Jumat, 20 Oktober 2017

Najiskah Kotoran Burung dan Cicak?

Bab: Najiskah Kotoran Burung?

Pertama, hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

أَنَّ نَاسًا اجْتَوَوْا فِي المَدِينَةِ، فَأَمَرَهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَلْحَقُوا بِرَاعِيهِ – يَعْنِي الإِبِلَ – فَيَشْرَبُوا مِنْ أَلْبَانِهَا وَأَبْوَالِهَا، فَلَحِقُوا بِرَاعِيهِ، فَشَرِبُوا مِنْ أَلْبَانِهَا وَأَبْوَالِهَا ، حَتَّى صَلَحَتْ أَبْدَانُهُمْ

Ada beberapa orang pendatang dari luar Madinah yang sakit karena tidak kuat dengan cuaca madinah. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk menemui petugas gembala onta zakat. Agar mereka minum susu dicampur kencing onta. Setelah mereka ketemu penggembala itu, mereka minum susu onta dan kencingnya, hingga badan mereka kembali sehat..(HR. Bukhari 5686, Muslim 1671, dan yang lainnya).

Kedua, hadis dari Anas bin Malik, beliau menceritakan,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي، قَبْلَ أَنْ يُبْنَى المَسْجِدُ، فِي مَرَابِضِ الغَنَمِ

“Sebelum dibangun masjid, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat di kandang kambing.” (HR. Bukhari 234, Muslim 524, dan yang lainnya).


Berdasarkan dua hadis di atas, para ulama memberikan kaidah bahwa kotoran atau kencing binatang yang halal dimakan, statusnya tidak najis.

Syaikhul Islam mengatakan,

أن هذه الأعيان لو كانت نجسة لبينه النبي صلى الله عليه وسلم ولم يبينه فليست نجسة وذلك لأن هذه الأعيان تكثر ملابسة الناس لها ومباشرتهم لكثير منها خصوصا الأمة التي بعث فيها رسول الله صلى الله عليه وسلم فإن الإبل والغنم غالب أموالهم ولا يزالون يباشرونها ويباشرون أماكنها في مقامهم وسفرهم مع كثرة الاحتفاء فيهم

‘Kotoran semacam ini, jika statusnya najis, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskannya. Sementara beliau tidak menjelaskannya, berarti tidak najis. Karena kotoran semacam ini banyak bersinggungan dengan manusia dan sering mereka sentuh. Terlebih bagi masyarakat di zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di utus, onta dan kambing adalah harta kekayaan mereka pada umumnya. Mereka selalu bersinggungan dengan binatang itu, menyentuh kandang binatang itu, ketika mukim maupun safar, disamping mereka juga memakaikan terompah untuknya.’ (Majmu’ Fatawa, 21/578).

Dengan demikian, kotoran burung gereja atau burung lainnya yang halal dimakan, statusnya tidak najis.

Allahu a’lam
Oleh Ustadz Ammi Nur Baits

Bab: Najiskah Kotoran Cecak?
Sebelum membahas mengenai cicak, perlu diketahui dahulu mengenai bahasan hewan yang tidak mengalir darahnya. Para ulama membahas mengenai hewan yang tidak mengalir darahnya atau yang tidak memiliki pembuluh darah. Yang dibahas oleh ulama dalam bab ini diantaranya mengenai bagaimana status bangkainya dan bagaimana status kotorannya. Diantara dalil yang digunakan dalam masalah ini adalah sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَالْأُخْرَى شِفَاءً

“Apabila lalat hinggap di minuman salah seorang dari kalian, maka hendaklah ia menenggelamkannya, kemudian membuangnya (lalatnya). Karena pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayap yang lain terdapat obatnya” (HR. Al Bukhari no. 3320).

Demikian juga hadits tentang ikan dan belalang, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أُحِلَّتْ لَكُمْ مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ

“Dihalalkan bagi kalian dua bangkai dan dua darah. Dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati (liver) dan limpa” (HR Ibnu Majah no. 3314, dan dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Maajah).

Jumhur ulama meng-qiyaskan (menganalogikan) semua binatang yang tidak mengalir darahnya pada belalang, ikan dan lalat. Ibnu Qudamah mengatakan:

النَّوْعُ الثَّانِي، مَا لَا نَفْسَ لَهُ سَائِلَةٌ، فَهُوَ طَاهِرٌ بِجَمِيعِ أَجْزَائِهِ وَفَضَلَاتِهِ

“jenis yang kedua: hewan yang tidak memiliki nafs (baca: darah) yang mengalir, ia suci semua bagian tubuhnya dan semua yang keluar darinya” (Al Mughni, 2/67).

Adapun zhahiriyyah, mereka menyelisihi pendapat jumhur dalam hal ini (mereka tidak sependapat dengan jumhur). Ibnu Hazm Al Andalusi menyatakan:

وَفَرَّقَ بَعْضُهُمْ بَيْنَ دَمِ مَا لَهُ نَفْسٌ سَائِلَةٌ وَدَمِ مَا لَيْسَ لَهُ نَفْسٌ سَائِلَةٌ، وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّهُ قَوْلٌ لَمْ يَأْتِ بِهِ قُرْآنٌ وَلَا سُنَّةٌ وَلَا إجْمَاعٌ وَلَا قَوْلُ صَاحِبٍ وَلَا قِيَاسٌ

“Sebagian ulama membedakan antara hewan yang mengalir darahnya dan yang tidak. Ini adalah kekeliruan. Karena ini adalah pendapat yang tidak didasari oleh dalil Al Qur’an, As Sunnah, ijma’, perkataan sahabat ataupun qiyas” (Al Muhalla, 1/117).

Yang rajih dalam hal ini adalah pendapat jumhur, karena berlaku qiyas yang shahih, insya Allah. Sehingga membedakan antara hewan yang mengalir darahnya dan yang tidak adalah dibenarkan. Dan hewan yang tidak mengalir darahnya itu suci bagian tubuhnya dan semua yang keluar dari tubuhnya.

Setelah mengetahui bahwa hewan yang tidak mengalir darahnya itu suci bagian tubuhnya dan semua yang keluar dari tubuhnya, maka sekarang yang menjadi masalah adalah apakah cicak termasuk hewan yang mengalir darahnya atau tidak. Karena darah cicak itu sedikit dan alirannya kecil, sehingga para ulama berbeda ijtihad dalam hal ini. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.

Sebagian ulama berpendapat bahwa cicak termasuk hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir. Imam An Nawawi, ulama Madzhab Syafi’i, menjelaskan:

وَأَمَّا الْوَزَغُ فَقَطَعَ الْجُمْهُورُ بِأَنَّهُ لَا نَفْسَ لَهُ سَائِلَةٌ: مِمَّنْ صَرَّحَ بِذَلِكَ الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ فِي تَعْلِيقِهِ والبندنيجي والقاضى حُسَيْنٌ وَصَاحِبُ الشَّامِلِ وَغَيْرُهُمْ وَنَقَلَ الْمَاوَرْدِيُّ فِيهِ وَجْهَيْنِ كَالْحَيَّةِ وَقَطَعَ الشَّيْخُ نَصْرٌ الْمَقْدِسِيُّ بِأَنَّ لَهُ نَفْسًا سَائِلَةً

“Adapun cicak, maka para jumhur ulama (Syafi’iyyah) berpendapat bahwa ia termasuk hewan yang tidak mengalir darahnya. Diantara yang menegaskan hal tersebut adalah Syaikh Abu Hamid dalam Ta’liq-nya, Al Bandaniji, Al Qadhi Husain, penulis kitab Asy Syamil, dan selain mereka. Dan dinukil dari Al Mawardi bahwasanya dalam hal ini ada dua pendapat, sebagaimana ular. Dan Syaikh Nashr Al Maqdisi menguatkan bahwa cicak itu memiliki darah yang mengalir” (Al Majmu’ Syarhul Muhazzab, 1/129).

Namun jumhur ulama, berpendapat bahwa cicak termasuk hewan yang memiliki darah yang mengalir. Ad Dasuqi Al Maliki mengatakan:

لَيْسَ مِمَّا لَا دَمَ لَهُ الْوَزَغُ وَالسَّحَالِي وَشَحْمَةُ الْأَرْضِ بَلْ هِيَ مِمَّا لَهُ نَفْسٌ سَائِلَةٌ

“Cicak, kadal, cacing merah, bukan termasuk hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir. Bahkan mereka termasuk hewan yang memiliki darah yang mengalir” (Hasyiyah Ad Dasuqi, 1/49).

Imam Ahmad juga berpendapat demikian dan ini yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menguatkan bahwa cicak memiliki darah yang mengalir. Beliau berkata:

وأما الوزغ؛ فقد قال الإمام أحمد ـ رحمه الله تعالى ـ : “إن له نفسا سائلة”(1) وعلى هذا تكون ميتته نجسة

“Adapun cicak, Imam Ahmad rahimahullahu ta’ala mengatakan: ia memiliki darah yang mengalir. Atas dasar ini maka bangkai cicak najis” (Syarhul Mumthi’, 1/449).

Selain itu juga dikuatkan juga oleh fakta bahwa cicak memiliki jantung dan sistem peredaran darah yang tertutup sebagaimana hewan-hewan yang memiliki darah mengalir para umumnya. Dijelaskan dalam Ensiklopedia Britannica:

“All groups of modern reptiles have a completely divided atrium; it is safe to assume, therefore, that this was true of most, if not all, extinct reptiles. In the four major living groups of reptiles, the ventricle is at least partially divided. When the two atria of a lizard’s heart contract, the two streams of blood (aerated blood from the lungs in the left atrium and nonaerated blood from the body in the right atrium) flow into the left chamber of the ventricle

Despite the peculiar and complex circulation, lizards, snakes, and crocodilians have achieved a double system. Tests of the blood in the various chambers and arteries have shown that the oxygen content in both systemic aortas is as high as that of the blood just received by the left atrium from the lungs and is much higher than that of the blood in the pulmonary artery”
(Sumber: https://www.britannica.com/animal/reptile/Circulatory-system).

Dengan demikian, yang rajih insya Allah, cicak adalah hewan yang memiliki darah yang mengalir, sehingga kotorannya dan bangkainya najis. Najisnya bangkai dan kotoran cicak ini juga merupakan pendapat jumhur ulama. Adapun jumhur ulama Syafi’iyyah berpendapat bangkai cicak kotoran cicak suci tidak najis.

Kesimpulan
Yang rajih adalah pendapat jumhur ulama, bahwa kotoran cicak dan juga bangkainya adalah termasuk najis. Sehingga wajib dihindari dan dibersihkan jika mengenai badan, pakaian atau tempat-tempat yang dipakai untuk beribadah. Wallahu a’lam.

Penulis: Yulian Purnama


---> Sedangkan menurut Muhammad Abduh Tuasikal, S.T., M.Sc., kebanyakan ulama berpendapat bahwa kotoran najis yang sedikit dari hewan yang sulit dihindari dimaafkan (al ‘afwu).
       Jika ada yang mau hati-hati dengan tetap menghindari kotoran tersebut pada baju dan tempat shalatnya, itu lebih baik. Wallahu a’lam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar