Nama-nama seperti Abu Hurairah,
Abdullah Ibn Abbas serta Abdullah Ibn Amr Ibn al-'Ash, merupakan sederetan
tokoh dari golongan sahabat yang dikenal telah meriwayatkan cerita-cerita dari
Muslim Ahl al-Kitab. Mereka mengambil keterangan-keterangan yang perinci dari
kitab-kitab Ahl al-Kitab sebagai pendukung dan penjelas cerita-cerita dalam
al-Quran yang masih global sifatnya. Dalam periwayatn cerita-cerita ini, mereka
menggunakan metodologi analisis yang kuat sebagaimana yang telah digariskan
oleh Nabi SAW. Para sahabat mempertimbangkan secara mendalam terhadap
cerit-cerita Ahl al-Kitab tersebut. Maka apabila berkesuaian dengan syariat
Islam, mereka akan membenarkannya dan memakainya sebagai penjelas atas
kisah-kisah yang termuat dalam al-Quran. Numun sebaliknya, jika menyalahi
ketetapan-ketetapan syariat Islam maka dengan tegas mereka akan menolaknya. Dan
perlu digaris bawahi bahwa riwayat-riwayat yang mereka ambil hanyalah riwayat
yang berhubungan dengan kisah-kisah saja, tidak lebih dari itu. Sehingga
riwayat-riwayat yang berkaitan dengan akidah maupun hukum, niscaya mereka tolak[1]. Selain
itu para sahabat juga menolak mepertanyakan cerita maupun persoalan yang
bersifat sia-sia., seperti mempertanyakan warna anjing Ashab al-Kahfi, juga
jenis kayu tongkat Nabi Musa, nama pemuda yang dibunuh oleh Nabi Kidr, ataupun
jenis kayu yang digunakan dalam membuat perahu Nabi Yunus.[2] Adapun
cerita Israiliyyat yang didiamkan oleh syariat mereka bersikap tawaquf dan
lebih baik menghindarinya.
Selanjutnya akan kami paparkan beberapa
tokoh Muslim Ahl al-Kitab yang banyak meriwayatkan cerita-cerita Israiliyyat,
diantanya adalah:
1. Ka'bi al-Ahbar
Ka'bi al-Ahbar memeluk Islam pada masa
pemerintahan Khalifah Umar ibn al-Khattab. Ia berdomisili di Madinah. Ka'bi
al-Ahbar merupakan salah satu sahabat Umar dari golongan muslim Ahl al-Kitab
Yahudi. Ia pernah mengikuti peperangan melawan tentara Romawi pada masa
kepemimpinan Umar. Ia adalah seorang yang cerdas, memiliki pengetahuan yang
luas terkait kebudayaan Islam maupun kebudayaan Yahudi. Atas keluasan ilmu
inilah sebagian sahabat memujinya. Contohnya separti Abu Darda' yang mengatakan
bahwa "Ka'bi al-Ahbar adalah orang yang luas ilmuny"a. Muawiyah juga
meberikan pujian dengan mengatakan "Abu Darda' adalah seorang hukama', Amr
ibn al-'Ash juga salah seorang hukama', adapun Ka'bi al-Ahbar merupakan salah
seorang ulama".[3]
Jumhur ulama melabeli tsiqah
pada diri Ka'bi al-Ahbar. Sehingga banyak ulama hadits seperti Muslim, Abu
Dawud, al-Turmudzi, al-Nasai, yang meriwaytkan darinya. Ini menunjukkan
ketsiqahannya. Akan tetapi juga terdapat ulama yang meragukan ketsiqahannya,
diantaranya seperti Ahmad Amin dan Rasyid Ridha.
2. Wahab ibn Munabbih
Disamping Ka'bi al-Ahbar, Wahab juga merupakan tokoh
Ahl al-Kitab dari golongan Yahudi yang banyak meriwayatkan cerita-cerita
Israiliyyat. Banyak komentar para tokoh ahli hadits yang utarakan kepadanya.
Seperti al-Dzahabi, beliau mengatakan bahwa "Wahab adalah orang yang tsqah
dan jujur, ia banyak meriwayatkan dari kitab-kitab Israiliyyat". Al-'Ijly
berkomentar Wahab adalah "orang yang tsiqah dan ia termasuk golongan
tabi'in". Ibn Hajar juga berpendapat bahwa "Wahab adalah termasuk
dari golongan tabi'in, para jumhur ulama memberikan label tsiqah pada
dirinya". Abu Zar'ah juga al-Nasai bersepakat atas ketsiqahannya. Bukhari
juga memberikan predikat tsiqah kepada Wahab ibn Munabbih dan dalam shohinya
jugamencantumkan satu hadits yang diriwayatkan darinya. [4]
-----------------------------------
Israiliyat merupakan jamak dari
lafad Israiliyah. Definisi Israiliyyat berkembang sejalan dengan
berjalannya waktu. Israiliyyat yang dinisbahkan kepada bani Israil, atau Yahudi
(anak turun Ya'qub) awalnya dipahami sebagai cerita-cerita yang bersumber dari
ahl al-kitab Yahudi dan Nasrani pada masa dahulu kala. Namun pada tahapan
selanjutnya mengalami perluasan. Israiliyyat tidak hanya diartikan sebagaimana
di atas, akan tetapi juga dipahami sebagai cerita-cerita yang bersumber dari
musuh-musuh Islam. yaitu musuh-musuh yang berniat buruk mengahancurkan agama
Islam.
Dalam menyikapi cerita Israillyat ini
terdapat beberapa bentuk. Pertama adalah dapat diterima riwayatnya dikarenakan
kisah-kisah tersebut diriwayatkan dengan jalan yang kuat dan sahih. Selain itu
isi yang terkandugn sejalan dengan al-Quran. Apa yang baik sesuai dengan
al-Quran dapat diterima sementara yang bertentangan dengan al-Quran harus
ditolak. Sikap selanjutanya adalah menolak kisah-kisah yang bertentangan dengan
al-Quran, riwayatnya dhoif dan tidak jelas.
Sikap ketiga adalah sikap membiarkan, karena dalam
kisah-kisah tersebut tidak ada penguat maupun seuatu yang melemahkannya.
Mengenai Tafsir dari ayat² Al Qur'an, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Ayat-ayat yang terang, jelas dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah (muhkamaat). Misalnya: mengenai wajibnya Sholat dan zakat, hukum mu'amalah, poligami, riba, khamr, hukum berzina, dan hukum mencuri, juga qishash
2. Ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain (mutasyaabihaat), terdapat beberapa jenis:
a. Ayat-ayat yang dapat dijelaskan pengertiannya melalui ilmu pengetahuan modern dan perkembangan jaman. Misalnya: {أَفَلاَ يَنظُرُونَ إِلَى ٱلإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ}, {لَوْ أَنزَلْنَا هَـٰذَا ٱلْقُرْءَانَ عَلَىٰ جَبَلٍ لَّرَأَيْتَهُ خَـٰشِعاً مُّتَصَدِّعاً مِّنْ خَشْيَةِ ٱللَّهِ وَتِلْكَ ٱلأَْمْثَـٰلُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ}
b. Ayat-ayat yang hanya dapat dijelaskan melalui hadits Nabi SAW. misalnya ayat-ayat yang mengenai Surga, dan Neraka.
c. Ayat-ayat yang hanya Allah SWT saja yang mengetahui maknanya. Misalnya: {الۤمۤ}, {الۤمۤصۤ}, {الۤر}, {الۤمۤر}
Secara umum (dari point 1, dan 2a diatas), dalam melakukan tafsir Al Qur'an setidaknya melalui beberapa tahapan dulu, secara berurutan:
1. Ayat Al Qur'an ditafsirkan dengan ayat Al Qur'an lainnya
2. Ayat Al Qur'an ditafsirkan dengan Hadits Nabi SAW. (dan para sahabat beliau) yang Shahih
3. Ayat Al Qur'an ditafsirkan dengan menggunakan perangkat² yg telah disepakati oleh para ulama Salafussholih
4. Ayat Al Qur'an ditafsirkan dengan menggunakan ilmu pengetahuan modern
Khusus (dari point 2b, dan 2c diatas), hanya bisa ditafsirkan:
1. Ayat Al Qur'an ditafsirkan dengan ayat Al Qur'an lainnya
2. Ayat Al Qur'an ditafsirkan dengan Hadits Nabi SAW. (dan para sahabat beliau) yang Shahih
atau bahkan tidak dapat ditafsirkan, kecuali hanya diketahui maknanya oleh Allah SWT. sendiri. Dan yang ini wajib kita imani sepenuh hati, dan jangan condong untuk mencari-cari tafsirnya, katakanlah: Wa Allahu 'Alam ...
Dan hati² jika dalam tafsir menggunakan cerita² israiliyat ataupun dari ilmu pengetahuan modern yg masih bisa berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Seperti kita ketahui, suatu postulat, hukum dan teori² yg dikemukakan, adalah benar pada saat sekarang, artinya, sesuai dng perkembangan jaman, beberapa waktu kedepan, belum tentu postulat, hukum dan teori² yg dianggap benar jaman sekarang akan tetap dianggap benar jaman yang akan datang. Postulat, hukum dan teori² yang telah ada, bisa ditumbangkan dengan ditemukannya suatu postulat, hukum dan teori² yang baru. Sangat berbeda dengan Al Qur'an, dimana tidak ada ayat² Al Qur'an yang dapat ditumbangkan oleh apapun juga seiring dengan berjalannya waktu.
Yakni dengan menukil dari para sahabat hal yang mereka ceritakan dari kisah-kisah ahli kitab yang diperbolehkan oleh Rasulullah Saw., seperti yang diungkapkan melalui salah satu sabdanya:
"Sampaikanlah dariku, sekalipun hanya satu ayat. Dan bercerita-lah kalian dari kaum Bani Israil, tidak ada dosa (bagi kalian). Barang siapa berdusta terhadapku dengan sengaja, hendaklah ia bersiap-siap mengambil tempat duduknya di neraka." (Riwayat Bukhari melalui Abdullah ibnu Amr)
Abdullah ibnu Amr r.a. pernah mendapat dua buah kitab dari kalangan kaum ahli kitab sebagai hasil ganimah dalam Perang Yarmuk, dan dia sering bercerita dari kedua kitab tersebut berdalilkan izin yang dia pahami dari hadis ini. Akan tetapi, kisah israiliyat ini diceritakan hanya untuk kesaksian saja, bukan untuk dijadikan sandaran penguat hukum. Kisah is-railiyat terdiri atas tiga bagian:
Pertama, apa yang kita ketahui kesahihannya melalui kitab yang ada di tangan kita (Al-Qur'an), mengingat di dalam Al-Qur'an dipersaksikan bahwa hal itu benar. Maka kelompok ini dikatakan sahih.
Kedua, apa yang kita ketahui kedustaannya melalui apa yang ada di tangan kita karena bertentangan dengannya.
Ketiga, apa yang tidak disebutkan di dalam Al-Qur'an. Dengan kata lain, bukan termasuk kelompok pertama, bukan pula termasuk kelompok kedua. Terhadap kelompok ini kita tidak usah percaya, tidak usah pula mendustakannya; tetapi boleh diceritakan karena alasan yang disebutkan di atas tadi. Hanya, kelompok ini kebanyakan tidak memberikan faedah yang bersangkutan dengan masalah agama.
Baca juga: 1. Tidak ada Keraguan dalam Al Qur'an
2. Bukti² Kebenaran Al Qur'an
3. Mutasyaabihaat
[1] Al-Dzahabi, al-Israiliyyat fi al-Tafsir wa
al-Hadith, hal 93
[2] Mana' al-Qatthan, Mabahits fi Ulum
al-Quran, (Riyad; tt)
[3]
Al-Dzahabi, al-Israiliyyat fi al-Tafsir wa al-Hadith hal127
[4]
Ibid, hal 142
Tidak ada komentar:
Posting Komentar