Islam dan
reformasi sosial, Kematangan ajaran Islam, Larangan khamr, Kerajaan Rumawi dan
Persia, Islam: keseimbangan rohani dan jasmani, Penumpasan terakhir Yahudi seluruh jazirah, Besarnya kekuatan kedua belah pihak, Benteng Khaibar terkepung, Pihak Yahudi
mati-matian, Sebabnya Yahudi putus asa, Perdamaian Khaibar, Yahudi Fadak,
Menyerahnya Wadi'l-Qura, Perkawinan Shafia dengan Muhammad, Kisra dan surat Nabi, Jawaban
Muqauqis, Jawaban Najasyi, Muslimin kembali dari Abisinia, Menantikan Umrah pengganti, Catatan
kaki
MUHAMMAD dan kaum Muslimin kembali lagi dari Hudaibiya menuju
Medinah, setelah tiga minggu persetujuan antara mereka dengan Quraisy itu
selesai - yaitu persetujuan yang menyatakan bahwa untuk tahun ini mereka tidak
akan masuk Mekah, dan baru tahun berikutnya mereka boleh masuk. Mereka kembali
dengan membawa suatu perasaan dalam hati. Ada sebagian mereka yang masih
beranggapan bahwa isi persetujuan itu tidak sesuai dengan harga diri kaum
Muslimin, sampai akhirnya datang Surah al-Fath sementara mereka sedang dalam
perjalanan itu dan Nabi pun telah pula membacakannya kepada mereka. Sekarang
yang menjadi pikiran Muhammad selama tinggal di Hudaibiya dan setelah kembali
pulang, ialah apa yang harus dilakukannya dalam menambah ketabahan hati
sahabat-sahabatnya disamping memperluas penyebaran dakwah. Akhirnya ia
berpendapat akan mengutus orang-orang kepada Heraklius, Kisra, Muqauqis1,
Najasyi (Negus) di Abisinia, kepada Harith al-Ghassani dan kepada penguasa Kisra
di Yaman. Bersamaan dengan itu dianggap perlu sekali menumpas samasekali
kekuasaan Yahudi dari seluruh jazirah Arab.
Pada waktu itu ajaran Islam sebenarnya sudah mencapai
kematangannya, sehingga ia menjadi suatu agama untuk seluruh umat manusia, yang
tidak lagi terbatas hanya pada masalah tauhid serta segala konsekwensinya
seperti dalam masalah-masalah ibadat' tetapi juga sudah meluas dan meliputi
segala macam kehidupan sosial. Hal ini sesuai dengan kebesaran konsep tauhid itu
dan membuat pembawanya dapat mencapai kematangan hidup insani serta
terlaksananya cita-cita hidup yang lebih tinggi. Oleh karena itu turunlah
peraturan-peraturan yang berhubungan dengan masalah-masalah kemasyarakatan.
Penulis-penulis riwayat hidup Nabi berbeda pendapat mengenai
kapan diturunkannya larangan khamr (minuman keras). Ada yang mengatakan dalam
tahun ke empat Hijrah. Tetapi sebagian besar mengatakan dalam masa Hudaibiya.
Idea larangan khamr ini sosial sifatnya, yang tak ada hubungannya dengan tauhid
dari segi tauhid an sich. Bukti yang lebih jelas dalam hal ini ialah, bahwa
larangan itu disebutkan dalam Qur'an baru sekitar duapuluh tahun kemudian
setelah kerasulan Nabi, dan selama itu pula Muslimin tetap minum khamr sampai
datangnya larangan. Dan bukti yang lebih jelas lagi dalam hal ini ialah, bahwa
larangan itu tidak sekaligus turunnya, melainkan berangsur-angsur sehingga kaum
Muslimin dapat mengurangi kebiasaan itu sedikit demi sedikit. Bilamana larangan
itu kemudian datang, maka mereka pun berhenti minum. Dalam suatu sumber tentang
Umar bin'l-Khattab disebutkan, bahwa ketika ia bertanya tentang khamr itu ia
berkata: "Ya Allah, berikanlah penjelasannya kepada kami." Lalu turun ayat ini:
"Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah,
dalam keduanya itu terdapat dosa besar dan juga banyak manfaatnya buat manusia,
tetapi dosanya lebih besar dari manfaatnya." (Qur'an, 2: 219)
Oleh karena sesudah turunnya ayat ini kaum Muslimin belum
juga mau berhenti, bahkan dari mereka ada yang sepanjang malam minum sampai
berlimpah-limpah, sehingga bila mereka pergi sembahyang sudah tidak tahu lagi
apa yang mereka baca, kembali lagi Umar berkata: "Ya Allah, jelaskanlah kepada
kami hukum khamr itu, sebab ini menyesatkan pikiran dan harta," maka turun ayat
ini:
"Orang-orang yang beriman. Janganlah kamu melakukan
sembahyang sementara kamu dalam keadaan mabuk supaya kamu ketahui apa yang kamu
baca." (Qur'an, 4: 43)
Pada waktu itu muazzin Rasul pada waktu sembahyang berseru:
"Orang yang mabuk jangan ikut sembahyang!"
Sekalipun yang demikian ini membawa akibat berkurangnya
minuman itu dan dari segi ini pula pengaruhnya cukup besar, sehingga sudah
banyak dari mereka itu yang mengurangi minuman khamr sedapat mungkin, namun
beberapa waktu kemudian kembali Umar berkata lagi: "Ya Allah, jelaskanlah kepada
kami hukum khamr itu, jelaskan dengan tegas, sebab ini menyesatkan pikiran dan
harta." Sebenarnya tepat sekali Umar berkata begitu, mengingat orang-orang Arab
- termasuk juga kaum Musliminnya - dengan minuman demikian itu mereka jadi
kacau, saling bertengkar, saling menarik janggut dan saling memukul kepala satu
sama lain.
Pernah ada orang dari kalangan mereka itu mengadakan pesta
makan minum. Setelah mereka dalam keadaan mabuk, pihak Muhajirin dan Anshar
mulai saling adu mulut. Yang satu menunjukkan sikap fanatiknya kepada Muhajirin
sedang yang fanatik kepada Anshar mengambil sebatang tulang kepala unta yang
mereka makan lalu dipukulkan kehidung salah seorang Muhajirin. Ada lagi dua
kelompok suku sedang mabuk-mabuk. Mereka saling bertengkar, lalu saling
bertikaman. Diantara mereka timbul rasa benci-membenci, sedang sebelum itu
hubungan mereka hidup rukun dan saling cinta-mencintai. Ketika itulah firman
Tuhan ini turun:
"Orang-orang yang beriman! Bahwasanya khamr, perjudian,
berhala, mengadu nasib dengan panah, adalah perbuatan keji yang termasuk
perbuatan setan. Hindarilah itu supaya kamu beruntung. Tentu setan bermaksud
hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di kalangan kamu dengan jalan khamr
dan perjudian itu, merintangi kamu dari mengingat Allah dan dari sembahyang.
Maka maukah kamu menghentikan?" (Qur'an, 5 90-91)
Ketika ada pelarangan khamr, waktu itu Anas yang bertugas
sebagai pelayan. Setelah didengarnya ada orang yang menyerukan bahwa minuman itu
dilarang, cepat-cepat cairan itu dibuangnya. Tetapi ada orang-orang yang bagi
mereka soal larangan ini belum jelas, mereka berkata: mungkinkah khamr itu keji
padahal sudah di perut si anu dan si fulan, yang sudah terbunuh dalam perang
Uhud, juga dalam perut si anu dan si anu yang terbunuh dalam perang Badr? Maka
firman Tuhan ini turun: "Tiada berdosa orang-orang yang beriman dan yang
mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik, karena makanan yang telah mereka
makan dahulu, asal saja mereka tetap memelihara diri dari kejahatan, tetap
beriman dan mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik. Kemudian mereka tetap
bertakwa dan beriman kemudian bertakwa dan berbuat kebaikan. Tuhan menyukai
orang-orang yang berbuat kebaikan." (Qur'an, 5: 93)
Segala perhuatan baik dan kasih sayang yang dianjurkan Islam,
mengajak orang selalu melakukan amal kebaikan, latihan jiwa dan watak yang
terdapat dalam ibadat, fungsi ruku' dan sujud dalam sembahyang yang telah
mcnghapuskan kecongkakan hati, semua itu merupakan pelengkapan yang wajar
terhadap agama-agama yang sebelumnya dan yang menyebabkan ajaran ini tertuju
kepada semua umat manusia.
Pada waktu itu Heraklius dan Kisra masing-masing sebagai
kepala kerajaan Rumawi dan Persia, dua buah kerajaan yang terkuat pada zamannya
merupakan dua orang yang telah menentukan jalannya politik dunia serta nasib
seluruh penduduknya. Perang antara dua kerajaan ini berkecamuk dengan kemenangan
yang selalu silih berganti seperti yang sudah kita lihat. Pada mulanya Persia
adalah pihak yang menang. Ia menguasai Palestina dan Mesir, menaklukkan
Bait'l-Maqdis (Yerusalem) dan berhasil membawa Salib Besar (The True Cross).
Kemudian giliran Persia mengalami kekalahan lagi. Panji-panji Bizantium kembali
berkibar lagi di Mesir, di Suria dan di Palestina, dan Heraklius berhasil
mengembalikan salib itu - setelah ia bernadar - bahwa kalau ia telah mencapai
kemenangan, ia akan berziarah ke Yerusalem dengan berjalan kaki dan
mengembalikan salib ke tempatnya.
Kalau saja orang ingat akan kedudukan kedua kerajaan itu,
orang akan dapat mengira-ngirakan betapa besarnya dua nama itu telah dapat
menimbulkan kegentaran dan ketakutan dalam hati. Tiada sebuah kerajaan pun yang
pernah berpikir hendak melawannya. Yang terlintas dalam pikiran orang ialah
hendak membina persahabatan dengan kedua kerajaan itu. Kalau kerajaan-kerajaan
dunia yang terkenal pada waktu itu sudah begitu semua keadaannya, maka tidak
aneh bila negeri-negeri Arab itu pun akan demikian pula. Yaman dan Irak waktu
itu di bawah pengaruh Persia, sedang Mesir sampai ke Syam di bawah pengaruh
Heraklius. Pada waktu itu Hijaz dan seluruh semenanjung jazirah terkurung dalam
lingkaran pengaruh kedua kemaharajaan itu. Kehidupan orang Arab pada masa itu
hanya tergantung pada soal perdagangan dengan Yaman dan Syam. Dalam hal ini
perlu sekali mereka mengambil hati Kisra dan Heraklius supaya kekuasaan kedua
kerajaan itu jangan sampai merusak perdagangan mereka. Di samping itu kehidupan
orang-orang Arab itu tidak lebih daripada kabilah-kabilah, yang dalam
bermusuhan, kadang keras, kadang lunak. Tak ada sesuatu ikatan diantara mereka
yang akan merupakan suatu kesatuan politik, yang akan dapat mereka pikirkan
dalam menghadapi pengaruh kedua kerajaan raksasa itu.
Oleh karena itu mengherankan sekali jika pada waktu itu
Muhammad berpikir hendak mengirimkan utusan-utusannya kepada kedua penguasa
besar itu - juga kepada Ghassan. Yaman, Mesir dan Abisinia. Diajaknya mereka itu
meinganut agamanya, tanpa ia merasa kuatir akan segala akibat yang mungkin
timbul karena tindakannya itu, dan yang mungkin juga akan dapat membawa seluruh
negeri Arab itu tunduk dibawah cengkeraman Persia dan Bizantium.
Akan tetapi kenyataannya Muhammad tidak ragu-ragu mengajak
semua raja-raja itu menganut agama yang benar. Bahkan pada suatu hari ia pergi
menemui sahabat-sahabatnya dan berkata: "Saudara-saudara. Tuhan mengutus saya
adalah sebagai rahmat kepada seluruh umat manusia. Janganlah saudara-saudara
berselisih pendapat tentang saya, seperti kaum Hawariyun (pengikut-pengikut
Almasih) tentang Isa anak Mariam."
"Rasulullah," kata sahabat-sahabatnya. "Bagaimana
pengikut-pengikut Isa itu berselisih pendapat?"
"Ia mengajak mereka kepada apa yang seperti saya ajak
saudara-saudara. Orang yang diutusnya ke tempat yang dekat, orang itu menerima
dan dengan senang hati. Tetapi orang yang diutusnya ke tempat yang jauh, muka
orang itu terpaksa dan segan-segan."
Kemudian dikatakannya kepada mereka bahwa ia akan mengutus
orang-orang kepada Heraklius, kepada Kisra, Muqauqis, Harith al-Ghassani raja
Hira, Harith al-Himyari raja Yaman dan kepada Najasi di Abisinia. Akan diajaknya
mereka itu masuk Islam. Sahabat-sahabatnya menyatakan mereka bersedia melakukan
itu. Lalu dibuatnya sebentuk cincin dari perak bertuliskan: "Muhammad
Rasulullah."
Isi surat-surat yang dikirimkan itu seperti contoh yang kita
kemukakan kepada pembaca, yaitu suratnya kepada Heraklius yang berbunyi: "Dengan
nama Allah, Pengasih dan Penyayang. Dari Muhammad hamba Allah kepada Heraklius
pembesar Rumawi. Salam sejahtera kepada orang yang sudi mengikut petunjuk yang
benar. Kemudian daripada itu. Dengan ini saya mengajak tuan menuruti ajaran
Islam. Terimalah ajaran Islam, tuan akan selamat. Tuhan akan memberi pahala dua
kali kepada tuan. Kalau tuan mengelak, maka dosa orang-orang arisiyin2 menjadi
tanggungiawab tuan. Wahai orang-orang Ahli Kitab. Marilah sama-sama kita
berpegang pada kata yang sama antara kami dan kamu yakni bahwa tak ada yang kita
sembah selain Allah dan kita tidak akan mempersekutukanNya dengan apa pun, bahwa
yang satu takkan mengambil yang lain menjadi tuhan selain Allah. Tetapi kalau
mereka mengelak juga, katakanlah kepada mereka, saksikanlah bahwa kami ini
orang-orang Islam."
Surat kepada Heraklius itu kemudian dibawa oleh Dihya b.
Khalifa, surat kepada Kisra dibawa oleh Abdullah b. Hudhafa, surat kepada
Najasyi oleh 'Amr b. Umayya, surat kepada Muqauqis oleh Hatib b. Abi Balta'a,
surat kepada penguasa Oman oleh 'Amr bin'l-'Ash, surat kepada penguasa Yamama
oleh Salit b. 'Amr, surat kepada raja Bahrain oleh al-'Ala bin'l-Hadzrami, surat
kepada Harith al-Ghassani, raja perbatasan Syam, oleh Syuja' b. Wahb, surat
kepada Harith al-Himyari, raja Yaman, oleh Muhajir b. Umayya.
Mereka semua berangkat masing-masing menuju ke tempat yang
telah ditugaskan oleh Nabi. Mereka berangkat dalam waktu yang bersamaan menurut
pendapat sebagian besar penulis-penulis sejarah, sebagian lagi berpendapat
mereka berangkat dalam waktu berlain-lainan.
Tindakan Muhammad mengirim utusan-utusan itu memang luarbiasa
sekali menakjubkan. Betapa tidak! Belum selang tigapuluh tahun sesudah itu
daerah-daerah tempat Muhammad mengirim utusan-utusannya itu telah dimasuki oleh
kaum Muslimin dan sebagian besar mereka telah beragama Islam. Akan tetapi
ketakjuban akan segera hilang bila kita ingat, bahwa kedua imperium raksasa ini,
yang telah mengemudikan jalannya dunia masa itu, dengan peradabannya yang telah
menguasai seluruh dunia, mereka ini saling memperebutkan kemenangan materi,
sementara kekuatan rohani keduanya sudah rontok dan hilang. Persia sendiri sudah
terbagi antara paganisma dan Mazdaisma. Demikian juga agama Kristen di Bizantium
sudah goyah sekali karena adanya pelbagai macam aliran sekta dan golongan. Ia
sudah tidak lagi merupakan suatu ajaran yang utuh, yang dapat menggerakkan dan
memberi tenaga hidup ke dalam jiwa manusia. Malahan ia sudah berbalik menjadi
sekadar upacara-upacara serta tradisi yang dielu-elukan oleh pemuka-pemuka agama
kedalam pikiran orang-orang awam supaya dapat mereka itu dikuasai dan diperkuda.
Sedang ajaran baru yang dibawa oleh Muhammad dasarnya adalah kekuatan rohani
yang murni. Ia dapat mengangkat martabat manusia ke tingkat yang lebih tinggi
sesuai dengan sifat kemanusiaannya. Apabila materi dan rohani itu bertemu,
kepentingan yang bersifat sementara bertentangan dengan yang abadi sifatnya,
maka segala materi dan yang bersifat sementara itu akan kalah adanya.
Disamping semua itu, baik Persia mau pun Bizantium, dengan
besarnya kekuasaan yang ada pada mereka, sebenarnya mereka sudah sama-sama
kehilangan tenaga inisiatif dan kreatifnya. Dalam bidang pemikiran, dalam
mengembangkan selera dan bekerja mereka hanya sekedar meniru dan meneruskan yang
ada. Segala macam pembaruan dianggap bid'ah (menyimpang dari agama) dan setiap
penyimpangan adalah sesat.
Masyarakat manusia seperti pribadi manusia dan seperti setiap
makhluk hidup juga, ia selalu berkembang setiap hari. Kalau ia masih muda belia,
maka perkembangannya bersifat membentuk, membangun dan menambaqh vitalitas dalam
hidupnya sendiri. Dengan demikian, hidupnya itu akan menyusut terus-menerus, ia
akan meluncur turun sampai ke dasarnya yang terakhir. Masyarakat manusia yang
sudah meluncur turun sampai kedasarnya itu, nasibnya akan dibentuk dalam bentuk
yang baru samasekali oleh unsur dari luar dengan segala kesemarakan hidupnya.
Unsur dari luar yang penuh dengan tenaga hidup yang bersemarak itu, di samping
Persia dan Bizantium, adanya bukan di bilangan Tiongkok atau India, juga bukan
di tengah-tengah Eropa, melainkan unsur itu ialah Muhammad sendiri.
Sudah wajar sekali bila ajarannya yang segar bersemarak itu
akan dapat mengembalikan denyutan hidup baru yang penuh vitalitas ke dalam jiwa
yang sedang mengalami kehancuran dari dalam itu, yang disebabkan oleh pengaruh
tradisi agama dan takhayul, yang sudah hidup berakar menggantikan kedudukan iman
dan akidah. Kerdip iman baru yang telah menyinari kalbu Rasul itu, kekuatan
jiwanya yang sudah melampaui segala kekuatan, itulah yang memberikan ilham
kepadanya untuk mengirim utusan-utusan mengajak pembesar-pembesar dunia itu
mengenal ajaran Islam, sebagai agama yang benar, agama yang sempurna, agama
Allah Yang Maha Agung. Mengajak mereka mengenal agama yang akan membebaskan
pikiran manusia supaya dapat menilai, akan membebaskan jantung orang supaya
dapat menyadari, dapat berpikir. Dalam sistem hidup berakidah dan bermasyarakat,
ia telah meletakkan kaidah-kaidah umum buat manusia yang akan merupakan
keseimbangan antara kemampuan rohani dengan kekuatan materi yang akan dapat
menguasai jiwa. Dengan jalan keseimbangan itu manusia akan dapat mencapai tujuan
berupa kekuatan dalam menghadapi hidup, suatu kekuatan yang bersih dari segala
kelemahan dan kecongkakan hati. Dengan sistem masyarakat demikian itu manusia
akan sampai ke tempat yang lebih baik seperti yang diharapkan, setelah ia
melalui pelbagai macam proses evolusinya di tengah-tengah semua makhluk alam
ini.
Adakah Muhammad akan mengirim utusan-utusannya kepada
raja-raja itu kalau ia masih kuatir akan adanya pengkhianatan pihak Yahudi yang
tinggal di sebelah utara Medinah? Memang dia sudah membuat perjanjian Hudaibiya.
Dari pihak Quraisy sudah aman, dari sebelah selatan juga sudah aman. Tetapi dari
sebelah utara ia tidak akan merasa aman sekiranya nanti Heraklius atau Kisra
datang meminta bantuan Yahudi Khaibar, atau juga dendam lama dalam hati mereka
itu akan bangkit kembali, akan mengingatkan mereka kepada Banu Quraidza, Banu
Nadzir dan Banu Qainuqa, saudara-saudara mereka seagama. Perkampungan mereka
oleh Muhammad telah dikosongkan setelah dikepung dan terjadi pertempuran serta
pertumpahan darah. Orang-orang Yahudi memusuhinya lebih sengit lagi daripada
Quraisy, sebab mereka lebih bertahan dengan agama mereka itu daripada Quraisy.
Juga di kalangan mereka orang cerdik pandai lebih banyak daripada di kalangan
Quraisy. Memang tidak mudah mengadakan perjanjian perdamaian dengan mereka
seperti perdamaian Hudaibiya, juga ia tidak akan merasa tenang terhadap mereka
melihat permusuhan yang terjadi dahulu, mereka sebagai pihak yang tidak pernah
menang. Wajar sekali mereka akan mengadakan pembalasan bila saja mereka
mendapatkan bala bantuan dari pihak Heraklius. Jadi kalau begitu kekuasaan
orang-orang Yahudi itu harus juga ditumpas sampai habis, sehingga samasekali
mereka tidak akan bisa lagi mengadakan perlawanan di negeri-negeri Arab. Dan hal
ini harus cepat-cepat dilaksanakan, sebelum ada waktu yang cukup terluang buat
mereka guna meminta bantuan pihak Ghatafan atau kabilah-kabilah lain yang
membantu mereka dan sedang memusuhi Muhammad.
Yang demikian inilah yang harus dilaksanakan.
Sekembalinya dari Hudaibiya - menurut sebuah sumber ia hanya
tinggal limabelas malam, sumber lain menyatakan satu bulan. Disuruhnya supaya
orang bersiap-siap untuk menyerbu Khaibar, dengan syarat hanya mereka yang ikut
ke Hudaibiya saja yang boleh menyerbu, juga harus sukarela tanpa ada rampasan
perang yang akan dibagikan.
Sebanyak seribu enam ratus orang dengan seratus kavaleri
Muslimin itu sekarang berangkat lagi. Mereka semua percaya akan adanya
pertolongan Tuhan, mereka masih ingat akan firman Tuhan dalam Surah Al-Fath yang
turun semasa Hudaibiya.
"Orang-orang yang tinggal di belakang itu akan berkata ketika
kamu berangkat mengambil harta rampasan perang: Biarlah kami turut bersama-sama
kamu. Mereka hendak mengubah perintah Tuhan. Katakanlah: Kamu tidak akan turut
bersama-sama kami. Begitulah Allah telah menyatakan sejak dulu. Nanti mereka
akan berkata lagi: Tetapi kamu dengki kepada kami. Tidak. Mereka yang mengerti
hanya sedikit saja." (Qur'an, 48: 15)
Jarak antara Khaibar dengan Medinah itu mereka tempuh dalam
waktu tiga hari. Dengan tiada mereka rasakan ternyata malamnya mereka telah
berada di depan perbentengan Khaibar. Keesokan harinya bila pekerja-pekerja
Khaibar berangkat kerja ke ladang-ladang dengan membawa sekop dan keranjang,
setelah melihat pasukan Muslimin, mereka berlarian sambil berteriak-teriak:
"Muhammad dengan pasukannya!" Ketika mendengar suara mereka itu Rasul berkata:
"Khaibar binasa. Apabila kami sampai di halaman golongan ini, maka pagi itu amat
buruk buat mereka yang telah diberi peringatan itu."
Akan tetapi Yahudi Khaibar memang sudah menanti-nantikan
Muhammad akan menyerang mereka. Mereka ingin mencari jalan membebaskan diri.
Sebagian mereka ini ada yang menyarankan supaya cepat-cepat dibentuk sebuah
blok, yang terdiri dari mereka dan Yahudi Wadi'l-Qura dan Taima, yang akan
langsung menyerbu Yathrib (Medinah) tanpa menggantungkan diri kepada
kabilah-kabilah Arab yang lain. Sedang yang sebagian lagi berpendapat supaya
masuk saja bersekutu dengan Rasul, kalau-kalau kebencian terhadap mereka dapat
terhapus dari hati kaum Muslimin - terutama dari pihak Anshar - setelah dalam
kenyataan Huyayy b. Akhtab dan segolongan Yahudi lainnya terlibat dalam usaha
menghasut kabilah-kabilah Arab untuk menyerang Medinah dan secara kekerasan
mengadakan perang Parit. Akan tetapi semangat kedua belah pihak sudah memuncak,
sehingga sebelum terjadi perang pihak Muslimin sudah lebih dulu berhasil
menewaskan pemimpin-pemimpin Khaibar masing-masing Sallam b. Abi'l-Huqaiq dan
Yasir ibn Razzam. Oleh karena golongan Yahudi selalu mengadakan kontak dengan
Ghatafan tatkala pertama kali tersiar berita Muhammad akan menyerang mereka,
cepat-cepat mereka meminta bantuan kabilah-kabilah itu. Mengenai Ghatafan ini,
para ahli masih berbeda pendapat: Jadikah kabilah ini memberikan bala bantuan,
ataukah pasukan Muslimin sudah memutuskan hubungan dengan Khaibar?
Lepas dari apakah Ghatafan ini sampai membantu pihak Yahudi
atau malah menjauhkan diri setelah Muhammad menjanjikan hendak memberikan harta
rampasan perang nanti, namun kenyataannya peperangan ini merupakan perang
terbesar yang pernah terjadi; mengingat pula kelompok-kelompok Yahudi di Khaibar
ini merupakan koloni Israil yang terkuat yang paling kaya dan paling besar pula
persenjataannya. Disamping itu pihak Muslimin pun sudah yakin sekali, bahwa
selama Yahudi tetap menjadi duri dalam daging seluruh jazirah, maka selama itu
pula persaingan antara agama Musa dengan agama baru ini akan jadi panjang tanpa
dapat mencapai suatu penyelesaian. Dengan demikian mereka terjun menyabung nyawa
tanpa ragu-ragu lagi.
Sebaliknya pihak Quraisy dan seluruh jazirah Arab berbaris
menonton peperangan ini. Dari kalangan Quraisy sampai ada yang berani bertaruh
mengenai kesudahan perang itu dan siapa pula yang akan menang. Kebanyakan
Quraisy mengharapkan pihak Muslimin akan mengalami kehancuran, melihat kukuhnya
benteng-benteng Khaibar yang sudah terkenal serta letaknya di atas batu-batu
karang dan gunung, disamping pengalaman mereka yang cukup lama dalam medan
perang.
Dengan persiapan senjata yang cukup kaum Muslimin sekarang
sudah berada di depan perbentengan Khaibar. Yahudi juga sedang berunding dengan
sesama mereka. Pemimpin mereka Sallam b. Misykam menyarankan, supaya harta-benda
dan sanak keluarga mereka dimasukkan ke dalam benteng Watih dan Sulalim, bahan
makanan dan perlengkapan dimasukkan ke dalam benteng Na'im, perajurit dan
barisan penggempur dimasukkan ke dalam benteng Natat dan Sallam b. Misykam
sendiri bersama-sama mereka, mengerahkan mereka dalam peperangan. Sekarang kedua
belah pihak sudah berhadap-hadapan di sekitar benteng Natat dan pertempuran
mati-matian sudah pula dimulai. Dalam hal ini sampai ada yang berkata: "Yang
luka-luka dari pihak Muslimin sebanyak limapuluh orang. Apalagi jumlah yang
luka-luka dari pihak Yahudi."
Setelah Sallam b. Misykam tewas, maka pimpinan pasukan di
pegang oleh Harith b. Abi Zainab. Ia keluar dari benteng Na'im itu dengan maksud
hendak menggempur pasukan Muslimin Tetapi oleh Khazraj ia dapat dihalau dan
dipaksa kembali mundur ke bentengnya. Pihak Muslimin lalu memperketat
kepungannya atas benteng-benteng Khaibar itu sedang pihak Yahudi mati-matian
mempertahankan dengan keyakinan, bahwa kekalahan mereka menghadapi Muhammad
berarti suatu penumpasan terakhir terhadap Banu Israil di negeri-negeri Arab.
Hal ini berlangsung selama beberapa hari. Kemudian Rasul
menyerahkan bendera kepada Abu Bakr supaya memasuki benteng Na'im. Tetapi
setelah terjadi pertempuran ia kembali tanpa berhasil menaklukkan benteng itu.
Keesokan harinya pagi-pagi Rasui menugaskan Umar bin'l-Khattab. Tetapi dia pun
mengalami nasib yang sama seperti Abu Bakr. Sekarang Ali b. Abi Talib yang
dipanggilnya seraya katanya:
"Pegang bendera ini dan bawa terus sampai Tuhan memberikan
kemenangan kepadamu."
Ali berangkat membawa bendera itu. Setelah ia berada dekat
dari benteng, penghuni benteng itu keluar menghadapinya dan seketika itu juga
pertempuran pun terjadi. Salah seorang Yahudi dapat memukulnya dan perisai yang
di tangannya terlempar. Tetapi Ali segera menyambar daun pintu yang ada di
benteng dan dengan memperisaikan daun pintu yang masih di tangan itu ia terus
bertempur. Benteng itu akhirnya dapat didobraknya. Kemudian daun pintu tadi
dijadikannya jembatan dan dengan "jembatan" ini kaum Muslimin dapat menyeberang
masuk ke dalam benteng itu. Akan tetapi benteng Na'im ini baru jatuh setelah
komandannya, Harith b. Abi Zainab terbunuh. Hal ini menunjukkan betapa
sebenarnya pihak Yahudi itu mati-matian bertempur dan betapa pula pihak Muslimin
juga mati-matian mengepung dan menyerbu.
Setelah benteng Na'im jatuh, sekarang pihak Muslimin
menaklukkan benteng Qamush setelah lebih dulu terjadi pertempuran sengit. Oleh
karena persediaan bahan makanan pada mereka (Muslimin) sudah tidak mencukupi
lagi terpaksa ada beberapa orang yang datang kepada Muhammad mengeluh, dan minta
sesuatu sekadar dapat menyambung hidup, dan oleh karena tidak ada sesuatu yang
dapat diberikannya kepada mereka itu, maka mereka diijinkan makan daging kuda.
Dalam pada itu salah seorang dari pihak Muslimin melihat ada sekawanan kambing
memasuki salah satu benteng Yahudi itu. Dua ekor kambing diantaranya dapat
mereka tangkap, lalu mereka sembelih dan mereka makan bersama-sama.
Akan tetapi, setelah mereka menaklukkan benteng Sha'b b-
Mu'adh, kebutuhan mereka sekarang sudah tidak begitu mendesak lagi, sebab
ternyata di tempat ini persediaan makanan cukup banyak, yang akan memungkinkan
lagi mereka meneruskan perjuangan melawan Yahudi dan mengepung benteng-benteng
yang ada lainnya. Sementara itu tidak sejengkal tanah pun atau sebuah benteng
pun mau diserahkan kepada pihak Yahudi sebelum mereka benar-benar
mempertahankannya secara heroik dan setelah dengan segala tenaga mereka berusaha
membendung serangan Muslimin itu. Dengan terlebih dulu menyiapkan persenjataan
dan perlengkapan untuk berperang, tiba-tiba keluar Marhab orang Yahudi itu dari
salah satu benteng sambil ia membaca sajak-sajak ini:
Khaibar sudah mengenal
Akulah Marhab
Memanggul senjata pahlawan teruji
Kadang menetak sekali memukul
Bila singa sudah muncul
Maka ia pun menggeram murka
Pertahananku
Inilah pertahanan tak terkalahkan
Segala serangan terlumpuhkan oleh si pendekar
Mendengar itu Muhammad berseru kepada sahabat-sahabatnya:
"Siapa yang akan menjawab ini."
Saat itu juga Muhammad b. Maslama menjawab: "Saya ya
Rasulullah.
Saya yang harus berontak menuntut balas. Saudara saya kemarin
dibunuh."
Kemudian setelah mendapat ijin dari Nabi ia tampil kedepan
dan mulai mereka saling menyerang sehingga hampir-hampir ia sendiri dapat
dibunuh oleh Marhab. Tetapi pedangnya itu dapat ditahan dengan perisai oleh Ibn
Maslama dan pedang itu tersangkut dan tertahan. Dengan demikian orang itu
dihantam oleh Muhammad Ibn Maslama sampai menemui ajalnya.
Demikianlah perang antara Yahudi dan Muslimin itu terjadi
sangat seru sekali, ditambah lagi ketahanan benteng-benteng Yahudi ketika itu
memang sangat kuat dan keras.
Sekarang pihak Muslimin mengepung benteng Zubair. Pengepungan
ini tampaknya cukup lama disertai dengan pertempuran yang sengit pula. Sungguh
pun begitu mereka tidak juga berhasil menaklukkannya. Baru setelah akhirnya
saluran air ke benteng itu diputuskan, pihak Yahudi terpaksa keluar dan dengan
mati-matian mereka memerangi kaum Muslimin sekalipun mereka itu akhirnya lari
juga. Dengan demikian benteng-benteng itu satu demi satu jatuh ke tangan
Muslimin yang berakhir pada benteng Watih dan Sulalim dalam kelompok
perbentengan Katiba, dua buah benteng terakhir yang kukuh dan kuat.
Sejak itulah perasaan putus-asa mulai merayap ke dalam hati
mereka. Kini mereka minta damai. Semua harta-benda mereka didalam benteng-
benteng asy-Syiqq, Natat dan Katiba diserahkan kepada Nabi untuk disita, asal
nyawa mereka diselamatkan. Permohonan ini oleh Muhammad diterima. Dibiarkannya
mereka itu tinggal di kampung halaman mereka, yang menurut hukum penaklukan
sudah berada di bawah kekuasaannya. Mereka akan mendapat separoh hasil
buah-buahan daerah itu sebagai imbalan atas tenaga kerja mereka.
Muhammad memperlakukan Yahudi Khaibar tidak sama seperti
terhadap Yahudi Banu Qainuqa dan Banu Nadzir tatkala mereka dikosongkan dari
kampung halaman itu; sebab dengan jatuhnya Khaibar ini ia sudah merasa terjamin
dari adanya bahaya Yahudi dan yakin pula bahwa mereka samasekali tidak akan bisa
lagi mengadakan perlawanan. Di sainping itu di Khaibar terdapat pula beberapa
perkebunan, ladang dan kebun-kebun kurma. Semua ini masih memerlukan
tenaga-tenaga ahli yang cukup banyak untuk mengolahnya dan yang akan dapat pula
mengurus pengolahan itu dengan cara yang sebaik-baiknya. Kendatipun
pengikut-pengikut Medinah terdiri dari penduduk yang bercocok tanam, tanah
mereka pun sangat pula memerlukan tenaga mereka, namun mengingat, bahwa Nabi
juga sangat memerlukan tentara untuk angkatan perangnya, maka ia tidak suka
membiarkan mereka semua itu dalam bercocok tanam. Dalam pada itu orang-orang
Yahudi Khaibar tetap bekerja meskipun kekuasaan politik mereka sudah runtuh
demikian rupa yang juga mempengaruhi kegiatan mereka, sehingga dari segi
pertanian dan perkebunan pun cepat sekali Khaibar mengalami kemunduran dan
kehancuran; padahal sudah begitu baik Nabi memperlakukan penduduk daerah itu, di
samping Abdullah b. Rawaha utusan Nabi kepada mereka yang cukup adil, setiap
tahun mengadakan pembagian hasil dengan mereka. Demikian baiknya Nabi
memperlakukan penduduk Yahudi Khaibar itu sehingga tatkala kaum Muslimin
menyerbu mereka, dan diantara barang-barang rampasan perang itu terdapat juga
ada beberapa buah kitab Taurat, ketika oleh pihak Yahudi diminta, maka oleh Nabi
diperintahkan supaya kitab-kitab itu diserahkan kembali kepada mereka. Ia tidak
sampai berbuat seperti yang pernah dilakukan oleh pihak Rumawi ketika
menaklukkan Yerusalem. Kitab-kitab suci itu oleh mereka dibakar dan
diinjak-injak dengan telapak kaki. Juga ia tidak melakukan perbuatan seperti
yang dilakukan oleh pihak Nasrani dalam perang menindas kaum Yahudi Andalusia
(Spanyol). Kitab-kitab Taurat itu oleh mereka juga dibakar.
Setelah Yahudi Khaibar minta damai - selama Muslimin
mengepung mereka di perbentengan Watih dan Sulalim, Nabi telah mengutus orang
kepada penduduk Fadak3 dengan maksud supaya mereka mau menerima ajakannya atau
menyerahkan harta-benda mereka. Mengetahui peristiwa yang sudah terjadi di
Khaibar, penduduk Fadak sudah merasa ketakutan sekali. Persetujuan diadakan
dengan menyerahkan separo harta mereka tanpa pertempuran. Kalau daerah Khaibar
menjadi milik Muslimin karena mereka yang telah berjuang membebaskannya, maka
Fadak untuk Muhammad karena pihak Muslimin tidak memperolehnya dengan
pertempuran.
Selesai semua itu Rasul pun berkemas-kemas hendak kembali ke
Medinah melalui Wadi'l-Qura.4 Akan tetapi pihak Yahudi daerah ini sudah
menyiapkan diri hendak menyerang Muslimin. Dan pertempuran segera pecah. Tetapi
mereka juga terpaksa menyerah dan minta damai seperti halnya dengan pihak
Khaibar. Sebaliknya golongan Yahudi Taima, mereka bersedia membayar jizya
(pajak) tanpa terjadi peperangan atau pertempuran.
Dengan demikian semua orang Yahudi tunduk kepada kekuasaan
Nabi, dan berakhir pulalah semua kekuasaan mereka di seluruh jazirah. Dari
jurusan utara ke Syam sekarang Muhammad sudah tidak kuatir lagi, sama halnya
seperti dulu, dari jurusan selatan juga ia sudah tidak kuatir lagi setelah
adanya Perjanjian Hudaibiya.
Dengan habisnya kekuasaan Yahudi itu, maka kebencian pihak
Muslimin - terutama kaum Anshar - terhadap kepada mereka jadi berkurang sekali.
Bahkan mereka menutup mata terhadap beberapa orang Yahudi yang kembali ke
Yathrib. Dan Nabi berdiri bersama-sama dengan orang-orang Yahudi yang sedang
berkabung terhadap kematian Abdullah b. Ubayy dan menyatakan turut berdukacita
pula kepada anaknya. Kepada Mu'adh b. Jabal pun dipesannya untuk tidak membujuk
orang-orang Yahudi itu dari agama Yahudinya. Juga pajak jizya tidak dikenakan
kepada orang-orang Yahudi Bahrain meskipun mereka tetap berpegang pada keyakinan
agama mereka. Dengan Yahudi Banu Ghazia dan Banu 'Aridz dibuat pula persetujuan
bahwa mereka akan memperoleh dhimma (perlindungan) dan kepada mereka dikenakan
pula pajak.
Ringkasnya, pihak Yahudi itu sekarang tunduk kepada kekuasaan
kaum Muslimin. Kedudukan mereka di negeri-negeri Arab sudah berantakan dan
mereka pun terpaksa meninggalkan daerah itu. Tadinya mereka di tempat itu
sebagai golongan yang dipertuan, sampai selesai mereka itu dikeluarkan, yang
menurut satu pendapat sejak semasa hidup Rasul, pendapat lain mengatakan setelah
Rasul wafat.
Akan tetapi tunduknya penduduk Khaibar dan golongan Yahudi
lainnya di seluruh jazirah itu tidak terjadi sekaligus setelah mereka jatuh.
Bahkan akibat kejatuhan mereka itu hati mereka masih penuh memikul kebencian dan
dendam yang kotor sekali. Zainab bint'l-Harith isteri Sallam b. Misykam pernah
menyampaikan hadiah daging domba kepada Muhammad - setelah ia merasa aman dan
setelah ada perjanjian perdamaian dengan pihak Khaibar. Ketika ia dan
sahabat-sahabat sedang duduk hendak memakan daging itu, Nabi 'a.s. mengambil
bagian kakinya dan sudah akan mulai di kunyah, tapi tidak sampai ditelannya.
Dalam pada itu Bisyr bin'l-Bara' yang duduk makan bersama-sama telah pula
mengambil daging itu sekerat. Tapi Bisyr lalu menelannya sekaligus. Sedang Rasul
memuntahkannya kembali seraya katanya.
"Ada tanda-tanda tulang ini beracun."
Kemudian Zainab dipanggil, dan ia pun mengaku.
Lalu katanya: "Tuan telah mengadakan tindakan terhadap
golongan saya seperti sudah tuan ketahui."
Lalu kataku: "Kalau dia seorang raja, aku sudah lega; kalau
dia seorang nabi tentu dia akan diberi tahu!"
Akibat makan daging itu Bisyr kemudian meninggal dunia. Dalam
hal ini ahli-ahli sejarah masih berbeda pendapat. Tetapi sebahagian besar
menyatakan, bahwa Nabi telah memaafkan Zainab, dan sangat menghargai sekali
alasannya mengingat malapetaka yang telah menimpa ayah dan suaminya itu.
Disamping itu ada juga yang mengatakan bahwa dia pun dibunuh karena Bisyr yang
telah mati diracun itu.
Sebenarnya perbuatan Zainab itu telah menimbulkan kesan yang
dalam sekali di dalam hati kaum Muslimin. Peristiwa-peristiwa yang timbul
sesudah Khaibar membuat mereka tidak percaya lagi kepada orang-orang Yahudi.
Bahkan mereka kuatir akan segala akibat tipu muslihat yang akan dilakukan secara
perseorangan, setelah secara massal mereka dapat dihancurkan. Shafia bt. Huyayy
b. Akhtab dari Banu Nadzir termasuk salah seorang tawanan yang oleh kaum
Muslimin diambil dari benteng Khaibar. Dia isteri Kinana bin'l-Rabi'. Setahu
pihak Muslimin, di tangan Kinana inilah harta-benda Banu Nadzir itu disimpan.
Ketika Nabi menanyakan harta itu kepadanya, ia bersumpah-sumpah bahwa dia tidak
mengetahui tempatnya.
"Kalau kami dapati di tempatmu, mau kamu dibunuh?" tanya
Muhammad.
"Ya," jawab Kinana.
Salah seorang dari mereka ini pernah melihat Kinana sedang
mundar-mandir pada sebuah puing, dan hal ini disampaikan kepada Nabi. Oleh Nabi
diperintahkan supaya puing itu digali dan dari dalam puing itulah harta simpanan
itu dikeluarkan. Kinana akhirnya dibunuh karena perbuatannya itu.
Sekarang Shafia berada ditangan Muslimin sebagai salah
seorang tawanan perang.
"Shafia adalah ibu Banu Quraidza dan Banu Nadzir. Dia hanya
pantas buat tuan," demikian dikatakan kepada Nabi.
Setelah wanita itu dimerdekakan kemudian ia diperisteri oleh
Nabi seperti biasanya dilakukan oleh orang-orang besar yang menang perang.
Mereka kawin dengan puteri-puteri orang-orang besar guna mengurangi tekanan
karena bencana yang dialaminya dan memelihara pula kedudukannya yang terhormat.
Kuatir akan timbulnya dendam kepada Rasul dalam hati wanita -
yang baik ayahnya, suaminya atau pun golongannya sudah terbunuh itu - maka
semalaman itu dalam perjalanan pulang dari Khaibar Abu Ayyub Khalid al-Anshari
dengan membawa pedang terhunus berjaga-jaga di sekitar kemah tempat perkawinan
Muhammad dengan Shafia itu dilangsungkan. Pagi harinya, setelah Rasul
melihatnya, ia ditanya: "Ada apa?"
"Saya kuatir akan keselamatan tuan dari perbuatan wanita
itu," katanya, "karena ayahnya, suaminya dan golongannya sudah dibunuh sedang
belum selang lama dia masih kafir."
Akan tetapi sampai Muhammad wafat ternyata Shafia sangat
setia kepadanya. Ketika menderita sakit terakhir isteri-isterinya sedang berada
di sekelilingnya, Shafia berkata:
"Ya Nabiullah. Sekiranya saya saja yang menderita sakit ini."
Isteri-isteri Nabi saling mengedipkan mata kepadanya.
"Bersihkan mulutmu," kata Nabi kepada mereka.
"Dari apa ya Nabiullah?" kata mereka pula.
"Dari kedipan matamu kepada teman sejawatmu itu. Demi Allah,
dia sungguh jujur."
Setelah Nabi wafat, Shafia masih mengalami masa khilafat
Mu'awiyah. Pada masa itulah ia meninggal dan dimakamkan di Baqi'.
***
Sekarang apa yang terjadi dengan para utusan yang telah
diutus oleh Muhammad kepada Heraklius, kepada Kisra, Najasyi dan raja-raja
sekeliling negeri Arab itu? Adakah keberangkatan mereka itu sebelum perang
Khaibar atau mereka turut mengalaminya juga dan baru kemudian setelah kemenangan
berada di pihak Muslimin mereka berangkat masing-masing menuju tujuannya? Dalam
hal ini pendapat ahli-ahli sejarah masih jauh sekali berbeda-beda, sehingga
sukar sekali kita dapat mengambil suatu kesimpulan yang lebih pasti. Tetapi
menurut dugaan kami mereka tidak semua berangkat dalam waktu yang bersamaan; dan
keberangkatan mereka ada yang sebelum dan ada pula yang sesudah Khaibar
Tidak hanya sebuah sumber saja yang menyebutkan, bahwa Dihya
b. Khalifa al-Kalbi pernah mengalami perang Khaibar tetapi dia juga yang telah
pergi membawa surat kepada Heraklius, yang ketika itu tengah kembali pulang
membawa kemenangan setelah ia berhasil mengalahkan Persia, dan berhasil pula
menyelamatkan Salib Besar yang mereka ambil dari Yerusalem. Dan sudah tiba pula
saatnya ia akan menunaikan nadarnya hendak berziarah ke Yerusalem dengan
berjalan kaki guna mengembalikan salib itu ke tempatnya semula.
Ketika surat itu disampaikan baginda sudah sampai di kota
Himsh.5 Apakah orang-orangnya sendiri yang menyerahkan surat itu kepada
Heraklius setelah oleh Dihya diserahkan kepada penguasanya di Bostra, ataukah
Dihya yang memimpin rombongan Arab badui itu - yang setelah di perkenalkan - dia
sendiri yang menyerahkan surat tersebut kepadanya? Juga dalam hal ini sumber
tersebut masih kacau.
Selanjutnya surat itu dibacakan dan diterjemahkan di hadapan
Maharaja. Baginda tidak murka atau geram, juga tidak lalu merencanakan hendak
mengirim angkatan perangnya menyerbu negeri-negeri Arab. Sebaliknya malah surat
itu dibalas dengan baik sekali. Ini pula agaknya yang menyebabkan beberapa ahli
sejarah salah menduga, dikira baginda telah masuk Islam.
Dalam waktu bersamaan Harith al-Ghassani telah pula
menyampaikan berita kepada Heraklius, bahwa ada seorang utusan Muhammad datang
kepadanya membawa surat. Heraklius melihat isi surat itu sama seperti yang
dikirimkan kepadanya, mengajaknya memeluk agama Islam. Harith meminta
persetujuan baginda hendak memimpin sendiri sebuah pasukan yang akan menghajar
orang yang mendakwakan diri nabi itu. Akan tetapi menurut Heraklius lebih baik
Harith berada di Yerusalem bila baginda nanti berziarah, supaya perayaan
mengembalikan salib lebih meriah adanya, dan orang yang menyerukan agama baru
itu tak usah dipedulikan. Tidak terlintas dalam pikirannya, bahwa tidak akan
selang berapa tahun lagi Yerusalem dan Syam itu sudah akan berada dibawah panji
Islam pula, bahwa ibukota Islam akan pindah ke Damsyik dan bahwa pertentangan
antara negeri-negeri Islam dengan kemaharajaan Rumawi baru menjadi reda setelah
Konstantinopel dalam tahun 1453 dikuasai oleh pihak Turki, gerejanya yang besar
diubah menjadi mesjid, sehingga itu Nabi yang oleh Heraklius dicoba hendak
ditaklukkannya dengan cara tanpa menghiraukannya, namanya tertulis dalam
bangunan itu, dan selama berabad-abad gereja itu tetap menjadi mesjid, sampai
akhirnya oleh Muslimin Turki ia diubah lagi menjadi sebuah museum kesenian
Rumawi.
Ada pun Kisra Maharaja Persia, begitu surat Muhammad yang
mengajaknya menganut Islam itu dibacakan, baginda murka sekali dan surat itu
disobeknya. Sepucuk surat segera dikirimnya kepada Bazan, penguasanya di Yaman
dengan perintah supaya kepala itu laki-laki yang di Hijaz segera dibawa
kepadanya. Barangkali menurut perkiraannya ini akan meringankan pengaruh
kekalahannya berhadapan dengan Heraklius.
Setelah kata-kata Kisra serta perbuatannya merobek-robek
surat itu disampaikan kepada Nabi, ia berkata: "Allah telah merobek-robek
kerajaannya."
Ternyata Bazan ini telah pula mengirimkan utusan dengan
sepucuk surat kepada Muhammad dan dalam pada itu Kisra pun telah pula digantikan
oleh puteranya Syiruya (Kavadh II). Peristiwa ini telah diketahui oleh Nabi
sehingga sekaligus ia dapat memberitahukan kejadian ini kepada utusan-utusan
Bazan itu. Kepada mereka dimintanya pula supaya mereka ini menjadi
utusan-utusannya kepada Bazan dengan mengajaknya menganut Islam. Sebenarnya
penduduk Yaman sudah mengetahui bencana yang telah menimpa Persia itu dan sudah
merasa pula akan hancurnya kerajaan itu. Juga berita-berita kemenangan Muhammad
atas Quraisy dan hancurnya kekuasaan Yahudi sudah pula sampai kepada mereka.
Setelah utusan-utusan Bazan itu kembali dan pesan Nabi
disampaikan kepada penguasa itu, dengan senang hati ia menjadi orang Islam dan
tetap sebagai penguasa Muhammad di Yaman. Kiranya apakah yang akan diminta oleh
Muhammad kepada penguasanya itu mengingat Mekah yang masih dalam sengketa dengan
dia? Sebenarnya, setelah bayangan Persia menghilang, ia telah mendapat
keuntungan dengan berlindung kepada suatu kekuatan yang baru tumbuh di negeri
Arab itu, dengan tidak meminta risiko apa-apa dan bisa jadi Bazan sendiri ketika
itu tidak sampai memperhitungkan, bahwa penggabungannya kepada Muhammad sudah
merupakan suatu perbentengan yang kuat sekali di pihak Islam bagian selatan
jazirah itu, seperti yang terbukti dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi dua
tahun kemudian.
Tetapi jawaban Muqauqis, seorang pembesar Kopti di Mesir,
tidak sama dengan jawaban Kisra, bahkan lebih indah lagi daripada jawaban
Heraklius. Kepada Mulmammad ia memberitahukan bahwa ia memang percaya, bahwa
seorang nabi akan datang, tetapi kedatangannya itu di Syam. Ia menyambut utusan
itu dengan segala penghormatan sebagaimana mestinya. Kemudian ia mengirim hadiah
di tangan utusan itu berupa dua orang dayang-dayang, seekor bagal putih, seekor
himar, sejumlah harta dan bermacam-macam produksi Mesir lainnya. Maria dari dua
dayang-dayang itu diterima buat Nabi sendiri dan yang kemudian telah melahirkan
Ibrahim, dan Sirin dihadiahkannya kepada Hassan b. Thabit. Ada pun bagal itu
oleh Nahi diberi nama "Duldul" dan warna putihnya memang unik sekali
dibandingkan dengan bagal-bagal yang ada di negeri-negeri Arab, sedang
keledainya diberi nama "Ufair" atau "Ya'fur." Hadiah itu oleh Muhammad diterima
baik, dan disebutkan, bahwa Muqauqis tidak sampai menganut Islam, sebab dia
takut kerajaan Mesir akan direnggut oleh Rumawi. Kalau tidak karena itu tentu ia
akan sudah beriman dan termasuk orang yang telah mendapat hidayah pula.
Setelah kita ketahui adanya hubungan yang begitu baik antara
Najasyi di Abisinia dengan kaum Muslimin, sudah wajar sekali bila balasannya
juga akan sangat baik, sehingga ada beberapa sumber menyebutkan bahwa ia telah
masuk Islam, meskipun ada juga segolongan Orientalis yang masih menyangsikan
keislamannya itu. Akan tetapi disamping surat yang berisi ajakan kepada Islam
disertai pula sepucuk surat lain dengan permintaan supaya umat Muslimin yang ada
di Abisinia sudah dapat dikembalikan ke Medinah. Dalam hal ini Najasyi telah
menyiapkan dua buah kapal yang akan mengangkut mereka itu dengan dipimpin oleh
Ja'far b. Abi Talib. Dalam rombongan ini ikut pula Umm Habiba (Ramla) bt. Abi
Sufyan setelah suaminya meninggal, yaitu Abdullah ibn Jahsy yang datang ke
Abisinia sebagai Muslim kemudian menjadi Nasrani dan tetap menganut agama
Nasrani itu sampai matinya.
Sekembalinya dari Abisinia Umm Habiba ini kemudian menjadi
salah seorang isteri Nabi dan Umm'l-Mukminin. Beberapa ahli sejarah mengatakan
bahwa Nabi mengawini Umm Habiba ini dengan maksud hendak mengadakan pertalian
nasab dengan Abu Sufyan sebagai penegasan lebih kuat lagi terhadap perjanjian
Hudaibiya. Yang lain berpendapat bahwa perkawinan Umm Habiba dengan Muhammad
dengan Abu Sufyan yang masih tetap dalam paganisma - hanya akan menimbulkan
kekesalan dan kesedihan saja dalam hatinya.
Sebaliknya amir-amir (penguasa-penguasa) Arab, baik mereka
yang dari Yaman atau dari Omman telah membalas surat Nabi itu dengan kasar
sekali, sedang amir Bahrain membalasnya dengan baik dan dia pun masuk Islam.
Sebaliknya amir Yamama, ia memperlihatkan kesediaannya akan masuk Islam asal dia
diangkat jadi gubernur. Karena ambisinya itu oleh Nabi ia dikutuk.
Penulis-penulis sejarah menyebutkan, bahwa tidak berselang setahun kemudian
orang itu pun meninggal.
Pembaca akan memperhatikan sekali sikap lemah-lembut dan
pandangan yang begitu baik yang terkandung dalam jawaban sebagian besar
raja-raja dan penguasa-penguasa itu. Tiada seorang pun dari utusan-utusan
Muhammad itu yang dibunuh atau dipenjarakan. Bahkan mereka semua kembali dengan
membawa balasan pesan yang sebahagian besar lemah-lembut, sekalipun dua balasan
diantaranya ada yang kasar sifatnya. Bagaimana sebenarnya raja-raja itu menerima
ajakan agama baru ini tanpa bertindak menghasut pembawa ajakan itu, juga tanpa
mau menindasnya beramai-ramai? Soalnya ialah karena dunia pada waktu itu sama
seperti dunia kita sekarang, pengaruh materi telah menguasai kehidupan rohani;
yang menjadi tujuan hidup ialah kemewahan. Bangsa-bangsa saling berperang karena
hendak mencari kemenangan, ingin memenuhi dan memuaskan ambisi dan nafsu
raja-raja dan penguasa-penguasa itu ingin hidup lebih mewah lagi. Dalam dunia
semacam ini segala pengertian akidah atau keyakinan akan jatuh ke bawah kaki
upacara-upacara yang demonstratif sifatnya, sedang apa yang dilaksanakan itu
tanpa disertai hati yang penuh iman. Yang dijadikan perhatian hanyalah supaya
hal itu berada di tangan pemegang kekuasaan yang dapat memberi makan, pakaian
dan menjamin adanya kesejahteraan dan kemakmuran hidup dengan segala kekayaan
harta benda. Upacara-upacara itu dipertahankan hanyalah sekedar hendak memenuhi
kepentingan materi itu. Kalau kepentingan itu sudah tak ada lagi, semangat
mereka pun jadi hancur dan nafsu mengadakan perlawanan juga jadi lemah sekali.
Orang mendengar ada ajakan baru sekitar suatu ajaran tentang
iman - yang mudah dan kuat, yang membuat semua manusia sama di hadapan Tuhan
Yang Maha Tunggal, Tempat orang menyembah dan meminta pertolongan. Yang
menentukan apa yang berguna dan apa yang tidak untuk dirinya itu. Dengan cahaya
yang memancar dari kehendak Tuhan, ia akan menganggap kecil segala ancaman
raja-raja di muka bumi ini semua. Orang yang hanya takut kepada kemurkaan Tuhan
ia akan dapat menggetarkan hati raja-raja yang sedang hanyut dalam kemenangan
hidup itu. Hanya orang yang bertaubatlah, orang yang benar-benar beriman dan
berbuat kebaikan sajalah dapat mengharapkan pengampunan Tuhan.
Oleh karena itu, tatkala orang mendengar tentang adanya
ajakan baru itu, dan melihat pembawanya begitu tabah menghadapi segala macam
penindasan, menghadapi kekejaman, penyiksaan dan segala kekuatan hidup materi,
dengan kekuatannya yang terus berkembang, padahal dia adalah yatim piatu, miskin
dan tidak punya apa-apa, suatu hal yang tak pernah terbayangkan, baik oleh
negerinya sendiri atau pun oleh negeri-negeri Arab lainnya - ketika itulah orang
menjulurkan leher, ia memasang telinga baik-baik, jiwanya merasa haus, hatinya
ingin terbang melihat sumber mata-air itu; hanya saja masih ada rasa takut, rasa
sangsi yang mengalanginya dari kenyataan yang ada itu. Itu sebabnya maka ada
diantara raja-raja itu yang memberikan balasan dengan sangat lemah-lembut, dan
dengan demikian iman dan keyakinan kaum Muslimin pun makin kuat pula.
Muhammad sudah kembali dari Khaibar. Ja'far bersama-sama kaum
Muslimin sudah kembali dari Abisinia, dan utusan-utusan Muhammad juga sudah pula
kembali dari tempat mereka masing-masing ditugaskan. Mereka semua bertemu lagi
di Medinah. Mereka bertemu untuk sama-sama tinggal selama dalam tahun itu,
dengan penuh rindu menantikan tahun yang akan datang, akan menunaikan ibadah
haji ke Mekah, memasuki kota itu dengan aman tenteram, dengan kepala dicukur
atau digunting tanpa akan merasa takut. Begitu gembiranya Muhammad berjumpa
dengan Ja'far sampai ia berkata, mana yang lebih menggembirakan hatinya:
kemenangannya atas Khaibar ataukah pertemuannya dengan Ja'far. Pada waktu itulah
timbulnya cerita yang mengatakan, bahwa pihak Yahudi telah menyihir Muhammad
dengan perbuatan Labid, sehingga ia mengira bahwa dia melakukan sesuatu, padahal
ia tidak melakukannya. Sumber-sumber cerita ini sebenarnya sangat kacau sekali
dan ini menguatkan pendapat orang yang mengatakan bahwa cerita ini cuma
dibikin-bikin dan samasekali tidak punya dasar.
Kaum Muslimin tinggal di Medinah dengan aman dan tenteram,
dan menikmati hidup dan menikmati karunia dan keridaan Tuhan. Masalah perang
tidak mereka pikirkan lagi. Tidak lebih yang dilakukan hanya mengirimkan
pasukan-pasukan guna menindak barangsiapa saja yang bermaksud hendak melanggar
hak-hak orang, atau hendak merampas harta-benda orang.
Setelah berjalan setahun - ketika itu bulan Zulkaidah - Nabi
pun berangkat dengan membawa duaribu orang guna melakukan umrah pengganti sesuai
dengan ketentuan-ketentuan Hudaibiya, juga untuk menghilangkan rasa haus yang
sudah sangat dirasakan oleh jiwa yang tengah dahaga hendak menunaikan ibadah ke
Rumah Purba itu.
1 Muqauqis konon bukan nama pribadi, melainkan gelar
penguasa-penguasa Mesir pada saat-saat terakhir kekuasaan Rumawi, dari bahasa
Kopti, Pkauchios (A).
2 Tentang arti dan paradigma kata-kata ini pendapat orang
bermacam-macam. Diantara arti kata arisiyin (jamak arisi) ialah kata arisiyin
pelayan-pelayan dan dayang-dayang. Maksud kalimat itu ialah dia bertanggungjawab
atas dosa rakyatnya karena dia merintangi mereka dari agama. (Lihat Nihaya-nya
Ibn'l-Athir dan kamus-kamus bahasa, sub verbo, "ra-asa.")
3 Fadak ialah sebuah desa daerah koloni Yahudi di Hijaz,
tidak jauh dari Medinah (A).
4 Wadi'l-Qura ialah sebuah wadi atau lembah terletak antara
Medinah dengan Syam (A).
5 Himsh atau Homs, sebuah kota lama (Emesa) di Suria Tengah
(A).
Sumber: Sejarah Hidup Muhammad oleh Dr. Mohammad Hussein Haekal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar