيِّ ص قَالَ: لاَ يُؤْمِنُ اَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ ِلاَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ. البخارى و مسلم

Dari Anas RA, dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam, beliau bersabda : “Tidak beriman seseorang diantara kalian, sehingga dia cinta untuk saudaranya sebagaimana dia cinta untuk dirinya sendiri”. [Bukhari dan Muslim]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar