Masuknya cerita-cerita Israiliyyat ke
dalam tafsir dan hadith pada awalnya didahului oleh masuknya kebudayaaan
Israiliyyat (Yahudi) ke dalam peradaban Arab Jahiliyah. Pada waktu itu di
tengah-tengah kehidupan bangsa Arab hiduplah sekelompok Ahl al-Kitab, yaitu
kaum Yahudi yang pindah ke Jazirah Arab di waktu yang silam. Perpindahan
besar-besaran itu terjadi sekitar tahun 70 M. Hal ini dikarenakan mereka lari
menghindar dari ancaman dan siksaan dari kekuasaan Titus.[1]
Mereka pindah ke Jazirah Arab bersama
dengan kebudayaan yang mereka ambil dari kitab-kitab agama mereka.
Uraian-uraian kitab itu mereka terima sebagai warisan dari Nabi atau ulama
mereka, dan mereka wariskan dari generasi ke genarsi. Madras merupakan
sebuah tempat yang dijadikan sebagai pusat pengkajian kebudayaan warisan yang
mereka terima. Di tempat yang lain mereka juga menentukan beberapa tempat
tertentu sebagai sarana untuk beribadah dan menyiarkan agama.[2]
Adapun bangsa Arab pada masa jahiliyah dikenal
sebagai masyarakat yang nomaden (berpindah-pindah). Mereka berpindah dari satu
tempat ke tempat lain, mulai dari belahan wilayah Timur sampai Barat. Terdapat dua kota besar yang terkenal sebagai
tujuan orang-orang Quraisy dalam bepergian. Yang pertama adalah Kota Syam yang
mereka kunjungi bila musim panas, dan yang kedua adalah Yaman yang sering
mereka kunjungi saat musim dingin tiba. Di kedua daerah tersebut pada waktu itu
terdapat banyak sekali Ahl al-Kitab yang sebagaian besar adalah bangsa
Yahudi. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan kalau diantara Yahudi dan
orang-orang Arab terjalin hubungan. Pertemuan yang begitu intens terjadi baik
ketika di Jazirah Arab maupun di tempat-tempat lainnya memungkinkan merembesnya
kebudayaan Yahudi kepada bangsa Arab yang pada masa itu masih rendah serta dianggap
jahiliyah. Proses transformasi budaya ini terjadi secara terus-menerus sampai
datangnya agama Islam. Islam datang sebagai agama penyelamat dengan kitab
sucinya al-Quran yang bernilai tinggi dan mempunyai ajaran yang tinggi pula.
Dakwah Islam yang dipelopori oleh Muhammad SAW semakin meluas, tersebar ke
beberapa daerah di Jazirah Arab termasuk diantaranya adalah Kota Madinah.
Madinah merupakan salah satu tujuan hijrah Rasulullah SAW, di sana beliau
mengajarkan ajaran Islam kepada para sahabat-sahabatnya. Di sekitar Madinah
inilah tinggal beberapa bangsa Yahudi, seperti Bani Qainuqa', Bani Quraidhah,
Bani Nadzir, Yahudi Khaibar, Tayma serta Fadak.[3]
Jalinan bertetangga antara kaum
Muslimin dan orang Yahudi ini berdampak pada terjadinya pertemuan yang intensif
antar keduanya. Dari situ, tukar-menukar ilmu pengetahuanpun terjadi. Diskusi,
perdebatan, Tanya jawab antara umat Islam dengan orang-orang Yahudi menjadi
sebuah keniscayaan. Bahkan Rasul pun sering datang kepada golongan Yahudi guna
mensyiarkan agama Islam. Begitu juga sebaliknya, orang-orang Yahudi juga kerap
mengunjungi Nabi SAW untuk menyelesaikan suatu persoalan atau juga terkadang
hanya sekedar ingin mengajukan sebuah pertanyaan. Pertanyaan itu pada umumnya
bersifat mempersempit ajaran Islam atau juga menguji akan kebenaran
kenabiannya.[4]
Hal di atas (yaitu pertukaran budaya
Yahudi dan Muslim) semakin diperkuat lagi dengan masuknya beberapa tokoh Ahl
al-Kitab Yahudi ke dalam agama Islam. Diantaranya seperti Abdullah Ibn Salam, Abdullah Ibn Suraya, Ka'ab al-Ahbar
dan lain-lain yang pada umumnya memiliki pengetahuan yang luas mengenai
kebudayaan Yahudi. Dengan demikian melekatlah kebudayaan Yahudi dengan
kebudayaan Islam melalui media yang lebih luas. Kebudayaan Yahudi nyatanya
memang memiliki pengaruh yang besar terhadap budaya Islam. Sebagaimana yang
telah diceritakan oleh Ibn Katsir dalam kitabnya, bahwa budaya Yahudi tidak
hanya berpengaruh dalam ilmu mujadalah atau diskusi saja, akan tetapi juga
mampu mengintervensi ilmu kalam serta ilmu-illmu lainnya termasuk di dalamnya
ilmu tafsir dan hadith seperti yang akan kita uraikan selanjutnya.[5]
Sebagaimana keterangan di atas, tafsir
dan hadith merupakan salah satu ilmu yang terpengaruh oleh budaya Israiliyyat.
Merembesnya Israiliyyat ke dalam tafsir dan hadith dapat kita lihat melalui dua
periodesasi proses perkembangan ilmu-ilmu tersebut.
Periode pertama adalah tahap
periwayatan. Cerita Israiliyyat merembes ke dalam ilmu tafsir dan hadith dalam
waktu yang bebarengan. Ini mengingat bahwa pada mulanya kedua ilmu ini
merupakan satu kesatuan. Masalah ini terjadi pada masa sahabat. Mereka membaca
al-Quran yang di dalamnya terdapat kisah-kisah dan berita-berita. Mereka
melihat, bahwa al-Quran menceritakan kisah-kisah itu dalam batas nasihat dan
ibarat. Sehingga apa yang telah perinci mereka satukan, sementara yang masih
global mereka uraikan sesuai kemampuan dan pengetahuan yang mereka miliki. Hal
ini terjadi dalam kondisi dimana mereka berdekatan dengan Ahl al-Kitab. Juga dibarengi dengan masuknya beberapa Ahl
al-Kitab ke dalam agama Islam. ahl al-Kitab baik yang telah memeluk
agama Islam pada kenyataanya masih berpegang teguh pada tradisi ajaran-ajaran
yang termuat dalam kitab-kitab warisan mereka (Taurat, Talmud, Injil, Zabur
dsb). Sementara itu Taurat, Injil dan kitab-kitab mashur Bani Israil lainnya, (tidak
dapat dipungkiri) juga mengandung cerita-cerita dan kejadian sebagaimana yang
dicakup oleh al-Quran, terutama yang berhubungan dengan kisah para Nabi.[6]
Para sahabat yang sekaligus para
mufassir (setelah Nabi wafat) mempunyai keinginan untuk mengetahui uraian
kisah-kisah tersebut. Maka bertanyalah mereka kepada Muslim Ahl al-Kitab tentang
hal itu. Mereka mempertanyakan kisah-kisah yang global dalam al-Quran, yang
belum pernah dijelaskan oleh Rasul SAW sebelumnya secara perinci. Pada masa
sahabat kesahihan periwayatan yang mereka terima dan mereka sampaikan sangatlah
diperhatikan. Mereka tidak mau menerima kecuali sudah teruji kesahihan riwayat
serta kebenaran riwayat yang sesuai dengan al-Quran. Setelah masa sahabat,
datanglah era tabi'in. pada era ini penukilan dari ahl al-Kitab semakin
luas dan cerit-cerita Israiliyyat dalam tafsir dan hadith semakin berkembang.
Sumber utama perkembangannya adalah banyaknya orang-orang Ahl al-Kitab yang
telah masuk Islam serta ditunjang dengan keinginan dari orang-orang untuk
mendengarkan kisah-kisah yang ajaib dalam kitab mereka. Oleh sebab itu lahirlah
tafsir yang banyak dipenuhi kisah-kisah yang lemah dari segi periwayatan dan
samar dari segi isinya. Setelah masa tabi'in tumbuh kecintaan yang luarbiasa
terhadap cerita Israiliyyat. Dan mereka cenderung mengambilnya secara ceroboh
tanpa memeriksa terlebih dahulu mutu rowi dan kesesuaian isinya dengan
al-Quran. Kecintaan terhadap cerita Israiliyyat ini berlangsung lama sampai
periode pembukuan. Pada masa ini banyak bermunculan tukang-tukang kisah di
masjid dan tempat-tempat lainnya. Sementara secara psikologis, masyarakat juga
banyak yang suka mendengarkan kisah keajaiban-keajaiban serta hal-hal yang luar
biasa walaupun jauh dari akal sehat.[7]
Periode kedua adalah tahap
pembukuan. Pada periode ini hadith dibukukan dengan bantuan ilmu lain yang
bermacam-macam, dan tafsir termasuk salah satu bagian darinya. Secara umum
tafsir pada masa ini terbebas dari cerita-cerita Israiliyyat, kecuali sedikit
saja darinya dan itupun tidak bertentangan denga nash syar'i. Bahkan sebagian
dari cerita tersebut ada yang diriwayatkan dari Rasulallah melalui jalur
periwayatan yang sahih.
Tafsir terpisah dari hadith dan
masing-masing dibukukan tersendiri. Tafsir yang dibukukan pertama kalinya
diterangkan juga masalah sanadnya. Tahap selanjutnya cerita-cerita Israiliyyat
yang dibukukan jumlahnya mulai bertambah. Sebagian dari cerita tersebut
sandarannya lemah dan isinya banyak yang keluar dari akal sehat alias aneh. Niscaya
penyebutan sanad menjadi perlu. Sehingga mufasssir yang melakukan hal itu
berpendapat bahwa: "semua riwayat yang diterangkan bersamaan dengan
sanadnya, maka ia telah keluar dari tanggung jawabnya". Darinya orang yang
ingin mengetahui mutu sanad lebih jauh, bisa menelitinya dengan seksama.[8]
Setelah itu datanglah masa dimana ulama membukukan
tafsir dan hadith dengan membuang sanad-sanadnya dan menukilnya secara
sembarangan tanpa ketelitian dan koreksi. Mereka mencampur adukkan antara
riwayat yang sahih dengan riwayat yang dhaif dalam satu kitab, dan termasuk di
dalamnya cerita-cerita Israiliyyat.
Terima kasih...
BalasHapusSama2
Hapus