Kembalinya
Mereka Yang Hijrah Ke Abisinia, Gharaniq Yang Luhur,
Orientalis-Orientalis Bertahan Pada Cerita Ini, Pegangan Mereka Dalam Hal Ini, Lemahnya
Pegangan Tersebut, Catatan kaki:
Cerita ini biasanya digunakan oleh ahli-ahli non-Islam untuk
mengatakan bahwa Al-Qur'an pernah tercemari oleh ayat-ayat setan. Haekal
menjelaskan secara bagus didalam argumentasinya:
KAUM Muslimin yang hijrah ke Abisinia tinggal selama tiga
bulan di sana. Sementara itu Umar ibn'l-Khattab sudah pula masuk Islam. Setelah
para pengungsi ini mengetahui bahwa pihak Quraisy sudah mulai surut dari
mengganggu Muhammad dan pengikut-pengikutnya - setelah Umar masuk Islam -
menurut sebuah sumber, banyak di antara mereka itu yang kembali, dan sumber lain
mengatakan semua mereka itu kembali ke Mekah. Tetapi setelah mereka sampai di
Mekah, ternyata pihak Quraisy kembali menyiksa kaum Muslimin, bahkan lebih keras
lagi dari pada yang pernah dialami kaum pengungsi itu dulu. Sebahagian mereka
ada yang kembali ke Abisinia, ada pula yang memasuki Mekah atau di
dekat-dekatnya dengan sembunyi-sembunyi. Konon katanya, bahwa mereka yang
kembali itu membawa pula sejumlah kaum Muslimin dan mereka ini tinggal di
Abisinia sampai sesudah Hijrah dan sesudah keadaan Muslimin di Medinah jadi
lebih stabil.
Apa pula motif yang mendorong kaum Muslimin di Abisinia itu
kembali sesudah tiga bulan mereka tinggal di sana? Di sinilah munculnya cerita
gharaniq itu yang dilangsir oleh Ibn Sa'd dalam At-Tabaqat'l-Kubra dan oleh
At-Tabari dalam Tarikh'r-Rusul-wal-Muluk, yang juga sama dilangsir oleh
ahli-ahli tafsir kalangan Muslimin dan penulis-penulis sejarah Nabi, dan lalu
diambil pula oleh sekelompok Orientalis-orientalis yang dalam sekian lama oleh
mereka tetap dipertahankan.
Adapun timbulnya cerita gharaniq itu ialah, setelah Muhammad
melihat pihak Quraisy menjauhinya dan sahabat-sahabatnya di siksa. Ia
berharap-harap sambil mengatakan: Coba aku tidak mendapat perintah apa-apa yang
kiranya akan menjauhkan mereka dari aku. Ia mengumpulkan golongannya dan mereka
bersama-sama pada suatu hari duduk-duduk dalam sebuah tempat pertemuan di
sekitar Mekah. Kepada mereka dibacakannya Surah An-Najm sampai pada firman
Allah: "Adakah kamu perhatikan Lat dan 'Uzza. Dan itu Manat, ketiga, yang
terakhir?" (Qur'an, 53:19-20) Sesudah itu lalu dibacakannya pula: "Itu gharaniq
yang luhur, perantaraannya sungguh dapat diharapkan."
Kemudian ia meneruskan membaca Surah itu seluruhnya sampai
pada akhirnya ia sujud. Ketika itu semua orang ikut sujud, tak ada yang
ketinggalan. Pihak Quraisy menyatakan kepuasannya atas apa yang telah dibaca
Muhammad itu.
Kata mereka: "Kami tahu sudah bahwa Allah itu menghidupkan
dan mematikan, menciptakan dan memberi rejeki. Tetapi dewa kami ini menjadi
perantara kami kepadaNya. Kalau ternyata dia juga kauberi tempat, maka kamipun
setuju dengan kau."
Dengan demikian hilanglah perselisihan dengan mereka itu.
Peristiwa tersebut lalu tersebar di kalangan umum hingga sampai juga ke
Abisinia. Pihak Muslimin lalu berkata: Di sana ada keluarga-keluarga dekat kami
yang sangat kami cintai. Lalu merekapun pulang kembali. Apabila pada tengah hari
mereka sampai ke dekat Mekah mereka bertemu dengan rombongan kafilah Kinana yang
lalu dan rombongan itupun menjawab: Ia menyebutkan dewa-dewa mereka dengan baik
dan merekapun lalu mengikutinya. Kemudian ia berbalik lagi mencela dewa-dewa
mereka itu dan merekapun lalu memusuhinya lagi. Perbuatan mereka itu dibicarakan
oleh pihak Muslimin. Tidak tahan lagi mereka ingin menemui keluarga, dan mereka
lalu memasuki Mekah.
Sebabnya maka Muhammad berbalik tidak mau menyebutkan
dewa-dewa Quraisy dengan baik - menurut beberapa sumber yang mencatat berita ini
- ialah karena ia sudah tidak tahan atas ucapan Quraisy: "Kalau ternyata
dewa-dewa kami juga kauberi tempat, maka kami pun setuju dengan kau," dan karena
ketika dia sedang duduk-duduk di rumahnya hingga sore Jibril datang dan
bertanya:
"Aku membawakan dua anak kalimat ini kepadamu?" dengan
menunjuk kepada "Itu gharaniq yang luhur, perantaraannya dapat diharapkan."
Muhammad pun menjawab: "Aku mengatakan sesuatu yang tidak
dikatakan oleh Allah."
Kemudian Allah mewahyukan:
"Dan hampir-hampir saja mereka itu menggoda kau tentang apa
yang sudah Kami wahyukan kepadamu, supaya engkau mau atas nama Kami
memalsukannya dengan yang lain."
"Ketika itulah mereka mengambil engkau menjadi kawan mereka.
Dan kalaupun tidak Kami tabahkan hatimu, niscaya engkau hampir cenderung juga
kepada mereka barang sedikit. Dalam hal ini, akan Kami timpakan kepadamu hukuman
berlipat ganda, dalam hidup dan mati. Selanjutnya engkau tiada akan mempunyai
penolong menghadapi Kami." (Qur'an 17:73-75)
Dengan begitu kembali ia memburuk-burukkan dewa-dewa Quraisy
itu, dan Quraisypun kembali lagi memusuhinya dan mengganggu sahabat-sahabatnya.
Demikianlah cerita gharaniq ini, yang bukan seorang saja dari
penulis-penulis biografi Nabi yang menceritakannya, demikian juga ahli-ahli
tafsir turut menyebutkan, dan tidak sedikit pula kalangan Orientalis yang memang
sudah sekian lama mau bertahan. Jelas sekali dalam cerita ini ada kontradiksi.
Dengan sedikit pengamatan saja hal ini sudah dapat digugurkan.
Di samping itu cerita ini berlawanan pula dengan segala sifat
kesucian setiap nabi dalam menyampaikan risalah Tuhan. Memang mengherankan
sekali apabila ada beberapa penulis sejarah Nabi dan ahli tafsir dari kalangan
Islam sendiri yang masih mau menerimanya. Oleh karena itu Ibn Ishaq tidak
ragu-ragu lagi ketika menjawab pertanyaan dengan mengatakan bahwa cerita itu
bikinan orang-orang atheis.
Akan tetapi mereka yang berpegang pada alasan ini berusaha
membenarkannya dengan berpegang pada ayat-ayat:
"Dan hampir-hampir saja mereka itu menggoda kau ..." sampai
pada firman Tuhan: "Dan tiada seorang rasul atau seorang nabi yang Kami utus
sebelum kau, apabila ia bercita-cita, setan lalu memasukkan gangguan ke dalam
cita-citanya itu. Tetapi Allah menghapuskan apa yang dimasukkan setan itu.
Kemudian Allah menguatkan keterangan-keterangaNya itu. Dan Allah Maha mengetahui
dan Bijaksana. Apa yang dimasukkan setan itu adalah ujian bagi mereka yang
berpenyakit dalam hatinya dan berhati batu. Dan mereka yang melakukan kesalahan
akan berada dalam pertentangan yang tak berkesudahan." (Qur'an, 22: 52 - 53)
Ada orang yang menafsirkan kata "bercita-cita" itu dengan
arti "membaca," ada pula yang menafsirkannya dengan arti "bercita-cita," seperti
yang sudah umum dikenal. Kedua mereka ini masing-masing berpendapat - diikuti
oleh Orientalis-orientalis - bahwa Quraisy telah sampai di puncaknya menyiksa
sahabat-sahabat Nabi, ada yang mereka bunuh, ada pula yang dilemparkan ke padang
pasir, dijilat oleh terik matahari yang membakar, ditindih pula dengan batu
seperti yang dialami oleh Bilal. Karena itu terpaksa ia menyuruh mereka hijrah
ke Abisinia. Demikian juga masyarakatnya sendiripun begitu kasar terhadap
dirinya yang juga kemudian memboikotnya. Tetapi karena ia begitu menjaga
keislaman mereka yang sudah lepas dari penyembahan berhala, ia pun lalu
mendekati kaum musyrik dan membacakan Surah an-Najm dengan menambahkan lagi
cerita gharaniq. Sesudah ia sujud merekapun ikut pula sujud. Mereka lalu
memperlihatkan suatu kecenderungan hendak mengikutinya, karena ia sudah memberi
tempat kepada dewa-dewa mereka itu disamping Allah.
Atas peristiwa ini yang juga disebutkan dalam beberapa buku
biografi dan buku-buku tafsir - Sir William Muir menganggapnya sebagai suatu
argumen yang kuat tentang adanya cerita gharaniq itu. Selanjutnya kaum Muslimin
yang telah berangkat ke Abisinia itu belum lagi selang tiga bulan sejak mereka
mengungsi, yang dalam pada itu mereka telah diberi suaka dengan baik sekali oleh
pihak Najasyi. Kalau tidak karena tersiarnya berita, bahwa antara Muhammad
dengan Quraisy sudah tercapai kompromi, tentu tak ada motif lain yang akan
mendorong mereka itu kembali, ingin berhubungan dengan keluarga dan kerabat
mereka. Dan dari mana pula akan ada kompromi antara Muhammad dengan Quraisy itu,
kalau bukan Muhammad juga yang mengusahakannya. Di Mekah ia termasuk minoritas
dengan tenaga yang masih lemah. Juga sahabat-sahabatnya masih lemah sekali untuk
dapat mempertahankan diri dari gangguan dan penyiksaan Quraisy.
Alasan-alasan yang dikemukakan mereka, dengan mengatakan,
bahwa cerita gharaniq itu benar adanya, adalah suatu alasan yang lemah sekali
dan tidak tahan uji. Baiklah kita mulai dulu dengan menolak Muir. Kembalinya
kaum Muslimin ke Mekah dari Abisinia, pada dasarnya karena dua sebab:
Pertama, karena 'Umar ibn'l-Khattab masuk Islam tidak lama
setelah mereka hijrah. Umar masuk Islam dengan semangat yang sama seperti ketika
ia menentang agama ini dahulu. Ia masuk Islam tidak sembunyi-sembunyi. Malah
terang-terangan ia mengumumkan di depan orang banyak dan untuk itu ia bersedia
melawan mereka. Ia tidak mau kaum Muslimin sembunyi-sembunyi dan mengendap-endap
di celah-celah pegunungan Mekah dalam melakukan ibadat, menjauhkan diri jauh
dari gangguan Quraisy. Bahkan ia terus melawan Quraisy sampai nanti dia beserta
kaum Muslimin itu dapat melakukan ibadat dalam Ka'bah.
Di sinilah pihak Quraisy menyadari, bahwa penderitaan yang
dialami Muhammad dan sahabat-sahabatnya, hampir-hampir menimbulkan perang
saudara, yang akibat-akibatnya tidak akan dapat dibayangkan, dan siapa pula yang
akan binasa. Ada orang-orang dari kabilah-kabilah Quraisy dan dari
keluarga-keluarga bangsawannya yang sudah menerima Islam, mereka akan lalu
berontak bila siapa saja dari kabilahnya itu ada yang terbunuh sekalipun orang
itu berlainan agama. Jadi, dalam memerangi Muhammad ini, mereka harus menempuh
suatu cara yang tidak akan membawa akibat yang begitu berbahaya. Di samping itu
supaya cara ini dapat pula disepakati oleh Quraisy mereka mengadakan genjatan
senjata dengan pihak Muslimin, sehingga dengan demikian tiada seorangpun dari
mereka itu yang boleh diganggu.
Inilah yang telah sampai kepada kaum pengungsi di Abisinia
itu, dan membuat mereka berpikir-pikir akan kembali ke Mekah
Kedua. Sungguhpun begitu, barangkali mereka masih maju-mundur
juga akan kembali, kalau tidak karena adanya sebab kedua yang telah menguatkan
niat mereka, yakni pada waktu itu di Abisinia sedang berkecamuk suatu
pemberontakan melawan Najasyi, yang dilancarkan karena adanya suatu tuduhan yang
ditujukan kepadanya. Ia melaksanakan janjinya dan memperlihatkan rasa
kasih-sayangnya kepada kaum Muslimin. Kaum Muslimin sendiri menyatakan
harapannya sekiranya Tuhan akan memenangkan Negus terhadap lawannya itu. Tetapi
mereka sendiri tidak sampai melibatkan diri dalam pemberontakan, karena mereka
adalah orang-orang asing, dan lagi mereka belum begitu lama tinggal di Abisinia.
Bahwa yang telah sampai kepada mereka itu berita-berita perdamaian antara
Muhammad dengan Quraisy, perdamaian yang menyelamatkan Muslimin dari gangguan
yang pernah mereka alami, maka bagi mereka akan lebih baik meninggalkan
kekacauan yang ada sekarang dan kembali bergabung kepada keluarga mereka
sendiri.
Inilah yang telah mereka lakukan semua, atau sebagian dari
mereka.
Hanya saja, sebelum mereka sampai ke Mekah, pihak Quraisy
sudah berkomplot lagi terhadap Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Kabilah-kabilah
mereka sudah mengadakan persetujuan tertulis bersama; mereka berjanji mengadakan
pemboikotan total terhadap Banu Hasyim: tidak akan saling berjual-beli .
Dengan adanya perjanjian itu perang yang tak berkesudahan
antara kedua belah pihak itupun segera berkecamuk lagi. Sekarang mereka yang
telah pulang dari Abisinia itu kembali lagi ke sana. Bersama mereka ikut pula
orang-orang yang masih dapat pergi bersama-sama. Sekali ini mereka menghadapi
kekerasan dari Quraisy, yang berusaha hendak merintangi mereka itu hijrah.
Jadi, bukanlah kompromi seperti yang disebutkan Muir itu yang
menyebabkan Muslimin kembali dari Abisinia, melainkan karena adanya perjanjian
perdamaian sebagai akibat Umar yang telah masuk Islam serta semangatnya yang
berapi-api hendak membela agama ini. Jadi dukungan mereka atas adanya cerita
gharaniq dengan alasan kompromi itu, adalah dukungan yang sama sekali tidak
punya dasar.
Adapun alasan yang dikemukakan oleh penulis-penulis biografi
dan ahli-ahli tafsir dengan ayat-ayat: "Dan hampir-hampir saja mereka itu
menggoda kau...," dan "Dan tiada seorang rasul atau seorang nabi yang Kami utus
sebelum kau, apabila ia bercita-cita, setan lalu memasukkan gangguan ke dalam
cita-citanya itu..." adalah alasan yang lebih kacau lagi dari argumen Sir Muir.
Cukup kita sebutkan ayat pertama itu saja dalam firman Tuhan: "Dan kalaupun
tidak Kami tabahkan hatimu, niscaya engkau hampir cenderung juga kepada mereka
barang sedikit," untuk kita lihat, bahwa setan telah memasukkan gangguan ke
dalam cita-cita Rasul itu, sehingga hampir saja ia cenderung kepada mereka
sedikit-sedikit; tetapi Tuhan menguatkan hatinya sehingga tidak sampai
dilakukannya, dan kalau dilakukan juga, Tuhan akan menimpakan hukuman
berlipat-ganda dalam hidup dan mati.
Jadi, dengan membawa ayat-ayat ini sebagai alasan, jelaslah
alasan itu terbalik adanya.
Jalan cerita gharaniq ini ialah bahwa Muhammad telah
benar-benar berpihak kepada Quraisy dan Quraisypun sudah benar-benar pula
menggodanya sehingga ia mau mengatakan sesuatu yang tidak difirmankan Tuhan.
Sedang ayat-ayat di sini menegaskan, bahwa Tuhan telah menguatkan hatinya,
sehingga dia tidak melakukan hal itu. Bilamana disebutkan demikian, bahwa
buku-buku tafsir dan sebab-sebabnya turun Qur'an membuat ayat-ayat ini dapat
mengubah masalah gharaniq, kita lihat bahwa alasan ini berlawanan sekali dengan
kesucian para rasul dalam menyampaikan tugas mereka, dan bertentangan dengan
seluruh sejarah Muhammad. Suatu alasan yang kacau, bahkan lemah sama sekali.
Sedang bunyi ayat-ayat "Dan tiada seorang rasul dan seorang
nabi yang Kami utus sebelum kau" sama sekali tak ada hubungannya dengan cerita
gharaniq itu. Apalagi yang menyebutkan bahwa Tuhan telah menghapuskan gangguan
yang dimasukkan setan dan akan menjadikan godaan bagi mereka yang berpenyakit
dalam hatinya dan berhati batu; kemudian Allah menguatkan
keterangan-keteranganNya. Dan Allah Maha mengetahui dan Bijaksana.
Bilamana cerita ini diteliti dengan penyelidikan ilmiah
ternyata ia tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Yang pertama sekali sebagai
bukti ialah adanya beberapa sumber yang beraneka-ragam. Pernah diceritakan
seperti disebutkan di atas - bahwa ungkapan itu ialah "Itu gharaniq yang luhur,
perantaraannya sungguh dapat diharapkan." Sumber lain menyebutkan: "Gharaniqa
yang luhur, perantaraannya dapat diharapkan." Sumber selanjutnya menyebutkan:
"perantaraannya dapat diharapkan," tanpa menyebutkan gharaniqa atau gharaniq.
Sumber keempat mengatakan: "Dan sebenarnya itulah gharaniq yang luhur." Sumber
kelima menyebutkan: "Dan sebenarnya mereka itulah gharaniq yang luhur, dan
perantaraan mereka bagi mereka yang diharapkan."1 Dalam beberapa buku hadis
disebutkan adanya sumber-sumber lain di samping yang lima tadi. Adanya
keaneka-ragaman dalam sumber-sumber tersebut menunjukkan, bahwa hadis itu palsu
adanya, dan bikinan golongan atheis, seperti kata Ibn Ishaq, dan tujuannya ialah
hendak menanamkan kesangsian tentang kebenaran ajakan Muhammad dan risalah Tuhan
itu
Bukti lain yang lebih kuat dan pasti, ialah konteks atau
susunan Surah an-Najm yang sama sekali tidak menyinggung soal gharaniq ini.
Konteks itu seperti dalam firman Tuhan; "Sungguh dia telah melihat
keterangan-keterangan yang amat besar dan Tuhan. Adakah kamu perhatikan Lat dan
'Uzza? Dan Manat ketiga, yang terakhir? Adakah untuk kamu itu yang laki-laki dan
untuk Dia yang perempuan? Kalau begitu ini adalah pembagian yang tak seimbang.
Ini hanyalah nama-nama yang kamu buat sendiri, kamu dan nenek-moyang kamu. Allah
tidak memberikan kekuasaan karenanya; yang mereka turuti hanyalah prasangka dan
kehendak nafsu belaka. Dan pada mereka pimpinan yang benar dari Tuhan sudah
pernah ada." (Qur'an, 53:18-23)
Susunan ini jelas sekali, bahwa Lat dan 'Uzza adalah
nama-nama yang dibuat-buat oleh kaum musyrik, mereka dan nenek-moyang mereka,
sedang Allah tidak memberikan kekuasaan untuk itu. Bagaimana mungkin susunan itu
akan berjalan sebagai berikut: "Adakah kamu perhatikan Lat dan 'Uzza. Dan Manat
ketiga, yang terakhir. Itu gharaniq yang luhur, perantaraannya dapat diharapkan.
Adakah untuk kamu itu yang laki-laki dan untuk Dia yang perempuan? Kalau begitu
ini adalah pembagian yang tak seimbang. Ini hanyalah nama-nama yang kamu buat
sendiri, kamu dan nenek-moyang kamu. Allah tidak memberikan kekuasaan
karenanya."
Susunan ini rusak, kacau dan bertentangan satu sama lain. Dan
pujian kepada Lat, 'Uzza dan Manat ketiga yang terakhir dan celaan dalam empat
ayat berturut-turut tak dapat diterima akal dan tak tak ada orang yang akan
berpendapat begitu.
Cerita Yang Nyata-Nyata Dusta Ini Dibantah Oleh Penyelidikan
Ilmiah
Yang demikian ini sudah tak dapat diragukan lagi, dan bahwa
hadis tentang gharaniq itu adalah palsu dan bikinan golongan atheis dengan
maksud-maksud tertentu. Orang yang suka pada yang aneh-aneh dan tidak berpikir
logis, tentu percaya akan hadis ini.
Argumen lain ialah seperti yang dikemukakan oleh almarhum
Syaikh Muhammad Abduh dalam tulisannya yang jelas membantah cerita gharaniq ini,
yaitu bahwa belum pernah ada orang Arab menamakan dewa-dewa mereka dengan
gharaniq, baik dalam sajak-sajak atau dalam pidato-pidato mereka. Juga tak ada
berita yang dibawa orang mengatakan, bahwa nama demikian itu pernah dipakai
dalam percakapan mereka. Tetapi yang ada ialah sebutan ghurnuq dan ghirniq
sebagai nama sejenis burung air, entah hitam atau putih, dan sebutan untuk
pemuda yang putih dan tampan. Dari semua itu, tak ada yang cocok untuk diberi
arti dewa, juga orang-orang Arab dahulu tak ada yang menamakannya demikian.
Tinggal lagi sebuah argumen yang dapat kita kemukakan sebagai
bukti bahwa cerita gharaniq ini mustahil akan ada dalam sejarah hidup Muhammad
sendiri. Sejak kecilnya, semasa anak-anak dan semasa mudanya, belum pernah
terbukti ia berdusta, sehingga ia diberi gelar Al-Amin, "yang dapat dipercaya,"
pada waktu usianya belum lagi mencapai duapuluh lima tahun. Kejujurannya sudah
merupakan hal yang tak perlu diperbantahkan lagi di kalangan umum, sehingga
ketika suatu hari sesudah kerasulannya ia bertanya kepada Quraisy: "Bagaimana
pendapatmu sekalian kalau kukatakan, bahwa pada permukaan bukit ini ada pasukan
berkuda. Percayakah kamu?" Jawab mereka: "Ya, engkau tidak pernah disangsikan.
Belum pernah kami melihat kau berdusta."
Jadi orang yang sudah dikenal sejak kecil hingga tuanya
begitu jujur, bagaimana orang akan percaya bahwa ia mengatakan sesuatu yang
tidak dikatakan oleh Allah, ia akan takut kepada orang dan bukan kepada Allah!
Hal ini tidak mungkin. Mereka yang sudah mempelajari jiwanya yang begitu kuat,
begitu cemerlang, jiwa yang begitu membenteng mempertahankan kebenaran dan tidak
pula pernah mencari muka dalam soal apapun, akan mengetahui ketidak mungkinan
cerita itu. Betapa kita melihat Muhammad berkata: Kalau Quraisy meletakkan
matahari di sebelah kanannya, dan meletakkan bulan di sebelah kirinya dengan
maksud supaya ia melepaskan tugasnya, akan mati sekalipun dia tidak akan
melakukan hal itu - bagaimana pula akan mengatakan sesuatu yang tidak diwahyukan
Allah kepadanya, dan mengatakan itu untuk meruntuhkan sendi agama yang oleh
karenanya ia diutus Allah sebagai petunjuk dan berita gembira bagi seluruh umat
manusia!
Dan kapan pula ia kembali kepada Quraisy guna memuji-muji
dewa-dewa mereka? Ataukah sesudah sepuluh tahun atau sekian tahun dari
kerasulannya, demi tugas yang besar itu ia sanggup memikul pelbagai macam
siksaan, berupa-rupa pengorbanan, sesudah Allah memperkuat Islam dengan Hamzah
dan Umar dan sesudah kaum Muslimin mulai menjadi kuat di Mekah, dengan berita
yang sudah meluas pula ke seluruh jazirah, ke Abisinia dan semua penjuru?!
Pendapat demikian ini adalah suatu legenda, suatu kebohongan yang sudah tak
berlaku.
Mereka yang menciptakan cerita ini sebenarnya sudah merasakan
bahwa hal ini akan mudah terbongkar. Mereka lalu berusaha menutupinya dengan
mengatakan, bahwa begitu Muhammad mendengar kata-kata Quraisy bahwa dewa-dewa
mereka sudah mendapat tempat sebagai perantara, hal itu berat sekali dirasanya,
sehingga ia kembali kepada Tuhan bertobat, dan begitu ia pulang ke rumah sore
itu Jibrilpun datang. Tetapi tabir ini akan terbuka juga kiranya. Kalau hal itu
oleh Muhammad sudah sangat luar biasa, ketika ia mendengar kata-kata Quraisy
itu, apalagi ia sampai akan mengoreksi wahyu pada waktu itu juga.
Jadi masalah gharaniq ini memang tidak punya dasar, selain
sebagai karangan yang dibikin-bikin oleh suatu golongan yang mau melakukan tipu
muslihat terhadap Islam, yang terjadi sesudah permulaan sejarah Islam. Yang
lebih mengherankan lagi ialah karena kecerobohan mereka yang telah melakukan
pemalsuan-pemalsuan itu melemparkan pemalsuan mereka justru ke dalam jantung
Islam, yaitu ke dalam Tauhid! Yang justru karena itu pulalah Muhammad diutus,
supaya meneruskannya kepada umat manusia sejak dari semula, dan yang sejak itu
pula tidak kenal arti mengalah. Juga segala yang ditawarkan kepadanya oleh
Quraisy apa saja yang dikehendakinya berupa harta, bahkan akan dijadikannya ia
raja atas mereka, tidak sampai membuatnya jadi berpaling. Semua itu ditawarkan
kepadanya, pada waktu penduduk Mekah yang menjadi pengikutnya masih sedikit
sekali jumlahnya. Waktu itu gangguan-gangguan Quraisy kepada sahabat-sahabatnya
tidak sampai membuat ia surut dari dakwah yang diperintahkan Tuhan kepadanya,
yaitu supaya diteruskan kepada umat manusia. Jadi sasaran mereka yang telah
melakukan pemalsuan terhadap masalah yang begitu teguh menjadi pegangan Muhammad
yang tak ada taranya itu, hanya menunjukkan suatu kecerobohan yang tidak
rasional, dan yang sekaligus menunjukkan pula, bahwa mereka yang masih cenderung
mau mempercayainya ternyata telah tertipu; suatu hal yang sebenarnya tidak perlu
sampai ada orang akan tertipu karenanya.
Jadi masalah gharaniq ini memang samasekali tidak punya
dasar, dan samasekali tak ada hubungannya pula dengan kembalinya Muslimin dari
Abisinia. Seperti disebutkan di atas, mereka kembali karena Umar sudah masuk
Islam dan dengan semangatnya yang sama seperti sebelum itu ia membela Islam,
sampai menyebabkan Quraisy terpaksa mengadakan perjanjian perdamaian dengan
Muslimin. Juga mereka kembali pulang ketika di Abisinia sedang berkecamuk
pemberontakan. Mereka kuatir akan akibatnya. Tetapi setelah Quraisy mengetahui
mereka kembali, kekuatirannya makin bertambah akan besarnya pengaruh Muhammad di
kalangan mereka. Quraisypun lalu membuat rencana mengatur langkah berikutnya,
yang berakhir dengan dibuatnya piagam yang menentukan diantaranya tidak akan
saling mengawinkan, berjual-beli dan bergaul dengan Banu Hasyim, dan yang juga
sudah sepakat diantara mereka, akan membunuh Muhammad jika dapat.
[1] Sekedar gambaran terjemahan ini hanya dari segi ungkapan
sedang perbedaan atau persamaan yang lebih jelas hanya dari segi semantik
menurut bahasa aslinya (A).
Sumber: Sejarah Hidup Muhammad oleh Dr. Mohammad Hussein Haekal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar