Sebagian orang ternyata suka mengkafirkan saudaranya sesama muslim, hanya karena beda pendapat dan pandangan dengannya. Atau beda kelompok, yang tidak sejalan dengannya. Tidakkah ia sadar, kalau ucapan "kafir" itu sangatlah berat akibatnya?
Ingatlah, segala perkataan itu pasti dicatat oleh Malaikat, dan nanti Allah akan meminta pertanggung-jawaban dari si pengucap itu.
Dan perkataan "kafir" itu akan naik ke langit, namun di langit perkataan itu ditolak hingga akhirnya turun kembali ke bumi, dan mencari siapa yang pantas mendapatkannya. Dan andaikan orang yg dikatai itu bukanlah termasuk orang kafir, maka perkataan "kafir" itu akan kembali kepada orang yang mengucapkannya.
أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيْهِ : يَا كَافِرَ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ.
“Siapa saja yang berkata kepada saudaranya, ”Hai Kafir”. Maka akan terkena salah satunya jika yang divonisnya itu benar, dan jika tidak, maka akan kembali kepada (orang yang mengucapkan)nya.” (HR Bukhari dan Muslim) [Bukhari no 6104, dan Muslim no. 111 dari Abdullah bin Umar.]
Bab: Larangan Menuduh Munafik atau Bahkan Kafir dengan Tanpa Klarifikasi
Telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin Minhal Telah menceritakan kepada kami Syu'bah Telah mengabarkan kepada kami Waqid bin Muhammad dari ayahnya dari Ibnu Umar, bahwasanya ia mendengar Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda; "Janganlah kalian sepeninggalku kembali kepada kekafiran, sebagian kalian memenggal leher sebagian yang lainnya". (No. Hadist: 6550 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)
Telah menceritakan kepada kami Muhammad dan Ahmad bin Sa'id keduanya berkata; telah mengabarkan kepada kami Utsman bin Umar telah mengabarkan kepada kami Ali bin Mubarrak dari Yahya bin Abu Katsir dari Abu Salamah dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila seseorang berkata kepada saudaranya; "Wahai kafir" maka bisa jadi akan kembali kepada salah satu dari keduanya." Ikrimah bin 'Ammar berkata; dari Yahya dari Abdullah bin Yazid dia mendengar Abu Salamah mendengar Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam." (No. Hadist: 5638 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)
Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il telah menceritakan kepada kami Wuhaib telah menceritakan kepada kami Ayyub dari Abu Qilabah dari Tsabit bin Adl Dlahak dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Barangsiapa bersumpah dengan selain agama Islam secara dusta, maka dia seperti apa yang dia katakan, barangsiapa bunuh diri dengan sesuatu di dunia, maka dia akan disiksa di neraka Jahannam dengan sesuatu yang ia pergunakan untuk bunuh diri, barangsiapa melaknat seorang muslim maka ia seperti membunuhnya dan barangsiapa menuduh seorang muslim dengan kekafiran maka ia seperti membunuhnya." (No.Hadist: 5640 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdah telah mengabarkan kepada kami Yazid telah mengabarkan kepada kami Salim telah menceritakan kepada kami 'Amru bin Dinar telah menceritakan kepada kami Jabir bin Abdullah bahwa Mu'adz bin Jabal radliallahu 'anhu pernah shalat (dibelakang) Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian dia kembali ke kaumnya untuk mengimami shalat bersama mereka dengan membaca surat Al Baqarah, Jabir melanjutkan; "Maka seorang laki-laki pun keluar (dari shaf) lalu ia shalat dengan shalat yang agak ringan, ternyata hal itu sampai kepada Mu'adz, ia pun berkata; "Sesungguhnya dia adalah seorang munafik." Ketika ucapan Mu'adz sampai ke laki-laki tersebut, laki-laki itu langsung mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sambil berkata; "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami adalah kaum yang memiliki pekerjaan untuk menyiram ladang, sementara semalam Mu'adz shalat mengimami kami dengan membaca surat Al Baqarah, hingga saya keluar dari shaf, lalu dia mengiraku seorang munafik." Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Wahai Mu'adz, apakah kamu hendak membuat fitnah.?" -Beliau mengucapkannya hingga tiga kali- bacalah Was syamsi wadluhaaha dan Sabbihismirabbikal a'la atau yang serupa dengannya." (No. Hadist: 5641 KITAB SHAHIH BUKHARI)
Bagaimana kalau kita dizholimi, dikatai kafir atau bahkan akan dibunuhnya?
Maka jawabnya, sebaiknya diam saja, jangan membalas dengan perkataan atau perbuatan serupa, yang nanti akan berakibat buruk pada diri sendiri. Serahkan semuanya kepada Allah, dan hanya Allah, Hakim yang Maha adil.
Berikut ini contoh perkataan Habil kepada Qabil yang akan membunuh dirinya (Habil). Habil tidak mau membalas saudaranya (qabil) yang hendak membunuhnya. Sebab Habil takut kepada Allah, dimana Allah mengharamkan membunuh jiwa tanpa Haq. Sifat dan perkataan Habil dapat kita tiru, dimana Habil lebih takut kepada Allah daripada saudaranya yang hendak membunuhnya. Habil mengharap keridloan Allah atas perbuatannya tersebut, dan ternyata Allah meridloi Habil dan memurkai Qabil.
QS.5. Al Maa'idah:
لَئِن بَسَطتَ إِلَىَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِى مَآ أَنَاْ بِبَاسِطٍ يَدِىَ إِلَيْكَ لأَِقْتُلَكَ إِنِّىۤ أَخَافُ ٱللَّهَ رَبَّ ٱلْعَـٰلَمِينَ
28. "Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam."
Dan perhatikan pula ayat berikut ini:
QS.5. Al Maa'idah:
مِنْ أَجْلِ ذٰلِكَ كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِىۤ إِسْرَٰءِيلَ أَنَّهُ مَن قَتَلَ نَفْساً بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِى ٱلأَْرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ ٱلنَّاسَ جَمِيعاً وَمَنْ أَحْيَـٰهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعاً وَلَقَدْ جَآءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِٱلّبَيِّنَـٰتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيراً مِّنْهُمْ بَعْدَ ذٰلِكَ فِى ٱلأَْرْضِ لَمُسْرِفُونَ
32. Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain[membunuh orang bukan karena qishaash], atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya[Hukum ini bukanlah mengenai Bani Israil saja, tetapi juga mengenai manusia seluruhnya]. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu[sesudah kedatangan Rasul membawa keterangan yang nyata] sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.
Telah menceritakan kepadaku Amru bin Muhammad Telah menceritakan kepada kami Husyaim Telah mengabarkan kepada kami Hushain Telah mengabarkan kepada kami Abu Zhabyan katanya, aku mendengar Usamah bin Zaid radliallahu 'anhuma mengatakan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengirim kami ke Khurqah, lantas kami melakukan penyerbuan ketika pagi buta, kemudian kami mengobrak abrik mereka. Aku dan seorang laki-laki Anshar kebetulan berhasil memergoki seorang laki-laki dari mereka, ketika kami bisa mengepungnya, tiba-tiba ia mengucapkan syahadat "laa-ilaaha-Illallah". Si laki-laki Anshar rupanya menahan diri dari penyerbuannya, namun aku nekad menusuknya dengan tombakku hingga aku berhasil membunuhnya. Ketika kami tiba, berita ini sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Lantas beliau berujar kepadaku: "Wahai Usamah, apakah engkau membunuhnya setelah mengucapkan laa-ilaaha-Illallah? Saya jawab; "Dia mengucapkan kalimat itu hanya untuk mencari selamat saja!" Rasul tidak henti melancarkan kritiknya padaku hingga aku berangan-angan kalaulah aku belum masuk Islam sebelum hari itu. (No. Hadist: 3935 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)
Keterangan:
Sejak saat itu Usamah bin Zaid radliallahu 'anhu tidak pernah mau membunuh orang yang telah mengucapkan syahadat. Bahkan pada saat perang antara Ali ra dengan Muawiyah ra, Usamah bin Zaid radliallahu 'anhu tidak ikut serta ambil bagian, karena Ali ra dan Muawiyah ra adalah sama2 sahabat Nabi SAW dan semuanya pernah dan selalu mengucapkan syahadat.
Usamah bin Zaid radliallahu 'anhu lebih memilih untuk tidak memihak kepada keduanya, dan memilih untuk mendoakan dan memintakan ampun kepada para sahabat Nabi SAW yang bertikai dan saling membunuh tersebut.
Mengapa Usamah bin Zaid dijadikan Teladan? Apa Keutamaannya?
Telah bercerita kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah bercerita kepada kami Laits dari Az Zuhriy dari 'Urwah dari 'Aisyah radliallahu 'anha bahwa orang-orang Quraisy sedang menghadapi persoalan yang menggelisahkan, yaitu tentang seorang wanita suku Al Makhzumiy yang mencuri lalu mereka berkata; "Siapa yang mau merundingkan masalah ini kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?". Sebagian mereka berkata; "Tidak ada yang berani menghadap beliau kecuali Usamah bin Zaid, orang kesayangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ... hingga akhir hadits. (No. Hadist: 3453 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)
Hadis riwayat Ibnu Umar Radhiyallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam mengirim satu pasukan tentara lalu mengangkat Usamah bin Zaid sebagai pemimpin mereka. Orang-orang kemudian banyak yang mencela kepemimpinannya. Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam segera bangkit seraya bersabda: Apabila kalian mencela kepemimpinannya berarti kalian juga telah mencela kepemimpinan ayahnya sebelum ini. Demi Allah, dia adalah orang yang berhak memegang kepemimpinan karena orang itu harus sebagai orang yang paling aku cintai dan sesungguhnya orang ini adalah termasuk orang yang paling aku cintai sesudahnya. (Shahih Muslim No.4452)
Dalam hadits yang lain, Ibn Umar ra meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Usamah ibn Zaid adalah orang yang paling kucintai (dalam riwayat lain, "diantara yg paling kucintai"). Aku berharap ia menjadi yg terbaik diantara kalian. Maka, hendaklah kalian meminta nasehat kebaikan kepadanya."
Bab. Pelajaran dari Perang Jaman Pemerintahan Ali ra
Berbagai langkah dan kebijakan yang telah dilakukan Ali dalam rangka menjalankan roda pemerintahannya, merupakan ijtihad politik yang sangat cemerlang. Meskipun pada akhirnya, kebijakan tersebut banyak memakan korban. Namun penulis yakin, ini suatu pilihan dengan korban paling sedikit dari Sahabat Nabi SAW.
Di lain sisi, kita juga tidak bisa menyalahkan Aisyah ra, Thalhah ra dan Zuber ra, ketika melakukan penentangan terhadap Ali ra. Karena latar belakang penentangan mereka juga berdasarkan pada nash al-Quran yang dapat dipertanggung jawabkan. Apa yang dilakukan oleh Aisyah dan pengikutnya saat itu, juga didasarkan pada ijtihad politik. Baik Aisyah, Thalhah maupun Zuber tujuannya satu, memberikan nasihat kepada Ali sebagai pemimpin untuk menjalankan al-Quran dan Sunnah. Hanya saja, cara yang ditempuh oleh mereka seperti itu. Sikap yang sama juga harus kita berikan terhadap Muawiyah.
Mereka semua tidak pernah mengkafirkan antara sesama. Mereka hanya berbeda dalam cara menempuh menegakkan kebenaran. Maka kita juga tidak mengkafirkan seperti yang dilakukan khawarij. Kita juga mengakui ashab al-Nabiy kulluhum uduul. Sedangkan sikap kita terhadap khawarij, meskipun argumen Khawarij tegas mengacu kepada nash Al Quran, tetapi mengarahkan makna ayat tersebut kepada kasus Tahkim Ali dan Muawiyah adalah interpretasi mereka yang sangat dangkal. Langkah kaum Khawarij yang menyeret tindakkan para pelaku konflik politik ke dalam paradigma teologis yang kaku dan ekstrim, sehingga menyebabkan mereka dengan sewenang-wenang menilai dan menetapkan hukum kafir atau muslim kepada siapa yang mereka kehendaki, menjadi salah satu faktor penyebab munculnya pemikiran teologi tandingan seperti Syiah yang mengkafirkan semua lawan politik Ali. Dan pada gilirannya melahirkan pemikiran “poros tengah” yang menolak menetapkan hukum atau status kafir terhadap seseorang yang telah menyatakan dirinya muslim hanya karena tindakkan-tindakkan politiknya. Bagi mereka, semua status keimanan seseorang diserahkan kepada Allah saja, sebab manusia hanya bisa menilai seseorang dari perbuatan lahiriyahnya saja, sementara hakikat iman ada pada hati dan niyat tindakan para pelaku itu sendiri.
Terakhir, konflik yang terjadi diantara sahabat nabi merupakan sunnatullah yang bisa terjadi kepada siapa, dimana dan kapan saja. Semua itu, merupakan pelajaran berharga bagi umat Islam di kemudian hari. Jika sahabat saja, yang oleh al-Quran disebut khair al-Ummah, bisa mengalami konflik, apalagi kita. Namun bagaimana seharusnya kita menyikapinya secara positif agar tidak menimpa kita. Wallahu a’lam bi al-Shawab.
Selengkapnya:
https://tausyiahaditya.blogspot.com/2017/09/analisis-sejarah-pemerintahan-ali-bin.html
--------------------------------
Telah menceritakan kepada kami Hajjaj telah menceritakan kepada kami Hammam telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Anas dari Ubadah bin Shamit dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bersabda: "Barangsiapa Mencintai perjumpaan dengan Allah, Allah juga mencintai perjumpaan dengannya, sebaliknya barangsiapa membenci perjumpaan dengan Allah, Allah juga membenci perjumpaan dengannya." Kontan 'Aisyah atau sebagian isteri beliau berkomentar 'kami juga cemas terhadap kematian! ' Nabi lantas bersabda: "Bukan begitu maksudnya, namun maksud yang benar, seorang mukmin jika kematian menjemputnya, ia diberi kabar gembira dengan keridhaan Allah dan karamah-Nya, sehingga tak ada sesuatu apapun yang lebih ia cintai daripada apa yang dihadapannya, sehingga ia mencintai berjumpa Allah, dan Allah pun mencintai berjumpa kepadanya. Sebaliknya orang kafir jika kematian menjemputnya, ia diberi kabar buruk dengan siksa Allah dan hukuman-Nya, sehingga tidak ada yang lebih ia cemaskan daripada apa yang di hadapannya, ia membenci berjumpa Allah, sehingga Allah pun membenci berjumpa dengannya." Abu Daud dan Amru meringkasnya dari Syu'bah dan Said mengatakan dari Qatadah dari Zurarah dari Sa'd dari 'Aisyah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.(No. Hadist: 6026 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)
Bab: Sebenarnya Agama itu Bagaimana?
Agama itu nasehat, memberikan nasehat yang baik, dan juga menasehati supaya menegakkan sholat fardlu yang 5 waktu dan menunaikan zakat. Juga melarang untuk meninggalkannya, walaupun hanya sekali. Hal ini merupakan pokok identitas seorang mukmin Berdasarkan hadits:
Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan kepada kami Yahya dari Isma'il berkata, telah menceritakan kepadaku Qais bin Abu Hazim dari Jarir bin Abdullah berkata: "Aku telah membai'at Rasulullah untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat dan menasehati kepada setiap muslim". (No. Hadist: 55 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)
Keterangan:
Secara detailnya sebagai berikut:
Sudah selayaknya seorang mukmin itu menasehati saudaranya. Menganjurkan kebaikan dengan perkataan yang lemah-lembut. Dan melarang keburukan, misalnya melarang Hasad, Hasud, Dengki dan saling mengolok. Bahkan Hasud itu dapat menyebabkan terhapusnya amal perbuatan yg baik, seperti terbakarnya kayu oleh api hingga habis.
Juga diharapkan menasehati saudaranya yg mukmin dng rukun Islam. Rukun Islam itu ada 5, dari ke 5 rukun Islam itu hanya 2 rukun yang wajib dilakukan tanpa syarat pengecualian, yakni Syahadat dan Sholat fardlu 5 waktu. Sedangkan 3 rukun Islam sisanya, terdapat pengecualian. Misalnya, zakat, zakat boleh tidak dilakukan bagi mukmin yang tidak mampu atau mukmin yang miskin. Puasa, puasa boleh tidak dilakukan ketika mukmin itu sakit atau dalam perjalanan yang memberatkan. Dan Haji juga boleh tidak dilakukan bagi yang tidak mampu, dan tidak sanggup dalam perjalanannya.
Untuk Syahadat dan Sholat fardlu 5 waktu, tetap harus dilakukan, walau mukmin itu sakit, dalam perjalanan ataupun miskin (tetap harus dilakukan, kecuali sudah wafat). Ini termasuk identitas pokok seorang mukmin.
Sebagian orang ternyata suka mengkafirkan saudaranya sesama muslim, hanya karena beda pendapat dan pandangan dengannya. Atau beda kelompok, yang tidak sejalan dengannya. Tidakkah ia sadar, kalau ucapan "kafir" itu sangatlah berat akibatnya?
Ingatlah, segala perkataan itu pasti dicatat oleh Malaikat, dan nanti Allah akan meminta pertanggung-jawaban dari si pengucap itu.
Dan perkataan "kafir" itu akan naik ke langit, namun di langit perkataan itu ditolak hingga akhirnya turun kembali ke bumi, dan mencari siapa yang pantas mendapatkannya. Dan andaikan orang yg dikatai itu bukanlah termasuk orang kafir, maka perkataan "kafir" itu akan kembali kepada orang yang mengucapkannya.
أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيْهِ : يَا كَافِرَ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ.
“Siapa saja yang berkata kepada saudaranya, ”Hai Kafir”. Maka akan terkena salah satunya jika yang divonisnya itu benar, dan jika tidak, maka akan kembali kepada (orang yang mengucapkan)nya.” (HR Bukhari dan Muslim) [Bukhari no 6104, dan Muslim no. 111 dari Abdullah bin Umar.]
Bab: Larangan Menuduh Munafik atau Bahkan Kafir dengan Tanpa Klarifikasi
Telah menceritakan kepada kami 'Umar bin Hafsh telah menceritakan kepadaku Ayahku Telah menceritakan kepada kami Al A'masy Telah menceritakan kepada kami Syaqiq mengatakan; Abdullah mengatakan, Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda; "Mencela orang muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekufuran." (No. Hadist: 6549 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)
Telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin Minhal Telah menceritakan kepada kami Syu'bah Telah mengabarkan kepada kami Waqid bin Muhammad dari ayahnya dari Ibnu Umar, bahwasanya ia mendengar Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda; "Janganlah kalian sepeninggalku kembali kepada kekafiran, sebagian kalian memenggal leher sebagian yang lainnya". (No. Hadist: 6550 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)
Telah menceritakan kepada kami Muhammad dan Ahmad bin Sa'id keduanya berkata; telah mengabarkan kepada kami Utsman bin Umar telah mengabarkan kepada kami Ali bin Mubarrak dari Yahya bin Abu Katsir dari Abu Salamah dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila seseorang berkata kepada saudaranya; "Wahai kafir" maka bisa jadi akan kembali kepada salah satu dari keduanya." Ikrimah bin 'Ammar berkata; dari Yahya dari Abdullah bin Yazid dia mendengar Abu Salamah mendengar Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam." (No. Hadist: 5638 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)
Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il telah menceritakan kepada kami Wuhaib telah menceritakan kepada kami Ayyub dari Abu Qilabah dari Tsabit bin Adl Dlahak dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Barangsiapa bersumpah dengan selain agama Islam secara dusta, maka dia seperti apa yang dia katakan, barangsiapa bunuh diri dengan sesuatu di dunia, maka dia akan disiksa di neraka Jahannam dengan sesuatu yang ia pergunakan untuk bunuh diri, barangsiapa melaknat seorang muslim maka ia seperti membunuhnya dan barangsiapa menuduh seorang muslim dengan kekafiran maka ia seperti membunuhnya." (No.Hadist: 5640 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdah telah mengabarkan kepada kami Yazid telah mengabarkan kepada kami Salim telah menceritakan kepada kami 'Amru bin Dinar telah menceritakan kepada kami Jabir bin Abdullah bahwa Mu'adz bin Jabal radliallahu 'anhu pernah shalat (dibelakang) Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian dia kembali ke kaumnya untuk mengimami shalat bersama mereka dengan membaca surat Al Baqarah, Jabir melanjutkan; "Maka seorang laki-laki pun keluar (dari shaf) lalu ia shalat dengan shalat yang agak ringan, ternyata hal itu sampai kepada Mu'adz, ia pun berkata; "Sesungguhnya dia adalah seorang munafik." Ketika ucapan Mu'adz sampai ke laki-laki tersebut, laki-laki itu langsung mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sambil berkata; "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami adalah kaum yang memiliki pekerjaan untuk menyiram ladang, sementara semalam Mu'adz shalat mengimami kami dengan membaca surat Al Baqarah, hingga saya keluar dari shaf, lalu dia mengiraku seorang munafik." Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Wahai Mu'adz, apakah kamu hendak membuat fitnah.?" -Beliau mengucapkannya hingga tiga kali- bacalah Was syamsi wadluhaaha dan Sabbihismirabbikal a'la atau yang serupa dengannya." (No. Hadist: 5641 KITAB SHAHIH BUKHARI)
Maka jawabnya, sebaiknya diam saja, jangan membalas dengan perkataan atau perbuatan serupa, yang nanti akan berakibat buruk pada diri sendiri. Serahkan semuanya kepada Allah, dan hanya Allah, Hakim yang Maha adil.
Berikut ini contoh perkataan Habil kepada Qabil yang akan membunuh dirinya (Habil). Habil tidak mau membalas saudaranya (qabil) yang hendak membunuhnya. Sebab Habil takut kepada Allah, dimana Allah mengharamkan membunuh jiwa tanpa Haq. Sifat dan perkataan Habil dapat kita tiru, dimana Habil lebih takut kepada Allah daripada saudaranya yang hendak membunuhnya. Habil mengharap keridloan Allah atas perbuatannya tersebut, dan ternyata Allah meridloi Habil dan memurkai Qabil.
QS.5. Al Maa'idah:
لَئِن بَسَطتَ إِلَىَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِى مَآ أَنَاْ بِبَاسِطٍ يَدِىَ إِلَيْكَ لأَِقْتُلَكَ إِنِّىۤ أَخَافُ ٱللَّهَ رَبَّ ٱلْعَـٰلَمِينَ
28. "Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam."
Dan perhatikan pula ayat berikut ini:
QS.5. Al Maa'idah:
مِنْ أَجْلِ ذٰلِكَ كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِىۤ إِسْرَٰءِيلَ أَنَّهُ مَن قَتَلَ نَفْساً بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِى ٱلأَْرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ ٱلنَّاسَ جَمِيعاً وَمَنْ أَحْيَـٰهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعاً وَلَقَدْ جَآءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِٱلّبَيِّنَـٰتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيراً مِّنْهُمْ بَعْدَ ذٰلِكَ فِى ٱلأَْرْضِ لَمُسْرِفُونَ
32. Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain[membunuh orang bukan karena qishaash], atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya[Hukum ini bukanlah mengenai Bani Israil saja, tetapi juga mengenai manusia seluruhnya]. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu[sesudah kedatangan Rasul membawa keterangan yang nyata] sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.
Telah menceritakan kepadaku Amru bin Muhammad Telah menceritakan kepada kami Husyaim Telah mengabarkan kepada kami Hushain Telah mengabarkan kepada kami Abu Zhabyan katanya, aku mendengar Usamah bin Zaid radliallahu 'anhuma mengatakan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengirim kami ke Khurqah, lantas kami melakukan penyerbuan ketika pagi buta, kemudian kami mengobrak abrik mereka. Aku dan seorang laki-laki Anshar kebetulan berhasil memergoki seorang laki-laki dari mereka, ketika kami bisa mengepungnya, tiba-tiba ia mengucapkan syahadat "laa-ilaaha-Illallah". Si laki-laki Anshar rupanya menahan diri dari penyerbuannya, namun aku nekad menusuknya dengan tombakku hingga aku berhasil membunuhnya. Ketika kami tiba, berita ini sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Lantas beliau berujar kepadaku: "Wahai Usamah, apakah engkau membunuhnya setelah mengucapkan laa-ilaaha-Illallah? Saya jawab; "Dia mengucapkan kalimat itu hanya untuk mencari selamat saja!" Rasul tidak henti melancarkan kritiknya padaku hingga aku berangan-angan kalaulah aku belum masuk Islam sebelum hari itu. (No. Hadist: 3935 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)
Keterangan:
Sejak saat itu Usamah bin Zaid radliallahu 'anhu tidak pernah mau membunuh orang yang telah mengucapkan syahadat. Bahkan pada saat perang antara Ali ra dengan Muawiyah ra, Usamah bin Zaid radliallahu 'anhu tidak ikut serta ambil bagian, karena Ali ra dan Muawiyah ra adalah sama2 sahabat Nabi SAW dan semuanya pernah dan selalu mengucapkan syahadat.
Usamah bin Zaid radliallahu 'anhu lebih memilih untuk tidak memihak kepada keduanya, dan memilih untuk mendoakan dan memintakan ampun kepada para sahabat Nabi SAW yang bertikai dan saling membunuh tersebut.
Mengapa Usamah bin Zaid dijadikan Teladan? Apa Keutamaannya?
Telah bercerita kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah bercerita kepada kami Laits dari Az Zuhriy dari 'Urwah dari 'Aisyah radliallahu 'anha bahwa orang-orang Quraisy sedang menghadapi persoalan yang menggelisahkan, yaitu tentang seorang wanita suku Al Makhzumiy yang mencuri lalu mereka berkata; "Siapa yang mau merundingkan masalah ini kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?". Sebagian mereka berkata; "Tidak ada yang berani menghadap beliau kecuali Usamah bin Zaid, orang kesayangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ... hingga akhir hadits. (No. Hadist: 3453 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)
Hadis riwayat Ibnu Umar Radhiyallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam mengirim satu pasukan tentara lalu mengangkat Usamah bin Zaid sebagai pemimpin mereka. Orang-orang kemudian banyak yang mencela kepemimpinannya. Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam segera bangkit seraya bersabda: Apabila kalian mencela kepemimpinannya berarti kalian juga telah mencela kepemimpinan ayahnya sebelum ini. Demi Allah, dia adalah orang yang berhak memegang kepemimpinan karena orang itu harus sebagai orang yang paling aku cintai dan sesungguhnya orang ini adalah termasuk orang yang paling aku cintai sesudahnya. (Shahih Muslim No.4452)
Dalam hadits yang lain, Ibn Umar ra meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Usamah ibn Zaid adalah orang yang paling kucintai (dalam riwayat lain, "diantara yg paling kucintai"). Aku berharap ia menjadi yg terbaik diantara kalian. Maka, hendaklah kalian meminta nasehat kebaikan kepadanya."
Bab. Pelajaran dari Perang Jaman Pemerintahan Ali ra
Berbagai langkah dan kebijakan yang telah dilakukan Ali dalam rangka menjalankan roda pemerintahannya, merupakan ijtihad politik yang sangat cemerlang. Meskipun pada akhirnya, kebijakan tersebut banyak memakan korban. Namun penulis yakin, ini suatu pilihan dengan korban paling sedikit dari Sahabat Nabi SAW.
Di lain sisi, kita juga tidak bisa menyalahkan Aisyah ra, Thalhah ra dan Zuber ra, ketika melakukan penentangan terhadap Ali ra. Karena latar belakang penentangan mereka juga berdasarkan pada nash al-Quran yang dapat dipertanggung jawabkan. Apa yang dilakukan oleh Aisyah dan pengikutnya saat itu, juga didasarkan pada ijtihad politik. Baik Aisyah, Thalhah maupun Zuber tujuannya satu, memberikan nasihat kepada Ali sebagai pemimpin untuk menjalankan al-Quran dan Sunnah. Hanya saja, cara yang ditempuh oleh mereka seperti itu. Sikap yang sama juga harus kita berikan terhadap Muawiyah.
Mereka semua tidak pernah mengkafirkan antara sesama. Mereka hanya berbeda dalam cara menempuh menegakkan kebenaran. Maka kita juga tidak mengkafirkan seperti yang dilakukan khawarij. Kita juga mengakui ashab al-Nabiy kulluhum uduul. Sedangkan sikap kita terhadap khawarij, meskipun argumen Khawarij tegas mengacu kepada nash Al Quran, tetapi mengarahkan makna ayat tersebut kepada kasus Tahkim Ali dan Muawiyah adalah interpretasi mereka yang sangat dangkal. Langkah kaum Khawarij yang menyeret tindakkan para pelaku konflik politik ke dalam paradigma teologis yang kaku dan ekstrim, sehingga menyebabkan mereka dengan sewenang-wenang menilai dan menetapkan hukum kafir atau muslim kepada siapa yang mereka kehendaki, menjadi salah satu faktor penyebab munculnya pemikiran teologi tandingan seperti Syiah yang mengkafirkan semua lawan politik Ali. Dan pada gilirannya melahirkan pemikiran “poros tengah” yang menolak menetapkan hukum atau status kafir terhadap seseorang yang telah menyatakan dirinya muslim hanya karena tindakkan-tindakkan politiknya. Bagi mereka, semua status keimanan seseorang diserahkan kepada Allah saja, sebab manusia hanya bisa menilai seseorang dari perbuatan lahiriyahnya saja, sementara hakikat iman ada pada hati dan niyat tindakan para pelaku itu sendiri.
Terakhir, konflik yang terjadi diantara sahabat nabi merupakan sunnatullah yang bisa terjadi kepada siapa, dimana dan kapan saja. Semua itu, merupakan pelajaran berharga bagi umat Islam di kemudian hari. Jika sahabat saja, yang oleh al-Quran disebut khair al-Ummah, bisa mengalami konflik, apalagi kita. Namun bagaimana seharusnya kita menyikapinya secara positif agar tidak menimpa kita. Wallahu a’lam bi al-Shawab.
Selengkapnya:
https://tausyiahaditya.blogspot.com/2017/09/analisis-sejarah-pemerintahan-ali-bin.html
--------------------------------
Allah telah mengatur dalam Al Quran, mana yang termasuk Muslim atau bukan. Yang bukan muslim, juga bukan berarti wajib diperangi. Yang wajib diperangi, hanyalah yang menyerang kaum muslimin tanpa haq.
Kita juga dilarang (diharamkan) mengganti perkataan yang telah ditentukan Allah dan RasulNya. Misalnya kata2 kafir diganti dengan non-muslim.
Kafir dzimmi, non-Muslim yang menjadi warga negara Islam. Mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara Muslim dalam Islam. Menurut Ibn Qayyim al-Jawziyah dalam kitabnya, Ahkam Ahl adz-Dzimmah, tidak boleh dipaksa meninggalkan agama mereka guna masuk Islam. Dalilnya adalah surat Rasulullah saw. kepada penduduk Yaman (yang artinya), “Siapa saja yang beragama Yahudi atau Nasrani, dia tidak boleh dipaksa meninggalkan agamanya dan wajib atas dia membayar jizyah.” (HR Abu Ubaid).
Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ قَتَلَ نَفْسًا مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
“Siapa saja yang membunuh kafir mu’ahad (kafir yang bukan warga negara tetapi terikat perjanjian dengan Islam), dia tidak akan mencium bau surga, padahal sungguh bau surga itu bisa dirasakan dari jarak perjalanan 40 hari.” (HR Muslim).
Dalam mazhab Asy-Syafii, seorang Muslim yang tidak mengkafirkan pemeluk agama selain Islam—baik Kristen, Yahudi, Budha, Hindu, Majusi dll (namun bukan berarti untuk diperangi dan juga bukan untuk dikata2-i kafir); atau ragu dengan kekafiran mereka; atau membenarkan doktrin/ajaran mereka—maka ia dihukumi kafir. Imam an-Nawawi menyatakan:
مَنْ لَمْ يُكَفِّرْ مَنْ دَانَ بِغَيْرِ الْإِسْلَامِ كَالنَّصَارَى، أَوْ شَكَّ فِي تَكْفِيرِهِمْ، أَوْ صَحَّحَ مَذْهَبَهُمْ، فَهُوَ كَافِرٌ، وَإِنْ أَظْهَرَ مَعَ ذَلِكَ الْإِسْلَامَ وَاعْتَقَدَهُ
Siapa saja yang tidak mengkafirkan orang yang beragama selain Islam seperti Nasrani, atau meragukan kekafiran mereka, atau membenarkan doktrin/ajaran mereka, maka dia telah kafir meskipun bersamaan dengan itu dia menampakkan dirinya Islam dan meyakininya (An-Nawawi, Rawdhah ath-Thalibin, 3/444).
Seorang mukmin itu tidak boleh menyinggung perasaan orang lain, atau membuat keributan, apalagi mengatai mereka dengan keburukan. Sepatutnya lah mukmin tersebut berlunak hati untuk memberikan petunjuk jalan kebenaran. Seperti nasehat Kyai Hasyim berikut ini:
Allah SWT berfirman:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Siapa saja yang mencari agama selain Islam maka tidak akan pernah diterima dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi (QS.Ali Imran [3]: 85).
Dalam perkara aqidah, kita memang harus kuat dan fanatik. Diharamkan mengganti apa2 yang telah ditetapkan oleh Allah dan RasulNya dalam Al Quran dan As Sunnah. Namun dalam menjaga hubungan antar manusia, sudah selayaknya menggunakan bahasa yang dapat diterima penduduk setempat, dan tidak menyinggung perasaan orang lain, yang dikuatirkan akan timbul pertengkaran. Sehingga bolehlah kita menggunakan kata2 "ghairul muslimin atau non muslim". Seperti contoh berikut ini (papan larangan masuk wilayah Makkah Al Mukarramah bagi non muslim):
Wahai para Mukmin, takutlah kepada Allah, dan barangsiapa yang menyukai perjumpaan dengan Allah, maka Allah menyukai perjumpaan hamba kepada-Nya.Kita juga dilarang (diharamkan) mengganti perkataan yang telah ditentukan Allah dan RasulNya. Misalnya kata2 kafir diganti dengan non-muslim.
Kafir dzimmi, non-Muslim yang menjadi warga negara Islam. Mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara Muslim dalam Islam. Menurut Ibn Qayyim al-Jawziyah dalam kitabnya, Ahkam Ahl adz-Dzimmah, tidak boleh dipaksa meninggalkan agama mereka guna masuk Islam. Dalilnya adalah surat Rasulullah saw. kepada penduduk Yaman (yang artinya), “Siapa saja yang beragama Yahudi atau Nasrani, dia tidak boleh dipaksa meninggalkan agamanya dan wajib atas dia membayar jizyah.” (HR Abu Ubaid).
Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ قَتَلَ نَفْسًا مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
“Siapa saja yang membunuh kafir mu’ahad (kafir yang bukan warga negara tetapi terikat perjanjian dengan Islam), dia tidak akan mencium bau surga, padahal sungguh bau surga itu bisa dirasakan dari jarak perjalanan 40 hari.” (HR Muslim).
Dalam mazhab Asy-Syafii, seorang Muslim yang tidak mengkafirkan pemeluk agama selain Islam—baik Kristen, Yahudi, Budha, Hindu, Majusi dll (namun bukan berarti untuk diperangi dan juga bukan untuk dikata2-i kafir); atau ragu dengan kekafiran mereka; atau membenarkan doktrin/ajaran mereka—maka ia dihukumi kafir. Imam an-Nawawi menyatakan:
مَنْ لَمْ يُكَفِّرْ مَنْ دَانَ بِغَيْرِ الْإِسْلَامِ كَالنَّصَارَى، أَوْ شَكَّ فِي تَكْفِيرِهِمْ، أَوْ صَحَّحَ مَذْهَبَهُمْ، فَهُوَ كَافِرٌ، وَإِنْ أَظْهَرَ مَعَ ذَلِكَ الْإِسْلَامَ وَاعْتَقَدَهُ
Siapa saja yang tidak mengkafirkan orang yang beragama selain Islam seperti Nasrani, atau meragukan kekafiran mereka, atau membenarkan doktrin/ajaran mereka, maka dia telah kafir meskipun bersamaan dengan itu dia menampakkan dirinya Islam dan meyakininya (An-Nawawi, Rawdhah ath-Thalibin, 3/444).
Seorang mukmin itu tidak boleh menyinggung perasaan orang lain, atau membuat keributan, apalagi mengatai mereka dengan keburukan. Sepatutnya lah mukmin tersebut berlunak hati untuk memberikan petunjuk jalan kebenaran. Seperti nasehat Kyai Hasyim berikut ini:
Allah SWT berfirman:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Siapa saja yang mencari agama selain Islam maka tidak akan pernah diterima dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi (QS.Ali Imran [3]: 85).
Dalam perkara aqidah, kita memang harus kuat dan fanatik. Diharamkan mengganti apa2 yang telah ditetapkan oleh Allah dan RasulNya dalam Al Quran dan As Sunnah. Namun dalam menjaga hubungan antar manusia, sudah selayaknya menggunakan bahasa yang dapat diterima penduduk setempat, dan tidak menyinggung perasaan orang lain, yang dikuatirkan akan timbul pertengkaran. Sehingga bolehlah kita menggunakan kata2 "ghairul muslimin atau non muslim". Seperti contoh berikut ini (papan larangan masuk wilayah Makkah Al Mukarramah bagi non muslim):
Telah menceritakan kepada kami Hajjaj telah menceritakan kepada kami Hammam telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Anas dari Ubadah bin Shamit dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bersabda: "Barangsiapa Mencintai perjumpaan dengan Allah, Allah juga mencintai perjumpaan dengannya, sebaliknya barangsiapa membenci perjumpaan dengan Allah, Allah juga membenci perjumpaan dengannya." Kontan 'Aisyah atau sebagian isteri beliau berkomentar 'kami juga cemas terhadap kematian! ' Nabi lantas bersabda: "Bukan begitu maksudnya, namun maksud yang benar, seorang mukmin jika kematian menjemputnya, ia diberi kabar gembira dengan keridhaan Allah dan karamah-Nya, sehingga tak ada sesuatu apapun yang lebih ia cintai daripada apa yang dihadapannya, sehingga ia mencintai berjumpa Allah, dan Allah pun mencintai berjumpa kepadanya. Sebaliknya orang kafir jika kematian menjemputnya, ia diberi kabar buruk dengan siksa Allah dan hukuman-Nya, sehingga tidak ada yang lebih ia cemaskan daripada apa yang di hadapannya, ia membenci berjumpa Allah, sehingga Allah pun membenci berjumpa dengannya." Abu Daud dan Amru meringkasnya dari Syu'bah dan Said mengatakan dari Qatadah dari Zurarah dari Sa'd dari 'Aisyah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.(No. Hadist: 6026 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)
Bab: Sebenarnya Agama itu Bagaimana?
Agama itu nasehat, memberikan nasehat yang baik, dan juga menasehati supaya menegakkan sholat fardlu yang 5 waktu dan menunaikan zakat. Juga melarang untuk meninggalkannya, walaupun hanya sekali. Hal ini merupakan pokok identitas seorang mukmin Berdasarkan hadits:
Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan kepada kami Yahya dari Isma'il berkata, telah menceritakan kepadaku Qais bin Abu Hazim dari Jarir bin Abdullah berkata: "Aku telah membai'at Rasulullah untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat dan menasehati kepada setiap muslim". (No. Hadist: 55 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)
Keterangan:
Secara detailnya sebagai berikut:
Sudah selayaknya seorang mukmin itu menasehati saudaranya. Menganjurkan kebaikan dengan perkataan yang lemah-lembut. Dan melarang keburukan, misalnya melarang Hasad, Hasud, Dengki dan saling mengolok. Bahkan Hasud itu dapat menyebabkan terhapusnya amal perbuatan yg baik, seperti terbakarnya kayu oleh api hingga habis.
Juga diharapkan menasehati saudaranya yg mukmin dng rukun Islam. Rukun Islam itu ada 5, dari ke 5 rukun Islam itu hanya 2 rukun yang wajib dilakukan tanpa syarat pengecualian, yakni Syahadat dan Sholat fardlu 5 waktu. Sedangkan 3 rukun Islam sisanya, terdapat pengecualian. Misalnya, zakat, zakat boleh tidak dilakukan bagi mukmin yang tidak mampu atau mukmin yang miskin. Puasa, puasa boleh tidak dilakukan ketika mukmin itu sakit atau dalam perjalanan yang memberatkan. Dan Haji juga boleh tidak dilakukan bagi yang tidak mampu, dan tidak sanggup dalam perjalanannya.
Untuk Syahadat dan Sholat fardlu 5 waktu, tetap harus dilakukan, walau mukmin itu sakit, dalam perjalanan ataupun miskin (tetap harus dilakukan, kecuali sudah wafat). Ini termasuk identitas pokok seorang mukmin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar