Jumat, 12 Januari 2018

Beberapa Hadis yang Disoroti

Di antara sederet kitab hadis yang ditulis para ulama sejak abad ke-2 Hijriah, para ulama lebih banyak merujuk pada enam kitab hadis utama atau Kutub As-Sittah. Keenam kitab hadis yang banyak digunakan para ulama dan umat Islam di seantero dunia itu adalah Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmizi, Sunan An-Nasai,  serta Sunan Ibnu Majah.

Sahih al-Bukhari
Kitab hadis ini disusun oleh Imam Bukhari. Sejatinya, nama lengkap kitab itu adalah Al-Jami Al-Musnad As-Sahih Al-Muktasar min Umur Rasulullah Sallallahu Alaihi Wassallam wa Sunanihi.  Kitab hadis nomor satu ini terbilang unggul, karena hadis-hadis yang termuat di dalamnya bersambung sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW.

‘’Sekalipun ada hadis yang sanadnya terputus atau tanpa sanad sekali, namun hadis itu hanya berupa pengulangan,’’ tulis Ensiklopedi Islam. Karena kualitas hadisnya yang teruji, Imam Az-Zahabi, mengatakan, kitab hadis yang ditulis Imam Bukhari merupakan kitab yang tinggi nilainya dan paling baik, setelah Alquran.

Dengan penuh ketekunan dan semangat yang sangat tinggi, Imam Bukhari menghabiskan umurnya untuk menulis Shahih Al-Bukhari. Ia sangat prihatin dengan banyaknya kitab hadis, pada zaman itu, yang mencampuradukan antara hadis sahih, hasan, dan dhaif – tanpa membedakan hadis yang diterima sebagai hujah (maqbul) dan hadis yang ditolak sebagai hujah (mardud).

Imam Bukhari makin giat mengumpulkan, menulis, dan membukukan hadis, karena pada waktu itu hadis palsu beredar makin meluas. Selama 15 tahun, Imam Bukhari berkelana dari satu negeri ke negeri lain untuk menemui para guru hadis dan meriwayatkannya dari mereka.

Dalam mencari kebenaran suatu hadis, Imam Bukhari akan menemui periwayatnya di mana pun berada, sehingga ia betul-betul yakin akan kebenarannya. Beliau pun sangat ketat dalam meriwayatkan sebuah hadis. ‘’Hadis yang diterimanya adalah hadis yang bersambung sanadnya sampai ke Rasulullah SAW.’’

Tak hanya itu. Ia juga memastikan bahwa hadis itu diriwayatkan oleh orang yang adil dan kuat ingatan serta hafalannya. Tak cukup hanya itu. Imam Bukhari juga akan selalu memastikan bahwa antara murid dan guru harus benar-benar bertemu. Contohnya, apabila  rangkaian sanadnya terdiri atas Rasulullah SAW – sahabat – tabiin –tabi at tabiin – A –B – Bukhari, maka beliau akan menemui B secara langsung dan memastikan bahwa B menerima hadis dan bertemu dengan A secara langsung.

Menurut Ibnu hajar Al-Asqalani, kitab hadis nomor wahid ini memuat sebanyak 7.397 hadis, termasuk yang ditulis ulang. Imam Bukhari menghafal sekitar  600 ribu  hadis. Ia menghafal hadis itu dari 90 ribu perawi. Hadis itu dibagi dalam bab-bab yang yang terdiri dari akidah, hukum, etika makan dan minum, akhlak, perbuatan baik dan tercela, tarik, serta sejarah hidup Nabi SAW.

Sahih Muslim
Menurut Imam Nawawi,  kitab Sahih Muslim memuat 7.275 hadis, termasuk yang ditulis ulang. Berbeda dengan Imam Bukahri, Imam Muslim hanya menghafal sekitar 300 ribu hadis atau separuh dari yang dikuasai Imam Bukhari. ‘’Jika tak ada pengulangan, maka jumlah hadis dalam kitab itu mencapai 4.000,’’ papar Ensiklopedi Islam.

Imam Muslim meyakni, semua hadis yang tercantum dalam kitab yang disusunnya itu adalah sahih, baik dari sisi sanad maupun matan. Seperti halnya Shahih Bukhari, kitab itu disusun dengan sistematika fikik dengan topiknya yang sama.

Sang Imam, tergerak untuk mengumpulkan,  menulis, dan membukukan hadis karena pada zaman itu ada upaya dari kaum zindik (kafir), para ahli kisah, dan sufi yang berupaya menipu umat dengan hadis yang mereka buat-buat sendiri. Tak heran, jika saat itu umat islam sulit untuk menilai mana hadis yang benar-benar dari Rasulullah SAW dan bukan.

Soal syarat penetapan hadis sahih, ada perbedaan antara Imam Bukhari dan Imam Muslim.  Shahih Muslim tak menerapkan syarat terlalu berat. Imam Muslim berpendapat antara murid (penerima hadis) dan guru (sumber hadis) tak harus bertemu, cukup kedua-duanya hidup pada zaman yang sama.

Sunan Abi Dawud
Kitab ini memuat 5.274 hadis, termasuk yang diulang. Sebanyak 4.800 hadis yang tercantum dalam kitab itu adalah hadis hukum. ‘’Di antara imam yang kitabnya masuk dalam Kutub as-Sittah,  Abu Dawud merupakan imam yang paling fakih,’’ papar Ensiklopedi Islam.

Karenanya, Sunan Abi Dawud  dikenal sebagai  kitah hadis hukum, para ulama hadis dan fikih mengakui bahwa seorang mujtahid cukup merujuk pada kitab hadis itu dan Alquran. Ternyata, Abu Dawud menerima hadis itu dari dua imam hadis terdahulu yakni Imam Bukhari dan Muslim. Berbeda dengan kedua kitab yang disusun kedua gurunya itu,  Sunan Abi Dawud mengandung hadis hasan dan dhaif.Kitab hadis tersebut juga banyak disyarah oleh ahli hadis sesudahnya.

Sunan At-Tirmizi
Kitab ini juga dikenal dengan nama Jami’ At-Tirmizi.  Karya Imam At-Tirmizi ini mengandung 3.959 hadis, terdiri dari yang sahih, hasan, dan dhaif. Bahkan, menurut Ibnu Qayyim al-Jaujiyah, di dalam kitab itu tercantum sebanyak 30 hadis palsu. Namun, pendapat itu dibantah oleh ahli hadis dari Mesir, Abu Syuhbah.

‘’Jika dalam kitab itu terdapat hadis palsu, pasti Imam At-Tirmizi pasti akan menjelaskannya,’’ tutur Syuhbah. Menurut dia,  At-Tirmizi selalu memberi komentar terhadap kualitas hadis yang dicantumkannya.

Sunan An-Nasa’i
Kitab ini juga dikenal dengan nama Sunan Al-Mujtaba. An-Nasa’I menyusun kitab itu setelah menyeleksi hadis-hadis yang tercantum dalam kitab yang juga ditulisnya berjudul As-Sunan Al-Kubra  yang masih mencampurkan antara hadis sahih, hasan, dan dhaif. Sunan An-Nasa’I  berisi 5.671 hadis, yang menurut Imam An-Nasa’I adalah hadis-hadis sahih.

Dalam kitab ini, hadis dhaif terbilang sedikit sekali. Sehingga, sebagian ulama ada yang meyakini kitab itu  lebih baik dari Sunan Abi Dawud dan Sunan At-Tirmizi. Tak heran jika, para ulama menjadikan kitab ini rujukan setalah Sahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim.

Sunan Ibnu Majah
Kitab ini berisi 4.341 hadis. Sebanyak 3.002 hadis di antaranya terdapat dalam Al-Kutan Al-Khasah  dan 1.339 hadis lainnya adalah hadis yang diriwaytkan Ibnu Majah. Awalnya, para ulama tak memasukan kitab hadis ini kedalam jajaran Kutub As-Sittah, karena di dalamnya masih bercampur antara hadis sahih, hasan dan dhaif. Ahli hadis pertama yang memasukan kitab ini ke dalam jajaran enam hadis utama adalah Al-Hafiz Abu Al-fadal Muhammad bin Tahir Al-Maqdisi (wafat 507 Hijiriah).

Imam Az-Zahabi, mengatakan, kitab hadis yang ditulis Imam Bukhari merupakan kitab yang tinggi nilainya dan paling baik, setelah Alquran.

Tingkatan hadis Shahih mengerucut menjadi 7 tingkat;
1. Hadis Shahih yang disepakati oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim.
2. Hadis yang khusus dishahihkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya
3. Hadis yang khusus dishahihkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya.
4. Hadis yang memenuhi kualifikasi hadis shahih menurut Imam Bukhari dan Imam Muslim.
5. Hadis yang hanya memenuhi kualifikasi hadis shahih menurut Imam Bukhari.
6. Hadis yang hanya memenuhi kualifikasi hadis shahih menurut Imam Muslim.
7. Hadis-hadis shahih yang dishahihkan oleh para ahli hadis lainnya selain Imam Bukhari dan Muslim.

Menurut Mahmud Thahan, hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitabnya adalah hadis-hadis yang shahih, tapi tidak semuanya mutawatir di antaranya ada pula yang ahad. Hadis-hadis yang tidak sampai pada tingkatan mutawatir ini jika diriwayatkan oleh kedua Imam tersebut akan menambah kekuatan dan menjadi keistimewaan tersendiri bagi hadis maqbul tersebut.


Larangan Menyebarkan Hadits Lemah Dan Palsu
Kita tidak boleh mempercayainya apalagi menceritakan dan menyebarluaskannya kepada orang lain, agar kita bebas dari ancaman keras Nabi bagi para pemalsu hadits atau pendusta atas nama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yaitu mempersiapkan tempat duduknya di dalam api neraka, sebagaimana disebutkan dalam hadits yg mutawatir. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

Artinya:
“Barangsiapa yang berdusta atas namaku, maka hendaklah dia mengambil tempat duduknya dari api neraka” (HR Al Bukhari I/434 no.1229, Muslim I/10 no.3).

Kita diperbolehkan menyebarkan hadits ini dan hadits palsu dan batil lainnya kepada orang lain dengan tujuan menjelaskan kepalsuan/kedustaan dan kebatilannya kepada kaum muslimin dan memperingatkan mereka dari bahaya hadits-hadits dha’if dan palsu.

"Semoga bermanfaat bagi kita semua. Dan smg kita semakin berhati-hati dalam membaca hadits-hadits dan menuntut ilmu agama."


Abdullah bin Mubarak rahimahullah mengatakan perkataan yang terkenal:


الإسناد من الدين، ولولا الإسناد؛ لقال من شاء ما شاء


“Sanad adalah bagian dari agama. Jika tidak ada sanad, maka orang akan berkata semaunya.” (Lihat dalam Muqaddimah Shahih Muslim, Juz I, halaman 12).


Bab: Shalat Fardhu Diatas Kendaraan 

Pro dan kontra dalam pelaksanaan shalat fardhu, apakah boleh dikerjakan di atas kendaraan atau tidak boleh sehingga melahirkan istilah hanya shalat lihurmatil waqti (shalat sunah untuk menghormati waktu). Berikut ini ditemukan hadits-hadits bahwa Nabi SAW dan para sahabat telah melaksanakan shalat Khauf (shalat dalam kondisi perang).

Di antara mereka ada yang melaksanakannya dengan berjalan kaki dan di antara mereka ada juga yang melaksanakannya di atas kendaraan mereka. Dengan demikian semestinya tidak perlu diragukan bahwa shalat fardhu pun juga boleh dilaksanakan di atas kendaraan sebagaimana diperbolehkannya shalat sunah di atas kendaraan.
Dengan demikian kesaksian sahabat bahwa saya hanya melihat Nabi shalat sunah di atas kendaraan dan tidak dalam shalat wajib, tidak bisa dimaknai "tidak boleh" melainkan itulah pemahaman dia dalam mendampingi Rasulullah SAW.

Penafian seperti juga muncul, misalnya pernyataan Aisyah,"Saya tidak pernah melihat Rasulullah SAW buang hajat dengan berdiri". Itu bukan berarti "tidak boleh buang hajat dengan berdiri".
Dinarasikan Jabir ibn Abdullah ra, "Sesungguhnya Rasulullah SAW ketika dalam perang Bani Anmar, beliau melaksanakan shalat (Khauf) di atas kendaraannya menghadap ke arah timur." (HR. Al- Syafii: 194)

Dinarasikan Nafi':"Apabila Abdullah ibn Umar ditanya tentang shalat Khauf, dia berkata: Imam dan sekelompok (pertama) maju ..." Dalam riwayat lain, "Apabila perang telah berkecamuk maka di antara umat ada yang shalat sambil berjalan dan di antara mereka ada yang berkendaraan, ada yang menghadap ke arah kiblat namun juga ada yang tidak menghadap ke arah kiblat."
Malik berkomentar, "Saya tidak meragukan sekiranya Abdullah ibn Umar memaparkannya secara al-marfu' (dinisbatkan kepada Nabi)." (HR. Al-Syafii: 79).

Dinarasikan Nafi'dari ibn Umar (menurut hemat saya dia dari Nabi SAW), lalu dia menyebutkan shalat Khauf. Katanya,"Apabila shalat telah berkecamuk, maka mereka shalat berjalan kaki dan berkendaraan, ada yang menghadap ke arah kiblat dan ada juga yang tidak menghadap ke arah kiblat."(HR. Al-Syafii: 1088).

Dinarasikan Jabir ibn AbduIllah ra.: "Ketika Nabi SAW memimpin perang bani Anmar, beliau shalat di atas kendaraannya menghadap ke arah timur." (HR. Muslim: 1182).

Meskipun demikian, selama bisa berhenti dan turun dari kendaraan untuk melaksanakan sholat di masjid atau mushola terdekat, maka itu lebih baik. Mengingat hadits² yang membolehkan sholat diatas kendaraan itu hanya pada saat genting. {}

Bab: Makna Dibalik Boneka Aisyah ra

Dinarasikan Aisyah RA bahwa Nabi Muhammad SAW menikahinya ketika dia berusia enam tahun, dan dia diantar ke kamar Nabi ketika berusia sembilan tahun, dan ketika itu dia sedang membawa bonekanya, sedangkan Nabi wafat ketika dia berusia delapan belas tahun. (HR. Bukhari: 2549)

Tidak dimungkiri bahwa "boneka" bisa jadi merupakan bagian dari hasil pahatan, yang dalam bahasa hadits sering dilafadzkan dengan "al-taswir" dapat diterjemahkan sebagai pahatan atau lukisan. Hadits di atas merupakan bukti nyata bahwa tidak semua pahatan atau lukisan dilarang dalam agama.
Dari penulusuran berbagai hadits, pahatan atau lukisan yang dikutuk pelakunya adalah jika pahatan dan lukisan tersebut memiliki "ruh" Penjelasan Nabi yang sedemikian itu sangat penting.
Hanya saja ulama masih memperdebatkan maksud memiliki ruh tersebut. Menurut hemat saya, tidak mungkin diartikan 'bernyawa', karena tidak ada mahluk Allah di muka bumi ini yang tidak bernyawa, bahkan sampai gunung pun bersujud kepada Allah, tumbuh-tumbuhan juga berkembang, layu dan mati.
Dengan demikian menurut hemat penulis pahatan atau gambar tersebut"memiliki ruh", dimaknai jika pahatan atau gambar itu diyakini memiliki sesuatu yang dapat mendatangkan manfaat dan mudharat, seperti pahatan yang dijadikan sesembahan, lukisan yang dipajang sedemikian rupa, diberi dupa, kalungan bunga dan sebagainya.

Seperti itu pula budaya bangsa Indonesia ketika meletakkan keris (yang dianggap mempunyai kekuatan/ruh) di tempat tertentu, apabila diyakini adanya unsur yang dapat mendatangkan manfaat dan mudharat akan dapat berdampak kesyirikan yang dikutuk menurut agama Islam.

------------------------------------->
Dalil-dalil larangan Menyerupai Ciptaan Allah:

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan,

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مِنْ سَفَرٍ وَقَدْ سَتَرْتُ بِقِرَامٍ لِى عَلَى سَهْوَةٍ لِى فِيهَا تَمَاثِيلُ ، فَلَمَّا رَآهُ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – هَتَكَهُ وَقَالَ « أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُضَاهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ » . قَالَتْ فَجَعَلْنَاهُ وِسَادَةً أَوْ وِسَادَتَيْنِ

“Pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dari suatu safar dan aku ketika itu menutupi diri dengan kain tipis milikku di atas lubang angin pada tembok lalu di kain tersebut terdapat gambar-gambar. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat hal itu, beliau merobeknya dan bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling berat siksanya pada hari kiamat adalah mereka yang membuat sesuatu yang menandingi ciptaan Allah.” ‘Aisyah mengatakan, “Akhirnya kami menjadikan kain tersebut menjadi satu atau dua bantal.”  (HR. Bukhari no. 5954 dan Muslim no. 2107).

Dalam riwayat lain disebutkan,

إِنَّ أَصْحَابَ هَذِهِ الصُّوَرِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُعَذَّبُونَ ، فَيُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ

“Sesungguhnya pembuat gambar ini akan disiksa pada hari kiamat. Dikatakan pada mereka, “Hidupkanlah apa yang telah kalian ciptakan (buat).” (HR. Bukhari no. 2105 dan Muslim no. 2107)

Dalam riwayat lain disebutkan,

إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ

“Sesungguhnya orang yang peling berat siksanya di sisi Allah pada hari kiamat adalah al mushowwirun (pembuat gambar).” (HR. Bukhari no. 5950 dan Muslim no. 2109).

Beberapa Pengecualian:

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan,

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مِنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ أَوْ خَيْبَرَ وَفِى سَهْوَتِهَا سِتْرٌ فَهَبَّتْ رِيحٌ فَكَشَفَتْ نَاحِيَةَ السِّتْرِ عَنْ بَنَاتٍ لِعَائِشَةَ لُعَبٍ فَقَالَ « مَا هَذَا يَا عَائِشَةُ ». قَالَتْ بَنَاتِى. وَرَأَى بَيْنَهُنَّ فَرَسًا لَهُ جَنَاحَانِ مِنْ رِقَاعٍ فَقَالَ « مَا هَذَا الَّذِى أَرَى وَسْطَهُنَّ ». قَالَتْ فَرَسٌ. قَالَ « وَمَا هَذَا الَّذِى عَلَيْهِ ». قَالَتْ جَنَاحَانِ. قَالَ « فَرَسٌ لَهُ جَنَاحَانِ ». قَالَتْ أَمَا سَمِعْتَ أَنَّ لِسُلَيْمَانَ خَيْلاً لَهَا أَجْنِحَةٌ قَالَتْ فَضَحِكَ حَتَّى رَأَيْتُ نَوَاجِذَهُ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah tiba dari perang Tabuk atau Khoibar, sementara kamar ‘Aisyah ditutup dengan kain penutup. Ketika ada angin yang bertiup, kain tersebut tersingkap hingga mainan boneka ‘Aisyah terlihat. Beliau lalu bertanya, “Wahai ‘Aisyah, apa ini?” ‘Aisyah menjawab, “Itu mainan bonekaku.” Lalu beliau juga melihat patung kuda yang mempunyai dua sayap. Beliau bertanya, “Lalu suatu yang aku lihat di tengah-tengah boneka ini apa?” ‘Aisyah menjawab, “Boneka kuda.” Beliau bertanya lagi, “Lalu yang ada di bagian atasnya itu apa?” ‘Aisyah menjawab, “Dua sayap.” Beliau bertanya lagi, “Kuda mempunyai dua sayap?” ‘Aisyah menjawab, “Tidakkah engkau pernah mendengar bahwa Nabi Sulaiman mempunyai kuda yang punya banyak sayap?” ‘Aisyah berkata, “Beliau lalu tertawa hingga aku dapat melihat giginya.” (HR. Abu Daud no. 4932 dan An Nasai dalam Al Kubro no. 890. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan). Hadits ini diceritakan setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang dari perang Tabuk. Ini sudah menunjukkan bahwa hadits ini tidak dimansukh (dihapus) karena datangnya belakangan.

Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, di mana ia berkata,

كُنْتُ أَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ عِنْدَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – وَكَانَ لِى صَوَاحِبُ يَلْعَبْنَ مَعِى ، فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ يَتَقَمَّعْنَ مِنْهُ ، فَيُسَرِّبُهُنَّ إِلَىَّ فَيَلْعَبْنَ مَعِى

“Aku dahulu pernah bermain boneka di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam. Aku memiliki beberapa sahabat yang biasa bermain bersamaku. Ketika Rasululah shallallahu ‘alaihi wa salam masuk dalam rumah, mereka pun bersembunyi dari beliau. Lalu beliau menyerahkan mainan padaku satu demi satu lantas mereka pun bermain bersamaku” (HR. Bukhari no. 6130).

Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menyebutkan, “Para ulama berdalil dengan hadits ini akan bolehnya gambar (atau patung atau boneka) berwujud perempuan dan bolehnya mainan untuk anak perempuan. Hadits ini adalah pengecualian dari keumuman hadits yang melarang membuat tandingan yang serupa dengan ciptaan Allah. Kebolehan ini ditegaskan oleh Al Qodhi ‘Iyadh dan beliau katakan bahwa inilah pendapat mayoritas ulama.” (Fathul Bari, 10: 527).

Ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hambali beralasan dengan pengecualian tersebut bahwa mainan tadi dibolehkan karena ada hajat untuk mendidik anak. Ini berarti, jika tujuannya hanya sekedar dipajang di rumah, maka tentu tidak dibolehkan.

Patung Tanpa Kepala
Dalam Al Mughni karya Ibnu Qudamah disebutkan, “Ketika gambar atau patung dibentuk dari badan tanpa kepala atau kepala tanpa badan atau dijadikan kepala tetapi bagian lainnya adalah berbentuk lainnnya selain hewan, ini semua tidak termasuk dalam larangan.”

Namun menurut ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa jika bagian tubuh lain tidak ada, lalu masih tersisa kepala, maka pendapat yang rojih (kuat), gambar atau patung tersebut masih tetap haram.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

اَلصُّوْرَةٌ الرَّأْسُ ، فَإِذَا قُطِعَ فَلاَ صُوْرَةٌ

“Gambar itu adalah kepala, jika kepalanya dihilangkan maka tidak lagi disebut gambar.” (HR. Al-Baihaqi 7: 270. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 1921)
<-------------------------------------


Bab: Hadits Baju Merah

------------------------------------->
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

نُهِيتُ عَنْ الثَّوْبِ الْأَحْمَرِ وَخَاتَمِ الذَّهَبِ وَأَنْ أَقْرَأَ وَأَنَا رَاكِعٌ

“Aku dilarang untuk memakai kain yang berwarna merah, memakai cincin emas dan membaca Al-Qur’an saat rukuk.” (HR. An Nasai no. 5266. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
<-------------------------------------

Dinarasikan Aun ibn Abi Juhaifah dari bapaknya: Saya mendatangi Nabi SAW di Makkah, ketika itu Nabi berada di Abthah, dengan mengenakan jubah merah terbuat dari kulit. Sekonyong-konyong Bilal datang membawakan air wudhu untuk beliau.
Dari sisa air itu ada orang yang mendapatkannya dan ada pula yang hanya mendapat percikannya. Kemudian Nabi SAW, keluar memakai pakaian merah. Seolah-olah saya masih melihat (bagaimana) putihnya betis Nabi. Lalu Nabi SAW, wudhu, dan Bilal adzan. Saya mengikuti gerak-gerik mulut Bilal berseru ke kanan dan ke kiri mengucapkan: Hayya 'alas shalah, hayya 'alal falah.
Kemudian Bilal menancapkan sebuah tongkat berujung besi, lalu Nabi SAW, maju ke depan mengimami shalat qasar Dzuhur dua rakaat. (Ketika Nabi sedang shalat), keledai dan anjing digiring lewat di depan Nabi (di balik tongkat itu), tetapi ia tidak dicegah (oleh Nabi SAW). Kemudian shalat Ashar dua rakaat, kemudian tetap shalat dua rakaat hingga (tiba) kembali di Madinah. Hadits diriwayatkan Muslim (dalam al-Shahih Muslim : 1147).

Hadits ini menjadi qarinah, bahwa tidak semua pakaian warna "merah" diancam masuk ke dalam neraka. Sekiranya digeneralisasikan bahwa semua orang yang berpakaian warna merah mereka diancam neraka, tentu mustahil Nabi SAW sendiri yang melanggarnya.

Maka di balik orang berpakaian merah itulah yang dicari latar belakang historisnya, kenapa pemakainya sampai diancam Nabi akan terkena api neraka. Bisa jadi karena kesombongannya, atau sikap pamernya atau perasaan dirinya yang paling hebat dan sebagainya, merupakan indikasi pelakunya layak mendapatkan ancaman neraka tersebut.


Bab: Al Quran Berbahasa Quraisy

Dinarasikan Anas ibn Malik RA: Hudzaifah ibn al-Yamani datang kepada Utsman setelah sebelumnya memerangi penduduk Syam yakni pada saat penaklukan Armenia dan Azerbaijan bersama penduduk Irak.
Ternyata perselisihan mereka dalam bacaan Al Quran mengejutkan Hudzaifah. Maka Hudzaifah berkata kepada Utsman,"Rangkullah umat ini sebelum mereka berselisih tentang Al Quran sebagaimana perselisihan yang telah terjadi pada kaum Yahudi dan Nasrani."
Akhirnya Utsman mengirim surat kepada Hafsah yang berisikan,"Tolong kirimkanlah lembaran Al Quran kepada kami, agar kami dapat segera menyalinnya ke dalam lembaran yang lain. Lalu kami akan segera mengembalikannya kepada Anda."
Maka Hafsah pun mengirimkannya kepada Utsman. Lalu Utsman memerintahkan kepada Zaid ibn Tsabit, Abdullah ibn Zubair, Sa'id ibn Asyh dan Abdurrahman ibn Harits ibn Hisyam, sehingga mereka menyalinnya ke dalam lembaran yang lain.
Utsman berkata kepada tiga orang Quraisy dari mereka,"Jika kalian berselisih dengan Zaid ibnTsabit terkait dengan Al Quran, maka tulislah dengan bahasa Quraisy, sebab Al Quran turun dengan bahasa mereka.
Kemudian mereka mengindahkan perintah itu hingga penyalinan selesai dan Utsman pun mengembalikannya ke Hafsah. Setelah itu, Utsman mengirimkan sejumlah lembaran yang telah disalin ke berbagai penjuru negeri kaum muslim, dan memerintahkan untuk membakar Al-Qur an yang terdapat pada selain lembaran tersebut. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari (HR Bukhari: 4987).

Berangkat dari teks di atas maka dapat dipahami bahwa Al Quran bukan berbahasa Arab pada umumnya, melainkan mengerucut pada bahasa Quraisy. Untuk itu mencari kesejatian makna Al Quran harus merujuk kepada pemahaman Quraisy sebagai bahasa ibu Al Quran.
Dengan demikian untuk memahami bahasa 'wahyu', tidak cukup hanya merujuk kepada kamus umum Arab, melainkan kamus khusus yang dipakai oleh bangsa Quraisy. Seperti kalimat "ittaqillah"tidak selamanya dimaknai "bertakwalah kepada Allah", namun lebih banyak berkonotasi pada pemaknaan "Anda salah, atau jangan begitu, dan sejenisnya".

Demikian semoga membari manfaat dan wawasan keilmuan kita. {*}


Bab: Umrah di Bulan Rajab 
Dinarasikan Mujahid: "Saya dan Urwah ibn Zubair memasuki sebuah masjid, ternyata Abdullah ibn Umar sedang dudukdi sebelah kamar Aisyah. Kemudian Urwah ibn Zubair bertanya: Berapa kali Nabi SAW berumrah? Ibn Umar menjawab: Empat kali. Salah satunya dilakukan di bulan Rajab. (HR. Bukhari: 4253).
Dinarasikan Urwah: "Wahai ummul mukminin, apakah Anda belum mendengar apa yang dikatakan oleh Abu Abdurrahman bahwa Rasulullah SAW berumrah empat kali. Maka Aisyah berkata: Nabi SAW tidak pernah berumrah kecuali Ibn Umar menyertainya, dan Nabi sama sekali tidak pernah berumrah pada bulan Rajab. (HR. Bukhari: 4254).

Penjelasan:
Kedua hadits tersebut sama-sama hadits fi'li, cerita sahabat terhadap perilaku Rasulullah SAW. Perbedaannya, periwayatan pertama datang dari Ibn Umar, sedangkan yang kedua dari periwayatan Aisyah.
Kedua-duanya telah menceritakan bahwa seumur hidup Nabi hanya melaksanakan umrah selama empat kali, demikian pula para sahabat yang lain, dan ternyata hanya Ibn Umar yang menceritakan Umrah Nabi di bulan Rajab, yang lain tidak bahkan Aisyah telah mengingkarinya.

Disinilah letak syadz periwayatan Ibn Umar, maka yang lebih dekat adalah periwayatan Aisyah. (Hadits syadzadalah hadits yang diriwayatkan oleh satu perawi tsiqah saja dan tidak memiliki penguat). wallahu a'lam. {*}


Bab. Bahayanya Bid'ah dalam Agama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al Kahfi [18] : 103-104)

Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعْ بِدْعَتَهُ

“Allah betul-betul akan menghalangi setiap pelaku bid’ah untuk bertaubat sampai dia meninggalkan bid’ahnya.” (HR. Thabrani. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 54)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ

“Aku akan mendahului kalian di Al-Haudh (telaga). Dinampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman, ‘Engkau sebenarnya tidak mengetahui perbuatan yang mereka buat sesudahmu.’ ” (HR. Bukhari no. 7049)

Dalam riwayat lain dikatakan,

إِنَّهُمْ مِنِّى . فَيُقَالُ إِنَّكَ لاَ تَدْرِى مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِى

“(Wahai Rabbku), mereka betul-betul pengikutku. Lalu Allah berfirman, ‘Sebenarnya engkau tidak mengetahui bahwa mereka telah mengganti ajaranmu setelahmu.” Kemudian aku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengatakan, “Celaka, celaka bagi orang yang telah mengganti ajaranku sesudahku.” (HR. Bukhari no. 7051)

 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan kebaikan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya ganjaran semisal ganjaran orang yang mengikutinya dan sedikitpun tidak akan mengurangi ganjaran yang mereka peroleh. Sebaliknya, barangsiapa melakukan suatu amalan kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikitpun.” (HR. Muslim no. 1017)

 Perkataan Nabi Syu’aib,

إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud [11] : 88)

Namun bid’ah diperbolehkan dalam masalah dunia (boleh melakukan tidak sesuai dengan "perintah Nabi SAW") , seperti dalam Hadits dari Anas ra tentang mengawinkan kurma. 
Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati sahabatnya yang sedang mengawinkan kurma. Lalu beliau bertanya, “Apa ini?” Para sahabat menjawab, “Dengan begini, kurma jadi baik, wahai Rasulullah!” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda,

لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا لَصَلُحَ

“Seandainya kalian tidak melakukan seperti itu pun, niscaya kurma itu tetaplah bagus.” Setelah beliau berkata seperti itu, mereka lalu tidak mengawinkan kurma lagi, namun kurmanya justru menjadi jelek. Ketika melihat hasilnya seperti itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,

مَا لِنَخْلِكُمْ

“Kenapa kurma itu bisa jadi jelek seperti ini?” Kata mereka, “Wahai Rasulullah, Engkau telah berkata kepada kita begini dan begitu…” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ

“Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.”  (HR. Muslim, no. 2363)


Bab: Status Hadits


------------------------------------->
Hadits Perbedaan pendapat pada umatku adalah rahmat

اختلاف أمتي رحمة
“Perbedaan pendapat pada umatku adalah rahmat.” (As Suyuthi mengatakan hadits ini diriwayatkan oleh Nashr Al Maqdisi dalam kitab Al Hajjah secara marfu’ dan Al Baihaqi dalam Al Madkhal  dari Al Qasim bin Muhammad dan ini adalah ucapan beliau. Lihat Ad Durar Mutanatsirah, Hal. 1)

Hadits tersebut tidak sah, bahkan batil dan tidak ada sumbernya.

Imam Subki berkata:
“Saya tidak melihat Hadits tersebut mempunyai sanad yang sah, atau dha’if, atau palsu.”

Syaikh Al Albani mengatakan: “Hadits ini tidak ada asalnya. Banyak para muhadditsin yang mencoba mencari sanadnya tetapi mereka tidak menemukannya, sampai-sampai As Suyuthi berkata dalam Al Jami’ Ash Shaghir: “Barang kali hadits ini telah dikeluarkan oleh sebagian kitab para imam yang belum sampai kepada kita.” Menurutku ini sangat jauh. (As Silsilah Adh Dhaifah, 1/141/57) Dalam kitabnya yang lain beliau menyatakan hadits ini maudhu’ (palsu) ( Dhaiful Jami’ No. 230)

As Sakhawi juga mengatakan bahwa banyak para imam yang menyangka bahwa hadits ini tidak ada asalnya. (Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 14. Kasyf Al Khafa’, 1/65)


Meminta Kepada Orang yang Sudah Mati

Pertanyaan:
Banyak orang berkata bahwa meminta sesuatu kepada mayat di kuburan adalah boleh, dengan berdalilkan sebuah hadits yang berbunyi, 
“Apabila kalian bimbang dalam menghadapi segala perkara maka mintalah pertolongan kepada penghuni kubur.”

 Apakah hadits ini shahih?

Jawaban:
Hadits itu termasuk salah satu hadits dusta yang disandarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh banyak ahlul ‘ilmi, tidak hanya satu ahlul ‘ilmi saja! Di antara mereka adalah Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah, di mana beliau telah berkata dalam kitab Majmu’ Al-Fatawa setelah menyebutkan hadits tersebut, yang bunyi redaksional pernyataannya adalah sebagai berikut,

“Menurut kesepakatan para ulama yang ahli tentang hadits, hadits di atas adalah kedustaan yang sangat keji terhadap nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada seorang ulama pun yang meriwayatkan hadits tersebut dan tidak mungkin pula ia akan ditemukan dalam kitab-kitab hadits yang dijadikan pegangan umat Islam.” Demikian pernyataan Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah.

Pendapat yang berani berdusta atas nama Rasulullah ini sangat kontradiktif dengan kandungan yang terdapat dalam Al-Quran dan as-sunnah, yang mengharuskan kita agar memurnikan ibadah hanya kepada Allah semata dan mengharamkan kesyirikan. Tidak disangsikan lagi, bahwa berdoa, beristighatsah, dan meminta pertolongan kepada orang-orang yang sudah mati karena tertimpa berbagai musibah dan malapetaka merupakan beberapa bentuk perbuatan menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling besar. Demikian pula, berdoa kepada orang-orang yang sudah mati tersebut dalam kondisi lapang juga termasuk menyekutukan Allah.

Orang-orang musyrik dahulu, apabila mereka tertimpa malapetaka yang sangat dahsyat, maka mereka biasanya langsung memurnikan ibadah hanya kepada Allah saja. Akan tetapi, apabila malapetaka itu sudah berlalu, maka mereka kembali menyekutukan Allah. Hal ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah dalam ayat berikut:

فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ

“Maka apabila mereka naik kapal mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).” (QS. Al-Ankabut: 65)

Ayat yang semakna dengan ini jumlahnya amat banyak.

Sedangkan orang-orang musyrik pada zaman kita sekarang, mereka senantiasa berbuat syirik, baik dalam kondisi lapang maupun tertimpa musibah. Bahkan (yang lebih parah lagi), dalam kondisi tertimpa musibah musibah, kesyirikan mereka justru bertambah menjadi-jadi, wal’iyadzu billah. Dengan demikian, jelaslah bahwa kekafiran orang-orang musyrik sekarang, itu lebih besar dan lebih parah daripada kekafiran orang-orang musyrik pada zaman dahulu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

فَادْعُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ

“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai(nya).” (QS. Al-Mukmin: 14)

إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصاً لَّهُ الدِّينَ. أَلاَ لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ

“Sesunguhnya Kami menurunkan Kitab (Al-Quran) kepadamu dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).” (QS. Az-Zumar: 2–3)

ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَهُ الْمُلْكُ وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِن قِطْمِيرٍ. إِن تَدْعُوهُمْ لاَ يَسْمَعُوا دُعَاءكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ وَلاَ يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ

Yang (berbuat) demikian Allah Rabbmu, kepunyaan-Nya-lah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu, dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.” (QS. Fathir: 13–14)

Sumber: Fatwa-Fatwa Seputar Kubur, Syekh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz, Al-Qowam.


Hadits Berfikir sesaat lebih baik dari pada beribadah 60 tahun?

فِكْرَةُ سَاعَةٍ خَيْرٌ مِنْ عِبَادَةِ سِتِّينَ سَنَةً

Berfikir sesaat lebih baik dari pada beribadah 60 tahun

Hadis ini disebutkan dalam kitab al-Adzamah dengan sanad: Berkata Abu Syaikh, dari Abdullah bin Muhammad bin Zakariya, dari Utsman bin Abdillah al-Qurasyi, dari Ishaq bin Najih al-Multhi, dari Atha al-Khurasani, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

Perawi  yang bernama Ishaq bin Najih dan Utsman bin Abdillah dinilai para ulama sebagai pendusta.

Ibnul Jauzi menilai hadis ini:

هذا حديث لا يصح ، وفي الإسناد كذّابان ، فما أفلت وضعُه مِن أحدهما : إسحاق بن نجيح، قال أحمد : هو أكذب الناس ، وقال يحيى : هو معروف بالكذب ووضع الحديث ، وقال الفلاس : كان يضع الحديث على رسول الله صلى الله عليه وسلم صراحا ، والثاني : عثمان ، قال ابن حبان : يضع الحديث على الثقات

Hadis ini tidak benar, sementara dalam sanadnya terdapat 2 perawi pendusta. Status palsu hadis ini disebabkan keberadaan salah satu dari mereka. Ishaq bin Najih, yang kata Imam Ahmad: “Manusia paling pendusta.” Sementara Yahya bin Main berkomentar: “Terkenal suka berdusta dan memalsukan hadis.” Kata Imam al-Fallas: “Dia memalsukan hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terang-terangan.”

Mungkin maksudnya baik, namun karena ia menyandarkan kepada Nabi SAW, padahal sebenarnya bukan (dusta), maka menjadi buruk dan tercelalah tindakannya itu.
Berikut ini yang dari Alquran:
Berfikir, merenungkan ayat-ayat Allah, dalam rangka semakin mengagungkan Allah, adalah perbuatan yang terpuji. Allah memujinya dalam al-Quran, diantaranya,

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran: 191).


Hadits Mengenai hari ‘Asyura

مَنْ وَ سَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ سَائِرَ سَنَتِهِ

“Barangsiapa memberi kelonggaran pada keluarganya pada hari Asyura, niscaya Allah akan memberikan kelonggaran kepadanya sepanjang tahun”.

--> Imam Ahmad berkata : “Hadits ini tidak sah/bathil”.

Hadits yang dikatakan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu secara marfu.

غْتَسَلَ وَ تَطَهَّرَ فِي يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ لَمْ يَمْرَضْ فِي سَنَتِهِ إِلاَّ مَرَضَ الْمَوْتِ

“Barangsiapa mandi dan bersuci pada hari Asyura maka tidak akan sakit di tahun itu kecuali sakit yang menyebabkan kematian”.

--> Hadits ini adalah buatan para pembunuh Husain.

Adapun hadits,

ِمَنِ اكْتَحَلَ بِالإِثْمِدِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ لَمْ تَرْمِدْ عَيْنُهُ أَبَدًا

“Barangsiapa bercelak dengan batu ismid di hari Asyura maka matanya tidak akan pernah sakit selamanya”

--> Maka ulama seperti Ibnu Rajab, Az-Zakarsyi dan As-Sakhawi menilainya sebagai hadits maudlu (palsu).


Hadits Mengusap Kepala anak Yatim pada hari ‘Asyura

Dalam kitab al-Atsar al-Marfu’ah fil Akhbar Maudhu’ah, milik Abdul Hayyi al-Laknawi, disebutkan riwayat cukup panjang dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhumai yang marfu’ kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, salah satu isinya menerangkan keutamaan mengusap kepala anak yatim pada hari syura:

وَمَنْ مَسَحَ عَلَى رَأْسِ يَتِيمٍ يَوْمَ عَاشُورَاءَ رُفِعَتْ لَهُ بِكُلِّ شَعْرَةٍ عَلَى رَأْسِهِ دَرَجَةً فِي الْجَنَّةِ

“Dan siapa yang mengusap kepala anak yatim pada hari ‘Asyura maka dengan setiap rambutnya diangkat baginya satu derajat di surga.”

Redaksi di atas diawali dengan beberapa keutamaan puasa hari ‘Asyura yang sangat fantastis, yakni siapa yang berpuasa hari ‘Asyura maka Allah mencatat  untuknya ibadah selama 60 tahun dengan puasa dan shalat malamnya, ia diberi pahala 10 ribu malaikat dan pahala 10 ribu orang mati syahid. Lalu disebutkan keutamaan puasa hari ‘Asyura yang pelakunya akan diberi pahala sebanyak tujuh langit. Sementara siapa yang memberi berbuka orang mukmin pada hari tersebut seolah-olah ia memberi makan seluru fakir miskin umat nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan mengeyangkan perut mereka.

Namun sayang, hadits dengan keutamaan luar biasa tersebut dikeluarkan oleh Ibnul Jauzi dengan sanad yang di dalamnya terdapat habib bin Abi Habib. Dalam Al-Maudhu’at, Ibnul jauzi juga menyatakan riwayat serupa: ini adalah hadits maudhu’ (PALSU) tanpa diragukan lagi. Beliau menjelaskan: Maudhu’ (hadits palsu) penyakitnya ada pada Habib.

>> Berikut ini hadis yang sahih:

dari Sahl bin Sa’d Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا

“Saya dan orang yang merawat anak yatim di surga kelak seperti ini,” seraya beliau mengisyaratkan jari tengah dan telunjuknya lalu merenggangkan keduanya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Imam al-Nawawi menjelaskan makna Kaafil al-Yatim: orang yang mengurusi kebutuhan-kebutuhannya. (Riyadhus shalihin. Bab: Mulathafah al-Yatim)

Ibnu Baththal Rahimahullah –disebutkan dalam  Fathul Baari- berkata: “wajib bagi siapa yang  mendengar hadits ini untuk mengamalkannya, supaya ia bisa menemani Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam di surga, dan tidak ada kedudukan di akhirat yang lebih utama darinya.”

<-------------------------------------

Hadits: Berpuasalah pasti Anda sehat
Hadits:"Berpuasalah pasti Anda sehat" dikeluarkan Thabrani dalam "al-Ausath" (2/225/1/8477), Abu Nu'aim dalam "al- Thibbi"(24/1 dan 2) dengan sanad: Muhammad ibn Sulaiman ibn Dawud, dari Zuhair ibn Muhammad, dari Suhail ibn Abu Shalih, dari bapaknya, dari Abu Hurairah ra, dari Rasulullah SAW: Berpuasalah kalian pasti sehat.
Thabrani berkata: Tidak ada yang meriwayatkan dengan redaksi seperti ini kecuali Zuhair ibn Muhammad. Ini adalah periwayatan yang lemah karena merupakan periwayatan penduduk negeri Syam kepadanya. Dan hadits inilah contohnya.
Ibn Hajar dalam "Takhrij al-lhya" mengatakan: Hadits tersebut dikeluarkan Thabrani dalam "al- Ausath" dan Abu Nu'aim dalam "al-Thibbi al-Nabawi" dari Abu Hurairah dengan sanad yang lemah.
Al-Mundziri dalam al-Targhib: (2/60) dan Ibn Hajar al-Haitsami dalam al-Majma: (3/179) menyatakan perawi-perawinya tepercaya.

Namun harus dikaji lebih lanjut, karena sekadar keterpercayaan perawi belum jaminan keshahihan hadits, tanpa mengetahui cacat samarnya. Yaitu: Periwayatan penduduk Syam terhadap Zuhair ibn Muhammad yang dinilai lemah.
Berbeda dengan al-Shan'ani dalam Subulu Salam (3/179) yang menyatakan: Hadits ini palsu, yakni hadits dengan redaksi:
Berperanglah kalian pasti dapat rampasan, berpuasalah kalian pasti sehat, dan bepergianlah kalian pasti diampuni. Hadits ini dikeluarkan Ibn Adi dalam al-Kamil: (7/2521), yakni dengan sanad Nahsyal dari Dhahhak dari Ibn Abbas. Nahsyal adalah perawi yang periwayatannya harus ditinggalkan, dan Dhahhak ternyata tidak pernah mendengar dari Ibn Abbas.

Puasa memang dapat menjadikan sebagian pelakunya sehat. Bahkan dapat menjadi terapi kesehatan. Namun harus dipahami bahwa kebenaran wahyu adalah mutlak. Artinya konsep puasa jaminan kesehatan itu harus cocok secara universal dan kapan saja.
Padahal seseorang dalam kondisi tertentu akan berdampak berbahaya sekiranya yang bersangkutan berpuasa, itulah sebabnya Allah tidak mewajibkan mereka apabila memiliki udzur syar'i.
Wallahu a'lam.


RAJAB Bulan Allah 

Rajab syahrullah, wa Sya'ban syahri wa Ramadhan syahru ummati.
"Bulan Rajab adalah bulan Allah, bulan Sya'ban adalah bulan saya dan bulan Ramadhan adalah bulan umatku."
Status: Hadis dhaif, bahkan palsu.

Penjelasan hadits:
Pada prinsipnya semua hari dan semua bulan adalah baik. Setiap insan muslim tidak diperbolehkan mencaci masa sebagaimana yang dipaparkan dalam hadits qudsi yang shahih.
Demikian pula dengan bulan, walaupun semua bulan itu baik namun ada yang diberikan keistimewaan yang memiliki nilai tambah dan fadhilah yang lebih dibanding dari pada bulan- bulan yang lain. Kemuliaan bulan Ramadhan itu sudah dipahami oleh umat Islam secara dharuri, namun kenapa muncul hadits di atas. Yang menggambarkan bahwa derajat bulan Ramadhan justru di bawah level bulan Sya'ban, dan bulan Sya'ban nilainya di bawah level bulan Rajab.
Ketika bulan Rajab itu dinisbatkan milik Allah, tentunya bulan Rajab itu adalah segala-galanya, tidak sebanding dengan bulan Sya'ban yang dinisbatkan milik Rasulullah.
Dan yang lebih fatal justru bulan Ramadhan lebih rendah dari bulan Sya'ban karena di dalam hadits di atas bulan Ramadhan hanya dinisbatkan kepada ummat Nabi Muhammad SAW. Padahal yang semestinya bulan Ramadhan itulah yang lebih mulia bahkan paling mulia. Berangkat dari hadits itulah kita saksikan umat lebih guyup menyambut kedatangan bulan Rajab ketimbang bulan Ramadhan.
Megengan (selamatan) menghadapi Rajabiyah pun lebih hebat ketimbang megengan untuk menghadapi Ramadhan. Bilamana menghadapi bulan Ramadhan banyak wanita subur tidak bingung menelan obat anti haid, namun ketika menghadapi bulan Rajab tampaknya banyak yang meminum obat anti haid.
Alasan mereka, kalau puasa Ramadhan dapat diqadha', namun puasa Rajabiyah tidak dapat diqadha', maka mereka memaksakan diri minum obat anti haid. Inilah dampak negatif terhadap keberadaan hadits-hadits dhaif bahkan palsu, berdampak melahirkan syariat yang dahulu tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Ternyata ditemukan "biangnya". Bulan Rajab itulah yang pada masa jahiliyah diagung- agungkan oleh Yahudi. Maka sekiranya umat Islam memiliki bulan yang mulia mereka tidak mau ketinggalan, sehingga dibuatkan hadits yang menggambarkan kemuliaan bulan Rajab, yang bahkan lebih hebat dari bulan Ramadhan itu sendiri.
Hadits palsu semacam inilah yang akhirnya dipropagandakan sehingga umat Islam lebih akrab dengan hadits palsu ketimbang hadits yang shahih. Ibn Abi Sytaibah dalam bukunya al-Mushannaf memaparkan: "Hampir Umar ibn Khattab memukul umat karena pemuliaan mereka terhadap bulan Rajab. Ketika umat mempuasai bulan Rajab, maka secara paksa Umar ibn Khattab memerintahkan untuk membatalkan, seraya mengatakan: Bulan Rajab adalah bulan yang dimuliakan masyarakat jahiliyah."

Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu, Khurasyah bin Al Hurr rahimahullah mengisahkan:

رَأَيْت عُمَرَ يَضْرِبُ أَكُفَّ الْمُتَرَجِّبِينَ ، حَتَّى يَضَعُوهَا فِي الطَّعَامِ. وَيَقُولُ: كُلُوا ، فَإِنَّمَا هُوَ شَهْرٌ كَانَتْ تُعَظِّمُهُ الْجَاهِلِيَّةُ

"Aku telah melihat Umar radhiallahu ‘anhu memukul telapak-telapak tangan orang yang berpuasa khusus bulan Rajab, hingga mereka meletakkan tangannya pada makanan".
Lantas beliau berkata: “Makanlah, karena sesungguhnya bulan Rajab adalah bulan yang dulunya diagungkan oleh orang-orang jahiliyah".
[HR. Ibnu Abi Syaibah no.9851, Thabrani dalam Al Austah no.7636, dengan periwayatan yang panjang.
Kata Al Bahuti rahimahullah dalam Kasyaful Qina II:340: Shahih. Kata Al Albani rahimahullah dalam Irwaa’ul Ghalil 957: Shahih]

Atsar shahih di atas tegas menunjukkan betapa Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu mengingkari dengan keras yang berpuasa khusus bulan Rajab, dan bahkan beliau menyebutnya sebagai kebiasaan jahiliyah.
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Tidak ada hadits shahih yang menerangkan tentang keutamaan bulan Rajab, tidak dengan puasanya atau tentang keutamaan puasa khusus di bulan itu, tidak juga tentang shalat malam yang di khususkan pada bulan itu".
(Tabyiinul ‘Ajab bimaa Warada fi Syahri Rajab, hal.6)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
"Dan semua hadits yang membicarakan puasa Rajab dan shalat pada sebagian malamnya adalah dusta yang diada-adakan". (Al-Manaarul Muniif hal.96)
Ibnu Rajab rahimahullah berkata:
“Hadits yang menunjukkan keutamaan puasa Rajab secara khusus tidaklah shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.”
(Latha’if Al- Ma’arif, hlm. 213)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Adapun melakukan puasa khusus di bulan Rajab, maka itu semua hanya berlandaskan pada hadits yang seluruhnya adalah hadits lemah, bahkan palsu.
Tidak pernah para Ulama berpegang dengan menjadikan hadits ini sebagai sandaran hukum.
Dan bukanlah kelemahan yang terkait keutamaan amal, tetapi umumnya adalah hadits palsu".
(Majmu Fatawa 25/290-291). {}


RAMADHAN SAYYIDI SYUHU 

Sayyidi syuhursyahr Ramadhan wa sayyidil ayyam yaumul Jum'ah.
"Bulan yang paling dimuliakan adalah bulan Ramadhan dan hari yang paling dimuliakan
adalah hari Jum'at"
Status: Hadits mauquf dhaif.

Penjelasan hadits:
Keberadaan hari Jum'at sebagai hari yang termulia tidak dipermasalahkan, karena hadits yang menjelaskan hal itu sudah cukup sharih (jelas). Tentang keberadaan bulan Ramadhan sebagai bulan yang termulia ternyata tidak ditemukan hadits yang al-marfu’ (yang dinisbatkan kepada Nabi).
Yang ditemukan adalah hadits al-mauquf, yakni pernyataan sahabat Abdullah ibn Mas'ud, sehingga secara substansi belum bisa dijadikan landasan hukum. Namun apabila dikonfirmasikan dengan beberapa hadits lainnya, kemulian bulan Ramadhan memang tidak tertandingi dengan kemuliaan bulan-bulan yang lain.
Maka sudah dapat dimaklumi secara darurat bahwa bulan Ramadhan layak disebut sayyidis syuhur (bulan yang paling dimuliakan). Qarinah yang dapat dikedepankan misalnya, umrah di bulan Ramadhan dinilai sama dengan haji bersama Nabi, apabila amalan kebajikan umat dilipat-gandakan sepuluh kali, maka tidak sama halnya dengan amalan di bulan Ramadhan, amalan sunnah dinilai amalan wajib di bulan

Ramadhan, belum lagi di bulan Ramadhanlah saat diturunkannya Al Quran, di bulan Ramadhan terjadinya lailatul Qadar dan sebagainya.
Maka tanpa adanya teks Al Quran atau hadits Nabi sudah dapat dipahami bahwa pernyataan Abdullah ibn Mas'ud di atas merupakan pernyataan yang riil. Berangkat dari informasi di atas, maka orang Yahudi tidak tinggal diam. Mereka membuat hadits opini yang memposisikan bulan Rajab setara dengan bulan Ramadhan, bahkan dibuatkan opini bahwa bulan Rajab jauh lebih mulia ketimbang bulan Ramadhan.
Apabila bulan Ramadhan diistilahkan bulan milik Muhammad, maka bulan Rajab diformalkan sebagai bulan milik Allah. Apabila ada hadits shahih yang menerangkan keutamaan puasa di bulan Ramadhan, maka dibuatkan hadits yang menunjukkan puasa di bulan Rajab jauh lebih utama daripada puasa di bulan Ramadhan.
Apabila di bulan Ramadhan dimuliakan dengan adanya malam lailatul Qadar, maka dibuatkan malam Raghaib yang fadhilahnya jauh lebih hebat daripada fadhilah Lailatul Qadar. Begitu seterusnya sehingga umat Islam lebih mengenal hadits Rajabiyah daripada hadits qiyam Ramadhan.
Indikasinya tampak, megengan untuk menghadapi Rajabiyah lebih hebat ketimbang menghadapi bulan Ramadhan. Apem Rajabiyah jauh lebih besar daripada apem Ramadhan. Akhirnya kita terpuruk dalam peribadatan yang justru tidak ada tuntunan yang shahih dari Nabi SAW. {}


INTI HAJI ADALAH WUKUF DI ARAFAH 

AI-Hajju Arafat, man ja-a qabla shalat subhi min Lailatil jam'i faqad tamma hajiuhu.
”Inti ibadah haji adalah wukuf di Arofah. Barangsiapa yang mendatanginya (untuk wuquf) sebelum datangnya waktu Subuh pada malam Muzdalifah, maka hajinya telah Sempurna."
status: Hadis shahih.

Penjelasan Hadits:
Hadits di atas mempunyai asbab wurud (latar belakang historis lahirnya sebuah hadis), sebagaimana yang  dapat dicermati dari periwayatan Abdurrahman ibn Ya'mar dalam teks yang sempurna.
Dalam hadits tersebut dipaparkan bahwa Abdurrahman ibn Ya'mar berkata: Saya menghadap kepada Rasulullah SAW yang saat itu beliau sedang wukuf di Arafah. Lalu beliau didatangi sekelompok umat penduduk Nejed, di antara mereka ada yang diperintah untuk menyeru: Wahai Rasulullah, bagaimana tata krama ibadah haji?
Maka Rasulullah SAW menyuruh seseorang yang menyatakan “Inti ibadah haji adalah wukuf di Arafah. Barangsiapa yang mendatanginya (untuk wuquf) sebelum datangnya waktu Subuh pada malam Muzdalifah maka hajinya telah sempurna".
Dengan adanya asbabul wurud di atas menunjukkan alangkah gampangnya pelaksanaan ibadah haji, walaupun sebagian orang menganggapnya ibadah yang sangat melelahkan. Bagi mereka yang melaksanakan "tarwiyah" (tanggal delapan Dzul Hijjah menuju ke Mina untuk mabit atau bermalam disitu mulai dari shalat Dhuhur sampai shalat Subuh) tentu akan mendapatkan kendala untuk dapat melaksanakan wukuf di Arafah mulai setelah tergelincirnya matahari. Hal ini dikarenakan perjalanan tanggal sembilan Dzul Hijjah dari Mina menuju Arafah sangat padat, bahkan tidak sedikit di antara jamaah haji yang tidak mendapatkan kendaraan menuju Arafah. Mereka harus berjalan kaki. Kalaulah ada yang mendapatkan kendaraan, itupun tidak semudah untuk dapat ke lokasi wuquf yang ditentukan.
Akhirnya banyak yang baru sampai di Arafah menjelang Maghrib, bahkan menjelang Isya'. Maka tidak sedikit di antara mereka yang menilai hajinya tidak sah Karena dalam pandangan mereka waktu wukuf itu hanya mulai setelah Dhuhur sampai Maghrib.
Maka hadits di atas tentunya dapat dijadikan argumentasi kekeliruan pendapat mereka, karena menurut hadits yang shahih, walaupun kita terlambat memasuki Arafah, dan baru sampai ke tempat tersebut sebelum terbitnya fajar (waktu Subuh) oleh Rasulullah SAW dinyatakan sah hajinya.
Beginilah nikmat mengkaji hadits, sehingga kita temukan begitu sederhananya tuntunan Rasulullah SAW. []

------------------------------------->
Catatan Admin:
Menurut pengalaman Admin, tidak ada bedanya yang ikut "tarwiyah" ataupun yang ikut haji reguler (pemerintah RI). Semuanya padat, namun kalau pihak KBIH sudah bekerjasama dengan pihak Mu'assasah setempat, biasanya tidak ada kesulitan dalam tersedianya kendaraan. Tentunya bagi yang ikut "tarwiyah" harus merogoh kocek lebih dalam lagi, sebagaimana yang ditawarkan oleh KBIH-nya.
Pemerintah Arab Saudi sendiri sangat ketat memonitoring lalu-lintas kendaraan, dengan dibantu oleh petugas haji dari Indonesia. Sehingga hampir dipastikan semua jamaah terangkut ke Arofah sebelum siang tgl 9 Dzulhijah.
Ada yang diangkut mulai tanggal 8 Dzulhijjah siang (Haji reguler), dan ada yang mulai pagi tgl 9 Dzulhijjah-nya (yang ikut "tarwiyah"). Dan menjelang tengah malam, tgl 10 Dzulhijah, Arofah wajib dikosongkan, semua tenda2 dibongkar, dan ada tim penyisiran untuk menyisir jamaah yang tertinggal.
<-------------------------------------

Sumber:
Buletin Al Falah Beberapa Edisi
Oleh:
Dr. H. Zainuddin MZ, Lc. MA.
Dewan Syariah YDSF Surabaya

------------------------------------->
Dan ada tambahan dari Admin, dari berbagai sumber dan juga pengalaman pribadi
<-------------------------------------.

Hadits Lemah dan Palsu: Bab. Pakailah Kain Penutup Ketika Berjimak Dengan Istri

Diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Al Ausath (2/127) dari jalan Yahya bin Ayyub dari Ubaidillah bin Zahr dari Abul Munib dari Yahya bin Abi Katsir dari Abu Salamah dari Abu Hurairah secara marfu‘,
إذا أتى أحَدُكم أهلَه فلْيستتِرْ فإنَّه إذا لَمْ يستتِرِ استحيَتِ الملائكةُ وخرَجَتْ وحضَره الشَّيطانُ فإذا كان بَيْنَهما ولَدٌ كان الشَّيطان فيه شَريكٌ
“Apabila salah seorang dari kalian mmendatangi istrinya maka hendaklah menggunakan kain penutup. Karena apabila tidak maka para malaikat akan malu lalu keluar, kemudian datanglah setan, dan apabila keduanya mempunyai anak, berarti setan memiliki bagian atas anak tersebut”

Derajat hadits
Hadits ini lemah. Berkata Ath Thabrani: “tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Yahya kecuali Abul Munib, dan tidak ada yang meriwayatkan darinya melainkan Ubaidillah”.
Berkata Al Albani: “Ubaidullah dan Abul Munib lemah, hanya saja Ubaidullah lebih lemah”.


Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1921) dari Walid bin Qosim Al Hamadani, telah menceritakan kepada kami Al Ahwash bin Hakim dari bapaknya dan Rosyid bin Sa’ad dan Abdul A’la bin Adi dari ‘Utbah bin Abdus Sulami secara marfu‘.
إذا أتى أحدُكُم أَهْلَهُ فليستَترِ ، ولا يتَجرَّد تجرُّدَ العيرَينِ
“Apabila salah seorang dari kalian mmendatangi istrinya maka hendaklah menggunakan kain penutup, dan janganlah keduanya telanjang sebagaimana telanjangnya dua ekor keledai”

Derajat hadits
Hadits ini lemah. Berkata Al Bushiri: “sanad hadits ini lemah karena kelemahan Al Ahwash”.
Dan dalam masalah ini terdapat beberapa hadits lainnya, namun semuanya tidak ada yang shahih, sebagaimana diterangkan oleh imam Al Albani dalam Adabuz Zifaf.
[disalin dari buku “Hadits Lemah & Palsu Yang Populer Di Indonesia“, karya Ust. Ahmad Sabiq Abu Yusuf hafizhahullah]


Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, bahwa dia mengatakan: ‘Aku tidak pernah melihat aurat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali.’ 
Dalam sanadnya terdapat Barakah bin Muhammad al-Halabi, semoga tidak ada keberkahan padanya, sebab dia adalah pendusta dan pemalsu. 
Al-Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan dalam al-Lisaan mengenai hadits ini, berkenaan dengan kebathilan-kebathilannya. Sedangkan hadits:

 إِذَا جَامَعَ أَحَدُكُمْ زَوْجَتَهُ أَوْ جَارِيَتَهُ، فَلاَ يَنْظُرْ إِلَى فَرْجِهَا، فَإِنَّ ذَلِكَ يُوْرِثُ الْعَمَى. ‘

Jika seseorang menyetubuhi isteri atau hamba sahayanya, maka janganlah melihat kemaluannya, sebab hal itu akan menyebabkan kebutaan.’(Syaikh Al-Albani berkata dalam Aadaabuz Zifaaf (hal. 111): “Hadits ini maudhu’ atau palsu, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Abu Hatim ar-Razi, Ibnu Hibban, dan diikuti oleh Ibnul Jauzi dan ‘Abdul Haqq dalam Ahkaamnya (143/1), juga Ibnu Daqiq al-‘Ied dalam al-Khulaashah (118/2). Dan saya telah menjelaskan ‘illatnya (alasan-alasannya) dalam Silsilah al-Ahaadiits adh-Dha’iifah (no. 195).
Adalah hadits maudhu’ (palsu).
 Juga hadits:

 إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ فَلْيَسْتَتِرْ، وَلاَ يَتَجَرَّدْ تَجَرَّدَ الْعَيْرَيْنِ. ‘

Jika seseorang dari kalian mendatangi isterinya, maka pakailah penutup, dan janganlah bertelanjang seperti telanjangnya dua ekor keledai.’”(HR. Ibnu Majah (no. 1921) kitab an-Nikaah, dan didha’ifkan oleh Syaikh al-Albani dalam Aadaabuz Zifaaf (hal. 111).


MASING-MASING SUAMI ISTERI BERHAK MEMANDANG TUBUH PASANGANNYA DAN MANDI BERSAMA

Suami isteri boleh mandi bersama di satu tempat (ruangan), walaupun masing-masing memandangnya. Dalil atas hal itu adalah sebagai berikut: 
Apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia menuturkan: 
“Aku mandi bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari satu bejana yang berada di antara aku dengan beliau sambil tangan-tangan kami berebutan di dalamnya. Beliau mendahuluiku sehingga aku mengatakan: ‘Sisakan untukku, sisakan untukku!’ ‘Aisyah mengatakan, bahwa keduanya dalam keadaan junub.”(HR. Al-Bukhari (no. 250) kitab al-Ghusl, Muslim (no. 46) kitab al-Haidh, dan lafazh baginya).

Al-Hafizh rahimahullah berkata dalam al-Fat-h: “Dengan hadits ini ad-Dawudi (pengikut madzhab azh-Zhahiri) berargumen atas bolehnya laki-laki melihat tubuh isterinya atau sebaliknya. Hal ini dipertegas oleh apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari jalan Sulaiman bin Musa, bahwa dia ditanya tentang seseorang yang melihat kemaluan isterinya? 
Ia menjawab: “Aku bertanya kepada ‘Atha’, maka ia menjawab, ‘Aku bertanya kepada ‘Aisyah, lalu dia menyebutkan hadits ini secara makna, dan ini adalah nash (keterangan) dalam masalah ini.(Fat-hul Baari (I/364).


Apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Mu’awiyah bin Haidah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: “Aku mengatakan ‘Wahai Rasulullah, tentang aurat kami, apa yang boleh kami tampakkan dan apa yang harus kami sembunyikan?’ Beliau bersabda:
 اِحْفَظْ عَوْرَتَكَ، إِلاَّ مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِيْنُكَ. ‘Peliharalah auratmu, kecuali terhadap isteri atau hamba sahaya yang engkau miliki.’ Aku mengatakan: ‘Wahai Rasulullah, jika suatu kaum berada pada kaum lainnya?’ Beliau menjawab: إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ لاَ يَرَيَنَّهَا أَحَدٌ فَلاَ يَرَيَنَّهَا. ‘Jika engkau mampu agar tidak ada seorang pun melihatnya, maka janganlah sampai seorang pun melihatnya.’ Aku bertanya: ‘Wahai Rasulullah, jika salah seorang dari kami tengah sendirian?’ Beliau menjawab: اَللهُ أَحَقُّ أَنْ يُسْتَحْيَا مِنْهُ مِنَ النَّاسِ. ‘Allah lebih berhak untuk disikapi rasa malu daripada manusia.’(HR. At-Tirmidzi (no. 2769) kitab al-Adab, Ibnu Majah (no. 1921) kitab an-Nikaah, dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Aadaabuz Zifaaf (hal. 112).
 
Inilah salah seorang imam yang membolehkan memandang kemaluan isteri dan sebaliknya: Ibnu ‘Urwah al-Hanbali mengatakan: “Mubah bagi tiap-tiap suami isteri memandang semua tubuh pasangannya dan menjamahnya hingga kemaluannya, berdasarkan hadits ini. Karena kemaluan isterinya halal baginya untuk menikmatinya, maka boleh pula memandangnya dan menjamahnya seperti anggota badan lainnya.”(Dinisbatkan oleh Syaikh al-Albani dalam Aadaabuz Zifaaf (hal. 111) kepada al-Kawaakib (575/29/1).  Imam Malik juga berpendapat demikian. (Fat-hul Baari (I/307).


Bab. Kisah Harut dan Marut
oleh Ustadz Muhammad Wasitho, Lc. MA.

Kisah yang dianggap batil dan menyesatkan itu, bermula dari Ibnu Hibban rahimahullah berkata: telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Sufyan, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Yahya bin Abi Bukair, dari Zuhair bin Muhammad, dari Musa bin Jubair, dari Nafi’, dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhu, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa Sallam bersabda:

Artinya:“Sesungguhnya Adam ketika ia diturunkan oleh Allah ke bumi, para malaikat berkata, “Wahai Rabb-ku, apakah Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”

Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

Mereka berkata, “Wahai Rabb kami, kami lebih taat kepadamu dari pada bani adam (manusia)”.

Allah berkata kepada para malaikat, “Datangkan kepadaku dua malaikat dari malaikat-malaikat yang ada sehingga keduanya diturunkan ke bumi dan kita lihat bagaimana keduanya berbuat?”.

Para malaikat berkata: “Wahai Rabb kami, turunkanlah Harut dan Marut”.

Kemudian keduanya pun diturunkan ke bumi, dan dinampakkanlah hiasan dunia kepada mereka berdua dalam bentuk seorang wanita yang paling cantik. Wanita itu pun datang kepada mereka berdua dan kedua malaikat itu meminta diri wanita tersebut (untuk disetubuhi, pent).

Sang wanita berkata, “Tidak !! Demi Allah, sampai kalian berdua mengucapkan kalimat syirik ini”.

Keduanya berkata, “Demi Allah, kami tidak akan berbuat syirik kepada Allah. Wanita itu pun meninggalkan mereka berdua. Kemudian wanita itu kembali dengan membawa seorang bayi, maka kedua malaikat itu kembali meminta diri sang wanita”.

Sang wanita berkata, “Tidak!! Demi Allah, sampai kalian membunuh bayi ini”.

Kedua malaikat itu berkata, “Demi Allah, kami tidak akan membunuhnya selamanya”.

Maka sang wanita pergi. Kemudian ia kembali lagi membawa segelas khamer. Kedua malaikat kembali meminta diri sang wanita. Maka sang wanita berkata, “Tidak!! Demi Allah, sampai kalian minum khamer ini”.

Akhirnya, keduanya pun meminum khamer tersebut, lalu keduanya mabuk sehingga keduanya menyetubuhi sang wanita itu, dan membunuh bayi. Tatkala keduanya sadar, sang wanita berkata, “Demi Allah, tidak satu pun yang kalian tinggalkan dari apa yang kalian abaikan di hadapanku, kecuali telah kalian lakukan ketika kalian mabuk. Keduanya pun diperintahkan untuk memilih siksa dunia atau siksa akhirat. Maka keduanya memilih siksa dunia”.

(HR. Ahmad dalam Al-Musnad II/134 no. 6178, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya XIV/63 no.6186, Ibnu Abi ad-Dunya dalam Al-Uqubat no.222, Abd bin Humaid dalam Al-Muntakhab no.787, dan selainnya)

Derajat Hadits Lemah (Dhoif)
Nah, dari sinilah, Ustadz Muhammad Wasitho, Lc. MA menjelaskan:
Hadits ini BATIL. Tidak benar datangnya dari Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam. Syaikh Al-Albani berkata: “Hadits ini BATIL” (lihat Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah I/315 no.170). Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dalam ta’liq-nya terhadap Musnad Imam Ahmad berkata: “Isnad hadits ini dhaif (lemah), dan matannya batil” (Musnad Ahmad II/134).

Di dalam sanad hadits ini ada seorang perawi yang bernama Zuhair bin Muhammad At-Tamimiy Al-Marwaziy. Dia tsiqah (orang terpercaya), tapi biasa meriwayatkan hadits yang munkar, seperti hadits Harut dan Marut ini. Selain itu, gurunya yang bernama Musa bin Jubair, dia adalah seorang perawi hadits yang mastur (tidak jelas orangnya atau tidak diketahui jati dirinya). Intinya, hadits ini batil baik sanad, maupun matannya.

Dan hadits ini adalah termasuk berita isra’iliyyat (berita-berita yg datang dari Bani Israil) yang terambil dari Ka’ab Al-Ahbar sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah (I/315 no.170).


Ini penjelasan yang sebenarnya:
Kisah Harut dan Marut terdapat dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 102. Di akhir ayat, Allah pun memberikan peringatan dan hikmah dari kisah tersebut. “Dan, mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah. Dan, mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Sesungguhnya, mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir kalau mereka mengetahui.”

Ayat ini menjelaskan bahwa Harut Marut adalah dua malaikat yang diutus untuk memberikan kebajikan dan mengajar hal-hal yang sangat bermanfaat untuk manusia.

√ Ini paparannya:

Cerita bermula dari kondisi kota Babil. Negeri yang saat itu dipimpin Raja lalim Nebucadnezar. Negeri itu kacau balau, akibat sihir dan menyebabkan penyakit sampai membuat suami istri bercerai.

Raja Nebucadnezar juga menahan orang-orang Yahudi setelah menyerang Palestina. Tawanan tersebut pun mulai memainkan sihir saat tiba di Kota Babil. Yahudi memang dikenal sebagai bangsa yang sangat dekat dan mahir mempraktikkan ilmu sihir. Dengan pengetahuan sihir yang mumpuni, mereka kemudian menakut-nakuti warga Babil dengan membuat lingkaran besar sebagai lingkaran sihir.

Demi melenyapkan ketakutan warga akibat sihir, Harut dan Marut diutus untuk mengajarkan sihir kepada warga Babil. Bukan untuk berbuat kejahatan, sihir yang diajarkan keduanya hanyalah untuk menjelaskan hakikat sihir.

Maka, Harut dan Marut pun turun ke bumi dan mendatangi warga Babil. Dimulailah tugas mereka untuk mengajarkan sihir. Ketika warga mendatangi mereka untuk mempelajari sihir, keduanya memperingatkan agar tak menyalahgunakannya untuk berbuat syirik.

Harut dan Marut pun kemudian menyampaikan ilmu dasar-dasar sihir dan cara melenyapkan lingkaran besar sihir yang dibuat Yahudi. Keduanya pun memperingatkan bahwa sihir merupakan hal yang dipelajari. Karena dipelajari, sihir tidaklah dapat memberikan manfaat ataupun mafsadat (kerusakan) bagi manusia kecuali dengan kehendak Allah.

Usailah tugas Harut dan Marut. Keduanya pun kembali ke langit. Hanya saja cerita itu disesatkan, apalagi warga Kota Babil justru tak mengikuti peringatan Harut dan Marut. Mereka justru berbuat kerusakan dengan ilmu sihir yang diajarkan keduanya. Maka, makin rusaklah negeri itu.

Kisah Harut dan Marut terdapat dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 102. Di akhir ayat, Allah pun memberikan peringatan dan hikmah dari kisah tersebut. “Dan, mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah. Dan, mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Sesungguhnya, mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir kalau mereka mengetahui.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar