Surat Al-Ma'idah Ayat 8
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Tafsir Quraish Shihab:
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian senantiasa menjalankan perintah-perintah Allah dan melaksanakan persaksian di antara manusia dengan benar. Janganlah kebencian kalian yang sangat kepada suatu kaum membawa kalian untuk bersikap tidak adil kepada mereka. Tetaplah berlaku adil, karena keadilan merupakan jalan terdekat menuju ketakwaan kepada Allah dan menjauhi kemurkaan-Nya. Takutlah kalian kepada Allah dalam setiap urusan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui semua yang kalian perbuat dan Dia akan memberi balasan yang setimpal. Islam telah menyeru umat manusia untuk selalu konsisten dengan keadilan, baik dengan penguasa maupun dengan musuh. Maka, merupakan tindakan yang tidak benar kalau kebencian mengakibatkan perlakuan tidak adil. Hal itu diterapkan pada hubungan antar individu, dan hubungan antar institusi atau negara. Bersikap adil terhadap musuh diterangkan oleh al-Qur'ân secara sangat jelas, sebagai sikap yang mendekatkan diri kepada takwa. Seandainya prinsip keadilan itu diterapkan dalam hukum internasional, maka tidak akan ada peperangan. Dan kalau setiap agama mempunyai ciri khas tersendiri, maka ciri khas Islam adalah konsep tauhid dan keadilan.
Bab: Perbedaan 'Adl dan Qisth
Kedua term tersebut ('Adl dan Qisth) diterjemahkan sama yakni Adil. Namun sebenarnya keduanya memiliki makna yang berbeda.
Term Al-‘Adl
Term ‘adl adalah bentuk mashdar dari kata kerja (عَدَلَ – يَعْدِلُ – عَدْلاً – وَعُدُوْلاً - وَعَداَلَةً) .Kata kerja ini berakar pada huruf-huruf (عَيْن),(دَال), dan (لاَم), yang makna pokoknya adalah اَلْاِسْتِوَاء (keadaan lurus) dan اَلْاِعْوِجَاج (keadaan menyimpang). Term 'adil memiliki aspek dan objek yang beragam, begitu pula subjeknya. Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna ‘adl (keadilan).
Term ‘adl di dalam hukum Al-Qur’an هي إقا مة الحق بغير ظلم ialah menegakkan kebenaran tanpa penganiayaan. Adil bila dikaitkan dengan subjek adalah ia yang berlaku adil بغير ظلم هو لا خسرة ولا ظيا ع dengan tidak mendzalimi artinya dalam menegakkan keadilan itu ia tidak merugikan dan tidak pula menghilangkan hak bagi dirinya juga bagi pihak lain. Sehingga keadilan dengan menggunakan term ‘adl mengandung makna keseimbangan.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, adalah diartikan tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak pada yang benar, berpegang pada kebenaran, sepatutnya, dan tidak sewenang-wenang. Dan menurut ilmu akhlak ialah meletakkan sesuatu pada tempatnya, memberikan atau menerima sesuatu sesuai haknya, dan menghukum yang jahat sesuai haknya, dan menghukum yang jahat sesuai dan kesalahan dan pelanggaranya. Secara Bahasa, Adil Berasal dari bahasa arab yang berarti proporsional, tidak berat sebelah, jujur. Secara Istilah ada beberapa makna antara lain:
1. Menempatkan sesuatu pada tempatnya.
2. Menurut Al Ghozali adil adalah keseimbangan antara sesuatu yang lebih dan yang kurang
3. Menurut Ibnu Miskawaih keadilan adalah Memberikan sesuatu yang semestinya kepada orang yang berhak terhadap sesuatu itu.
Adil itu menempatkan sesuatu pada tempatnya, Kata adil dilawankan dengan kata dzalim yaitu menempatkan sesuatu yang bukan pada tempatnya.
Adil adalah memberikan hak kepada orang yang berhak menerimanya tanpa ada pengurangan, dan meletakkan segala urusan pada tempat yang sebenarnya tanpa ada aniaya, dan mengucapkan kalimat yang benar tanpa ada yang ditakuti kecuali terhadap Allah swt saja.
Bagaimana dengan Al Qisth?
Qisth arti asalnya adalah “bahagian” (yang wajar dan patut). Ini tidak harus mengantarkan adanya “persamaan”.
Imam Ghazali saat menerangkan sifat Allah al Muqsith (dalam bukunya Asma' al Husna), mengatakan bahwa al Muqsith adalah yang memenangkan/membela yang teraniaya dari yang menganiaya dengan menjadikan yang teraniaya dan menganiaya sama-sama rela, sama-sama puas dan senang dengan hasil yang diperoleh.
Jika demikian, al-qisth tidak hanya sekedar adil, karena ada keadilan yang tidak menyenangkan salah satu pihak. Al Qisth adalah adil tetapi sekaligus menjadikan kedua belah pihak, atau semua pihak, mendapatkan sesuatu yang menyenangkan. Atau dengan kata lain Al Qisth lebih dari sekedar adil, lebih dalam pandangannya, hingga dapat melihat sesuatu untuk memutuskan jauh lebih dalam dari sekedar adil.
---> Sehingga dalam Surat Al-Ma'idah Ayat 8, perintah menjadi saksi dengan adil menggunakan Qisth, sehingga ketika menjadi saksi, maka jadilah saksi yang adil, dan menyaksikan dengan pandangan yang dalam. Tidak hanya sekedar melihat saja, namun juga memperhatikan dengan seksama. Karena jika tidak mendalam, dikuatirkan keliru dalam persaksian. Dan ini sangat berbahaya.
Seperti kisah dalam hadits Ifki, yakni berita bohong karena persaksian yang salah, hanya melihat penampakan luarnya saja. Peristiwa ini terjadi ketika Aisyah ra tertinggal oleh pasukan Nabi SAW karena suatu sebab. Lalu Aisyah ra tertidur karena kantuk.
Kemudian Shafwan bin Al Mu'aththal As Sulami Adz Dzakwan mendatangi Aisyah ra dan menaikkannya ke tunggangannya. Sehingga Shafwan berjalan sambil menuntun tunggangan yang ditunggangi istri Nabi SAW (Aisyah ra) itu, hingga akhirnya dapat menyusul pasukan Nabi SAW.
Para gembong munafik yang menyaksikan hal tersebut segera menyebarkan kabar bohong, karena persaksian mereka yang dangkal dan salah total itu. (Selengkapnya: https://tausyiahaditya.blogspot.co.id/2013/01/fitnah-keji-terhadap-istri-nabi-saw.html)
Sedangkan dalam perintah supaya berlaku adil, dalam Surat Al-Ma'idah Ayat 8, menggunakan 'Adl. Yang bisa bermakna, minimal berbuat adil dengan menempatkan sesuatu pada "tempatnya" atau memberikan sesuatu yang semestinya kepada orang yang berhak terhadap sesuatu itu, secara kasat mata. Tidak sampai mendalam, karena kelemahan manusia itu sendiri. Wa Allahu 'alam.
Contoh lainnya:
1.) Allah menetapkan Neraca dan Memerintahkan untuk Menegakkannya bil Qisth, bukan bil 'Adl.
Surat Ar-Rahman Ayat 7
وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ
Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan).
Surat Ar-Rahman Ayat 8
أَلَّا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ
Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu.
Surat Ar-Rahman Ayat 9
وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ
Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.
2.) Kisah Nabi Sulaiman dan Dua Orang Ibu yang Anak Salah Seorang dari Keduanya Dicuri Srigala
Dahulu kala, di Zaman Nabi Sulaiman A.S, ada dua orang wanita yang masing-masing mempunyai seorang bayi. Tiba-tiba bayi wanita yang lebih tua diterkam oleh serigala. Kemudian, wanita itu berkata kepada wanita yang lebih muda, “Anakmu telah diterkam serigala dan yang selamat adalah bayiku.” Namun, wanita yang lebih muda menolak pengakuan tersebut. Dia mengatakan bahwa yang benar adalah serigala itu menerkam bayi wanita yang lebih tua.
Akhirnya, keduanya mengadukan perkara mereka kepada Nabi Dawud alaihi salam. Beliau alaihi salam tidak melihat yang lebih benar perkataannya, selain pengakuan wanita yang lebih tua. Maka beliau memutuskan bahwa bayi itu menjadi hak wanita yang lebih tua karena beliau merasa iba kepadanya. Adapun wanita yang lebih muda, mungkin nanti akan diberi rezeki lagi (seorang anak sebagai gantinya) oleh Allah subhanahu wata’ala. Namun, kasus kedua wanita itu akhirnya sampai kepada Nabi Sulaiman alaihi salam.
Singkat kata, Nabi Sulaiman alaihi salam berkata, “Ambilkan pisau, akan saya belah bayi itu untuk kalian berdua.” Ternyata, wanita yang lebih tua merelakannya. Namun, wanita yang lebih muda tidak sanggup melihat bayi itu dibelah. Dia pun berkata, “Dia adalah anak wanita itu, wahai Nabi Allah.” Wanita yang lebih muda ingin melihat bahwa tetap hidupnya bayi itu masih lebih baik, meskipun di tangan orang lain, daripada dia mati, inilah naluri seorang ibu!
Mendengar hal itu, Nabi Sulaiman alahi salam segera memahami bahwa naluri keibuan wanita yang lebih muda ternyata lebih kuat dan jelas. Maka beliau memutuskan bahwa bayi itu sesungguhnya bukanlah milik wanita yang lebih tua karena melihat bagaimana wanita itu merelakan bayi itu dibelah menjadi dua, padahal kalau bayi itu betul-betul buah hatinya, tidak mungkin seorang ibu akan tega melakukan hal yang demikian. Dari sini Nabi Sulaiman alaihi salam melihat bahwa yang mendorong hal itu dilakukan wanita yang lebih tua tidak lain karena iri dan dengki.
Nabi Dawud alaihi salam memutuskan dengan Adil namun Nabi Sulaiman alahi salam memutuskan dengan Qisth.
Teks Haditsnya:
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, “Ada dua orang wanita masing-masing dengan anaknya. Datanglah seekor serigala dan mencuri anak salah seorang dari keduanya berkata kepada yang lain, ‘Serigala itu mencuri anakmu.’ Yang lain menjawab,‘Anakmulah yang dicuri oleh serigala.’
Keduanya mengadukan hal itu kepada Dawud, maka Dawud memutuskan anak itu milik wanita yang lebih tua.
Keduanya pergi kepada Sulaiman dan menyampaikan hal itu. Sulaiman berkata, ‘Ambillah untukku pisau. Aku akan membelahnya untuk mereka berdua.’ Wanita muda berkata, ‘Jangan, semoga Allah merahmatimu. Anak ini adalah anaknya.’ Maka Sulaiman memutuskan anak ini adalah anak si wanita muda.”
Abu Hurairah berkata, “Demi Allah, inilah untuk pertama kalinya aku mendengar kata ‘sikkin’ (pisau). Kami selama ini mengatakannya ‘mudyah’ (pisau).”
(Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitab Ahadisil Anbiya’, bab biografi Sulaiman, 6/458 no. 342)
3.) Allah Memerintahkan untuk Menegakkan Keadilan dengan Qisth, bukan dengan 'Adl.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ ۚ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَىٰ أَنْ تَعْدِلُوا ۚ وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
4.) Allah Memerintahkan untuk Berlaku adil Terhadap Hak2 Perempuan Yatim yang Dinikahi dengan Qisth, bukan dengan 'Adl.
Namun menggunakan Term 'Adl ketika Memberikan syarat untuk Monogami.
Surat An-Nisa' Ayat 3
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Sesungguhnya dosa besar ketika menyakiti anak yatim, hak2 anak yatim harus dipenuhi dengan benar dan sangat adil (menggunakan Term Al Qisth) sehingga tidak boleh membuat mereka bersedih hati atau menyakiti hatinya. Jika takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim sehingga sulit bagi kamu untuk menghadapi mereka lalu kamu takut pula tidak akan dapat berlaku adil di antara wanita-wanita yang kamu kawini maka kawinilah di antara wanita-wanita itu, boleh dua, tiga atau empat tetapi tidak boleh lebih dari itu. Kemudian jika kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara mereka dalam giliran dan pembagian nafkah (menggunakan Term 'Adl, sehingga adil disini hanya secara kasat mata) maka hendaklah seorang saja yang kamu kawini atau hendaklah kamu batasi pada hamba sahaya yang menjadi milikmu. Yang demikian itu maksudnya mengawini empat orang istri atau seorang istri saja, atau mengambil hamba sahaya lebih dekat kepada "tidak berbuat aniaya".
Tafsir Jalalayn:
(Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim) sehingga sulit bagi kamu untuk menghadapi mereka lalu kamu takut pula tidak akan dapat berlaku adil di antara wanita-wanita yang kamu kawini (maka kawinilah) (apa) dengan arti siapa (yang baik di antara wanita-wanita itu bagi kamu dua, tiga atau empat orang) boleh dua, tiga atau empat tetapi tidak boleh lebih dari itu. (kemudian jika kamu tidak akan dapat berlaku adil) di antara mereka dalam giliran dan pembagian nafkah (maka hendaklah seorang saja) yang kamu kawini (atau) hendaklah kamu batasi pada (hamba sahaya yang menjadi milikmu) karena mereka tidak mempunyai hak-hak sebagaimana istri-istri lainnya. (Yang demikian itu) maksudnya mengawini empat orang istri atau seorang istri saja, atau mengambil hamba sahaya (lebih dekat) kepada (tidak berbuat aniaya) atau berlaku lalim.
Tafsir Quraish Shihab:
Jika kalian merasa takut berbuat lalim kepada anak-anak yatim, karena merupakan dosa besar, maka takutlah juga akan penderitaan yang dialami oleh istri-istri kalian jika kalian tidak berlaku adil kepada mereka dan jika kalian kawin dengan lebih dari empat istri.
Kawinilah, di antara mereka itu, dua, tiga atau empat, jika kalian yakin akan mampu berlaku adil.
Jika kalian merasa takut tidak bisa berlaku adil, maka cukup seorang saja. Atau, kawinilah budak-budak perempuan kalian. Hal itu lebih dekat untuk menghindari terjadinya kezaliman dan aniaya, juga lebih dekat untuk tidak memperbanyak anak, yang membuat kalian tidak mampu memberikan nafkah.
Prinsip poligami telah disyariatkan sebelumnya oleh agama-agama samawi selain Islam. Syariat Tawrât menetapkan seorang laki- laki boleh menikah dengan siapa saja yang dikehendakinya. Disebutkan bahwa para nabi menikah dengan puluhan wanita. Tawrât adalah kitab perjanjian lama yang menjadi rujukan orang Nasrani manakala mereka tidak menemukan ketentuan hukum dalam Injîl atau risalah-risalah rasul yang bertentangan dengannya. Akan tetapi belum pernah didapatkan ketentuan yang dengan jelas bertentangan dengan Injîl. Pada abad pertengahan, gereja membolehkan praktek poligami. Sebagaimana diketahui dalam sejarah Eropa, para raja banyak melakukan praktek poligami. Dalam hal ini, Islam berbeda dengan syariat agama samawi lainnya. Dalam agama Islam, poligami ada batasannya.
Islamlah agama samawi pertama yang membatasi poligami. Ada tiga syarat mengapa Islam membolehkan poligami.
Pertama, jumlah istri tidak boleh lebih dari empat. Kedua, suami tidak boleh berlaku zalim terhadap salah satu dari mereka (harus berbuat adil). Ketiga, suami harus mampu memberikan nafkah kepada semua istrinya. Para ahli fikih menetapkan ijmâ' (konsensus) bahwa barangsiapa merasa yakin dirinya tidak akan dapat bersikap adil terhadap wanita yang akan dinikahinya, maka pernikahan itu haram hukumnya. Namun, larangan itu hanya terbatas pada tataran etika keagamaan yang tidak masuk dalam larangan di bawah hukum peradilan. Alasannya, pertama, bersikap adil terhadap semua istri merupakan persoalan individu yang hanya diketahui oleh yang bersangkutan. Kedua, kemampuan memberi nafkah merupakan perkara nisbi yang tidak bisa dibatasi oleh satu ukuran tertentu. Ukurannya sesuai dengan pribadi masing-masing. Ketiga, sikap zalim atau tidak mampu memberi nafkah berkaitan dengan hal-hal yang akan terjadi kemudian. Kesahihan sebuah akad tidak bisa didasarkan pada prediksi, tetapi harus didasarkan pada hal-hal yang nyata. Kadang-kadang seorang yang zalim bisa menjadi adil, dan seorang yang kekurangan harta pada suatu saat akan mampu memberi nafkah. Sebab, harta kekayaan tidak bersifat langgeng. Meskipun demikian, Islam menentukan bila seorang suami berlaku zalim terhadap istrinya atau tidak mampu memberikan nafkah kepadanya, maka istri berhak menuntut cerai. Namun demikian, juga tidak ada larangan bagi suami untuk tetap meneruskan ikatan pernikahannya bila hal itu merupakan pilihan dan kehendaknya. Dengan membolehkan poligami yang dipersempit dengan syarat-syarat di atas, Islam telah menanggulangi berbagai masalah sosial, di antaranya: Pertama, ada kemungkinan jumlah laki-laki berada di bawah jumlah wanita, terutama pada masa-masa setelah terjadi perang. Maka merupakan kehormatan bagi seorang wanita untuk menjadi istri, meskipun harus dimadu, daripada harus berpindah-pindah dari satu lelaki ke lelaki lain. Kedua, kadang-kadang terdapat laki-laki dan perempuan yang tidak bisa untuk tidak melakukan hubungan seksual, baik secara sah atau tidak. Maka, demi kemaslahatan umum, akan lebih baik kalau hubungan itu dilegitimasi oleh agama. Bagi wanita, lebih baik menjadi istri daripada berpindah tangan dari yang satu kepada yang lainnya. Meskipun dibolehkannya poligami ini memiliki dampak negatif, tetapi dampak itu jauh lebih kecil daripada jika poligami dilarang, sebab terbukti dapat mencegah terjadinya masalah sosial yang lebih besar dari sekadar berpoligami. Ketiga, tidak mungkin seorang wanita kawin dengan laki-laki beristri kecuali dalam keadaan terpaksa. Kalaupun istri pertama akan menderita lantaran suaminya kawin lagi dengan wanita lain, maka wanita lain itu juga akan mengalami penderitaan lebih besar jika tidak dikawini. Sebab ia bisa menjadi kehilangan harkatnya sebagai wanita atau menjadi wanita tuna susila. Sesuai dengan kaidah yurisprudensi Islam, Ushûl al-Fiqh, risiko yang besar dapat dihindari dengan menempuh risiko yang lebih kecil. Keempat, kadangkala seorang istri menderita penyakit yang membuatnya tidak bisa melakukan hubungan seksual atau mengalami kemandulan. Maka perkawinan dengan wanita lain akan membawa dampak positif bagi yang bersangkutan, di samping dampak sosial. Karena itulah Islam membuka pintu poligami dengan sedikit pembatasan, tidak menutupnya rapat-rapat. Islam adalah syariat Allah yang mengetahui segala sesuatu. Dia Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.
Khusus masalah Poligami, ini adalah artikel lengkapnya: https://tausyiahaditya.blogspot.co.id/2013/01/bagaimanakah-poligami-dalam-islam.html
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Tafsir Quraish Shihab:
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian senantiasa menjalankan perintah-perintah Allah dan melaksanakan persaksian di antara manusia dengan benar. Janganlah kebencian kalian yang sangat kepada suatu kaum membawa kalian untuk bersikap tidak adil kepada mereka. Tetaplah berlaku adil, karena keadilan merupakan jalan terdekat menuju ketakwaan kepada Allah dan menjauhi kemurkaan-Nya. Takutlah kalian kepada Allah dalam setiap urusan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui semua yang kalian perbuat dan Dia akan memberi balasan yang setimpal. Islam telah menyeru umat manusia untuk selalu konsisten dengan keadilan, baik dengan penguasa maupun dengan musuh. Maka, merupakan tindakan yang tidak benar kalau kebencian mengakibatkan perlakuan tidak adil. Hal itu diterapkan pada hubungan antar individu, dan hubungan antar institusi atau negara. Bersikap adil terhadap musuh diterangkan oleh al-Qur'ân secara sangat jelas, sebagai sikap yang mendekatkan diri kepada takwa. Seandainya prinsip keadilan itu diterapkan dalam hukum internasional, maka tidak akan ada peperangan. Dan kalau setiap agama mempunyai ciri khas tersendiri, maka ciri khas Islam adalah konsep tauhid dan keadilan.
Bab: Perbedaan 'Adl dan Qisth
Kedua term tersebut ('Adl dan Qisth) diterjemahkan sama yakni Adil. Namun sebenarnya keduanya memiliki makna yang berbeda.
Term Al-‘Adl
Term ‘adl adalah bentuk mashdar dari kata kerja (عَدَلَ – يَعْدِلُ – عَدْلاً – وَعُدُوْلاً - وَعَداَلَةً) .Kata kerja ini berakar pada huruf-huruf (عَيْن),(دَال), dan (لاَم), yang makna pokoknya adalah اَلْاِسْتِوَاء (keadaan lurus) dan اَلْاِعْوِجَاج (keadaan menyimpang). Term 'adil memiliki aspek dan objek yang beragam, begitu pula subjeknya. Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna ‘adl (keadilan).
Term ‘adl di dalam hukum Al-Qur’an هي إقا مة الحق بغير ظلم ialah menegakkan kebenaran tanpa penganiayaan. Adil bila dikaitkan dengan subjek adalah ia yang berlaku adil بغير ظلم هو لا خسرة ولا ظيا ع dengan tidak mendzalimi artinya dalam menegakkan keadilan itu ia tidak merugikan dan tidak pula menghilangkan hak bagi dirinya juga bagi pihak lain. Sehingga keadilan dengan menggunakan term ‘adl mengandung makna keseimbangan.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, adalah diartikan tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak pada yang benar, berpegang pada kebenaran, sepatutnya, dan tidak sewenang-wenang. Dan menurut ilmu akhlak ialah meletakkan sesuatu pada tempatnya, memberikan atau menerima sesuatu sesuai haknya, dan menghukum yang jahat sesuai haknya, dan menghukum yang jahat sesuai dan kesalahan dan pelanggaranya. Secara Bahasa, Adil Berasal dari bahasa arab yang berarti proporsional, tidak berat sebelah, jujur. Secara Istilah ada beberapa makna antara lain:
1. Menempatkan sesuatu pada tempatnya.
2. Menurut Al Ghozali adil adalah keseimbangan antara sesuatu yang lebih dan yang kurang
3. Menurut Ibnu Miskawaih keadilan adalah Memberikan sesuatu yang semestinya kepada orang yang berhak terhadap sesuatu itu.
Adil itu menempatkan sesuatu pada tempatnya, Kata adil dilawankan dengan kata dzalim yaitu menempatkan sesuatu yang bukan pada tempatnya.
Adil adalah memberikan hak kepada orang yang berhak menerimanya tanpa ada pengurangan, dan meletakkan segala urusan pada tempat yang sebenarnya tanpa ada aniaya, dan mengucapkan kalimat yang benar tanpa ada yang ditakuti kecuali terhadap Allah swt saja.
Bagaimana dengan Al Qisth?
Qisth arti asalnya adalah “bahagian” (yang wajar dan patut). Ini tidak harus mengantarkan adanya “persamaan”.
Imam Ghazali saat menerangkan sifat Allah al Muqsith (dalam bukunya Asma' al Husna), mengatakan bahwa al Muqsith adalah yang memenangkan/membela yang teraniaya dari yang menganiaya dengan menjadikan yang teraniaya dan menganiaya sama-sama rela, sama-sama puas dan senang dengan hasil yang diperoleh.
Jika demikian, al-qisth tidak hanya sekedar adil, karena ada keadilan yang tidak menyenangkan salah satu pihak. Al Qisth adalah adil tetapi sekaligus menjadikan kedua belah pihak, atau semua pihak, mendapatkan sesuatu yang menyenangkan. Atau dengan kata lain Al Qisth lebih dari sekedar adil, lebih dalam pandangannya, hingga dapat melihat sesuatu untuk memutuskan jauh lebih dalam dari sekedar adil.
---> Sehingga dalam Surat Al-Ma'idah Ayat 8, perintah menjadi saksi dengan adil menggunakan Qisth, sehingga ketika menjadi saksi, maka jadilah saksi yang adil, dan menyaksikan dengan pandangan yang dalam. Tidak hanya sekedar melihat saja, namun juga memperhatikan dengan seksama. Karena jika tidak mendalam, dikuatirkan keliru dalam persaksian. Dan ini sangat berbahaya.
Seperti kisah dalam hadits Ifki, yakni berita bohong karena persaksian yang salah, hanya melihat penampakan luarnya saja. Peristiwa ini terjadi ketika Aisyah ra tertinggal oleh pasukan Nabi SAW karena suatu sebab. Lalu Aisyah ra tertidur karena kantuk.
Kemudian Shafwan bin Al Mu'aththal As Sulami Adz Dzakwan mendatangi Aisyah ra dan menaikkannya ke tunggangannya. Sehingga Shafwan berjalan sambil menuntun tunggangan yang ditunggangi istri Nabi SAW (Aisyah ra) itu, hingga akhirnya dapat menyusul pasukan Nabi SAW.
Para gembong munafik yang menyaksikan hal tersebut segera menyebarkan kabar bohong, karena persaksian mereka yang dangkal dan salah total itu. (Selengkapnya: https://tausyiahaditya.blogspot.co.id/2013/01/fitnah-keji-terhadap-istri-nabi-saw.html)
Sedangkan dalam perintah supaya berlaku adil, dalam Surat Al-Ma'idah Ayat 8, menggunakan 'Adl. Yang bisa bermakna, minimal berbuat adil dengan menempatkan sesuatu pada "tempatnya" atau memberikan sesuatu yang semestinya kepada orang yang berhak terhadap sesuatu itu, secara kasat mata. Tidak sampai mendalam, karena kelemahan manusia itu sendiri. Wa Allahu 'alam.
Contoh lainnya:
1.) Allah menetapkan Neraca dan Memerintahkan untuk Menegakkannya bil Qisth, bukan bil 'Adl.
Surat Ar-Rahman Ayat 7
وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ
Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan).
Surat Ar-Rahman Ayat 8
أَلَّا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ
Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu.
Surat Ar-Rahman Ayat 9
وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ
Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.
2.) Kisah Nabi Sulaiman dan Dua Orang Ibu yang Anak Salah Seorang dari Keduanya Dicuri Srigala
Dahulu kala, di Zaman Nabi Sulaiman A.S, ada dua orang wanita yang masing-masing mempunyai seorang bayi. Tiba-tiba bayi wanita yang lebih tua diterkam oleh serigala. Kemudian, wanita itu berkata kepada wanita yang lebih muda, “Anakmu telah diterkam serigala dan yang selamat adalah bayiku.” Namun, wanita yang lebih muda menolak pengakuan tersebut. Dia mengatakan bahwa yang benar adalah serigala itu menerkam bayi wanita yang lebih tua.
Akhirnya, keduanya mengadukan perkara mereka kepada Nabi Dawud alaihi salam. Beliau alaihi salam tidak melihat yang lebih benar perkataannya, selain pengakuan wanita yang lebih tua. Maka beliau memutuskan bahwa bayi itu menjadi hak wanita yang lebih tua karena beliau merasa iba kepadanya. Adapun wanita yang lebih muda, mungkin nanti akan diberi rezeki lagi (seorang anak sebagai gantinya) oleh Allah subhanahu wata’ala. Namun, kasus kedua wanita itu akhirnya sampai kepada Nabi Sulaiman alaihi salam.
Singkat kata, Nabi Sulaiman alaihi salam berkata, “Ambilkan pisau, akan saya belah bayi itu untuk kalian berdua.” Ternyata, wanita yang lebih tua merelakannya. Namun, wanita yang lebih muda tidak sanggup melihat bayi itu dibelah. Dia pun berkata, “Dia adalah anak wanita itu, wahai Nabi Allah.” Wanita yang lebih muda ingin melihat bahwa tetap hidupnya bayi itu masih lebih baik, meskipun di tangan orang lain, daripada dia mati, inilah naluri seorang ibu!
Mendengar hal itu, Nabi Sulaiman alahi salam segera memahami bahwa naluri keibuan wanita yang lebih muda ternyata lebih kuat dan jelas. Maka beliau memutuskan bahwa bayi itu sesungguhnya bukanlah milik wanita yang lebih tua karena melihat bagaimana wanita itu merelakan bayi itu dibelah menjadi dua, padahal kalau bayi itu betul-betul buah hatinya, tidak mungkin seorang ibu akan tega melakukan hal yang demikian. Dari sini Nabi Sulaiman alaihi salam melihat bahwa yang mendorong hal itu dilakukan wanita yang lebih tua tidak lain karena iri dan dengki.
Nabi Dawud alaihi salam memutuskan dengan Adil namun Nabi Sulaiman alahi salam memutuskan dengan Qisth.
Teks Haditsnya:
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, “Ada dua orang wanita masing-masing dengan anaknya. Datanglah seekor serigala dan mencuri anak salah seorang dari keduanya berkata kepada yang lain, ‘Serigala itu mencuri anakmu.’ Yang lain menjawab,‘Anakmulah yang dicuri oleh serigala.’
Keduanya mengadukan hal itu kepada Dawud, maka Dawud memutuskan anak itu milik wanita yang lebih tua.
Keduanya pergi kepada Sulaiman dan menyampaikan hal itu. Sulaiman berkata, ‘Ambillah untukku pisau. Aku akan membelahnya untuk mereka berdua.’ Wanita muda berkata, ‘Jangan, semoga Allah merahmatimu. Anak ini adalah anaknya.’ Maka Sulaiman memutuskan anak ini adalah anak si wanita muda.”
Abu Hurairah berkata, “Demi Allah, inilah untuk pertama kalinya aku mendengar kata ‘sikkin’ (pisau). Kami selama ini mengatakannya ‘mudyah’ (pisau).”
(Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitab Ahadisil Anbiya’, bab biografi Sulaiman, 6/458 no. 342)
3.) Allah Memerintahkan untuk Menegakkan Keadilan dengan Qisth, bukan dengan 'Adl.
Surat An-Nisa' Ayat 135
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ ۚ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَىٰ أَنْ تَعْدِلُوا ۚ وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
4.) Allah Memerintahkan untuk Berlaku adil Terhadap Hak2 Perempuan Yatim yang Dinikahi dengan Qisth, bukan dengan 'Adl.
Namun menggunakan Term 'Adl ketika Memberikan syarat untuk Monogami.
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Sesungguhnya dosa besar ketika menyakiti anak yatim, hak2 anak yatim harus dipenuhi dengan benar dan sangat adil (menggunakan Term Al Qisth) sehingga tidak boleh membuat mereka bersedih hati atau menyakiti hatinya. Jika takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim sehingga sulit bagi kamu untuk menghadapi mereka lalu kamu takut pula tidak akan dapat berlaku adil di antara wanita-wanita yang kamu kawini maka kawinilah di antara wanita-wanita itu, boleh dua, tiga atau empat tetapi tidak boleh lebih dari itu. Kemudian jika kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara mereka dalam giliran dan pembagian nafkah (menggunakan Term 'Adl, sehingga adil disini hanya secara kasat mata) maka hendaklah seorang saja yang kamu kawini atau hendaklah kamu batasi pada hamba sahaya yang menjadi milikmu. Yang demikian itu maksudnya mengawini empat orang istri atau seorang istri saja, atau mengambil hamba sahaya lebih dekat kepada "tidak berbuat aniaya".
Tafsir Jalalayn:
(Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim) sehingga sulit bagi kamu untuk menghadapi mereka lalu kamu takut pula tidak akan dapat berlaku adil di antara wanita-wanita yang kamu kawini (maka kawinilah) (apa) dengan arti siapa (yang baik di antara wanita-wanita itu bagi kamu dua, tiga atau empat orang) boleh dua, tiga atau empat tetapi tidak boleh lebih dari itu. (kemudian jika kamu tidak akan dapat berlaku adil) di antara mereka dalam giliran dan pembagian nafkah (maka hendaklah seorang saja) yang kamu kawini (atau) hendaklah kamu batasi pada (hamba sahaya yang menjadi milikmu) karena mereka tidak mempunyai hak-hak sebagaimana istri-istri lainnya. (Yang demikian itu) maksudnya mengawini empat orang istri atau seorang istri saja, atau mengambil hamba sahaya (lebih dekat) kepada (tidak berbuat aniaya) atau berlaku lalim.
Tafsir Quraish Shihab:
Jika kalian merasa takut berbuat lalim kepada anak-anak yatim, karena merupakan dosa besar, maka takutlah juga akan penderitaan yang dialami oleh istri-istri kalian jika kalian tidak berlaku adil kepada mereka dan jika kalian kawin dengan lebih dari empat istri.
Kawinilah, di antara mereka itu, dua, tiga atau empat, jika kalian yakin akan mampu berlaku adil.
Jika kalian merasa takut tidak bisa berlaku adil, maka cukup seorang saja. Atau, kawinilah budak-budak perempuan kalian. Hal itu lebih dekat untuk menghindari terjadinya kezaliman dan aniaya, juga lebih dekat untuk tidak memperbanyak anak, yang membuat kalian tidak mampu memberikan nafkah.
Prinsip poligami telah disyariatkan sebelumnya oleh agama-agama samawi selain Islam. Syariat Tawrât menetapkan seorang laki- laki boleh menikah dengan siapa saja yang dikehendakinya. Disebutkan bahwa para nabi menikah dengan puluhan wanita. Tawrât adalah kitab perjanjian lama yang menjadi rujukan orang Nasrani manakala mereka tidak menemukan ketentuan hukum dalam Injîl atau risalah-risalah rasul yang bertentangan dengannya. Akan tetapi belum pernah didapatkan ketentuan yang dengan jelas bertentangan dengan Injîl. Pada abad pertengahan, gereja membolehkan praktek poligami. Sebagaimana diketahui dalam sejarah Eropa, para raja banyak melakukan praktek poligami. Dalam hal ini, Islam berbeda dengan syariat agama samawi lainnya. Dalam agama Islam, poligami ada batasannya.
Islamlah agama samawi pertama yang membatasi poligami. Ada tiga syarat mengapa Islam membolehkan poligami.
Pertama, jumlah istri tidak boleh lebih dari empat. Kedua, suami tidak boleh berlaku zalim terhadap salah satu dari mereka (harus berbuat adil). Ketiga, suami harus mampu memberikan nafkah kepada semua istrinya. Para ahli fikih menetapkan ijmâ' (konsensus) bahwa barangsiapa merasa yakin dirinya tidak akan dapat bersikap adil terhadap wanita yang akan dinikahinya, maka pernikahan itu haram hukumnya. Namun, larangan itu hanya terbatas pada tataran etika keagamaan yang tidak masuk dalam larangan di bawah hukum peradilan. Alasannya, pertama, bersikap adil terhadap semua istri merupakan persoalan individu yang hanya diketahui oleh yang bersangkutan. Kedua, kemampuan memberi nafkah merupakan perkara nisbi yang tidak bisa dibatasi oleh satu ukuran tertentu. Ukurannya sesuai dengan pribadi masing-masing. Ketiga, sikap zalim atau tidak mampu memberi nafkah berkaitan dengan hal-hal yang akan terjadi kemudian. Kesahihan sebuah akad tidak bisa didasarkan pada prediksi, tetapi harus didasarkan pada hal-hal yang nyata. Kadang-kadang seorang yang zalim bisa menjadi adil, dan seorang yang kekurangan harta pada suatu saat akan mampu memberi nafkah. Sebab, harta kekayaan tidak bersifat langgeng. Meskipun demikian, Islam menentukan bila seorang suami berlaku zalim terhadap istrinya atau tidak mampu memberikan nafkah kepadanya, maka istri berhak menuntut cerai. Namun demikian, juga tidak ada larangan bagi suami untuk tetap meneruskan ikatan pernikahannya bila hal itu merupakan pilihan dan kehendaknya. Dengan membolehkan poligami yang dipersempit dengan syarat-syarat di atas, Islam telah menanggulangi berbagai masalah sosial, di antaranya: Pertama, ada kemungkinan jumlah laki-laki berada di bawah jumlah wanita, terutama pada masa-masa setelah terjadi perang. Maka merupakan kehormatan bagi seorang wanita untuk menjadi istri, meskipun harus dimadu, daripada harus berpindah-pindah dari satu lelaki ke lelaki lain. Kedua, kadang-kadang terdapat laki-laki dan perempuan yang tidak bisa untuk tidak melakukan hubungan seksual, baik secara sah atau tidak. Maka, demi kemaslahatan umum, akan lebih baik kalau hubungan itu dilegitimasi oleh agama. Bagi wanita, lebih baik menjadi istri daripada berpindah tangan dari yang satu kepada yang lainnya. Meskipun dibolehkannya poligami ini memiliki dampak negatif, tetapi dampak itu jauh lebih kecil daripada jika poligami dilarang, sebab terbukti dapat mencegah terjadinya masalah sosial yang lebih besar dari sekadar berpoligami. Ketiga, tidak mungkin seorang wanita kawin dengan laki-laki beristri kecuali dalam keadaan terpaksa. Kalaupun istri pertama akan menderita lantaran suaminya kawin lagi dengan wanita lain, maka wanita lain itu juga akan mengalami penderitaan lebih besar jika tidak dikawini. Sebab ia bisa menjadi kehilangan harkatnya sebagai wanita atau menjadi wanita tuna susila. Sesuai dengan kaidah yurisprudensi Islam, Ushûl al-Fiqh, risiko yang besar dapat dihindari dengan menempuh risiko yang lebih kecil. Keempat, kadangkala seorang istri menderita penyakit yang membuatnya tidak bisa melakukan hubungan seksual atau mengalami kemandulan. Maka perkawinan dengan wanita lain akan membawa dampak positif bagi yang bersangkutan, di samping dampak sosial. Karena itulah Islam membuka pintu poligami dengan sedikit pembatasan, tidak menutupnya rapat-rapat. Islam adalah syariat Allah yang mengetahui segala sesuatu. Dia Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.
Khusus masalah Poligami, ini adalah artikel lengkapnya: https://tausyiahaditya.blogspot.co.id/2013/01/bagaimanakah-poligami-dalam-islam.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar