Bermimpi ketemu Nabi shallallahu 'alahi wasallam merupakan perkara yang mungkin terjadi berdasarkan dalil-dalil yang shahih. Akan tetapi para ulama telah sepakat jika seseorang bermimpi bertemu dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun, lalu Nabi menyampaikan sesuatu dalam mimpi tersebut maka mimpi tersebut tidak bisa dijadikan dalil dalam penentuan hukum yang baru, apalagi sampai merubah atau memansukhkan suatu hukum.
Demikian juga halnya jika Nabi mengabarkan hal yang ghoib tentang masa depan. Paling banter hanya sebagai 'isti'naas (penguat) saja dan bukan penentu atau kepastian.
Berikut ini perkataan ulama madzhab Syafi'iyyah tentang hal ini.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :
"Sesungguhnya barang siapa yang melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam mimpi maka ia telah melihatnya sesungguhnya. Dan sesungguhnya syaitan tidak bisa menyerupai bentuk Nabi. Akan tetapi tidak diamalkan apa yang didengar oleh seorang yang mimpi dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam mimpi, tentang apa yang berkaitan dengan hukum. Karena orang yang mimpi tidak dhobith (tidak memiliki kemampuan menangkap dan menghafalkan berita atau riwayat yang didengarnya-pen) bukan dari sisi ragu akan mimpinya melihat Nabi akan tetapi suatu khobar/berita tidaklah diterima kecuali dari seseorang yang dhobith mukallaf. Adapun seorang yang sedang tidur tidaklah demikian" (Roudhotut Thoolibin 7/16)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah juga berkata :
لَوْ كَانَتْ لَيْلَةُ الثَّلَاثِينَ مِنْ شَعْبَانَ وَلَمْ يَرَ النَّاسُالْهِلَالَ فَرَأَى إنْسَانٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَنَامِ فَقَالَ لَهُ اللَّيْلَةُ أَوَّلُ رَمَضَانَ لَمْ يَصِحَّ الصَّوْمُ بِهَذَا
الْمَنَامِ لَا لِصَاحِبِ الْمَنَامِ وَلَا لغيره ذكره القاضي حسين فِي الْفَتَاوَى وَآخَرُونَ مِنْ أَصْحَابِنَا وَنَقَلَ الْقَاضِي عِيَاضٌالْإِجْمَاعَ عَلَيْهِ
"Kalau seandainya pada malam hari ke 30 bulan Sya'ban, dan orang-orang tidak ada yang melihat hilal, lalu ada seseorang melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam mimpinya, lalu Nabi berkata kepadanya, "Malam ini adalah malam pertama bulan Ramadhan" maka berpuasa dengan berdalil pada mimpi tersebut tidaklah sah, tidak sah bagi orang yang bermimpi demikian juga tidak sah bagi selainnya.
Hal ini telah disebutkan oleh Al-Qoodhi Husain dalam fatwa-fatwanya, demikian juga para ulama Syafi'iyah yang lainnya. Dan Al-Qoodhi 'Iyaadh menukilkan ijmak akan hal ini"
Al-Imam An-Nawawi melanjutkan :
وَقَدْ قَرَّرْتُهُ بِدَلَائِلِهِ فِي أَوَّلِ شَرْحِ صَحِيحِ مُسْلِمٍ وَمُخْتَصَرُهُ أَنَّ شَرْطَ الرَّاوِي وَالْمُخْبِرَ وَالشَّاهِدَ أَنْ يَكُونَ مُتَيَقِّظًا حَالِ التَّحَمُّلِ وَهَذَا مُجْمَعٌ عَلَيْهِ وَمَعْلُومٌ أَنَّ
النَّوْمَ لَا تَيَقُّظَ فِيهِ وَلَا ضَبْطَ فَتُرِكَ الْعَمَلُ بِهَذَا الْمَنَامِ لِاخْتِلَالِ ضَبْطِ الرَّاوِي لَا لِلشَّكِّ فِي الرُّؤْيَةِ
Aku telah menjelaskan dengan disertai dalil-dalil di awal dari (kitab) Syarh Shahih Muslim…, bahwasanya syarat seorang perawi dan pembawa kabar berita, serta syarat seorang saksi, adalah harus dalam keadaan sadar/terjaga tatkala menerima berita. Dan ini merupakan perkara yang disepakati (ijmak) para ulama. Dan tentunya pada tidur tidak ada sikap terjaga dan juga tidak ada sifat ad-dobth, maka ditinggalkan mengamalkan mimpi ini, dikarenakan ketidakberesan dhobth sang perawi, bukan karena ragu tentang mimpinya" (Al-Majmuu' 6/281-282)
Al-Imam An-Nawawi juga berkata :
فنقلوا الاتفاق على أنه لا يغير بسبب ما يراه النائم ما تقرر فى الشرع وليس هذا الذى ذكرناه مخالفا لقوله صلى الله عليه وسلم من رآنى فى المنام فقد
رآنى فان معنى الحديث أن رؤيته صحيحة وليست من أضغاث الاحلام وتلبيس الشيطان ولكن لا يجوز اثبات حكم شرعى به لأن حالة النوم ليست حالة
ضبط وتحقيق لما يسمعه الرائى وقد اتفقوا على أن من شرط من تقبل روايته وشهادته أن يكون متيقظا لا مغفلا ولا سىء الحفظ ولا كثير الخطأ ولا
مختل الضبط والنائم ليس بهذه الصفة فلم تقبل روايته لاختلال ضبطه ... أما اذا رأى النبى صلى الله عليه و سلم يأمره بفعل ما هو مندوب إليه أو ينهاه
عن منهى عنه أو يرشده إلى فعل مصلحة فلا خلاف فى استحباب العمل على وفقه لأن ذلك ليس حكما بمجرد المنام بل تقرر من أصل ذلك الشيء والله
أعلم
"Mereka (para ulama syafi'iyyah) telah menukilkan kesepakatan bahwasanya apa yang dilihat oleh orang yang mimpi tidaklah merubah hukum yang telah berlaku dalam syari'at. Dan apa yang kami sebutkan ini tidaklah bertentangan dengan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
مَنْ رآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي
"Barang siapa yang melihatku dalam mimpi maka sungguh ia telah melihatku"
Karena makna hadits ini adalah bahwasanya mimpi melihat Nabi adalah benar dan bukan dari jenis mimpi-mimpi kosong dan tipuan syaitan, akan tetapi tidak boleh menetapkan hukum syari'at dengan mimpi tersebut. Karena kondisi tidur bukanlah kondisi dhobth dan tahqiq terhadap apa yang didengar oleh orang yang mimpi tersebut. Mereka telah bersepakat bahwasanya diantara syarat seseorang diterima riwayatnya dan persaksiannya adalah ia harus dalam keadaan terjaga, bukan dalam keadaan lalai, buruk hafalan, banyak salahnya, dan tidak beres dhobithnya. Dan orang yang sedang tidur tidak memiliki sifat-sifat ini maka tidaklah diterima riwayatnya karena ketidakberesan dhobithnya…
Adapun jika ia melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (dalam mimpi) memerintahkannya untuk melakukan perkara yang dianjurkan atau melarangnya dari perkara yang dilarang atau mengarahkannya untuk melakukan suatu kemaslahatan maka tidak ada khilaf tentang disukainya mengerjakan mimpi tersebut, karena hal ini bukanlah penetapan suatu hukum karena hanya sekedar mimpi, akan tetapi memang sudah ditetapkan oleh hukum asalnya sesuatu tersebut" (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 1/115)
Syaikhul Islaam Zakariya Al-Anshoori berkata :
وَرُؤْيَتُهُ في النَّوْمِ حَقٌّ فإن الشَّيْطَانَ لَا يَتَمَثَّلُ بِهِ كما ثَبَتَ ذلك في الصَّحِيحَيْنِ وَلَا يُعْمَلُ بها فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِالْأَحْكَامِ لِعَدَمِ ضَبْطِ النَّائِمِ لَا لِلشَّكِّ في رُؤْيَتِهِ
"Dan melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam mimpi adalah kebenaran, karena Syaithan tidak bisa meniru Nabi sebagaimana telah valid dalam shahih Al-Bukhari dan shahih Muslim, dan tidaklah diamalkan mimpi tersebut tentang apa-apa yang berkaitan dengan hukum-hukum dikarenakan tidak adanya dhobth dari orang yang mimpi, bukan karena keraguan akan benarnya ia mimpi" (Asna Al-Mathoolib 3/106)
Syaitan Tidak Bisa Meniru Rupa dan Sifat Nabi Tapi Bisa Mengaku Sebagai Nabi
Diantara cara syaitan menyesatkan sebagian orang adalah dengan datang melalui mimpi mereka dengan mengaku sebagai Rasulullah lalu mengajarkan kepada mereka hal-hal yang bertentangan dengan syari'at Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Memang benar bahwasanya Syaitan tidak bisa meniru rupa dan bentuk Nabi meskipun dalam mimpi, akan tetapi syaitan bisa mengaku sebagai Nabi dengan rupa selain rupa Nabi.
Dari Abu Hurairoh radhiallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي حقاً، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَمَثَّلُ بِي
"Barang siapa yang melihatku di mimpi maka ia sungguh telah melihatku, karena syaitan tidak bisa meniruku" (HR Al-Bukhari no 110 dan Muslim no 2266)
Dari Abu Qotaadah radhiallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
وَإِنَّ الشَّيْطَانَ لاَ يَتَرَاءَى بِي
"Dan sesungguhnya syaitan tidak bisa menampakkan dirinya dengan rupaku" (HR Al-Bukhari no 6995)
Dalam hadits Anas bin Malik radhiallahu 'anhu, dengan lafal
فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لاَ يَتَخَيَّلُ بِي
"Karena syaitan tidak bisa menkhayalkan menjadi diriku" (HR Al-Bukhari no 6994)
Karenanya barang siapa yang melihat Nabi dalam mimpinya sebagaimana sifat-sifat fisik Nabi yang ma'ruuf (sebagaimana sifat-sifatnya telah tersebutkan dalam hadits-hadits dan juga kitab syama'il) maka sungguh ia telah benar melihat Nabi, karena syaitan tidak bisa meniru Nabi dan tidak bisa menampakkan dirinya dengan rupa Nabi.
Adapun jika seseorang melihat dalam mimpinya ada yang mengaku sebagai Nabi akan tetapi ternyata sifat-sifatnya menyelisihi dengan sifat-sifat Nabi yang ma'ruuf maka bukan Nabilah yang telah ia lihat, akan tetapi syaitan yang mengaku sebagai Nabi.
Inilah pendapat yang benar yang sesuai dengan dzohir hadits-hadits tentang melihat Nabi dalam mimpi, dan juga sesuai dengan praktek para sahabat dan tabi'in. Jika ada orang yang mengaku melihat Nabi dalam mimpinya dan ternyata tidak sesuai dengan sifat-sifat Nabi maka di sisi mereka dia tidaklah melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Al-Hakim meriwayatkan :
مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي إِنَّ » : عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَبِي، أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِنَّهُ » : قَالَ أَبِي: فَحَدَّثْتُ بِهِ ابْنَ عَبَّاسٍ، وَقُلْتُ: قَدْ رَأَيْتُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرْتُ الْحَسَنَ بْنَ عَلِيٍّ فَشَبَّهْتُهُ بِهِ، فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ « الشَّيْطَانَ لَا يَتَمَثَّلُ بِي
كَانَ يُشْبِهُهُ »
Dari 'Ashim bin Kulaib ia berkata, "Ayahku (Kulaib) menyampaikan kepadaku bahwa ia mendengar Abu Huroiroh berkata : Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda, "Barang siapa yang melihatku dalam mimpi maka sungguh ia telah melihatku, karena syaitan tidak bisa meniruku". Akupun menyampaikan hadits ini kepada Ibnu Abbas, dan aku berkata kepadanya, "Aku telah melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (dalam mimpi). Lalu akupun menyebutkan Al-Hasan bin Ali, dan aku menyamakan Nabi dengan Al-Hasan. Maka Ibnu 'Abbaas berkata, "Nabi mirip dengan Al-Hasan" (HR Al-Hakim dan Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 12/384 berkata, "Sanadnya jayyid/baik")
Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya berkata :
قَالَ ابْنُ سِيْرِيْن : إِذَا رَآهُ فِي صُوْرَتِهِ
"Ibnu Sirin berkata : (Yaitu) jika ia melihat Nabi dengan rupa Nabi" (Atsar mu'allaq ini disebutkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya setelah hadits no 6993)
Riwayat ini juga telah diriwayatkan dengan sanad bersambung oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar :
كَانَ مُحَمَّدُ بْنُ سِيْرِيْن إِذَا قَصَّعَلَيْهِ رَجُلٌ أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَ : صِفْ لِي الَّذِي رَأَيْتَهُ، فَإِنْ وَصَفَ لَهُ صِفَةً لاَ يَعْرِفُهَا قَالَ : لَمْ تَرَهُ
Adalah Muhammad bin Sirin jika ada seseorang menceritakan bahwa ia melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (dalam mimpi), maka Ibnu Sirin berkata, "Sebutkanlah ciri-ciri orang yang kau lihat dalam mimpimu". Jika ternyata ia menyebutkan sifat-sifat (ciri-ciri) yang tidak diketahui oleh Ibnu Sirin maka Ibnu Sirin berkata, "Engkau tidak melihat Nabi" (Fathul Baari 12/384, dan Ibnu Hajar berkata, "Sanadnya shahih")
Asy-Syaathibi rahimahullah berkata (menukil perkataan Ibnu Rusyd) :
"Kemudian Ibnu Rusyd berkata : Dan bukanlah makna sabda Nabi ((Barang siapa yang melihatku maka telah melihat aku sesungguhnya)) bahwasanya seluruh orang yang melihatnya dalam mimpi berarti telah melihatnya secara sesungguhnya. Buktinya bahwasanya orang yang mimpi terkadang melihat Nabi dalam rupa yang bervariasi. Seseorang yang mimpi melihat Nabi dengan sifat tertentu, dan orang lain mimpi dengan sifat yang lain. Dan tidak boleh rupa-rupa Nabi berbeda-beda demikian juga sifat-sifatnya. Akan tetapi makna hadits adalah "Barang siapa yang melihatku dalam rupaku yang aku diciptakan di atas rupa tersebut, maka ia sungguh telah melihatku, karena syaitan tidak bisa menyerupaiku". Karena Nabi tidaklah berkata, "Barang siapa yang melihat bahwasanya ia telah melihatku maka ia sungguh telah melihatku". Akan tetapi Nabi hanyalah berkata, "Barang siapa yang melihatku maka sungguh ia telah melihatku"…
Inilah yang dinukil dari Ibnu Rusyd, yang kesimpulannya adalah kembali kepada bahwasanya yang dilihat dalam mimpi bisa jadi bukan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, meskipun dalam keyakinan orang yang bermimpi apa yang dilihatnya adalah Nabi" (Al-I'tishoom 1/335)
Adapun pendapat sebagian ulama bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mungkin untuk dilihat dalam mimpi dengan selain rupa beliau maka merupakan pendapat yang kurang kuat. Tidak ada hadits yang mendukung pendapat ini kecuali hadits yang lemah sebagaimana telah dijelaskan kelemahannya oleh Ibnu Hajar.
Setelah menyebut atsar Ibnu Abbas dan Muhammad bin Sirin yang menyatakan bahwa melihat Nabi harus dengan rupa Nabi, Ibnu Hajar berkata :
ويعارضه ما أخرجه بن أبي عاصم من وجه آخر عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم من رآني في المنام فقد رآني فَإِنِّي أُرَى فِي كُلِّ
صُوْرَةٍ وفي سنده صالح مولى التوأمة وهو ضعيف لاختلاطه وهو من رواية من سمع منه بعد الاختلاط
"Dan atsar-atsar (Ibnu Abbas dan Ibnu Sirin-pen) bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi 'Aashim dari sisi lain dari Abu Huroiroh, ia berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Barang siapa yang melihatku dalam mimpi maka ia sungguh telah melihatku, karena sesungguhnya aku dilihat dalam seluruh bentuk". Pada sanadnya seorang rawi yang bernama Sholeh Maula At-Tauamah karena ikhtilaath, dan ini adalah riwayat dari orang yang mendengar darinya setelah ikhtilath" (Fathul Baari 12/384)
Para ulama yang berpendapat mungkinnya Nabi dilihat dalam mimpi dalam rupa selain beliau, mereka mengatakan : Jika Nabi dilihat dalam rupa selain rupa beliau maka mimpi tersebut butuh takwil.
Akan tetapi –wallahu A'lam- pendapat yang benar bahwa disyaratkan untuk melihat Nabi dalam mimpi adalah dalam rupa Nabi yang sesungguhnya, jika tidak maka apa faedah dari sabda Nabi "Karena sesungguhnya syaitan tidak bisa meniru rupaku" (dalam riwayat lain: "Tidak bisa menampakkan dirinya dengan rupaku", dalam riwayat lain : Tidak bisa mengkhayalkan dengan rupaku")??
Karenanya jika ada seseorang yang melihat Nabi dalam bentuk seorang yang sudah tua yang rambut dan janggutnya semuanya sudah putih maka dia tidak melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena disebutkan dalam hadits-hadits bahwasanya jumlah rambut uban Nabi shallallahu 'alahi wa sallam kurang dari 20 helai.
Wallahu A'lam.
Sumber:
Abdil Muhsin Firanda, di Madinah
Demikian juga halnya jika Nabi mengabarkan hal yang ghoib tentang masa depan. Paling banter hanya sebagai 'isti'naas (penguat) saja dan bukan penentu atau kepastian.
Berikut ini perkataan ulama madzhab Syafi'iyyah tentang hal ini.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :
"Sesungguhnya barang siapa yang melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam mimpi maka ia telah melihatnya sesungguhnya. Dan sesungguhnya syaitan tidak bisa menyerupai bentuk Nabi. Akan tetapi tidak diamalkan apa yang didengar oleh seorang yang mimpi dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam mimpi, tentang apa yang berkaitan dengan hukum. Karena orang yang mimpi tidak dhobith (tidak memiliki kemampuan menangkap dan menghafalkan berita atau riwayat yang didengarnya-pen) bukan dari sisi ragu akan mimpinya melihat Nabi akan tetapi suatu khobar/berita tidaklah diterima kecuali dari seseorang yang dhobith mukallaf. Adapun seorang yang sedang tidur tidaklah demikian" (Roudhotut Thoolibin 7/16)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah juga berkata :
لَوْ كَانَتْ لَيْلَةُ الثَّلَاثِينَ مِنْ شَعْبَانَ وَلَمْ يَرَ النَّاسُالْهِلَالَ فَرَأَى إنْسَانٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَنَامِ فَقَالَ لَهُ اللَّيْلَةُ أَوَّلُ رَمَضَانَ لَمْ يَصِحَّ الصَّوْمُ بِهَذَا
الْمَنَامِ لَا لِصَاحِبِ الْمَنَامِ وَلَا لغيره ذكره القاضي حسين فِي الْفَتَاوَى وَآخَرُونَ مِنْ أَصْحَابِنَا وَنَقَلَ الْقَاضِي عِيَاضٌالْإِجْمَاعَ عَلَيْهِ
"Kalau seandainya pada malam hari ke 30 bulan Sya'ban, dan orang-orang tidak ada yang melihat hilal, lalu ada seseorang melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam mimpinya, lalu Nabi berkata kepadanya, "Malam ini adalah malam pertama bulan Ramadhan" maka berpuasa dengan berdalil pada mimpi tersebut tidaklah sah, tidak sah bagi orang yang bermimpi demikian juga tidak sah bagi selainnya.
Hal ini telah disebutkan oleh Al-Qoodhi Husain dalam fatwa-fatwanya, demikian juga para ulama Syafi'iyah yang lainnya. Dan Al-Qoodhi 'Iyaadh menukilkan ijmak akan hal ini"
Al-Imam An-Nawawi melanjutkan :
وَقَدْ قَرَّرْتُهُ بِدَلَائِلِهِ فِي أَوَّلِ شَرْحِ صَحِيحِ مُسْلِمٍ وَمُخْتَصَرُهُ أَنَّ شَرْطَ الرَّاوِي وَالْمُخْبِرَ وَالشَّاهِدَ أَنْ يَكُونَ مُتَيَقِّظًا حَالِ التَّحَمُّلِ وَهَذَا مُجْمَعٌ عَلَيْهِ وَمَعْلُومٌ أَنَّ
النَّوْمَ لَا تَيَقُّظَ فِيهِ وَلَا ضَبْطَ فَتُرِكَ الْعَمَلُ بِهَذَا الْمَنَامِ لِاخْتِلَالِ ضَبْطِ الرَّاوِي لَا لِلشَّكِّ فِي الرُّؤْيَةِ
Aku telah menjelaskan dengan disertai dalil-dalil di awal dari (kitab) Syarh Shahih Muslim…, bahwasanya syarat seorang perawi dan pembawa kabar berita, serta syarat seorang saksi, adalah harus dalam keadaan sadar/terjaga tatkala menerima berita. Dan ini merupakan perkara yang disepakati (ijmak) para ulama. Dan tentunya pada tidur tidak ada sikap terjaga dan juga tidak ada sifat ad-dobth, maka ditinggalkan mengamalkan mimpi ini, dikarenakan ketidakberesan dhobth sang perawi, bukan karena ragu tentang mimpinya" (Al-Majmuu' 6/281-282)
Al-Imam An-Nawawi juga berkata :
فنقلوا الاتفاق على أنه لا يغير بسبب ما يراه النائم ما تقرر فى الشرع وليس هذا الذى ذكرناه مخالفا لقوله صلى الله عليه وسلم من رآنى فى المنام فقد
رآنى فان معنى الحديث أن رؤيته صحيحة وليست من أضغاث الاحلام وتلبيس الشيطان ولكن لا يجوز اثبات حكم شرعى به لأن حالة النوم ليست حالة
ضبط وتحقيق لما يسمعه الرائى وقد اتفقوا على أن من شرط من تقبل روايته وشهادته أن يكون متيقظا لا مغفلا ولا سىء الحفظ ولا كثير الخطأ ولا
مختل الضبط والنائم ليس بهذه الصفة فلم تقبل روايته لاختلال ضبطه ... أما اذا رأى النبى صلى الله عليه و سلم يأمره بفعل ما هو مندوب إليه أو ينهاه
عن منهى عنه أو يرشده إلى فعل مصلحة فلا خلاف فى استحباب العمل على وفقه لأن ذلك ليس حكما بمجرد المنام بل تقرر من أصل ذلك الشيء والله
أعلم
"Mereka (para ulama syafi'iyyah) telah menukilkan kesepakatan bahwasanya apa yang dilihat oleh orang yang mimpi tidaklah merubah hukum yang telah berlaku dalam syari'at. Dan apa yang kami sebutkan ini tidaklah bertentangan dengan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
مَنْ رآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي
"Barang siapa yang melihatku dalam mimpi maka sungguh ia telah melihatku"
Karena makna hadits ini adalah bahwasanya mimpi melihat Nabi adalah benar dan bukan dari jenis mimpi-mimpi kosong dan tipuan syaitan, akan tetapi tidak boleh menetapkan hukum syari'at dengan mimpi tersebut. Karena kondisi tidur bukanlah kondisi dhobth dan tahqiq terhadap apa yang didengar oleh orang yang mimpi tersebut. Mereka telah bersepakat bahwasanya diantara syarat seseorang diterima riwayatnya dan persaksiannya adalah ia harus dalam keadaan terjaga, bukan dalam keadaan lalai, buruk hafalan, banyak salahnya, dan tidak beres dhobithnya. Dan orang yang sedang tidur tidak memiliki sifat-sifat ini maka tidaklah diterima riwayatnya karena ketidakberesan dhobithnya…
Adapun jika ia melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (dalam mimpi) memerintahkannya untuk melakukan perkara yang dianjurkan atau melarangnya dari perkara yang dilarang atau mengarahkannya untuk melakukan suatu kemaslahatan maka tidak ada khilaf tentang disukainya mengerjakan mimpi tersebut, karena hal ini bukanlah penetapan suatu hukum karena hanya sekedar mimpi, akan tetapi memang sudah ditetapkan oleh hukum asalnya sesuatu tersebut" (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 1/115)
Syaikhul Islaam Zakariya Al-Anshoori berkata :
وَرُؤْيَتُهُ في النَّوْمِ حَقٌّ فإن الشَّيْطَانَ لَا يَتَمَثَّلُ بِهِ كما ثَبَتَ ذلك في الصَّحِيحَيْنِ وَلَا يُعْمَلُ بها فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِالْأَحْكَامِ لِعَدَمِ ضَبْطِ النَّائِمِ لَا لِلشَّكِّ في رُؤْيَتِهِ
"Dan melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam mimpi adalah kebenaran, karena Syaithan tidak bisa meniru Nabi sebagaimana telah valid dalam shahih Al-Bukhari dan shahih Muslim, dan tidaklah diamalkan mimpi tersebut tentang apa-apa yang berkaitan dengan hukum-hukum dikarenakan tidak adanya dhobth dari orang yang mimpi, bukan karena keraguan akan benarnya ia mimpi" (Asna Al-Mathoolib 3/106)
Syaitan Tidak Bisa Meniru Rupa dan Sifat Nabi Tapi Bisa Mengaku Sebagai Nabi
Diantara cara syaitan menyesatkan sebagian orang adalah dengan datang melalui mimpi mereka dengan mengaku sebagai Rasulullah lalu mengajarkan kepada mereka hal-hal yang bertentangan dengan syari'at Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Memang benar bahwasanya Syaitan tidak bisa meniru rupa dan bentuk Nabi meskipun dalam mimpi, akan tetapi syaitan bisa mengaku sebagai Nabi dengan rupa selain rupa Nabi.
Dari Abu Hurairoh radhiallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي حقاً، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَمَثَّلُ بِي
"Barang siapa yang melihatku di mimpi maka ia sungguh telah melihatku, karena syaitan tidak bisa meniruku" (HR Al-Bukhari no 110 dan Muslim no 2266)
Dari Abu Qotaadah radhiallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
وَإِنَّ الشَّيْطَانَ لاَ يَتَرَاءَى بِي
"Dan sesungguhnya syaitan tidak bisa menampakkan dirinya dengan rupaku" (HR Al-Bukhari no 6995)
Dalam hadits Anas bin Malik radhiallahu 'anhu, dengan lafal
فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لاَ يَتَخَيَّلُ بِي
"Karena syaitan tidak bisa menkhayalkan menjadi diriku" (HR Al-Bukhari no 6994)
Karenanya barang siapa yang melihat Nabi dalam mimpinya sebagaimana sifat-sifat fisik Nabi yang ma'ruuf (sebagaimana sifat-sifatnya telah tersebutkan dalam hadits-hadits dan juga kitab syama'il) maka sungguh ia telah benar melihat Nabi, karena syaitan tidak bisa meniru Nabi dan tidak bisa menampakkan dirinya dengan rupa Nabi.
Adapun jika seseorang melihat dalam mimpinya ada yang mengaku sebagai Nabi akan tetapi ternyata sifat-sifatnya menyelisihi dengan sifat-sifat Nabi yang ma'ruuf maka bukan Nabilah yang telah ia lihat, akan tetapi syaitan yang mengaku sebagai Nabi.
Inilah pendapat yang benar yang sesuai dengan dzohir hadits-hadits tentang melihat Nabi dalam mimpi, dan juga sesuai dengan praktek para sahabat dan tabi'in. Jika ada orang yang mengaku melihat Nabi dalam mimpinya dan ternyata tidak sesuai dengan sifat-sifat Nabi maka di sisi mereka dia tidaklah melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Al-Hakim meriwayatkan :
مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي إِنَّ » : عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَبِي، أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِنَّهُ » : قَالَ أَبِي: فَحَدَّثْتُ بِهِ ابْنَ عَبَّاسٍ، وَقُلْتُ: قَدْ رَأَيْتُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرْتُ الْحَسَنَ بْنَ عَلِيٍّ فَشَبَّهْتُهُ بِهِ، فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ « الشَّيْطَانَ لَا يَتَمَثَّلُ بِي
كَانَ يُشْبِهُهُ »
Dari 'Ashim bin Kulaib ia berkata, "Ayahku (Kulaib) menyampaikan kepadaku bahwa ia mendengar Abu Huroiroh berkata : Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda, "Barang siapa yang melihatku dalam mimpi maka sungguh ia telah melihatku, karena syaitan tidak bisa meniruku". Akupun menyampaikan hadits ini kepada Ibnu Abbas, dan aku berkata kepadanya, "Aku telah melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (dalam mimpi). Lalu akupun menyebutkan Al-Hasan bin Ali, dan aku menyamakan Nabi dengan Al-Hasan. Maka Ibnu 'Abbaas berkata, "Nabi mirip dengan Al-Hasan" (HR Al-Hakim dan Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 12/384 berkata, "Sanadnya jayyid/baik")
Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya berkata :
قَالَ ابْنُ سِيْرِيْن : إِذَا رَآهُ فِي صُوْرَتِهِ
"Ibnu Sirin berkata : (Yaitu) jika ia melihat Nabi dengan rupa Nabi" (Atsar mu'allaq ini disebutkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya setelah hadits no 6993)
Riwayat ini juga telah diriwayatkan dengan sanad bersambung oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar :
كَانَ مُحَمَّدُ بْنُ سِيْرِيْن إِذَا قَصَّعَلَيْهِ رَجُلٌ أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَ : صِفْ لِي الَّذِي رَأَيْتَهُ، فَإِنْ وَصَفَ لَهُ صِفَةً لاَ يَعْرِفُهَا قَالَ : لَمْ تَرَهُ
Adalah Muhammad bin Sirin jika ada seseorang menceritakan bahwa ia melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (dalam mimpi), maka Ibnu Sirin berkata, "Sebutkanlah ciri-ciri orang yang kau lihat dalam mimpimu". Jika ternyata ia menyebutkan sifat-sifat (ciri-ciri) yang tidak diketahui oleh Ibnu Sirin maka Ibnu Sirin berkata, "Engkau tidak melihat Nabi" (Fathul Baari 12/384, dan Ibnu Hajar berkata, "Sanadnya shahih")
Asy-Syaathibi rahimahullah berkata (menukil perkataan Ibnu Rusyd) :
"Kemudian Ibnu Rusyd berkata : Dan bukanlah makna sabda Nabi ((Barang siapa yang melihatku maka telah melihat aku sesungguhnya)) bahwasanya seluruh orang yang melihatnya dalam mimpi berarti telah melihatnya secara sesungguhnya. Buktinya bahwasanya orang yang mimpi terkadang melihat Nabi dalam rupa yang bervariasi. Seseorang yang mimpi melihat Nabi dengan sifat tertentu, dan orang lain mimpi dengan sifat yang lain. Dan tidak boleh rupa-rupa Nabi berbeda-beda demikian juga sifat-sifatnya. Akan tetapi makna hadits adalah "Barang siapa yang melihatku dalam rupaku yang aku diciptakan di atas rupa tersebut, maka ia sungguh telah melihatku, karena syaitan tidak bisa menyerupaiku". Karena Nabi tidaklah berkata, "Barang siapa yang melihat bahwasanya ia telah melihatku maka ia sungguh telah melihatku". Akan tetapi Nabi hanyalah berkata, "Barang siapa yang melihatku maka sungguh ia telah melihatku"…
Inilah yang dinukil dari Ibnu Rusyd, yang kesimpulannya adalah kembali kepada bahwasanya yang dilihat dalam mimpi bisa jadi bukan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, meskipun dalam keyakinan orang yang bermimpi apa yang dilihatnya adalah Nabi" (Al-I'tishoom 1/335)
Adapun pendapat sebagian ulama bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mungkin untuk dilihat dalam mimpi dengan selain rupa beliau maka merupakan pendapat yang kurang kuat. Tidak ada hadits yang mendukung pendapat ini kecuali hadits yang lemah sebagaimana telah dijelaskan kelemahannya oleh Ibnu Hajar.
Setelah menyebut atsar Ibnu Abbas dan Muhammad bin Sirin yang menyatakan bahwa melihat Nabi harus dengan rupa Nabi, Ibnu Hajar berkata :
ويعارضه ما أخرجه بن أبي عاصم من وجه آخر عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم من رآني في المنام فقد رآني فَإِنِّي أُرَى فِي كُلِّ
صُوْرَةٍ وفي سنده صالح مولى التوأمة وهو ضعيف لاختلاطه وهو من رواية من سمع منه بعد الاختلاط
"Dan atsar-atsar (Ibnu Abbas dan Ibnu Sirin-pen) bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi 'Aashim dari sisi lain dari Abu Huroiroh, ia berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Barang siapa yang melihatku dalam mimpi maka ia sungguh telah melihatku, karena sesungguhnya aku dilihat dalam seluruh bentuk". Pada sanadnya seorang rawi yang bernama Sholeh Maula At-Tauamah karena ikhtilaath, dan ini adalah riwayat dari orang yang mendengar darinya setelah ikhtilath" (Fathul Baari 12/384)
Para ulama yang berpendapat mungkinnya Nabi dilihat dalam mimpi dalam rupa selain beliau, mereka mengatakan : Jika Nabi dilihat dalam rupa selain rupa beliau maka mimpi tersebut butuh takwil.
Akan tetapi –wallahu A'lam- pendapat yang benar bahwa disyaratkan untuk melihat Nabi dalam mimpi adalah dalam rupa Nabi yang sesungguhnya, jika tidak maka apa faedah dari sabda Nabi "Karena sesungguhnya syaitan tidak bisa meniru rupaku" (dalam riwayat lain: "Tidak bisa menampakkan dirinya dengan rupaku", dalam riwayat lain : Tidak bisa mengkhayalkan dengan rupaku")??
Karenanya jika ada seseorang yang melihat Nabi dalam bentuk seorang yang sudah tua yang rambut dan janggutnya semuanya sudah putih maka dia tidak melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena disebutkan dalam hadits-hadits bahwasanya jumlah rambut uban Nabi shallallahu 'alahi wa sallam kurang dari 20 helai.
Wallahu A'lam.
Sumber:
Abdil Muhsin Firanda, di Madinah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar