Sebelum melangkah lebih jauh, kita bahas dulu masalah ilmu kalam atau filsafat.
Adz-Dzahabi rahimahullah berkata
قل من أمعن النظر في علم الكلام إلا وأداه اجتهاده إلى القول بما يخالف محض السنة، ولهذا ذم علماء السلف النظر في علم الاوائل، فإن علم الكلام مولد من علم الحكماء الدهرية، فمن رام الجمع بين علم الانبياء عليهم السلام وبين علم الفلاسفة بذكائه لابد وأن يخالف هؤلاء وهؤلاء
“Hampir tidak ada orang-orang yang memperdalam ilmu filsafat kecuali ijtihadnya akan mengantarkannya kepada pendapat yang menyelisihi kemurnian sunnah. Karenanya para ulama salaf mencela mempelajari ilmu orang-orang kuno (seperti orang-orang Yunani-pen) karena ilmu filsafat lahir dari para filosof yang berpemikiran dahriyah (atheis). Barang siapa yang dengan kecerdasannya berkeinginan untuk mengkompromikan antara ilmu para Nabi dengan ilmu para filosof, maka pasti ia akan menyelishi para Nabi dan juga menyelisihi para filosof” (Mizaanul I’tidaal 3/144)
Ilmu filsafat diambil dari para tokoh Yunani seperti Aristoteles dan yang lainnya, yang notabene mereka adalah orang-orang yang tidak beragama. Mereka tidak dibimbing oleh wahyu.
Jika pembicaraan para tokoh Yunani tersebut (juga manusia jaman now) berkaitan dengan astronomi, biologi, komputer, IoT, fisika dan kimia (materi yang dapat ditangkap oleh panca indra) maka permasalahannya menjadi mudah. Maksudnya, ilmu filsafat yang menelaah kedalaman ilmu yang dapat ditangkap oleh panca indera. Maka, Ilmu ini diperbolehkan.
Akan tetapi yang menjadi permasalahan besar tatkala mereka membicarakan tentang ilmu ghoib apalagi yang berkaitan dengan Tuhan !!!. Tentunya merupakan kesalahan yang sangat fatal adalah menganalogikan sesuatu yang ghaib dengan sesuatu yang nyata dilihat !!!.
Orang-orang yang berbicara tentang agama dengan berlandaskan ilmu kalam (filsafat) telah terjerumus dalam dua kesalahan besar :
Pertama : Menjadikan akal lebih didahulukan dari pada nash-nash wahyu
Kedua : Menjadikan akalnya para tokoh Yunani sebagai barometer kebenaran !!!
Kerasnya celaan para ulama terhadap ilmu kalam tidak lain karena akibat yang sangat buruk dari mempelajari ilmu tersebut. Sebagaimana yang kita lihat sekarang ini yang dialami oleh para pengikut paham liberal, yang mereka sangat merendahkan al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bisa jadi karena kecerobohannya dalam ilmu filsafat, akan membuat mereka menjadi kafir, lalu murtad, keluar dari Islam. Seperti contoh berikut ini, yakni contoh kaum Liberal dan Asya’iroh yang sama-sama mengambil kerangka aqidah mereka dari sumber yang sama, yaitu dari ahli filsafat Yunani:
---> Sikap keras Al-Asy-Syafi’i terhadap ahli filsafat, bid’ah dan pelakunya, diantaranya :
Dalam riwayat yang lain dari Yunus bin Abdil A’la, bahwasanya Asy-Syafi’i rahimahullah berkata :
“Aku telah mendapati dari perkataan para ahli filasafat perkara yang demi Allah tidak pernah aku duga sebelumnya. Seseorang melakukan seluruh perkara yang dilarang oleh Allah -selain kesyirikan kepada Allah- lebih baik baginya daripada ia diberi musibah oleh Allah dengan ilmu filsafat” (Manaaqib Asy-Syaafi’i 453-454)
Firman Allah Ta’ala:
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah (Al-Qur’an), kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui” (At-Taubah: 6).
Yang dimaksud dengan Kalamullah di dalam ayat ini adalah Al-Qur’an, sebagaimana yang disebutkan Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsirnya. Dalam Ayat ini, kata “Kalam/Firman” disandarkan kepada kata “Allah”, sedangkan Kalam (firman) bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri yang terpisah dari diri Allah seperti makhluk, akan tetapi sesuatu yang ada pada Allah sebagai sifat bagi-Nya. Kalam Allah tidak tergantung pada tempat, jarak dan waktu, seperti halnya makhluq. Dengan demikian Kalamullah (Al-Qur’an) dalam ayat ini, bukanlah makhluk.
Sehingga dapat disimpulkan Al-Qur’an itu Kalamullah (Firman/Ucapan Allah).
Al-Imam Asy-Syafi’i bahwa beliau berkata الْقُرْآنُ كَلاَمُ اللهِ غَيْرُ مَخْلُوْقٍ “Al-Qur’an kalamullah (firman Allah) bukan makhluq” (lihat Al-Asmaa’ wa As-Shifaat li Al-Baihqi tahqiq ; Al-Kautsari hal 244).
Dan Imam Ahmad rahimahullah berhujjah membantah jahmiyyah dan mu’tazilah dengan ayat “Ingatlah, makhluk itu hanyalah milik-Nya dan perintah itu hanyalah perintah-Nya”(Al-A’raaf: 54),
قلت : قال الله : { ألا له الخلق والأمر } ففرق بين الخلق والأمر
“Saya berkata Allah berfirman: {أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ}, maka (dalam ayat ini) Dia membedakan antara makhluk dengan perintah-Nya” (Diolah dari : Islamqa.info/ar/219613).
Berbeda dengan kaum mu'tazilah yang menganggap Al Qur'an itu makhluq dan kaum Asya’iroh meyakini bahwa firman Allah adalah kalam nafsi (yaitu sifat bicara yang kembali kepada dzat Allah), satu kesatuan, tidak mungkin terdengar, dan tidak mungkin tersusun dari huruf-huruf.
Mu'tazilah dan Asya'iroh adalah golongan yang tersesat.
Al-Imam Al-Bukhari berkata :
“Dan sesungguhnya Allah menyeru dengan suara yang didengar orang orang yang jauh sama sebagaimana didengar oleh orang yang dekat. Dan seperti ini tidak bisa untuk selain Allah. Dan ini adalah dalil bahwasanya suara Allah tidak seperti suara-suara makhluk. Karena suara Allah didengar oleh orang yang jauh sebagaimana pendengaran orang yang dekat. Jika para malaikat mendengar suara Allah maka mereka pingsan, dan jika para malaikat –diantara mereka- saling memanggil maka mereka tidak pingsan. Dan Allah telah berfirman
فَلا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا
“Karena itu janganlah kamu Mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah” (QS Al-Baqoroh : 22)
Maka tidak ada tandingan bagi sifat Allah, dan juga tidak ada yang menyamai, dan tidak ada satu sifat Allah pun yang ada pada para makhluk” (Kholqu Af’aalil ‘Ibaad 91-92).
Amma ba'du
-----------------------------------------------------
Sesungguhnya Allah telah memerintahkan bagi hamba2Nya untuk menuntut Ilmu, hingga pada derajat wajib. Seperti ditunjukkan pada ayat dibawah ini:
QS. 96. Al 'Alaq:
ٱقْرَأْ بِٱسْمِ رَبِّكَ ٱلَّذِى خَلَقَ
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,
Tentang apakah yang diperintahkan untuk dibaca? Apakah disebutkan untuk membaca kitab (tulisan)? Tentu tidak!. Apakah disebutkan juga tentang ilmu agama atau umum? tentu juga tidak!.
Yang diperintahkan adalah membaca secara umum dengan menyebut nama Allah Yang menciptakan!.
Disini tidak disebutkan perintah untuk membaca apakah itu, sehingga perintah untuk membaca bisa universal. Bisa diperintahkan untuk membaca Alquran (mushaf atau pada alam ini), buku, Agama, alam semesta, Fisika, kimia, Komputer, tanda-tanda kekuasaanNya, atau segala sesuatunya hingga pada tahap merenungi segala ciptaanNya, memikirkannya hingga akhirnya semakin takut dan tunduk kepadaNya ...
Seperti ditunjukkan pada ayat2 berikut ini:
QS. 88. Al Ghaasyiyah:
أَفَلاَ يَنظُرُونَ إِلَى ٱلإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ
17. Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan,
وَإِلَى ٱلسَّمَآءِ كَيْفَ رُفِعَتْ
18. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan?
وَإِلَى ٱلْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ
19. Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?
وَإِلَى ٱلأَْرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ
20. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?
فَذَكِّرْ إِنَّمَآ أَنتَ مُذَكِّرٌ
21. Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan.
Sesungguhnya akhir dari suatu proses menuntut ilmu adalah pengamalan pribadi (mengamalkan ilmu yang dimilikinya) hingga melakukan amar ma'ruf dan mencegah kemungkaran. Itulah cahaya terang dari Ilmu-Nya yang menerangi sekitarnya, yang dilimpahkan kepada hamba2Nya yang mau menimba ilmu karena Allah.
Apakah harus S1, S2 atau bahkan S3? Tentu tidak, tidak ada ayat yang memerintahkan menuntut ilmu itu harus S1, S2 atau bahkan S3. Karena perintahNya begitu umum, yakni diperintahkan untuk membaca!.
Bahkan, percuma saja kalau menuntut ilmu hingga S3 atau bahkan Profesor kalau ternyata dalam kesehariannya tidak takut bahkan menentang Allah !. Menuntut ilmu hingga S3 dan profesor, namun dengan ilmunya itu mereka malah menantang Allah dengan meremehkan dan menafsirkan ayat2Nya sekehendak nafsunya, karena merasa pintar.
Menjadikan Alquran dibelakangnya yakni menjadikan Alquran yang disesuaikan dengan hawa nafsunya, hingga jauh dari ajaran Nabi Muhammad SAW. Dan menganggap kuno terhadap Nabi Muhammad SAW atau bahkan menganggap Alquran itu tidak layak dijaman ini dan sudah ketinggalan jaman !.
Allah mengeluarkan mereka dari cahaya (dengan ilmu yang mereka miliki) menuju kegelapan (kekafiran) sehingga Orang2 seperti ini diancam sebagai penghuni Neraka yang kekal didalamnya, oleh Allah ...
QS.2. Al Baqarah:
ٱللَّهُ وَلِيُّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ يُخْرِجُهُم مِّنَ ٱلظُّلُمَـٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ وَٱلَّذِينَ كَفَرُوۤاْ أَوْلِيَآؤُهُمُ ٱلطَّـٰغُوتُ يُخْرِجُونَهُم مِّنَ ٱلنُّورِ إِلَى ٱلظُّلُمَـٰتِ أُوْلَـٰئِكَ أَصْحَـٰبُ ٱلنَّارِ هُمْ فِيهَا خَـٰلِدُونَ
257. Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Bab: Samakah Derajat orang2 yang Berilmu dengan yang Tidak? Terlepas apakah dia itu S1, S2 ataupun S3?
QS.39. Az Zumar:
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ ءَانَآءَ ٱلَّيْلِ سَـٰجِداً وَقَآئِماً يَحْذَرُ ٱلأَْخِرَةَ وَيَرْجُواْ رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِى ٱلَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُو ٱلأَْلْبَـٰبِ
9. (Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.
QS. 6. Al An'aam:
وَلِكُلٍّ دَرَجَـٰتٌ مِّمَّا عَمِلُواْ وَمَا رَبُّكَ بِغَـٰفِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ
132. Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.
QS.46. Al Ahqaaf:
وَلِكُلٍّ دَرَجَـٰتٌ مِّمَّا عَمِلُواْ وَلِيُوَفِّيَهُمْ أَعْمَـٰلَهُمْ وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ
19. Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan.
Ingatlah, tingginya ilmu yang Anda miliki itu bukanlah dari gelar S1, S2, S3 atau bahkan gelar profesor yang anda miliki. Namun tingginya ilmu yang Anda miliki itu dapat terlihat dengan semakin takutnya Anda kepada Allah, hingga tidak ada satupun yang ditakuti di alam semesta ini kecuali hanya kepada Allah SWT saja ...!
Juga dapat terlihat dengan semakin tunduknya Anda kepada Allah, hingga tidak ada satupun yang Anda taati di alam semesta ini kecuali hanya taat kepada Allah SWT dan RasulNya saja ...!
Inilah salah satu makna kalimat terakhir dari surat Al 'Alaq ayat 1 diatas, yakni dengan menyebut nama Tuhanmu Yang menciptakan. Rabb (Tuhan) berarti: Tuhan yang ditaati, Yang Memiliki, Mendidik dan Memelihara.
Yakni Supaya semua yang dibaca dalam mencari ilmu, menjadikan bertambahnya KETAKWAAN kita kepada Allah, yakni dengan menyebut nama Tuhan kita (yang Maha Mendidik hamba2Nya) Yang menciptakan kita semua ...! Dan bukan malah sebaliknya ...!!!
Nb:
Lafal rabb tidak dapat dipakai selain untuk Tuhan, kecuali kalau ada sambungannya, seperti rabbul bait (tuan rumah).
Selengkapnya:
Surat Al 'Alaq ayat 1, terdapat perintah untuk membaca dan belajar, dan bahwa Tuhan Yang mampu menciptakan manusia dari asal yang lemah akan mampu pula untuk mengajarkannya menulis--yang merupakan sarana penting untuk mengembangkan ilmu pengetahuan--dan mengajarkannya sesuatu yang belum pernah diketahuinya. Allah-lah yang mengajarkan ilmu kepada manusia. Dan dengan ilmu itu, Allah mengeluarkan orang2 yang beriman dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Ketakwaan mereka meningkat, hingga menjumpaiNya kelak ...
Dan disini tidak ada batasan mengenai ilmu apakah itu, apakah ilmu agama ataupun ilmu umum, apakah harus strata ataukah tidak, karena pada dasarnya semua ilmu itu milikNya dan Dia sendiri tidak menjadikan strata terhadap ilmuNya, melainkan menjadikannya sebagai cahaya yang menerangi hingga menjumpaiNya ...
Perhatikan hadits berikut ini:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا سُرَيْجُ بْنُ النُّعْمَانِ حَدَّثَنَا فُلَيْحٌ عَنْ أَبِي طُوَالَةَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مَعْمَرٍ الْأَنْصَارِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنْ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِي رِيحَهَا
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Suraij bin An Nu'man telah menceritakan kepada kami Fulaih dari Abu Thuwalah Abdullah bin Abdurrahman bin Ma'mar Al Anshari dari Sa'id bin Yasar dari Abu Hurairah ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa mempelajari suatu ilmu yang seharusnya karena Allah Azza Wa Jalla, namun ia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan sebagian dari dunia, maka ia tidak akan mendapatkan baunya Surga pada Hari Kiamat." (HR Abu Daud No 3179)
Bab: SIFAT-SIFAT HAMBA ALLAH YANG BERILMU SEHINGGA MENDAPAT KEMULIAAN
Menuntut ilmu itu wajib, sehingga segala amalan yang dilakukannya menjadi baik. Bagaimana dia dapat beramal dengan baik jika tidak berilmu?
Mereka menuntut ilmu dan menggunakan ilmunya untuk kebaikan dijalan Allah, hingga para malaikat mengembangkan sayapnya bagi orang2 yang mau menuntut ilmu dan mengamalkannya. Ilmu yang semakin menambah ketakwaan seseorang, baik ilmu agama, atau ilmu umum, yakni ilmu fisika, kimia, komputer dll.
Berikut sifat-sifat hamba Allah yang berilmu yang mendapatkan kemuliaan dari Allah SWT.
QS. 25. Al Furqaan:
وَعِبَادُ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَىٰ ٱلأَْرْضِ هَوْناً وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الجَـٰهِلُونَ قَالُواْ سلٰماً
63. Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.
وَالَّذِينَ يِبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّداً وَقِيَـٰماً
64. Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka[orang-orang yang sholat tahajjud di malam hari semata-mata karena Allah].
Bab: SIFAT-SIFAT HAMBA ALLAH YANG MERASA BERILMU, NAMUN SEBENARNYA LALAI DAN BODOH
QS.30. Ar Ruum:
(Mereka hanya mengetahui yang lahir saja dari kehidupan dunia) maksudnya urusan penghidupan dunia seperti malakukan penelitian, berdagang, bercocok tanam, membangun rumah, bertanam dan kesibukan-kesibukan duniawi lainnya. (Sedangkan mereka terhadap kehidupan akhirat adalah lalai) diulanginya lafal hum mengandung makna taukid atau untuk mengukuhkan makna kelalaian mereka. Mereka merasa sangatlah pintar dan berilmu, namun yang sebenarnya mereka sangatlah lalai dan bodoh, mengutamakan kehidupan dunia yang hanya sebentar saja, dan mengabaikan kehidupan akhirat yang jauh lebih abadi.
Dengan ilmu yang dimilikinya, mereka menjual agamanya untuk mendapatkan dunia yang fana ini, karena sangat cintanya kepada dunia.
Dengan ilmu yang mereka miliki, mereka hanya melihat kepada sebab dan memastikan perkara karena ada sebab-sebabnya, dan mereka meyakini tidak akan terjadi perkara apa pun tanpa ada sebab-sebabnya. Mereka hanya berdiri bersama sebab, dan tidak melihat kepada yang mengadakan sebab itu.
Hati mereka, hawa nafsu mereka, dan keinginan mereka tertuju kepada dunia dan perhiasannya. Oleh karena itu, mereka lakukan sesuatu untuknya dan berusaha keras kepadanya dan lalai dari akhirat. Mereka berbuat bukan karena rindu kepada surga dan takut kepada neraka serta takut berhadapan dengan Allah nanti pada hari Kiamat. Ini merupakan tanda kecelakaan seseorang. Namun sangat mengherankan sekali, orang yang seperti ini adalah orang yang pandai dan cerdas dalam urusan dunia sampai membuat manusia terkagum kepadanya. Mereka membuat kendaraan darat, laut dan udara, serta merasa ujub (kagum) dengan akal mereka. Dan mereka melihat selain mereka lemah dari kemampuan itu, yang sesungguhnya Allah yang memberikan kepada mereka kemampuan itu, sehingga mereka merendahkan orang lain. Padahal yang sesungguhnya, mereka itu adalah orang yang paling bodoh dalam urusan agama, paling lalai terhadap akhirat, dan paling kurang melihat akibat (kesudahan dari segala sesuatu). Selanjutnya mereka melihat kepada kemampuan yang diberikan Allah berupa berpikir secara teliti tentang dunia dan hal yang tampak daripadanya. Namun mereka dihalangi dari berpikir tinggi, yaitu mengetahui bahwa semua perkara milik Allah, hukum (keputusan) hak-Nya, memiliki rasa takut kepada-Nya dan meminta kepada-Nya agar Dia menyempurnakan pemberian-Nya kepada mereka berupa cahaya ilmu dan iman. Semua perkara itu jika diikat dengan iman dan menjadikannya sebagai dasar pijakan tentu akan membuahkan kemajuan, kehidupan yang tinggi, akan tetapi karena dibangun di atas sikap ilhad (ingkar Tuhan), maka tidak membuahkan selain turunnya akhlak, menjadi sebab kebinasaan dan kehancuran ... !
Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhuma, bahwa dia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرَ أُمَّتِـي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik umatku adalah pada masaku. Kemudian orang-orang yang setelah mereka (generasi berikutnya), lalu orang-orang yang setelah mereka.” (Shahih Al-Bukhari, no. 3650)
Bab: Ilmu versus Akhlaq?
Berkata Abdullah bin Mubarak rahimahullahu :
طلبت الأدب ثلاثين سنة وطلبت العلم عشرين سنة كانوا يطلبون الأدب ثم العلم
“Saya mempelajari adab selama 30 tahun dan saya mempelajari ilmu (agama) selama 20 tahun, dan ada-lah mereka (para ulama salaf) memulai pelajaran mereka dengan mempelajari adab terlebih dahulu kemudian baru ilmu”. [Ghayatun-Nihayah fi Thobaqotil Qurro I/446, cetakan pertama, Maktabah Ibnu Taimiyyah, Maktabah Syamilah]
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا
“Mudahkan dan jangan mempersulit, berikan kabar gembira dan jangan membuat manusia lari” [HR. Bukhari, Kitabul ‘Ilmi no.69]
Dari Ali bin Abi Thalib Rodhiallahu ‘anhu bahwa Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salah satu do’anya beliau mengucapkan:
,أَللَّهُمَّ اهْدِنِيْ لِأَحْسَنِ الأَخْلَاقِ, فَإِنَّهُ لَا يَهْدِيْ لِأَحْسَنِهَا إِلَّاأَنْتَ
وَاصْرِفْ عَنِّيْ سَيِّئَهَالَايَصْرِفُ عَنِّيْ سَيِّئَهَاإِلَّاأَنْتَ
“Ya Alloh, tunjukkanlah aku pada akhlak yang paling baik, karena tidak ada yang bisa menunjukkannya selain Engkau. Ya Alloh, jauhkanlah aku dari akhlak yang tidak baik, karena tidak ada yang mampu menjauhkannya dariku selain Engkau.” (HR. Muslim 771, Abu Dawud 760, Tirmidzi 3419)
Adab itu fondasi dari Ilmu.
Ingatlah, orang beradab sudah pasti berilmu, dan orang berilmu belum tentu beradab.
Apabila seseorang mencoba menggali ilmu namun tidak punya fondasi (adab), maka hancurlah ilmunya itu, bagaikan membangun rumah tanpa fondasi.
Bab. Orang yang Cerdas
Angan2 manusia itu tidaklah terbatas ...!
Benarkah tidak terbatas ...?
Andaikan manusia itu mati, bisakah ia mewujudkan angan2nya ...?
Itulah batasannya ...
Andaikan manusia tidak memiliki panca indera, dapatkah ia mewujudkan angan2nya ...?
Itulah batasannya ...
Sesungguhnya manusia itu hidup dalam keterbatasan, namun ia menyangka hidupnya tidak ada batasannya ...
Dan ia lengah karenanya ...
Hingga maut menjemput, namun semuanya sudah terlambat ...
Mana bekal yang ia persiapkan pada kehidupan setelah kematian ...?
Ingatlah, orang yang cerdas itu adalah orang yang senantiasa menjaga ketaatan kepada Allah, selalu bertaqwa dengan istiqomah, sebagai persiapan kehidupan setelah kematian ...
Dan orang yang lemah akal, adalah orang yang menuruti hawa nafsunya, namun selalu berangan-angan yang berlebihan kepada Allah. Berfoya-foya terhadap kehidupan dunia, dan mengira langsung masuk surga kelak, meskipun sedikit amal kebaikannya ...
Surat An-Nisa' Ayat 123
لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلَا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ ۗ مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
"(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah."
السابع : عن أبي يعلى شداد بن أوس رضي الله عنه عن النَّبيّ صلّى الله عليه و سلّم قَالَ : « الكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ ، وَعَمِلَ لِمَا بعدَ المَوتِ ، والعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَواهَا وَتَمنَّى عَلَى اللهِ » . رواه الترمذي ، وَقالَ : « حديث حسن » . قَالَ الترمذي وغيره من العلماء : معنى « دَانَ نَفْسَهُ » : حاسبها .
68 – Ketujuh : Dari Abi Ya’la Syaddad bin Aus radiallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Al-Kayyisu (cerdas/ yang memahami akibat) adalah orang yang menghisab dirinya dan beramal bagi sesuatu setelah mati, dan al-‘ajizu (yang lemah/ yang tidak cakap) adalah orang yang menjadikan dirinya pengikut hawa nafsunya, dan ia berangan-angan mendapatkan ampunan dari Allah.” Hadits Riwayat At-Tirmidzi, ia berkata : ‘Hadits ini hasan.’
Hadits lainnya:
Ibnu Majah meriwayatkan dalam hadits berderajat hasan. Hadits ini dari Ibnu Umar, bahwa ada seorang Anshar yang menghadap Rasulullah saat Ibnu Umar duduk bersama beliau.
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَفْضَلُ قَالَ : أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا. قَالَ فَأَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَكْيَسُ قَالَ : أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا أُولَئِكَ الأَكْيَاسُ
“Wahai Rasulullah, orang mukmin manakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Orang yang paling baik akhlaknya.” Orang itu bertanya lagi, “Mukmin manakah yang paling cerdas?” Beliau menjawab, “Orang yang paling banyak mengingat mati dan paling banyak baik persiapannya menghadapi kehidupan setelah mati. Mereka itulah orang-orang yang paling cerdas.” (HR. Ibnu Majah)
Orang yang paling cerdas bukanlah orang yang paling tinggi pendidikan formalnya. Apalagi jika tingginya pendidikan formal tidak membuatnya terdidik untuk dekat kepada Allah. Kognitifnya bagus, tetapi karakternya tidak terbentuk. Alih-alih tawadhu’, ia justru merasa paling pintar dan tak mau menerima kebenaran dari orang yang ia anggap tidak lebih terdidik dibandingkan dirinya.
Orang yang paling cerdas juga bukan orang yang wawasannya paling luas. Apalagi jika wawasannya luas namun hatinya sempit. Tak mau menerima nasehat dan tak sudi dinasehati. Ketika salah tak mau diingatkan dan ketika keliru tak mau diluruskan.
Orang yang paling cerdas juga bukan orang yang paling pintar secara akademis. Lalu ia menuhankan akal dan menjadikannya hakim atas ayat dan hadits Nabi. Ia merasa akalnya lebih pintar dari Dzat yang memberinya akal.
Orang yang paling cerdas juga bukan orang yang mampu melihat segala peluang bisnis lalu memenangkannya. Mendapatkan keuntungan dunia sebanyak-banyaknya.
Karena, sebanyak-banyak harta terkumpul, setinggi-tinggi pendidikan formal, seluas-luas wawasan, sepintar-pintar akal, jika ia hanya untuk dunia, maka sanggup bertahan berapa lama? 70 tahun? 80 tahun? 100 tahun?
Padahal kematian senantiasa mengintai. Dan kehidupan setelah mati adalah kehidupan abadi. Bukan hitungan tahun dan abad. Apalah artinya kejayaan 70 tahun dibandingkan akhirat yang abadi? Maka orang yang paling cerdas adalah yang paling banyak mengingat kematian dan menyiapkan sebaik-baik bekal untuk menghadapi kehidupan abadi.
Renungan:
Akhir2 ini Agama Islam telah berkembang pesat ajarannya ...
Bukan berarti ajarannya tambah maju, namun justru berkembang kearah munculnya ajaran2 baru, yang dulunya tidak ada ...
Ada ajaran yang kearah radikal adapula yang cenderung lebay ...
Melihat kenyataan ini, menjadi kewajiban yang lebih, bagi tiap2 Muslim untuk mendalami ilmu agamanya ...
Sehingga, tiap2 Muslim harus mampu melindungi dan membentengi dirinya sendiri dari ajaran2 radikal dan juga yang lebay ...
Meningkatkan ketaqwaan dan semakin takut kepada Allah, itulah kunci keselamatan ..
Nabi Muhammad SAW., Abu Bakar ra, Umar ra, Utsman ra, Ali ra dan semua sahabat bukanlah manusia yang bergelar Doktor, Profesor, Kyai, Haji ataupun yang lainnya ...
Namun mereka semua adalah manusia2 terbaik, hidup di jaman terbaik dan merupakan contoh terbaik ...
Mereka adalah contoh hamba2 Allah yang bertakwa dan sangat takut kepada Allah SWT ...
Meskipun kita hidup di jaman ini, dan sangatlah berbeda dengan jaman Nabi SAW, namun hendaklah tetap mencintai mereka dan menjadikan mereka panutan juga contoh yang baik dalam mengarungi kehidupan di Dunia ini ...
Adz-Dzahabi rahimahullah berkata
قل من أمعن النظر في علم الكلام إلا وأداه اجتهاده إلى القول بما يخالف محض السنة، ولهذا ذم علماء السلف النظر في علم الاوائل، فإن علم الكلام مولد من علم الحكماء الدهرية، فمن رام الجمع بين علم الانبياء عليهم السلام وبين علم الفلاسفة بذكائه لابد وأن يخالف هؤلاء وهؤلاء
“Hampir tidak ada orang-orang yang memperdalam ilmu filsafat kecuali ijtihadnya akan mengantarkannya kepada pendapat yang menyelisihi kemurnian sunnah. Karenanya para ulama salaf mencela mempelajari ilmu orang-orang kuno (seperti orang-orang Yunani-pen) karena ilmu filsafat lahir dari para filosof yang berpemikiran dahriyah (atheis). Barang siapa yang dengan kecerdasannya berkeinginan untuk mengkompromikan antara ilmu para Nabi dengan ilmu para filosof, maka pasti ia akan menyelishi para Nabi dan juga menyelisihi para filosof” (Mizaanul I’tidaal 3/144)
Ilmu filsafat diambil dari para tokoh Yunani seperti Aristoteles dan yang lainnya, yang notabene mereka adalah orang-orang yang tidak beragama. Mereka tidak dibimbing oleh wahyu.
Jika pembicaraan para tokoh Yunani tersebut (juga manusia jaman now) berkaitan dengan astronomi, biologi, komputer, IoT, fisika dan kimia (materi yang dapat ditangkap oleh panca indra) maka permasalahannya menjadi mudah. Maksudnya, ilmu filsafat yang menelaah kedalaman ilmu yang dapat ditangkap oleh panca indera. Maka, Ilmu ini diperbolehkan.
Akan tetapi yang menjadi permasalahan besar tatkala mereka membicarakan tentang ilmu ghoib apalagi yang berkaitan dengan Tuhan !!!. Tentunya merupakan kesalahan yang sangat fatal adalah menganalogikan sesuatu yang ghaib dengan sesuatu yang nyata dilihat !!!.
Orang-orang yang berbicara tentang agama dengan berlandaskan ilmu kalam (filsafat) telah terjerumus dalam dua kesalahan besar :
Pertama : Menjadikan akal lebih didahulukan dari pada nash-nash wahyu
Kedua : Menjadikan akalnya para tokoh Yunani sebagai barometer kebenaran !!!
Kerasnya celaan para ulama terhadap ilmu kalam tidak lain karena akibat yang sangat buruk dari mempelajari ilmu tersebut. Sebagaimana yang kita lihat sekarang ini yang dialami oleh para pengikut paham liberal, yang mereka sangat merendahkan al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bisa jadi karena kecerobohannya dalam ilmu filsafat, akan membuat mereka menjadi kafir, lalu murtad, keluar dari Islam. Seperti contoh berikut ini, yakni contoh kaum Liberal dan Asya’iroh yang sama-sama mengambil kerangka aqidah mereka dari sumber yang sama, yaitu dari ahli filsafat Yunani:
---> Sikap keras Al-Asy-Syafi’i terhadap ahli filsafat, bid’ah dan pelakunya, diantaranya :
Dalam riwayat yang lain dari Yunus bin Abdil A’la, bahwasanya Asy-Syafi’i rahimahullah berkata :
“Aku telah mendapati dari perkataan para ahli filasafat perkara yang demi Allah tidak pernah aku duga sebelumnya. Seseorang melakukan seluruh perkara yang dilarang oleh Allah -selain kesyirikan kepada Allah- lebih baik baginya daripada ia diberi musibah oleh Allah dengan ilmu filsafat” (Manaaqib Asy-Syaafi’i 453-454)
Firman Allah Ta’ala:
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah (Al-Qur’an), kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui” (At-Taubah: 6).
Yang dimaksud dengan Kalamullah di dalam ayat ini adalah Al-Qur’an, sebagaimana yang disebutkan Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsirnya. Dalam Ayat ini, kata “Kalam/Firman” disandarkan kepada kata “Allah”, sedangkan Kalam (firman) bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri yang terpisah dari diri Allah seperti makhluk, akan tetapi sesuatu yang ada pada Allah sebagai sifat bagi-Nya. Kalam Allah tidak tergantung pada tempat, jarak dan waktu, seperti halnya makhluq. Dengan demikian Kalamullah (Al-Qur’an) dalam ayat ini, bukanlah makhluk.
Sehingga dapat disimpulkan Al-Qur’an itu Kalamullah (Firman/Ucapan Allah).
Al-Imam Asy-Syafi’i bahwa beliau berkata الْقُرْآنُ كَلاَمُ اللهِ غَيْرُ مَخْلُوْقٍ “Al-Qur’an kalamullah (firman Allah) bukan makhluq” (lihat Al-Asmaa’ wa As-Shifaat li Al-Baihqi tahqiq ; Al-Kautsari hal 244).
Dan Imam Ahmad rahimahullah berhujjah membantah jahmiyyah dan mu’tazilah dengan ayat “Ingatlah, makhluk itu hanyalah milik-Nya dan perintah itu hanyalah perintah-Nya”(Al-A’raaf: 54),
قلت : قال الله : { ألا له الخلق والأمر } ففرق بين الخلق والأمر
“Saya berkata Allah berfirman: {أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ}, maka (dalam ayat ini) Dia membedakan antara makhluk dengan perintah-Nya” (Diolah dari : Islamqa.info/ar/219613).
Berbeda dengan kaum mu'tazilah yang menganggap Al Qur'an itu makhluq dan kaum Asya’iroh meyakini bahwa firman Allah adalah kalam nafsi (yaitu sifat bicara yang kembali kepada dzat Allah), satu kesatuan, tidak mungkin terdengar, dan tidak mungkin tersusun dari huruf-huruf.
Mu'tazilah dan Asya'iroh adalah golongan yang tersesat.
Al-Imam Al-Bukhari berkata :
“Dan sesungguhnya Allah menyeru dengan suara yang didengar orang orang yang jauh sama sebagaimana didengar oleh orang yang dekat. Dan seperti ini tidak bisa untuk selain Allah. Dan ini adalah dalil bahwasanya suara Allah tidak seperti suara-suara makhluk. Karena suara Allah didengar oleh orang yang jauh sebagaimana pendengaran orang yang dekat. Jika para malaikat mendengar suara Allah maka mereka pingsan, dan jika para malaikat –diantara mereka- saling memanggil maka mereka tidak pingsan. Dan Allah telah berfirman
فَلا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا
“Karena itu janganlah kamu Mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah” (QS Al-Baqoroh : 22)
Maka tidak ada tandingan bagi sifat Allah, dan juga tidak ada yang menyamai, dan tidak ada satu sifat Allah pun yang ada pada para makhluk” (Kholqu Af’aalil ‘Ibaad 91-92).
Amma ba'du
-----------------------------------------------------
Sesungguhnya Allah telah memerintahkan bagi hamba2Nya untuk menuntut Ilmu, hingga pada derajat wajib. Seperti ditunjukkan pada ayat dibawah ini:
QS. 96. Al 'Alaq:
ٱقْرَأْ بِٱسْمِ رَبِّكَ ٱلَّذِى خَلَقَ
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,
Tentang apakah yang diperintahkan untuk dibaca? Apakah disebutkan untuk membaca kitab (tulisan)? Tentu tidak!. Apakah disebutkan juga tentang ilmu agama atau umum? tentu juga tidak!.
Yang diperintahkan adalah membaca secara umum dengan menyebut nama Allah Yang menciptakan!.
Disini tidak disebutkan perintah untuk membaca apakah itu, sehingga perintah untuk membaca bisa universal. Bisa diperintahkan untuk membaca Alquran (mushaf atau pada alam ini), buku, Agama, alam semesta, Fisika, kimia, Komputer, tanda-tanda kekuasaanNya, atau segala sesuatunya hingga pada tahap merenungi segala ciptaanNya, memikirkannya hingga akhirnya semakin takut dan tunduk kepadaNya ...
Seperti ditunjukkan pada ayat2 berikut ini:
QS. 88. Al Ghaasyiyah:
أَفَلاَ يَنظُرُونَ إِلَى ٱلإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ
17. Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan,
وَإِلَى ٱلسَّمَآءِ كَيْفَ رُفِعَتْ
18. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan?
وَإِلَى ٱلْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ
19. Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?
وَإِلَى ٱلأَْرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ
20. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?
فَذَكِّرْ إِنَّمَآ أَنتَ مُذَكِّرٌ
21. Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan.
Sesungguhnya akhir dari suatu proses menuntut ilmu adalah pengamalan pribadi (mengamalkan ilmu yang dimilikinya) hingga melakukan amar ma'ruf dan mencegah kemungkaran. Itulah cahaya terang dari Ilmu-Nya yang menerangi sekitarnya, yang dilimpahkan kepada hamba2Nya yang mau menimba ilmu karena Allah.
Apakah harus S1, S2 atau bahkan S3? Tentu tidak, tidak ada ayat yang memerintahkan menuntut ilmu itu harus S1, S2 atau bahkan S3. Karena perintahNya begitu umum, yakni diperintahkan untuk membaca!.
Bahkan, percuma saja kalau menuntut ilmu hingga S3 atau bahkan Profesor kalau ternyata dalam kesehariannya tidak takut bahkan menentang Allah !. Menuntut ilmu hingga S3 dan profesor, namun dengan ilmunya itu mereka malah menantang Allah dengan meremehkan dan menafsirkan ayat2Nya sekehendak nafsunya, karena merasa pintar.
Menjadikan Alquran dibelakangnya yakni menjadikan Alquran yang disesuaikan dengan hawa nafsunya, hingga jauh dari ajaran Nabi Muhammad SAW. Dan menganggap kuno terhadap Nabi Muhammad SAW atau bahkan menganggap Alquran itu tidak layak dijaman ini dan sudah ketinggalan jaman !.
Allah mengeluarkan mereka dari cahaya (dengan ilmu yang mereka miliki) menuju kegelapan (kekafiran) sehingga Orang2 seperti ini diancam sebagai penghuni Neraka yang kekal didalamnya, oleh Allah ...
QS.2. Al Baqarah:
ٱللَّهُ وَلِيُّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ يُخْرِجُهُم مِّنَ ٱلظُّلُمَـٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ وَٱلَّذِينَ كَفَرُوۤاْ أَوْلِيَآؤُهُمُ ٱلطَّـٰغُوتُ يُخْرِجُونَهُم مِّنَ ٱلنُّورِ إِلَى ٱلظُّلُمَـٰتِ أُوْلَـٰئِكَ أَصْحَـٰبُ ٱلنَّارِ هُمْ فِيهَا خَـٰلِدُونَ
257. Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Bab: Samakah Derajat orang2 yang Berilmu dengan yang Tidak? Terlepas apakah dia itu S1, S2 ataupun S3?
QS.39. Az Zumar:
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ ءَانَآءَ ٱلَّيْلِ سَـٰجِداً وَقَآئِماً يَحْذَرُ ٱلأَْخِرَةَ وَيَرْجُواْ رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِى ٱلَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُو ٱلأَْلْبَـٰبِ
9. (Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.
QS. 6. Al An'aam:
وَلِكُلٍّ دَرَجَـٰتٌ مِّمَّا عَمِلُواْ وَمَا رَبُّكَ بِغَـٰفِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ
132. Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.
QS.46. Al Ahqaaf:
وَلِكُلٍّ دَرَجَـٰتٌ مِّمَّا عَمِلُواْ وَلِيُوَفِّيَهُمْ أَعْمَـٰلَهُمْ وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ
19. Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan.
Ingatlah, tingginya ilmu yang Anda miliki itu bukanlah dari gelar S1, S2, S3 atau bahkan gelar profesor yang anda miliki. Namun tingginya ilmu yang Anda miliki itu dapat terlihat dengan semakin takutnya Anda kepada Allah, hingga tidak ada satupun yang ditakuti di alam semesta ini kecuali hanya kepada Allah SWT saja ...!
Juga dapat terlihat dengan semakin tunduknya Anda kepada Allah, hingga tidak ada satupun yang Anda taati di alam semesta ini kecuali hanya taat kepada Allah SWT dan RasulNya saja ...!
Inilah salah satu makna kalimat terakhir dari surat Al 'Alaq ayat 1 diatas, yakni dengan menyebut nama Tuhanmu Yang menciptakan. Rabb (Tuhan) berarti: Tuhan yang ditaati, Yang Memiliki, Mendidik dan Memelihara.
Yakni Supaya semua yang dibaca dalam mencari ilmu, menjadikan bertambahnya KETAKWAAN kita kepada Allah, yakni dengan menyebut nama Tuhan kita (yang Maha Mendidik hamba2Nya) Yang menciptakan kita semua ...! Dan bukan malah sebaliknya ...!!!
Nb:
Lafal rabb tidak dapat dipakai selain untuk Tuhan, kecuali kalau ada sambungannya, seperti rabbul bait (tuan rumah).
Selengkapnya:
Surat Al 'Alaq ayat 1, terdapat perintah untuk membaca dan belajar, dan bahwa Tuhan Yang mampu menciptakan manusia dari asal yang lemah akan mampu pula untuk mengajarkannya menulis--yang merupakan sarana penting untuk mengembangkan ilmu pengetahuan--dan mengajarkannya sesuatu yang belum pernah diketahuinya. Allah-lah yang mengajarkan ilmu kepada manusia. Dan dengan ilmu itu, Allah mengeluarkan orang2 yang beriman dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Ketakwaan mereka meningkat, hingga menjumpaiNya kelak ...
Dan disini tidak ada batasan mengenai ilmu apakah itu, apakah ilmu agama ataupun ilmu umum, apakah harus strata ataukah tidak, karena pada dasarnya semua ilmu itu milikNya dan Dia sendiri tidak menjadikan strata terhadap ilmuNya, melainkan menjadikannya sebagai cahaya yang menerangi hingga menjumpaiNya ...
Perhatikan hadits berikut ini:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا سُرَيْجُ بْنُ النُّعْمَانِ حَدَّثَنَا فُلَيْحٌ عَنْ أَبِي طُوَالَةَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مَعْمَرٍ الْأَنْصَارِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنْ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِي رِيحَهَا
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Suraij bin An Nu'man telah menceritakan kepada kami Fulaih dari Abu Thuwalah Abdullah bin Abdurrahman bin Ma'mar Al Anshari dari Sa'id bin Yasar dari Abu Hurairah ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa mempelajari suatu ilmu yang seharusnya karena Allah Azza Wa Jalla, namun ia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan sebagian dari dunia, maka ia tidak akan mendapatkan baunya Surga pada Hari Kiamat." (HR Abu Daud No 3179)
Bab: SIFAT-SIFAT HAMBA ALLAH YANG BERILMU SEHINGGA MENDAPAT KEMULIAAN
Menuntut ilmu itu wajib, sehingga segala amalan yang dilakukannya menjadi baik. Bagaimana dia dapat beramal dengan baik jika tidak berilmu?
Mereka menuntut ilmu dan menggunakan ilmunya untuk kebaikan dijalan Allah, hingga para malaikat mengembangkan sayapnya bagi orang2 yang mau menuntut ilmu dan mengamalkannya. Ilmu yang semakin menambah ketakwaan seseorang, baik ilmu agama, atau ilmu umum, yakni ilmu fisika, kimia, komputer dll.
Berikut sifat-sifat hamba Allah yang berilmu yang mendapatkan kemuliaan dari Allah SWT.
QS. 25. Al Furqaan:
وَعِبَادُ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَىٰ ٱلأَْرْضِ هَوْناً وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الجَـٰهِلُونَ قَالُواْ سلٰماً
63. Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.
وَالَّذِينَ يِبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّداً وَقِيَـٰماً
64. Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka[orang-orang yang sholat tahajjud di malam hari semata-mata karena Allah].
Bab: SIFAT-SIFAT HAMBA ALLAH YANG MERASA BERILMU, NAMUN SEBENARNYA LALAI DAN BODOH
QS.30. Ar Ruum:
يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
7. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai. (Mereka hanya mengetahui yang lahir saja dari kehidupan dunia) maksudnya urusan penghidupan dunia seperti malakukan penelitian, berdagang, bercocok tanam, membangun rumah, bertanam dan kesibukan-kesibukan duniawi lainnya. (Sedangkan mereka terhadap kehidupan akhirat adalah lalai) diulanginya lafal hum mengandung makna taukid atau untuk mengukuhkan makna kelalaian mereka. Mereka merasa sangatlah pintar dan berilmu, namun yang sebenarnya mereka sangatlah lalai dan bodoh, mengutamakan kehidupan dunia yang hanya sebentar saja, dan mengabaikan kehidupan akhirat yang jauh lebih abadi.
Dengan ilmu yang dimilikinya, mereka menjual agamanya untuk mendapatkan dunia yang fana ini, karena sangat cintanya kepada dunia.
Dengan ilmu yang mereka miliki, mereka hanya melihat kepada sebab dan memastikan perkara karena ada sebab-sebabnya, dan mereka meyakini tidak akan terjadi perkara apa pun tanpa ada sebab-sebabnya. Mereka hanya berdiri bersama sebab, dan tidak melihat kepada yang mengadakan sebab itu.
Hati mereka, hawa nafsu mereka, dan keinginan mereka tertuju kepada dunia dan perhiasannya. Oleh karena itu, mereka lakukan sesuatu untuknya dan berusaha keras kepadanya dan lalai dari akhirat. Mereka berbuat bukan karena rindu kepada surga dan takut kepada neraka serta takut berhadapan dengan Allah nanti pada hari Kiamat. Ini merupakan tanda kecelakaan seseorang. Namun sangat mengherankan sekali, orang yang seperti ini adalah orang yang pandai dan cerdas dalam urusan dunia sampai membuat manusia terkagum kepadanya. Mereka membuat kendaraan darat, laut dan udara, serta merasa ujub (kagum) dengan akal mereka. Dan mereka melihat selain mereka lemah dari kemampuan itu, yang sesungguhnya Allah yang memberikan kepada mereka kemampuan itu, sehingga mereka merendahkan orang lain. Padahal yang sesungguhnya, mereka itu adalah orang yang paling bodoh dalam urusan agama, paling lalai terhadap akhirat, dan paling kurang melihat akibat (kesudahan dari segala sesuatu). Selanjutnya mereka melihat kepada kemampuan yang diberikan Allah berupa berpikir secara teliti tentang dunia dan hal yang tampak daripadanya. Namun mereka dihalangi dari berpikir tinggi, yaitu mengetahui bahwa semua perkara milik Allah, hukum (keputusan) hak-Nya, memiliki rasa takut kepada-Nya dan meminta kepada-Nya agar Dia menyempurnakan pemberian-Nya kepada mereka berupa cahaya ilmu dan iman. Semua perkara itu jika diikat dengan iman dan menjadikannya sebagai dasar pijakan tentu akan membuahkan kemajuan, kehidupan yang tinggi, akan tetapi karena dibangun di atas sikap ilhad (ingkar Tuhan), maka tidak membuahkan selain turunnya akhlak, menjadi sebab kebinasaan dan kehancuran ... !
Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhuma, bahwa dia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرَ أُمَّتِـي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik umatku adalah pada masaku. Kemudian orang-orang yang setelah mereka (generasi berikutnya), lalu orang-orang yang setelah mereka.” (Shahih Al-Bukhari, no. 3650)
Bab: Apakah ada iri yang diperbolehkan?
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah telah menceritakan kepada kami Jarir dari Al A'masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak boleh iri kecuali dalam dua hal; seseorang yang Allah beri Al Qur'an, kemudian ia membacanya sepanjang siang dan malam. Lalu orang yang iri itu berkata 'Kalaulah aku diberi kepandaian seperti orang itu, niscaya kulakukan sepertinya.' Dan seseorang yang diberi harta, lantas dia membelanjakannya dalam haknya (dijalan Allah). Lalu orang yang iri itu berkata, 'Kalaulah aku diberi harta si fulan, niscaya kulakukan seperti yang dilakukannya'."
(No. Hadist: 6974 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)
Muhammad bin Ismail menceritakan kepada kami. Abu Nu'aim menceritakan kepada kami, Ubadah bin Muslim menceritakan kepada kami, Yunus bin Khabbab menceritakan kepada kami, dari Sa'id AthTha'i Abu Al Bakhtari, ia berkata: Abu Kabsyah Al Annamari menceritakan kepadaku, ia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda,"Ada tiga macam yang aku bersumpah atasnya. Aku akan memberitahukan sebuah hadits kepada kalian, maka hafalkanlah!". Beliau melanjutkan, "Tidak akan berkurang harta seseorang karena sedekah. Tidaklah seseorang dizhalimi dengan suatu perbuatan zhalim, lalu ia bersabar atas kezhaliman tersebut, malainkan Allah akan menambahkan kemuliaan pada dirinya. Tidaklah seseorang membukakan pintu meminta-minta, melainkan Allah akan membukakan baginya pintu kefakiran — atau dengan redaksi kalimat yang serupa dengan ini —. Aku akan memberitahukan sebuah hadits kepada kalian, maka hafalkanlah!". Beliau melanjutkan, "Sesungguhnya dunia itu untuk empat macam orang, yaitu:
Seorang hamba yang diberi rezeki oleh Allah berupa harta dan ilmu, lalu ia bertakwa dengannya kepada Rabbnya dan terus menjalin hubungan silaturahim, serta menyadari bahwa ada hak Allah pada rezekinya itu. Ini adalah derajat (kedudukan) yang paling utama.
Kemudian seorang hamba yang dikaruniai ilmu pengetahuan namun tidak dikaruniai harta. Lalu dengan niat yang benar (tulus) dia berkata, 'Seandainya aku memiliki harta, maka aku akan melakukan amal (kebaikan) seperti amal yang dilakukan oleh si Fulan. Ia akan mendapat ganjaran (pahala) dengan niatnya itu. dan ganjaran keduanya (dirinya dengan si Fulan) sama.
Kemudian, seorang hamba yang diberikan rezeki berupa harta oleh Allah namun tidak dikaruniai ilmu. Lalu dia membelanjakan hartanya itu tanpa menggunakan ilmu, tidak bertakwa kepada Rabbnya, dan tidak menyambung hubungan silaturahim, serta tidak menyadari bahwa ada hak Allah pada hartanya itu. Maka. orang seperti ini mendapatkan kedudukan (derajat) yang paling buruk.
Kemudian, seorang hamba yang tidak diberikan rezeki berupa harta dan tidak dikaruniai ilmu oleh Allah. Lalu dia berkata, 'Seandainya aku memiliki harta maka aku akan melakukan amal perbuatan (dosa) seperti si Fulan.' Maka, dengan niatnya ini dia akan mendapatkan dosa, dan dosa keduanya (dirinya dan si Fulan) sama "
Shahih: Ibnu Majah (4228).
Bab: Ilmu versus Akhlaq?
Berkata Abdullah bin Mubarak rahimahullahu :
طلبت الأدب ثلاثين سنة وطلبت العلم عشرين سنة كانوا يطلبون الأدب ثم العلم
“Saya mempelajari adab selama 30 tahun dan saya mempelajari ilmu (agama) selama 20 tahun, dan ada-lah mereka (para ulama salaf) memulai pelajaran mereka dengan mempelajari adab terlebih dahulu kemudian baru ilmu”. [Ghayatun-Nihayah fi Thobaqotil Qurro I/446, cetakan pertama, Maktabah Ibnu Taimiyyah, Maktabah Syamilah]
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا
“Mudahkan dan jangan mempersulit, berikan kabar gembira dan jangan membuat manusia lari” [HR. Bukhari, Kitabul ‘Ilmi no.69]
Dari Ali bin Abi Thalib Rodhiallahu ‘anhu bahwa Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salah satu do’anya beliau mengucapkan:
,أَللَّهُمَّ اهْدِنِيْ لِأَحْسَنِ الأَخْلَاقِ, فَإِنَّهُ لَا يَهْدِيْ لِأَحْسَنِهَا إِلَّاأَنْتَ
وَاصْرِفْ عَنِّيْ سَيِّئَهَالَايَصْرِفُ عَنِّيْ سَيِّئَهَاإِلَّاأَنْتَ
“Ya Alloh, tunjukkanlah aku pada akhlak yang paling baik, karena tidak ada yang bisa menunjukkannya selain Engkau. Ya Alloh, jauhkanlah aku dari akhlak yang tidak baik, karena tidak ada yang mampu menjauhkannya dariku selain Engkau.” (HR. Muslim 771, Abu Dawud 760, Tirmidzi 3419)
Adab itu fondasi dari Ilmu.
Ingatlah, orang beradab sudah pasti berilmu, dan orang berilmu belum tentu beradab.
Apabila seseorang mencoba menggali ilmu namun tidak punya fondasi (adab), maka hancurlah ilmunya itu, bagaikan membangun rumah tanpa fondasi.
Bab. Orang yang Cerdas
Angan2 manusia itu tidaklah terbatas ...!
Benarkah tidak terbatas ...?
Andaikan manusia itu mati, bisakah ia mewujudkan angan2nya ...?
Itulah batasannya ...
Andaikan manusia tidak memiliki panca indera, dapatkah ia mewujudkan angan2nya ...?
Itulah batasannya ...
Sesungguhnya manusia itu hidup dalam keterbatasan, namun ia menyangka hidupnya tidak ada batasannya ...
Dan ia lengah karenanya ...
Hingga maut menjemput, namun semuanya sudah terlambat ...
Mana bekal yang ia persiapkan pada kehidupan setelah kematian ...?
Ingatlah, orang yang cerdas itu adalah orang yang senantiasa menjaga ketaatan kepada Allah, selalu bertaqwa dengan istiqomah, sebagai persiapan kehidupan setelah kematian ...
Dan orang yang lemah akal, adalah orang yang menuruti hawa nafsunya, namun selalu berangan-angan yang berlebihan kepada Allah. Berfoya-foya terhadap kehidupan dunia, dan mengira langsung masuk surga kelak, meskipun sedikit amal kebaikannya ...
Surat An-Nisa' Ayat 123
لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلَا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ ۗ مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
"(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah."
السابع : عن أبي يعلى شداد بن أوس رضي الله عنه عن النَّبيّ صلّى الله عليه و سلّم قَالَ : « الكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ ، وَعَمِلَ لِمَا بعدَ المَوتِ ، والعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَواهَا وَتَمنَّى عَلَى اللهِ » . رواه الترمذي ، وَقالَ : « حديث حسن » . قَالَ الترمذي وغيره من العلماء : معنى « دَانَ نَفْسَهُ » : حاسبها .
68 – Ketujuh : Dari Abi Ya’la Syaddad bin Aus radiallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Al-Kayyisu (cerdas/ yang memahami akibat) adalah orang yang menghisab dirinya dan beramal bagi sesuatu setelah mati, dan al-‘ajizu (yang lemah/ yang tidak cakap) adalah orang yang menjadikan dirinya pengikut hawa nafsunya, dan ia berangan-angan mendapatkan ampunan dari Allah.” Hadits Riwayat At-Tirmidzi, ia berkata : ‘Hadits ini hasan.’
Hadits lainnya:
Ibnu Majah meriwayatkan dalam hadits berderajat hasan. Hadits ini dari Ibnu Umar, bahwa ada seorang Anshar yang menghadap Rasulullah saat Ibnu Umar duduk bersama beliau.
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَفْضَلُ قَالَ : أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا. قَالَ فَأَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَكْيَسُ قَالَ : أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا أُولَئِكَ الأَكْيَاسُ
“Wahai Rasulullah, orang mukmin manakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Orang yang paling baik akhlaknya.” Orang itu bertanya lagi, “Mukmin manakah yang paling cerdas?” Beliau menjawab, “Orang yang paling banyak mengingat mati dan paling banyak baik persiapannya menghadapi kehidupan setelah mati. Mereka itulah orang-orang yang paling cerdas.” (HR. Ibnu Majah)
Orang yang paling cerdas bukanlah orang yang paling tinggi pendidikan formalnya. Apalagi jika tingginya pendidikan formal tidak membuatnya terdidik untuk dekat kepada Allah. Kognitifnya bagus, tetapi karakternya tidak terbentuk. Alih-alih tawadhu’, ia justru merasa paling pintar dan tak mau menerima kebenaran dari orang yang ia anggap tidak lebih terdidik dibandingkan dirinya.
Orang yang paling cerdas juga bukan orang yang wawasannya paling luas. Apalagi jika wawasannya luas namun hatinya sempit. Tak mau menerima nasehat dan tak sudi dinasehati. Ketika salah tak mau diingatkan dan ketika keliru tak mau diluruskan.
Orang yang paling cerdas juga bukan orang yang paling pintar secara akademis. Lalu ia menuhankan akal dan menjadikannya hakim atas ayat dan hadits Nabi. Ia merasa akalnya lebih pintar dari Dzat yang memberinya akal.
Orang yang paling cerdas juga bukan orang yang mampu melihat segala peluang bisnis lalu memenangkannya. Mendapatkan keuntungan dunia sebanyak-banyaknya.
Karena, sebanyak-banyak harta terkumpul, setinggi-tinggi pendidikan formal, seluas-luas wawasan, sepintar-pintar akal, jika ia hanya untuk dunia, maka sanggup bertahan berapa lama? 70 tahun? 80 tahun? 100 tahun?
Padahal kematian senantiasa mengintai. Dan kehidupan setelah mati adalah kehidupan abadi. Bukan hitungan tahun dan abad. Apalah artinya kejayaan 70 tahun dibandingkan akhirat yang abadi? Maka orang yang paling cerdas adalah yang paling banyak mengingat kematian dan menyiapkan sebaik-baik bekal untuk menghadapi kehidupan abadi.
Renungan:
Akhir2 ini Agama Islam telah berkembang pesat ajarannya ...
Bukan berarti ajarannya tambah maju, namun justru berkembang kearah munculnya ajaran2 baru, yang dulunya tidak ada ...
Ada ajaran yang kearah radikal adapula yang cenderung lebay ...
Melihat kenyataan ini, menjadi kewajiban yang lebih, bagi tiap2 Muslim untuk mendalami ilmu agamanya ...
Sehingga, tiap2 Muslim harus mampu melindungi dan membentengi dirinya sendiri dari ajaran2 radikal dan juga yang lebay ...
Meningkatkan ketaqwaan dan semakin takut kepada Allah, itulah kunci keselamatan ..
Nabi Muhammad SAW., Abu Bakar ra, Umar ra, Utsman ra, Ali ra dan semua sahabat bukanlah manusia yang bergelar Doktor, Profesor, Kyai, Haji ataupun yang lainnya ...
Namun mereka semua adalah manusia2 terbaik, hidup di jaman terbaik dan merupakan contoh terbaik ...
Mereka adalah contoh hamba2 Allah yang bertakwa dan sangat takut kepada Allah SWT ...
Meskipun kita hidup di jaman ini, dan sangatlah berbeda dengan jaman Nabi SAW, namun hendaklah tetap mencintai mereka dan menjadikan mereka panutan juga contoh yang baik dalam mengarungi kehidupan di Dunia ini ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar