Metode
penafsiran yang banyak dilakukan oleh para mufassir adalah:
1.
Tafsir Bil Ma’tsur atau Bir-Riwayah
Metode
penafsirannya terfokus pada shohihul manqul (riwayat yang shohih)
dengan menggunakan penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, penafsiran al-Qur’an
dengan sunnah, penafsiran al-Qur’an dengan perkataan para sahabat dan
penafsiran al-Qur’an dengan perkataan para tabi’in. Yang mana sangat teliti
dalam menafsirkan ayat sesuai dengan riwayat yang ada. Dan penafsiran seperti
inilah yang sangat ideal yang patut dikembangkan. Beberapa contoh kitab tafsir
yang menggunakan metode ini adalah : [1]
a.
Tafsir At-Tobary (
( جامع البيان في تأويل أى القران terbit 12 jilid
b.
Tafsir Ibnu Katsir (العظيم تفسير
القران) dengan
4 jilid
c.
Tafsir Al-Baghowy (معالم
التنزيل )
d.
Tafsir Imam As-Suyuty التفسير بالمأثور ) ( الدر المنثور في terbit 6 jilid.
Metode ini
dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a.
Ar-Ro’yu al Mahmudah (penafsiran
dengan akal yang diperbolehkan) dengan beberapa syarat diantaranya: [2]
1) Ijtihad
yang dilakukan tidak keluar dari nilai-nilai al-Qur’an dan as-sunnah
2) Tidak
berseberangan penafsirannya dengan penafsiran bil ma’tsur, Seorang mufassir
harus menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tafsir beserta
perangkat-perangkatnya.
Beberapa
contoh kitab tafsir yang menggunakan metodologi ini diantaranya :
1.
Tafsir Al-Qurtuby
- الجامع لأحكام القران
2.
Tafsir Al-Jalalain - تفسير
الجلالين
3.
Tafsir Al-Baidhowy
- التأويل التنزيل و أسرار أنوار .
b.
Ar-Ro’yu Al- mazmumah (penafsiran
dengan akal yang dicela / dilarang), karena bertumpu pada penafsiran makna
dengan pemahamannya sendiri. Dan istinbath (pegambilan hukum) hanya
menggunakan akal/logika semata yang tidak sesuai dengan nilai-nilali syariat
Islam. Kebanyakan metode ini digunakan oleh para ahli bid’ah yang sengaja
menafsirkan ayat al-Qur’an sesuai dengan keyakinannya untuk mengajak orang lain
mengikuti langkahnya. Juga banyak dilakukan oleh ahli tafsir priode sekarang
ini. Diantara contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah: [3]
1. Tafsir
Zamakhsyary (الكشاف عن حقائق التنزيل و عيون الأقاويل
في وجوه التأويل )
2. Tafsir
syiah “Dua belas” seperti (مرأة الأنوار و مشكاة
الأسرار للمولي عبد اللطيف الكازاراني ) jugaمع البيان لعلوم القران لأبي الفضل الطبراسي
3. Tafsir
As-Sufiyah dan Al-Bathiniyyah seperti tafsir حقائف
التفسير للسلمي و عرائس البيان في حقائق القران لأبي محمد الشيرازي
A. Syarat Dan Adab Penafsir Al-Qur’an
Untuk bisa
menafsirkan al-Qur’an, seseorang harus memenuhi beberapa kreteria diantaranya: [4]
1. Beraqidah
shahihah, karena aqidah sangat pengaruh dalam menafsirkan al-Qur’an.
2. Tidak
dengan hawa nafsu semata, Karena dengan hawa nafsu seseorang akan memenangkan
pendapatnya sendiri tanpa melilhat dalil yang ada. Bahkan terkadang mengalihkan
suatu ayat hanya untuk memenangkan pendapat atau madzhabnya.
3. Mengikuti
urut-urutan dalam menafsirkan al-Qur’an seperti penafsiran dengan al-Qur’an,
kemudian as-sunnah, perkataan para sahabat dan perkataan para tabi’in.
4. Faham
bahasa arab dan perangkat-perangkatnya, karena al-Qur’an turun dengan bahasa
arab. Mujahid berkata; “Tidak boleh seorangpun yang beriman kepada Allah
dan hari akhir, berbicara tentang Kitabullah (al-Qur’an) jikalau tidak
menguasai bahasa arab“.
5. Memiliki
pemahaman yang mendalam agar bisa mentaujih (mengarahkan) suatu makna
atau mengistimbat suatu hukum sesuai dengan nusus syari’ah,
6. Faham
dengan pokok-pokok ilmu yang ada hubungannya dengan al-Qur’an seperti ilmu nahwu
(grammer), al-Isytiqoq (pecahan atau perubahan dari suatu kata ke
kata yang lainnya), al-ma’ani, al-bayan, al-badi’, ilmu qiroat
(macam-macam bacaan dalam al-Qur’an), aqidah shaihah, ushul fiqh,
asbabunnuzul, kisah-kisah dalam islam, mengetahui nasikh wal mansukh,
fiqh, hadits, dan lainnya yang dibutuhkan dalam menafsirkan.
Adapun adab yang harus dimiliki seorang mufassir adalah sebagai berikut:
1.
Niatnya harus bagus/baik, hanya untuk mencari keridloan
Allah semata. Karena seluruh amalan tergantung dari niatannya (lihat hadist
Umar bin Khottob tentang niat yang diriwayatkan oleh bukhori dan muslim diawal
kitabnya dan dinukil oleh Imam Nawawy dalam buku Arba’in nya).
2.
Berakhlak mulia, agar ilmunya bermanfaat dan dapat
dicontoh oleh orang lain
3. Mengamalkan ilmunya, karena dengan merealisasikan apa
yang dimilikinya akan mendapatkan penerimaan yang lebih baik.
4. Hati-hati dalam menukil sesuatu, tidak menulis atau
berbicara kecuali setelah menelitinya terlebih dahulu kebenarannya.
5.
Berani dalam menyuarakan kebenaran dimana dan kapanpun
dia berada.
6.
Tenang dan tidak tergesa-gesa terhadap sesuatu. Baik
dalam penulisan maupun dalam penyampaian. Dengan menggunakan metode yang
sistematis dalam menafsirkan suatu ayat. Memulai dari asbabunnuzul, makna
kalimat, menerangkan susunan kata dengan melihat dari sudut balagho, kemudian
menerangkan maksud ayat secara global dan diakhiri dengan mengistimbat hukum
atau faedah yang ada pada ayat tersebut. [5]
Baca Kelanjutannya
[1]
Hasan, Ali, al-‘Arid, Sejarah dan Metologi Tafsi,r (Jakarta: Grafindo,
1994), hal. 41
[2]
al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Vol. II (Bairut: al-Kutub
al-Hadithah, 1976), hal.353-354
[3]
al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Vol. II (Bairut: al-Kutub
al-Hadithah, 1976), hal.353-354
[4]
Husein, Muhammad, al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Vol. I
(Bairut: al-Kutub al-Hadithah, 1976), hal. 13-15
[5]
al-Zarkashiy, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Bairut: Dar al-Fikr,
1988/140 H.), hal. 33
Tidak ada komentar:
Posting Komentar