Akhir² ini beberapa "ilmuwan" merasa bahwa tafsir Al Qur'an yg ada ini sudah ketinggalan jaman ...
Menurut mereka, perlu adanya pambaharuan tafsir Al Qur'an ...
Namun perlu di perhatikan ... !
Seorang ilmuwan modern pasti memberikan rujukan dan bukti pada setiap pendapatnya ...
Seorang ulama yang shalih pasti juga ada rujukan yg menjadi dasar hukumnya ...
Rasulullah SAW dan para Nabi, pasti juga memiliki rujukan, bahkan rujukannya sangat jelas dan sangat tepat, yakni dari Allah SWT, Tuhan Semesta alam, dan inilah rujukan tertinggi tingkatannya ...
Tidak ada satupun yg berilmu, melainkan mereka pasti memiliki rujukan yg jelas ...
Seorang ilmuwan, pasti merujuk ke sesama Ilmuwan ...
Seorang ulama yg shalih, pasti merujuk juga ke ulama yg shalih atau para Sahabat atau Nabi SAW ...
Seorang Ilmuwan sudah pasti lebih mengetahui ilmu terbaru yang sesuai perkembangan jaman, namun ia belum tentu seorang yg sholeh ...
Kalau ilmuwan hanya merujuk ke sesama ilmuwan, tanpa merujuk ke ulama yg saleh, tentu hasil tafsir Al Qur'annya bisa berbahaya ... !
Bisa melenceng jauh dari kebenaran ... !
Mengapa? Ingatlah kalau sebenarnya Nabi SAW telah melihat bukti² dari Al Qur'an dng sebenarnya, nampak jelas oleh kedua mata beliau ...
Hanya karena saat itu belum ada istilah² modern, seperti DNA, galaxy, nebula, zygote, chromosome dll, maka Nabi SAW mengatakannya sesuai dng bahasa pada jaman itu, yang mudah dipahami oleh manusia jaman itu ...
Dan sesungguhnya Al Qur'an itu diturunkan dalam bahasa Arab yg fasih, dengan kedalaman makna yg tidak akan ditemui pada bahasa lainnya diseluruh dunia ini ...
Hanya orang² yg memiliki ilmu, yg mengetahui kedalaman bahasa Arab yg digunakan Allah pada Al Qur'an ...
Ilmuwan jaman sekarang jangan sombong, jangan merasa mengerti segalanya, karena ilmu modern jaman sekarang juga ada batasannya ...
Sedangkan Al Qur'an tidak ada batasannya, karena merupakan Kalam Allah, sehingga hanya Allah yang Maha Mengetahui segalanya ...
Karena itu hendaknya para ilmuwan modern yg ingin menafsirkan Al Qur'an lebih dari tafsiran yg lama, maka ilmuwan itu harus merujuk ke para ulama yang sholeh, para Sahabat dan Nabi SAW, baru kemudian merujuk ke sesama ilmuwan modern ...
Dengan kata lain, seorang ilmuwan yang sholeh, tentu akan merujuk ke ulama yang sholeh baru kemudian kesesama ilmuwan modern ...
Tulisan berikut ini dan beberapa minggu kedepan membahas mengenai tafsir Al Qur'an. Semoga bermanfaat.
=============================
Baca Kelanjutannya
Menurut mereka, perlu adanya pambaharuan tafsir Al Qur'an ...
Namun perlu di perhatikan ... !
Seorang ilmuwan modern pasti memberikan rujukan dan bukti pada setiap pendapatnya ...
Seorang ulama yang shalih pasti juga ada rujukan yg menjadi dasar hukumnya ...
Rasulullah SAW dan para Nabi, pasti juga memiliki rujukan, bahkan rujukannya sangat jelas dan sangat tepat, yakni dari Allah SWT, Tuhan Semesta alam, dan inilah rujukan tertinggi tingkatannya ...
Tidak ada satupun yg berilmu, melainkan mereka pasti memiliki rujukan yg jelas ...
Seorang ilmuwan, pasti merujuk ke sesama Ilmuwan ...
Seorang ulama yg shalih, pasti merujuk juga ke ulama yg shalih atau para Sahabat atau Nabi SAW ...
Seorang Ilmuwan sudah pasti lebih mengetahui ilmu terbaru yang sesuai perkembangan jaman, namun ia belum tentu seorang yg sholeh ...
Kalau ilmuwan hanya merujuk ke sesama ilmuwan, tanpa merujuk ke ulama yg saleh, tentu hasil tafsir Al Qur'annya bisa berbahaya ... !
Bisa melenceng jauh dari kebenaran ... !
Mengapa? Ingatlah kalau sebenarnya Nabi SAW telah melihat bukti² dari Al Qur'an dng sebenarnya, nampak jelas oleh kedua mata beliau ...
Hanya karena saat itu belum ada istilah² modern, seperti DNA, galaxy, nebula, zygote, chromosome dll, maka Nabi SAW mengatakannya sesuai dng bahasa pada jaman itu, yang mudah dipahami oleh manusia jaman itu ...
Dan sesungguhnya Al Qur'an itu diturunkan dalam bahasa Arab yg fasih, dengan kedalaman makna yg tidak akan ditemui pada bahasa lainnya diseluruh dunia ini ...
Hanya orang² yg memiliki ilmu, yg mengetahui kedalaman bahasa Arab yg digunakan Allah pada Al Qur'an ...
Ilmuwan jaman sekarang jangan sombong, jangan merasa mengerti segalanya, karena ilmu modern jaman sekarang juga ada batasannya ...
Sedangkan Al Qur'an tidak ada batasannya, karena merupakan Kalam Allah, sehingga hanya Allah yang Maha Mengetahui segalanya ...
Karena itu hendaknya para ilmuwan modern yg ingin menafsirkan Al Qur'an lebih dari tafsiran yg lama, maka ilmuwan itu harus merujuk ke para ulama yang sholeh, para Sahabat dan Nabi SAW, baru kemudian merujuk ke sesama ilmuwan modern ...
Dengan kata lain, seorang ilmuwan yang sholeh, tentu akan merujuk ke ulama yang sholeh baru kemudian kesesama ilmuwan modern ...
Tulisan berikut ini dan beberapa minggu kedepan membahas mengenai tafsir Al Qur'an. Semoga bermanfaat.
=============================
Ilmu tafsir merupakan ilmu yang paling mulia dan paling tinggi kedudukannya,
karena pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah yang merupakan
petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir telah dikenal sejak
zaman Rasulullah dan berkembang hingga di zaman modern sekarang ini. Adapun
perkembangan ilmu tafsir dibagi menjadi empat periode yaitu :
1.
Tafsir Pada Zaman Nabi. [1]
Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab sehingga mayoritas orang Arab
mengerti makna dari ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga banyak diantara mereka yang
masuk Islam setelah mendengar bacaan al-Qur’an dan mengetahui kebenarannya.
Akan tetapi tidak semua sahabat mengetahui makna yang terkandung dalam
al-Qur’an, antara satu dengan yang lainnya sangat variatif dalam memahami isi
dan kandungan al-Qur’an. Sebagai orang yang paling mengetahui makna al-Qur’an,
Rasulullah selalu memberikan penjelasan kepada sahabatnya, sebagaimana firman
Allah ,” keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab.Dan Kami turunkan
kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan, (QS. 16:44). Contohnya
hadits yang diriwayatkan Muslim dari Uqbah bin ‘Amir berkata : “Saya mendengar
Rasulullah berkhutbah diatas mimbar membaca firman Allah :
وأعدوا لهم ما استطعتم من قوة
kemudian
Rasulullah bersabda :
ألا إن القوة الرمي
“Ketahuilah
bahwa kekuatan itu pada memanah”.
Juga hadits
Anas yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim Rasulullah bersabda tentang Al-Kautsar
adalah sungai yang Allah janjikan kepadaku (nanti) di surga.
2.
Tafsir Pada Zaman Shahabat[2]
Adapun metode sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an adalah; Menafsirkan
Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah Rasulullah,
atau dengan kemampuan bahasa, adat apa yang mereka dengar dari Ahli kitab
(Yahudi dan Nasroni) yang masuk Islam dan telah bagus keislamannya.
Diantara
tokoh mufassir pada masa ini adalah: Khulafaurrasyidin (Abu Bakar, Umar,
Utsman, Ali), Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin
Tsabit, Abdullah bin Zubair dan Aisyah. Namun yang paling banyak menafsirkan
dari mereka adalah Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin
Abbas yang mendapatkan do’a dari Rasulullah.
Penafsiran
shahabat yang didapatkan dari Rasulullah kedudukannya sama dengan hadist marfu’.
Atau paling kurang adalah Mauquf.
3.
Tafsir Pada Zaman Tabi’in[3]
Metode
penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sahabat,
karena para tabi’in mengambil tafsir dari mereka. Dalam periode ini muncul
beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir diantaranya:
a. Madrasah
Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang melahirkan mufassir terkenal seperti Mujahid
bin Jubair, Said bin Jubair, Ikrimah Maula ibnu Abbas, Towus Al-Yamany dan
‘Atho’ bin Abi Robah.
b. Madrasah
Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab, yang menghasilkan pakar tafsir seperti
Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab Al-Qurodli. Dan 3)-
Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud, diantara murid-muridnya yang terkenal
adalah Al-Qomah bin Qois, Hasan Al-Basry dan Qotadah bin Di’amah As-Sadusy.
Tafsir yang
disepakati oleh para tabiin bisa menjadi hujjah, sebaliknya bila terjadi
perbedaan diantara mereka maka satu pendapat tidak bisa dijadikan dalil atas
pendapat yang lainnya.
4.
Tafsir Pada Masa Pembukuan [4]
Pembukuan
tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu;
Periode
Pertama, pada zaman Bani Muawiyyah dan permulaan zaman Abbasiyah yang masih
memasukkan ke dalam sub bagian dari hadits yang telah dibukukan sebelumnya. Periode
Kedua, Pemisahan tafsir dari hadits dan dibukukan secara terpisah menjadi
satu buku tersendiri. Dengan meletakkan setiap penafsiran ayat dibawah ayat
tersebut, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Jarir At-Thobary, Abu Bakar
An-Naisabury, Ibnu Abi Hatim dan Hakim dalam tafsirannya, dengan mencantumkan
sanad masing-masing penafsiran sampai ke Rasulullah, sahabat dan para tabi’in. Periode
Ketiga, Membukukan tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil pendapat
para ulama’ tanpa menyebutkan orangnya. Hal ini menyulitkan dalam membedakan
antara sanad yang shahih dan yang dhaif yang menyebabkan para mufassir berikutnya
mengambil tafsir ini tanpa melihat kebenaran atau kesalahan dari tafsir
tersebut. Sampai terjadi ketika mentafsirkan ayat
غير المغضوب عليهم
ولاالضالين
ada sepuluh pendapat, padahal para ulama’ tafsir
sepakat bahwa maksud dari ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi dan Nasroni. Periode
Keempat, pembukuan tafsir banyak diwarnai dengan buku – buku tarjamahan
dari luar Islam. Sehingga metode penafsiran bil aqly (dengan akal)
lebih dominan dibandingkan dengan metode bin naqly ( dengan periwayatan).
Pada periode ini juga terjadi spesialisasi tafsir menurut bidang keilmuan para
mufassir. Pakar fiqih menafsirkan ayat Al-Qur’an dari segi hukum seperti
Alqurtuby. Pakar sejarah melihatnya dari sudut sejarah seperti ats-Tsa’laby dan
Al-Khozin dan seterusnya. Periode Kelima, tafsir maudhu’i yaitu
membukukan tafsir menurut suatu pembahasan tertentu sesuai disiplin bidang
keilmuan seperti yang ditulis oleh Ibnu Qoyyim dalam bukunya At-Tibyan fi
Aqsamil Al-Qur’an, Abu Ja’far An-Nukhas dengan Nasih wal Mansukh, Al-Wahidi
Dengan Asbabun Nuzul dan Al-Jassos dengan Ahkamul Qur’annya.
Baca Kelanjutannya
[1]
As-Suyuti, al-Imam, al-Itqan fi ‘Ululum al- Qur’an.hal.174
[2]
As-Suyuti, al-Imam, al-Itqan fi ‘Ululum al- Qur’an.hal.175
[3]
Ibid,. 175.
[4]
As-Suyuti, al-Imam, al-Itqan fi ‘Ululum al- Qur’an.hal.176.
Tambahan Mengenai Terjemah/Tafsir yang Salah:
1. Ayat-ayat Qur'an Yang Salah Terjemah Menurut MMI
a. Menjawab Tuduhan Islam Membolehkan Menggauli Istri yang Telah Dicerai
Tambahan Mengenai Terjemah/Tafsir yang Salah:
1. Ayat-ayat Qur'an Yang Salah Terjemah Menurut MMI
a. Menjawab Tuduhan Islam Membolehkan Menggauli Istri yang Telah Dicerai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar