Jaman kenabian telah lama berlalu ...
Bahkan jaman sahabat dan tabi'in juga telah banyak terlewati ...
Begitu banyak atau bahkan terlalu sangat banyak hadits² yg disandarkan pada Sunnah Nabi SAW ...
Hingga tercampur antara hadits yang Shohih dan yg palsu ...
Berapa banyak ulama (jaman dulu) yg berusaha dengan segenap jiwa, raga dan harta untuk meneliti jutaan hadits² tersebut ...
Diteliti mana yg hadits shahih, atau bahkan yg palsu ...
Semua ulama itu meneliti dng ikhlash tanpa meminta imbalan uang ...
Bahkan mereka cenderung melupakan dalam mencari harta dunia ...
Jaman sekarang ini, kita tinggal mengamalkan karya² ulama jaman dahulu ...
Yang baik, segera diamalkan, dan yg dianggap buruk ya sudah, jangan dihina ...
----------------------
Sesungguhnya Al Qur'an adalah petunjuk dan dasar hukum bagi manusia yg beriman. Kandungan Al Qur'an yg sangat dalam dan luas, tidak bisa sembarang ditafsirkan. Karena itu dibutuhkan pendukung dan alat2 unt menafsirkan Al Qur'an, salah satunya adalah Al Hadits. Kedudukan Al Qur'an yg tinggi, bagi orang yg mau membacanya (dlm keadaan suci) telah dicatatkan banyak kebaikan, apalagi bagi yg mau mengamalkan kandungan isinya.
Dasar hukum pentingnya hadits sebagai pendamping Al Qur'an, dalam QS.33.Al Ahzab ayat 21:
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلأَْخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيراً
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah."
Ayat diatas menunjukkan bahwa perbuatan, tingkah-laku, perkataan dan persetujuan Nabi SAW. adalah contoh nyata bagi kita semua, dimana hukumnya terdapat dalam Al Qur'an dan penjelasan dalam dunia nyata adalah pada diri Nabi SAW.
Memang tidak semua pada diri Nabi SAW. dapat dicontoh, melainkan harus merujuk dulu dasar hukumnya pada Al Qur'an. Ingatlah, bahwa sesungguhnya Nabi SAW, itu seorang utusan Allah, Tuhan semesta alam, yg tentunya lebih mulia dari seorang atau semua raja dunia, sehingga tentunya ada pengkhususan terhadap beberapa hal pada diri Nabi SAW, yg tidak boleh ditiru atau diterapkan pada umat beliau (umat Nabi SAW).
Ayat dibawah ini lebih jelas menunjukkan perintah untuk mentaati Nabi SAW. walaupun perintah itu tidak menyenangkan hati.
QS.59. Al Hasyr ayat 7:
مَّآ أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ ٱلْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَامَىٰ وَٱلْمَسَـٰكِينِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ كَى لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ ٱلأَْغْنِيَآءِ مِنكُمْ وَمَآ ءَاتَـٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَـٰكُمْ عَنْهُ فَٱنتَهُواْ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ
"Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya."
==============
Kata Hadis secara bahasa berarti al-Jadid (sesuatu yang baru) yang merupakan lawan dari kata al-Qadim (sesuatu yang lama), juga bisa berarti at-Thariq (jalan), al-Khabar (berita), dan as-Sunnah (perjalanan). Menurut Abdul Baqa sebagaimana dikutip Subhi as-Shalih, kata Hadis adalah isim dari kata ahadist yang berarti pembicaraan.
Para ulama hadis dan ulama ushul fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikan hadis secara istilah, sebagaimana berikut:
Pertama, ulama hadis berpendapat bahwa hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, maupun sifat beliau. Mereka juga memandang hadis sebagai sifat-sifat yang melekat pada Nabi Muhammad Saw baik berupa fisik maupun psikis dan akhlak kesehariannya, sebelum atau sesudah diangkat menjadi Rasul.
Kedua, ulama ushul fiqih berpendapat bahwa hadis adalah segala perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi Muhammad Saw yang berkaitan dengan hukum-hukum syara’ dan ketetapannya.
Dalam bahasa sederhananya, ulama hadis memandang segala sesuatu yang melekat pada Nabi Muhammad SAW, sekalipun berbentuk kebiasaan yang bersifat kemanusiaan adalah hadis. Sedangkan ulama ushul fiqih memandang kebiasaan Nabi Muhammad Saw yang bersifat kemanusiaan adalah bukan hadis.
Al Hadits, walaupun tidak ada pahala bagi yg membacanya(sangat berbeda dng Al Qur'an, yg setiap huruf dalam Al Qur'an yg dibaca akan mendapatkan kebaikan/pahala), namun Al-hadits adalah petunjuk dan penuntun bagi orang yg mau mengamalkan kandungan isi Al Qur'an. Bahkan bisa merupakan petunjuk dan penuntun yg sangat detail, lengkap dng perkataan, contoh perbuatan, taqrir/persetujuan dll dari Nabi SAW.
Dalam Hadits, dijelaskan cara2 dan tuntunan yg dapat ditiru dan dilakukan oleh manusia. Contoh sederhana, di Al Qur'an terdapat perintah Sholat (wajib) namun tdk dijabarkan cara2 dan waktu pengerjaan sholat yg 5 waktu. Nah, Haditslah yg dapat menjelaskannya. Tentu saja harus Hadits yg Shohih yg memang sampai kepada Rasulullah SAW.
QS. 2. Al Baqarah: 238-239
حَـٰفِظُواْ عَلَى ٱلصَّلَوَٰتِ وٱلصَّلَوٰةِ ٱلْوُسْطَىٰ وَقُومُواْ لِلَّهِ قَـٰنِتِينَ
فَإنْ خِفْتُمْ فَرِجَالاً أَوْ رُكْبَانًا فَإِذَآ أَمِنتُمْ فَٱذْكُرُواْ ٱللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُم مَّا لَمْ تَكُونُواْ تَعْلَمُونَ
"Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'."
"Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui." (bagaimana caranya Allah mengajarkan hal tersebut kepada kita, hamba²-Nya yg tidak pernah sekalipun dapat melihat Dzat-Nya sampai sekarang? Jawabannya yakni: melalui sunnah Nabi SAW, dan bukan karangan/ijtihad sendiri)
Urut-urutan Hadits dimulai dari Riwayat yg Tershohih:
Selengkapnya silahkan baca: http://tausyiahaditya.blogspot.com/2013/09/pengumpulan-al-quran.html
==============
Namun sayangnya, banyak orang2 atau kaum yg memalsukan Hadits. Hadits palsu yg dibuat dng disandarkan kepada Rasulullah SAW. Menurut mereka baik, namun benarkah demikian ....?
Mereka adalah orang2 yg suka membuat hadits-hadits palsu tentang keutamaan amal, targhib wat tarhib (anjuran dan larangan), dan lain-lain. Anehnya, mereka tidak merasa keberatan bahkan membolehkannya dengan mengharapkan ganjaran dari Allah Jalla wa ‘Ala (padahal haditsnya palsu atau karangan mereka sendiri). Dan apabila mereka diingatkan dengan sabda Nabi SAW,
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتُعُمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَةُ مِنَ النَّارِ
“Barang siapa yang berdusta atas namaku (disandarkan atas Nabi SAW) dengan sengaja, hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di Neraka.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (I/7, 35, 36; II/81 dan IV/145, 157) dan Muslim (I/7, 8), Ahmad (I/83, 321; II/22, 103, 104, 159, 203, 214 dan IV/47, 50, 106, 252), Ibnu Majah (no. 31, 34, 36), Abu Dawud (no. 3651) dan Tirmidzi (IV/142, 147), dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
Kemudian mereka berkata, “Kami tidak berbohong untuk merusak nama atau syari’at Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, akan tetapi kami berbohong untuk membela beliau shallallahu’alaihi wa sallam.”
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini menunjukkan alangkah sempurnanya kejahilan mereka dan sedikitnya akal mereka serta begitu banyaknya dosa dan kebohongan mereka. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak butuh kepada orang lain untuk kesempurnaan syari‘at dan keutamaannya. Mereka ini umumnya kaum yang menyandarkan diri mereka kepada zuhud dan sufi.” [Lihat Al-Maudhu’at (I/37-47), Al-Madkhal (hal. 51-59), Adh-Dhu‘afa’ (I/62-66 dan 85), Majmu‘ Fatawa (XVIII/46), Al-Ba’itsul Hatsits (I/263), Syarh Nukhbatul Fikr (hal. 84-85), dan Mizanul I’tidal (II/644)]
==============
Hadits yg menyatakan keharaman/dosa besar bagi yg menyandarkan hadits palsu/bohong, kepada Rasulullah SAW telah diriwayatkan oleh sedikitnya 80-90 jalan (para sahabat). Sehingga kedudukannya adalah (shohih) mutawatir. Hampir seperti kedudukan kemutawatiran Al Qur'an. Sedangkan ada lagi contoh hadits yg shahih namun diriwayatkan oleh seorang saja yaitu Umar ra. Hadits ini diriwayatkan hanya satu saja (hadits ahad) namun sangat populer di bawahnya (jaman setelah Umar ra). Hadits itu adalah:
عَنْ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
(( إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ، وَإِنَّمَا لإِمْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٌ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ)).
Dari Umar bin al Khaththab, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya perbuatan-perbuatan itu dengan niat, dan sesungguhnya setiap orang bergantung dengan apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya untuk dunia yang ingin ia perolehnya, atau untuk wanita yang ingin ia nikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang berhijrah kepadanya.”
DERAJAT, KEDUDUKAN DAN MAKNA GLOBAL HADITS
Al Hafizh Ibnu Rajab al Hanbali rahimahullah berkata, “Para ulama telah sepakat atas keshahihan dan diterimanya hadits ini. Dan al Bukhari pun memulai kitab Shahih-nya dengan hadits ini, dan memposisikannya sebagai khuthbah (muqaddimah)nya. Hal ini sebagai isyarat dari beliau bahwa setiap amalan (apapun) yang tidak diperuntukkan (dalam mengamalkannya) karena wajah Allah, maka amalan tersebut bathil, tidak menghasilkan suatu apapun, baik di dunia maupun di akhirat”
==============
CONTOH-CONTOH HADITS AHAD
Contoh-contoh hadits ahad yang diterima, disepakati dan dijadikan dalil oleh para ulama dari zaman ke zaman, yang di dalamnya disamping berbicara tentang aqidah, tetapi juga hukum, atau yang lainnya. Karena keduanya berkaitan. Contohnya, kita lihat satu per satu.
Contoh pertama, hadits nomor 1, yang kami bawakan dari Shahih Bukhariyaitu sebuah hadits ahad dan gharib.
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya amal itu dengan niat, dan sesungguhnya bagi masing-masing orang apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yangakan ia dapatkan atau kepada perempuan yang akan dia nikahi maka (hasil) hijrahnya adalah apa yang dia niatkan”. [Muttafaqun ‘alaih].
Apakah hadits ini tidak berbicara tentang aqidah? Bahkan hadits ini berbicara tentang salah satu diterimanya amal, tentang ikhlas yang merupakan syarat diterimanya amal seseorang. Hadits ini, jelas merupakan hadits ahad, dan termasuk ke dalam bagian hadits gharib, karena tidak diriwayatkan, kecuali dari jalan Umar bin Khaththab. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya, kecuali Al Qamah bin Waqqash Al Laitsi. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya, kecuali Muhammad bin Ibrahim At Taimi. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya, kecuali Yahya bin Sa’id Al Anshari. Kemudian dari beliau ini diriwayatkan oleh puluhan perawi, bahkan mungkin ratusan. Awalnya mutawatir, akhirnya ahad dan gharib. Ini salah satu contoh hadits yang diterima oleh para ulama, bahkan hampir sebagian besar ulama.
Contoh hadits kedua, yaitu hadits nomor 7, yang diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari. Hadits yang panjang, berbicara tentang hukum, aqidah, adab dan lain-lain. Yaitu hadits tentang kisah Hiraklius. Hadits ini telah diterima oleh para ulama. Di dalamnya diceritakan, Hiraklius bertanya kepada Abu Sufyan, yang ketika itu ia masih musyrik, berkaitan dengan dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diantaranya, Hiraklius bertanya kepada Abu Sufyan :
مَاذَا يَأْمُرُكُمْ قُلْتُ يَقُولُ اعْبُدُوا اللَّهَ وَحْدَهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَاتْرُكُوا مَا يَقُولُ آبَاؤُكُمْ وَيَأْمُرُنَا بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَالصِّدْقِ وَالْعَفَافِ وَالصِّلَةِ
“Apa yang diperintahkan oleh Muhammad kepada kalian? Aku (Abu Sufyan) menjawab,”Muhammad mengatakan: ‘ Sembahlah Allah semata dan janganlah kalian menyekutukanNya dengan sesuatu apapun, tinggalkanlah apa yang dikatakan (diyakini) oleh bapak-bapak (nenek moyang) kalian’. Muhammad (juga) menyuruh kami untuk shalat, zakat, jujur, menjaga harga diri dan menyambung tali silaturrahim…”” Apakah yang dimaksudkan dalam hadits ini bukan aqidah? Demikian ini aqidah, merupakan hadits ahad dan bukan mutawatir. Bahkan dalam hadits yang mulia ini terdapat surat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ سَلَامٌ عَلَى مَنْ اتَّبَعَ الْهُدَى أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ الْإِسْلَامِ أَسْلِمْ تَسْلَمْ يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الْأَرِيسِيِّينَ وَ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَنْ لَا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
“Bismillahirrahmanirrahim, dari Muhammad hamba Allah dan RasulNya kepada Hirakla (Hiraklius) pembesar Romawi, keselamatan atas orang yang mengikuti petunjuk, amma ba’du. Sesungguhnya aku mengajakmu dengan ajakan Islam, Islamlah! Engkau pasti akan selamat dan Allah akan memberikan kepadamu balasan dua kali lipat. Jika engkau berpaling, maka engkau akan menanggung dosa-dosa rakyatmu. (Kemudian Rasulullah membawakan ayat, yang artinya:) Katakanlah:”Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Ilah selain Allah.Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka : “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. [Ali Imran:64].
Surat ini mengajak Hiraklius untuk masuk Islam, kembali ke agama tauhid. Apakah seperti ini bukan aqidah? Demikian ini adalah masalah aqidah. Bahkan dalam hadits ini terkumpul masalah akhlak, hukum, aqidah dan sebagainya. Kalau hadits ahad tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dalam masalah aqidah, maka hadits yang mulia ini tertolak.
Contoh yang ke tiga, hadits nomor 8 di dalam Shahih Bukhari. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dan yang lainnya. Hadits ini ahad. Tetapi sepengetahuan kami, hadits ini masyhur, yaitu dari jalan Ibnu Umar.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَان َ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Islam dibangun diatas lima asas (yaitu) syahadat (persaksian) bahwa tidak Ilah yang hak kecuali Allah dan syahadat bahwa Muhammad itu Rasulullah, mendirikan shalat, memberikan zakat, haji dan puasa ramadlan (dalam riwayat lain puasa Ramadlan baru haji)” Bukankah hadits ini telah disepakati oleh para ulama dan diterima dari zaman ke zaman? Hadits ini menjelaskan tentang rukun-rukun Islam, dan diawali dengan syahadat. Apakah ini bukan masalah aqidah? Disini kita melihat lagi bahwa satu hadits, selain berbicara masalah aqidah, juga masalah hukum.
Contoh ke empat, yaitu hadits nomor 9, di dalam Shahih Bukhari. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dan yang lainnya. Hadits ini, selain ahad juga gharib, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
“Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salalm bersabda, ‘Iman itu ada enam puluh cabang lebih dan rasa malu merupakan salah satu cabang iman”. Hadits ini menjelaskan tentang cabang keimanan. Yakni, iman itu mempunyai enam puluh cabang lebih.
Dan di riwayat Imam Muslim,
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
“Iman itu tujuhpuluh cabang lebih, Yang paling tinggi adalah ucapan laailaha illallaah, dan yang paling rendah ialah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu merupakan salah satu cabang iman”. Hadits ini juga berbicara tentang aqidah, hukum, akhlak dan adab, seperti menghilangkan gangguan dari jalan. Padahal ini merupakan hadits ahad dan gharib.
Contoh yang ke lima, hadits yang ke 14 dan 15. Ini juga merupakan hadits ahad, berbicara tentang aqidah. Yaitu kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salllam dan cara mencapai kesempurnaan cinta kepadanya. Diriwayatkan dari jalan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, tidak akan beriman (sempurna keimanan) salah seorang diantara kalian sampai aku lebih dicintai daripada bapak dan anaknya”.
Dan hadits nomor 15, dari jalan Anas:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm bersabda, ‘Tidak akan beriman (tidak akan sempurna keimanan) salah seorang diantara kalian sampai aku lebih dicintai daripada bapak dan anaknya dan semua orang”. Ini juga berbicara tentang aqidah.
Contoh yang ke enam, hadits nomor 16, tentang kelezatan atau manisnya iman yang dapat dirasakan oleh seseorang. Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
قَالَ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ada tiga hal, jika ketiganya terkumpul pada diri seseorang maka ia akan mendapatkan manisnya iman; (yaitu) Allah dan Rasulnya lebih dicintai daripada selain keduanya, mencintai seseorang, ia tidak mencintainya kecuali karena Allah dan benci kembali kepada kekufuran sebagaimana dia benci dilempar kedalam api neraka”. Hadits ini juga berbicara tentang cinta kepada Allah, RasulNya dan juga keimanan. Bahwa iman itu punya rasa. Demikian ini adalah masalah aqidah.
Contoh yang ke tujuh, hadits nomor 26.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ فَقَالَ إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ حَجٌّ مَبْرُورٌ “Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya: “Amal apakah yang paling afdhal?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Iman kepada Allah dan RasulNya.” Kemudian ditanya lagi, ‘Lalu apa lagi ?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Jihad di jalan Allah’. Kemudian ditanya lagi, ‘Lalu apa lagi ?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Haji yang mabrur.’
Hadits yang mulia ini menjelaskan tentang iman. Bahwa iman itu masuk dalam bagian amal, dan amal itu masuk dalam bagian iman. Oleh karena itu, Imam Bukhari memberikan Bab : Man Qaala Annal Iman Huwal Amal, bahwa amal itu masuk dalam iman. Sehingga, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang amal yang paling afdhal, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab iman kepada Allah. Hadits ini telah diterima oleh semua ulama Ahlus Sunnah untuk menetapkan, bahwa amal itu masuk dalam bagian iman. Yang tentunya akan menjelaskan kepada kita, bila iman itu bisa bertambah karena perbuatan ta’at, dan bisa berkurang karena perbuatan maksiat.
Contoh ke delapan, hadits nomor 32, dari jalan Abdullah bin Mas’ud.
قَالَ لَمَّا نَزَلَتْ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ قَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّنَا لَمْ يَظْلِمْ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Ibnu Mas’ud mengatakan, “ketika turun firman Allah (yang artinya) Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al An’am 82), para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Siapakah diantara kita yang tidak berbuat zhalim ?’ lalu Allah menurunkan firmanNya (yang artinya), sesungguhnya kesyirikan itu adalah kezhaliman yang besar” Ketika ayat Al An’am 82 diturunkan, para sahabat merasa susah dan berat. Mereka mengatakan, siapakah diantara kita yang tidak menzhalimi dirinya? Maka Rasulullah n menjelaskan kepada mereka, bahwa bukan itu yang dimaksud; tidakkah kalian mendengar perkataan Luqman kepada anaknya? Jadi zhulm (kezhaliman) disini, maksudnya adalah syirik. Ini juga berbicara tentang aqidah, antara tauhid dan syirik.
Contoh ke sembilan, hadits no. 39, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ
“Sesungguhnya agama itu adalah mudah” Ini juga berbicara tentang aqidah, bahkan berbicara tentang agama ini secara keseluruhan. Bahwa ajaran Islam, pengamalan dan dakwahnya adalah mudah. Apakah ini tidak berbicara aqidah? Hadits ini berbicara tentang Islam, dan tentunya kaffah. Sebagaimana Allah memerintahkan kepada kita untuk masuk Islam secara kaffah (menyeluruh).
Contoh ke sepuluh, hadits nomor 50. Yaitu hadits tentang Jibril yang datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya Islam, iman dan ihsan, dan di Shahih Bukhari diringkas.
مَا الْإِيمَانُ قَالَ الْإِيمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَبِلِقَائِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ قَالَ مَا الْإِسْلَامُ قَالَ الْإِسْلَامُ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ وَلَا تُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ وَتُؤَدِّيَ الزَّكَاةَ الْمَفْرُوضَةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ قَالَ مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Apakah iman ? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikatNya, kitab-kitabNya, pertemuan denganNya, para rasulNya dan beriman kepada hari kebangkitan.’ Jibril bertanya, ‘Apakah Islam ? Rasulullah n bersabda, ‘Islam adalah engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan sesuatupun denganNya, mendirikan shalat, menunaikan zakat yang wajib, puasa Ramadlan. Jibril bertanya, ‘Apakah Ihsan ? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm bersabda, ‘Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya, jika engkau tidak bisa melihatnya maka sesungguhnya Dia melihatmu …” Hadits ini termasuk ahad.
Contoh ke sebelas, hadits nomor 53, yaitu hadits tentang utusan Abdul Qais yang datang kepada Rasulullah, lalu menyambut mereka dan memerintahkan kepada mereka empat perkara dan melarang dari empat perkara.
أَمَرَهُمْ بِالْإِيمَانِ بِاللَّهِ وَحْدَهُ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْإِيمَانُ بِاللَّهِ وَحْدَهُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامُ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءُ الزَّكَاةِ وَصِيَامُ رَمَضَانَ وَأَنْ تُعْطُوا مِنْ الْمَغْنَمِ الْخُمُسَ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah mereka agar beriman kepada Allah Azza wa Jalla semata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Tahukah kalian, apakah berimankepaada Allah semata itu? Mereka menjawab, ‘Allah dan RasulNya lebih tahu. Beliau menerangkan, ‘syahadat (persaksian) bahwa tidak ilah yang haq kecuali Allah dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salalm itu Rasulullah, menegakkan shalat, memberikan zakat, puasa Ramadlan dan memberikan seperlima dari ghanimah…” Ini juga berbicara tentang iman.
Contoh ke duabelas, hadits nomor 1392, dan di beberapa tempat lainnya, dari jalan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma.
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ ادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ
“Bahwasanya rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz Radhiyallahu ‘anhu ke Yaman, lalu rasulullah bersabda, ‘Serulah mereka kepada syahadat (persaksian) bahwa tidak ilah yang haq kecuali Allah dan bahwasanya aku Rasulullah. Jika mereka mentaatimu dalam hal itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima kali sehari semalam. Jika mereka mentaatimu dalam hal itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka zakat dalam harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir mereka”. Hadits yang mulia ini diterima oleh seluruh ulama. Apakah hadits ini bukan berbicara masalah aqidah? Bahkan ini merupakan asas dalam Islam. Tidak ada Islam tanpa syahadat tauhid.
Contoh ke tigabilas, dari selain Bukhari. Yaitu hadits yang masyhur dan telah diterima oleh para ulama.
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya mantera-mantera (yang bathil), jimat dan pelet termasuk bagian syirik”. Tentunya mantera-mantera yang dimaksudkan disini adalah mantera yang bathil. Karena ruqyah (pengobatan dengan bacaan) itu ada dua, ada yang syar’i dan yang tidak syar’i. Hadits ini juga ahad, dan masih banyak lagi contoh-contoh tentang hadits ahad yang berkaitan dengan aqidah, dan diterima oleh para ulama.
PEMBAGIAN HADITS MENJADI MUTAWATIR DAN AHAD
Pembagian hadits menjadi mutawatir dan ahad, memang ada dalam kaidah ilmu hadits. Namun perlu diketahui, bahwa para ulama membagi hadits menjadi mutawatir dan ahad bukan untuk menolak hadits. Pembagian itu merupakan tinjauan ilmiah, berdasarkan jumlah (banyak atau sedikiknya) perawi yang meriwayatkannya. Sebagian tinjauan mereka berdasarkan shahih dan lemahnya suatu riwayat. Berdasarkan jumlah perawinya, jika perawi suatu hadits itu banyak, maka para ulama mengatakan bahwa hadits itu mutawatir, meskipun mereka masih berbeda pendapat tentang batasan banyak atau sedikit. Juga ada definisi lain tentang mutawatir ini, yaitu jika hadits tersebut diketahui keshahihannya dan diterima secara mutlak oleh para ulama. Definisi ini dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Adapun hadits ahad, yaitu hadits di bawah mutawatir. Mereka membagi menjadi:
– Gharib, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh satu orang sahabat saja, sebagaimana hadits pada contoh pertama dan ke empat di atas.
– Aziz, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh dua orang sahabat, walaupun lafazhnya agak berbeda.
– Masyhur, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang sahabat yang berbeda. Ini semua termasuk dalam bagian hadits ahad. Maka disini ada pembagian hadits menjadi hadits shahih, hasan dan dha’if. Jika perawinya lebih dari tiga, maka disebut mutawatir.
Demikian jika mengumpulkan antara dua definisi diatas. Contoh hadits seperti ini sangat banyak. Misalnya:
من كذب على فليتبوا مقعده من النار
“Barangsiapa yang berdusta atas namaku, maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya dari neraka”
Hadits tentang azab kubur ini juga mutawatir maknawi (secara makna). Begitu juga tentang turunnya Isa Alaihissallam di akhir zaman, munculnya Dajjal, haudh (telaga) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentang bumi berlapis tujuh. Dan masih banyak lagi contohnya. Adapun berdasarkan difinisi Syaikhul Islam, yaitu hadits yang diketahui keshahihannya dan diterima secara mutlak oleh para ulama, bisa juga disebut mutawatir. Ini sangat banyak sekali, terutama hadits-hadits yang berada di shahih Bukhari dan Muslim.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun VIII/1425H/2004M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
Referensi: https://almanhaj.or.id/2854-contoh-contoh-hadits-ahad.html
=============
Ciri-Ciri Hadits Palsu
Para ulama ahli hadits telah menetapkan beberapa kaidah dan ciri-ciri untuk mengetahui kepalsuan suatu hadits. Dan ciri-ciri ini dibagi menjadi dua:
Pertama, dilihat dari sisi sanad.
Ada banyak hal yang dapat digunakan untuk mengetahui kepalsuan suatu hadits dilihat dari sisi sanadnya, diantaranya adalah:
1. Salah satu perawinya adalah seorang pendusta dan hadits itu hanya diriwayatkan olehnya. Selain itu, tidak ada seorang perawi terpercaya yang meriwayatkan hadits itu darinya.
2. Orang yang memalsukan hadits tersebut mengakui perbuatannya memalsukan hadits, seperti yang diakui oleh Abdul Karim bin Abi Auja’ yang mengaku telah memalsukan 4000 hadits.
3. Terbongkarnya kedustaan orang yang meriwayatkan hadits tersebut. Imam Al-‘Iroqi berkata, “Seperti orang yang menceritakan sebuah hadits, dia mengaku bahwa dia mendengarnya dari seorang syaikh pada tahun sekian, padahal syaikh tersebut telah meninggal dunia pada tahun sebelumnya. Dan hadits itu hanya diriwayatkan darinya saja.” [Lihat At-Taqyid wal Idhah (hal. 110)]
4. Adanya bukti kuat yang menunjukkan bahwa perawi hadits tersebut adalah seorang pendusta. Misalkan kenyataan bahwa dia adalah seorang Syi’ah yang fanatik kepada golongannya, kemudian dia meriwayatkan hadits yang mencela para sahabat dan mengagungkan ahlul bait.
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,“Bahwa bila sanad hadits itu shahih dapat diterima. Namun, bila tidak shahih maka harus ditinggalkan. Dinyatakan hubungan hadits dengan sanadnya seperti antara hubungan hewan dengan kakinya.” [Lihat Syarh Shahih Muslim (I/88)]
Dan sejak kasus pemalsuan hadits berkembang di tengah masyarakat Muslim, sebelum para imam ahli hadits itu menerima suatu hadits, mereka terlebih dahulu melakukan kritik sanad (naqdu al-sanad). Atau istilah lain yang juga biasa dipakai untuk melakukan kritik sanad itu ialah kritik ekstern. Para sahabat dan tabi’in adalah yang pertama kali menyeleksi hadits, diantaranya adalah dengan berpegang teguh kepada sanad. [Lihat As-Sunnah Qabla At-Tadwin (hal. 219), Al-Manhal Rawi (hal. 33), dan Tadribur Rawi (I/63)]
Kedua, dilihat dari sisi matan.
Matan (متن) adalah kalam (perkataan) yang disampaikan oleh sanad yang terakhir. [Lihat Syarah Nukhbatul Fikr (hal. 40) dan Tadribur Rawi (I/28)]
Diantara hal penting yang dapat diketahui dari sisi matan adalah:
1. Susunan dan tata bahasanya buruk. Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang dianugrahi kemampuan untuk meringkas kalimat dengan padat, jelas dan bermakna luas (jawami’ul kalim). Oleh sebab itu, setiap kalimat yang buruk tata bahasa dan susunannya, dipastikan bukan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Namun demikian, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata, “Buruknya tata bahasa (dalam menyampaikan hadits) tidak selamanya menunjukkan bahwa hadits itu palsu. Karena diperbolehkan untuk meriwayatkan hadits dengan makna (yang sesuai dengan hadits tersebut). Namun jika perawi hadits itu mengatakan dengan tegas bahwa (hadits) ini adalah ucapan Rasulullah maka keburukan tata bahasanya menunjukkan kepalsuan (hadits)nya.” [Lihat An-Nukat ‘ala Kitab Ibnu Shalah (hal. 360)]
2. Makna haditsnya rusak. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnul Jauzi rahimahullah, “Jika engkau melihat ada sebuah hadits yang bertentangan dengan akal sehat atau bertabrakan dengan nash (dalil) yang qath’i serta bertentangan dengan sebuah dasar hukum, ketahuilah bahwa itu adalah sebuah hadits palsu.” [Lihat Hadits Lemah dan Palsu (hal. 38)]
3. Haditsnya bertentangan dengan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih, dan hadits tersebut tidak mungkin untuk dibawa pada makna yang benar.
4. Haditsnya bertentangan dengan fakta sejarah pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
5. Haditsnya sesuai dengan madzhab dari perawinya, dan diketahui bahwa perawi tersebut adalah orang yang sangat fanatik terhadap madzhabnya.
6. Hadits tersebut seharusnya diriwayatkan oleh banyak orang, karena hadits itu disampaikan disebuah tempat yang didengar oleh banyak orang dan merupakan sebuah perkara besar. Namun, ternyata tidak ada yang meriwayatkan hadits tersebut kecuali darinya saja.
7. Hadits yang menunjukkan adanya pahala besar untuk sebuah amal perbuatan yang kecil. Atau hadits yang menyebutkan tentang ancaman yang begitu dahsyat atas sebuah dosa yang kecil. Hadits-hadits semacam ini banyak dijumpai dikalangan tukang cerita dan kaum sufi.
8. Hadits itu terdapat dalam sebuah kitab atau buku tanpa disebutkan siapa yang meriwayatkannya dan juga tanpa disebutkan sanadnya. Padahal sanad adalah tolok-ukur diterima atau ditolaknya suatu hadits. Sebagaimana dikatakan oleh Imam ‘Abdullah bin Mubarak rahimahullah, “Sanad adalah bagian dari agama. Seandainya tidak ada sanad maka semua orang akan berbicara semaunya.” [Lihat Muqaddimah Shahih Muslim (I/15)]
Untuk lebih jelasnya, silakan merujuk pada kitab Al-Manarul Munif fish Shahih wadh Dha’if, karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah.
Bahkan jaman sahabat dan tabi'in juga telah banyak terlewati ...
Begitu banyak atau bahkan terlalu sangat banyak hadits² yg disandarkan pada Sunnah Nabi SAW ...
Hingga tercampur antara hadits yang Shohih dan yg palsu ...
Berapa banyak ulama (jaman dulu) yg berusaha dengan segenap jiwa, raga dan harta untuk meneliti jutaan hadits² tersebut ...
Diteliti mana yg hadits shahih, atau bahkan yg palsu ...
Semua ulama itu meneliti dng ikhlash tanpa meminta imbalan uang ...
Bahkan mereka cenderung melupakan dalam mencari harta dunia ...
Jaman sekarang ini, kita tinggal mengamalkan karya² ulama jaman dahulu ...
Yang baik, segera diamalkan, dan yg dianggap buruk ya sudah, jangan dihina ...
----------------------
Sesungguhnya Al Qur'an adalah petunjuk dan dasar hukum bagi manusia yg beriman. Kandungan Al Qur'an yg sangat dalam dan luas, tidak bisa sembarang ditafsirkan. Karena itu dibutuhkan pendukung dan alat2 unt menafsirkan Al Qur'an, salah satunya adalah Al Hadits. Kedudukan Al Qur'an yg tinggi, bagi orang yg mau membacanya (dlm keadaan suci) telah dicatatkan banyak kebaikan, apalagi bagi yg mau mengamalkan kandungan isinya.
Dasar hukum pentingnya hadits sebagai pendamping Al Qur'an, dalam QS.33.Al Ahzab ayat 21:
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلأَْخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيراً
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah."
Ayat diatas menunjukkan bahwa perbuatan, tingkah-laku, perkataan dan persetujuan Nabi SAW. adalah contoh nyata bagi kita semua, dimana hukumnya terdapat dalam Al Qur'an dan penjelasan dalam dunia nyata adalah pada diri Nabi SAW.
Memang tidak semua pada diri Nabi SAW. dapat dicontoh, melainkan harus merujuk dulu dasar hukumnya pada Al Qur'an. Ingatlah, bahwa sesungguhnya Nabi SAW, itu seorang utusan Allah, Tuhan semesta alam, yg tentunya lebih mulia dari seorang atau semua raja dunia, sehingga tentunya ada pengkhususan terhadap beberapa hal pada diri Nabi SAW, yg tidak boleh ditiru atau diterapkan pada umat beliau (umat Nabi SAW).
Ayat dibawah ini lebih jelas menunjukkan perintah untuk mentaati Nabi SAW. walaupun perintah itu tidak menyenangkan hati.
QS.59. Al Hasyr ayat 7:
مَّآ أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ ٱلْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَامَىٰ وَٱلْمَسَـٰكِينِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ كَى لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ ٱلأَْغْنِيَآءِ مِنكُمْ وَمَآ ءَاتَـٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَـٰكُمْ عَنْهُ فَٱنتَهُواْ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ
"Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya."
==============
Kata Hadis secara bahasa berarti al-Jadid (sesuatu yang baru) yang merupakan lawan dari kata al-Qadim (sesuatu yang lama), juga bisa berarti at-Thariq (jalan), al-Khabar (berita), dan as-Sunnah (perjalanan). Menurut Abdul Baqa sebagaimana dikutip Subhi as-Shalih, kata Hadis adalah isim dari kata ahadist yang berarti pembicaraan.
Para ulama hadis dan ulama ushul fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikan hadis secara istilah, sebagaimana berikut:
Pertama, ulama hadis berpendapat bahwa hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, maupun sifat beliau. Mereka juga memandang hadis sebagai sifat-sifat yang melekat pada Nabi Muhammad Saw baik berupa fisik maupun psikis dan akhlak kesehariannya, sebelum atau sesudah diangkat menjadi Rasul.
Kedua, ulama ushul fiqih berpendapat bahwa hadis adalah segala perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi Muhammad Saw yang berkaitan dengan hukum-hukum syara’ dan ketetapannya.
Dalam bahasa sederhananya, ulama hadis memandang segala sesuatu yang melekat pada Nabi Muhammad SAW, sekalipun berbentuk kebiasaan yang bersifat kemanusiaan adalah hadis. Sedangkan ulama ushul fiqih memandang kebiasaan Nabi Muhammad Saw yang bersifat kemanusiaan adalah bukan hadis.
Al Hadits, walaupun tidak ada pahala bagi yg membacanya(sangat berbeda dng Al Qur'an, yg setiap huruf dalam Al Qur'an yg dibaca akan mendapatkan kebaikan/pahala), namun Al-hadits adalah petunjuk dan penuntun bagi orang yg mau mengamalkan kandungan isi Al Qur'an. Bahkan bisa merupakan petunjuk dan penuntun yg sangat detail, lengkap dng perkataan, contoh perbuatan, taqrir/persetujuan dll dari Nabi SAW.
Dalam Hadits, dijelaskan cara2 dan tuntunan yg dapat ditiru dan dilakukan oleh manusia. Contoh sederhana, di Al Qur'an terdapat perintah Sholat (wajib) namun tdk dijabarkan cara2 dan waktu pengerjaan sholat yg 5 waktu. Nah, Haditslah yg dapat menjelaskannya. Tentu saja harus Hadits yg Shohih yg memang sampai kepada Rasulullah SAW.
QS. 2. Al Baqarah: 238-239
حَـٰفِظُواْ عَلَى ٱلصَّلَوَٰتِ وٱلصَّلَوٰةِ ٱلْوُسْطَىٰ وَقُومُواْ لِلَّهِ قَـٰنِتِينَ
فَإنْ خِفْتُمْ فَرِجَالاً أَوْ رُكْبَانًا فَإِذَآ أَمِنتُمْ فَٱذْكُرُواْ ٱللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُم مَّا لَمْ تَكُونُواْ تَعْلَمُونَ
"Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'."
"Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui." (bagaimana caranya Allah mengajarkan hal tersebut kepada kita, hamba²-Nya yg tidak pernah sekalipun dapat melihat Dzat-Nya sampai sekarang? Jawabannya yakni: melalui sunnah Nabi SAW, dan bukan karangan/ijtihad sendiri)
Urut-urutan Hadits dimulai dari Riwayat yg Tershohih:
- Hadits Mutawatir (disepakati dan dikeluarkan oleh banyak ulama ahli hadits, yakni (utama)Bukhary dan Muslim, (tambahan) Atturmudzi, Annasai, Abu Dawud dll)
- Muttafaqun 'alaih (disepakati dan dikeluarkan oleh Bukhary dan Muslim)
- Hadits Shohih Riwayat Bukhary atau Riwayat Muslim
- Hadits Shohih dari Kitab Sunan2 (Atturmudzi, Annasai, Abu Dawud dll)
Selengkapnya silahkan baca: http://tausyiahaditya.blogspot.com/2013/09/pengumpulan-al-quran.html
==============
Namun sayangnya, banyak orang2 atau kaum yg memalsukan Hadits. Hadits palsu yg dibuat dng disandarkan kepada Rasulullah SAW. Menurut mereka baik, namun benarkah demikian ....?
Mereka adalah orang2 yg suka membuat hadits-hadits palsu tentang keutamaan amal, targhib wat tarhib (anjuran dan larangan), dan lain-lain. Anehnya, mereka tidak merasa keberatan bahkan membolehkannya dengan mengharapkan ganjaran dari Allah Jalla wa ‘Ala (padahal haditsnya palsu atau karangan mereka sendiri). Dan apabila mereka diingatkan dengan sabda Nabi SAW,
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتُعُمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَةُ مِنَ النَّارِ
“Barang siapa yang berdusta atas namaku (disandarkan atas Nabi SAW) dengan sengaja, hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di Neraka.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (I/7, 35, 36; II/81 dan IV/145, 157) dan Muslim (I/7, 8), Ahmad (I/83, 321; II/22, 103, 104, 159, 203, 214 dan IV/47, 50, 106, 252), Ibnu Majah (no. 31, 34, 36), Abu Dawud (no. 3651) dan Tirmidzi (IV/142, 147), dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
Kemudian mereka berkata, “Kami tidak berbohong untuk merusak nama atau syari’at Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, akan tetapi kami berbohong untuk membela beliau shallallahu’alaihi wa sallam.”
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini menunjukkan alangkah sempurnanya kejahilan mereka dan sedikitnya akal mereka serta begitu banyaknya dosa dan kebohongan mereka. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak butuh kepada orang lain untuk kesempurnaan syari‘at dan keutamaannya. Mereka ini umumnya kaum yang menyandarkan diri mereka kepada zuhud dan sufi.” [Lihat Al-Maudhu’at (I/37-47), Al-Madkhal (hal. 51-59), Adh-Dhu‘afa’ (I/62-66 dan 85), Majmu‘ Fatawa (XVIII/46), Al-Ba’itsul Hatsits (I/263), Syarh Nukhbatul Fikr (hal. 84-85), dan Mizanul I’tidal (II/644)]
==============
Hadits yg menyatakan keharaman/dosa besar bagi yg menyandarkan hadits palsu/bohong, kepada Rasulullah SAW telah diriwayatkan oleh sedikitnya 80-90 jalan (para sahabat). Sehingga kedudukannya adalah (shohih) mutawatir. Hampir seperti kedudukan kemutawatiran Al Qur'an. Sedangkan ada lagi contoh hadits yg shahih namun diriwayatkan oleh seorang saja yaitu Umar ra. Hadits ini diriwayatkan hanya satu saja (hadits ahad) namun sangat populer di bawahnya (jaman setelah Umar ra). Hadits itu adalah:
عَنْ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
(( إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ، وَإِنَّمَا لإِمْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٌ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ)).
Dari Umar bin al Khaththab, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya perbuatan-perbuatan itu dengan niat, dan sesungguhnya setiap orang bergantung dengan apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya untuk dunia yang ingin ia perolehnya, atau untuk wanita yang ingin ia nikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang berhijrah kepadanya.”
DERAJAT, KEDUDUKAN DAN MAKNA GLOBAL HADITS
Al Hafizh Ibnu Rajab al Hanbali rahimahullah berkata, “Para ulama telah sepakat atas keshahihan dan diterimanya hadits ini. Dan al Bukhari pun memulai kitab Shahih-nya dengan hadits ini, dan memposisikannya sebagai khuthbah (muqaddimah)nya. Hal ini sebagai isyarat dari beliau bahwa setiap amalan (apapun) yang tidak diperuntukkan (dalam mengamalkannya) karena wajah Allah, maka amalan tersebut bathil, tidak menghasilkan suatu apapun, baik di dunia maupun di akhirat”
==============
CONTOH-CONTOH HADITS AHAD
Contoh-contoh hadits ahad yang diterima, disepakati dan dijadikan dalil oleh para ulama dari zaman ke zaman, yang di dalamnya disamping berbicara tentang aqidah, tetapi juga hukum, atau yang lainnya. Karena keduanya berkaitan. Contohnya, kita lihat satu per satu.
Contoh pertama, hadits nomor 1, yang kami bawakan dari Shahih Bukhariyaitu sebuah hadits ahad dan gharib.
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya amal itu dengan niat, dan sesungguhnya bagi masing-masing orang apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yangakan ia dapatkan atau kepada perempuan yang akan dia nikahi maka (hasil) hijrahnya adalah apa yang dia niatkan”. [Muttafaqun ‘alaih].
Apakah hadits ini tidak berbicara tentang aqidah? Bahkan hadits ini berbicara tentang salah satu diterimanya amal, tentang ikhlas yang merupakan syarat diterimanya amal seseorang. Hadits ini, jelas merupakan hadits ahad, dan termasuk ke dalam bagian hadits gharib, karena tidak diriwayatkan, kecuali dari jalan Umar bin Khaththab. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya, kecuali Al Qamah bin Waqqash Al Laitsi. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya, kecuali Muhammad bin Ibrahim At Taimi. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya, kecuali Yahya bin Sa’id Al Anshari. Kemudian dari beliau ini diriwayatkan oleh puluhan perawi, bahkan mungkin ratusan. Awalnya mutawatir, akhirnya ahad dan gharib. Ini salah satu contoh hadits yang diterima oleh para ulama, bahkan hampir sebagian besar ulama.
Contoh hadits kedua, yaitu hadits nomor 7, yang diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari. Hadits yang panjang, berbicara tentang hukum, aqidah, adab dan lain-lain. Yaitu hadits tentang kisah Hiraklius. Hadits ini telah diterima oleh para ulama. Di dalamnya diceritakan, Hiraklius bertanya kepada Abu Sufyan, yang ketika itu ia masih musyrik, berkaitan dengan dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diantaranya, Hiraklius bertanya kepada Abu Sufyan :
مَاذَا يَأْمُرُكُمْ قُلْتُ يَقُولُ اعْبُدُوا اللَّهَ وَحْدَهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَاتْرُكُوا مَا يَقُولُ آبَاؤُكُمْ وَيَأْمُرُنَا بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَالصِّدْقِ وَالْعَفَافِ وَالصِّلَةِ
“Apa yang diperintahkan oleh Muhammad kepada kalian? Aku (Abu Sufyan) menjawab,”Muhammad mengatakan: ‘ Sembahlah Allah semata dan janganlah kalian menyekutukanNya dengan sesuatu apapun, tinggalkanlah apa yang dikatakan (diyakini) oleh bapak-bapak (nenek moyang) kalian’. Muhammad (juga) menyuruh kami untuk shalat, zakat, jujur, menjaga harga diri dan menyambung tali silaturrahim…”” Apakah yang dimaksudkan dalam hadits ini bukan aqidah? Demikian ini aqidah, merupakan hadits ahad dan bukan mutawatir. Bahkan dalam hadits yang mulia ini terdapat surat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ سَلَامٌ عَلَى مَنْ اتَّبَعَ الْهُدَى أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ الْإِسْلَامِ أَسْلِمْ تَسْلَمْ يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الْأَرِيسِيِّينَ وَ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَنْ لَا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
“Bismillahirrahmanirrahim, dari Muhammad hamba Allah dan RasulNya kepada Hirakla (Hiraklius) pembesar Romawi, keselamatan atas orang yang mengikuti petunjuk, amma ba’du. Sesungguhnya aku mengajakmu dengan ajakan Islam, Islamlah! Engkau pasti akan selamat dan Allah akan memberikan kepadamu balasan dua kali lipat. Jika engkau berpaling, maka engkau akan menanggung dosa-dosa rakyatmu. (Kemudian Rasulullah membawakan ayat, yang artinya:) Katakanlah:”Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Ilah selain Allah.Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka : “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. [Ali Imran:64].
Surat ini mengajak Hiraklius untuk masuk Islam, kembali ke agama tauhid. Apakah seperti ini bukan aqidah? Demikian ini adalah masalah aqidah. Bahkan dalam hadits ini terkumpul masalah akhlak, hukum, aqidah dan sebagainya. Kalau hadits ahad tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dalam masalah aqidah, maka hadits yang mulia ini tertolak.
Contoh yang ke tiga, hadits nomor 8 di dalam Shahih Bukhari. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dan yang lainnya. Hadits ini ahad. Tetapi sepengetahuan kami, hadits ini masyhur, yaitu dari jalan Ibnu Umar.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَان َ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Islam dibangun diatas lima asas (yaitu) syahadat (persaksian) bahwa tidak Ilah yang hak kecuali Allah dan syahadat bahwa Muhammad itu Rasulullah, mendirikan shalat, memberikan zakat, haji dan puasa ramadlan (dalam riwayat lain puasa Ramadlan baru haji)” Bukankah hadits ini telah disepakati oleh para ulama dan diterima dari zaman ke zaman? Hadits ini menjelaskan tentang rukun-rukun Islam, dan diawali dengan syahadat. Apakah ini bukan masalah aqidah? Disini kita melihat lagi bahwa satu hadits, selain berbicara masalah aqidah, juga masalah hukum.
Contoh ke empat, yaitu hadits nomor 9, di dalam Shahih Bukhari. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dan yang lainnya. Hadits ini, selain ahad juga gharib, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
“Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salalm bersabda, ‘Iman itu ada enam puluh cabang lebih dan rasa malu merupakan salah satu cabang iman”. Hadits ini menjelaskan tentang cabang keimanan. Yakni, iman itu mempunyai enam puluh cabang lebih.
Dan di riwayat Imam Muslim,
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
“Iman itu tujuhpuluh cabang lebih, Yang paling tinggi adalah ucapan laailaha illallaah, dan yang paling rendah ialah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu merupakan salah satu cabang iman”. Hadits ini juga berbicara tentang aqidah, hukum, akhlak dan adab, seperti menghilangkan gangguan dari jalan. Padahal ini merupakan hadits ahad dan gharib.
Contoh yang ke lima, hadits yang ke 14 dan 15. Ini juga merupakan hadits ahad, berbicara tentang aqidah. Yaitu kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salllam dan cara mencapai kesempurnaan cinta kepadanya. Diriwayatkan dari jalan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, tidak akan beriman (sempurna keimanan) salah seorang diantara kalian sampai aku lebih dicintai daripada bapak dan anaknya”.
Dan hadits nomor 15, dari jalan Anas:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm bersabda, ‘Tidak akan beriman (tidak akan sempurna keimanan) salah seorang diantara kalian sampai aku lebih dicintai daripada bapak dan anaknya dan semua orang”. Ini juga berbicara tentang aqidah.
Contoh yang ke enam, hadits nomor 16, tentang kelezatan atau manisnya iman yang dapat dirasakan oleh seseorang. Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
قَالَ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ada tiga hal, jika ketiganya terkumpul pada diri seseorang maka ia akan mendapatkan manisnya iman; (yaitu) Allah dan Rasulnya lebih dicintai daripada selain keduanya, mencintai seseorang, ia tidak mencintainya kecuali karena Allah dan benci kembali kepada kekufuran sebagaimana dia benci dilempar kedalam api neraka”. Hadits ini juga berbicara tentang cinta kepada Allah, RasulNya dan juga keimanan. Bahwa iman itu punya rasa. Demikian ini adalah masalah aqidah.
Contoh yang ke tujuh, hadits nomor 26.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ فَقَالَ إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ حَجٌّ مَبْرُورٌ “Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya: “Amal apakah yang paling afdhal?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Iman kepada Allah dan RasulNya.” Kemudian ditanya lagi, ‘Lalu apa lagi ?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Jihad di jalan Allah’. Kemudian ditanya lagi, ‘Lalu apa lagi ?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Haji yang mabrur.’
Hadits yang mulia ini menjelaskan tentang iman. Bahwa iman itu masuk dalam bagian amal, dan amal itu masuk dalam bagian iman. Oleh karena itu, Imam Bukhari memberikan Bab : Man Qaala Annal Iman Huwal Amal, bahwa amal itu masuk dalam iman. Sehingga, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang amal yang paling afdhal, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab iman kepada Allah. Hadits ini telah diterima oleh semua ulama Ahlus Sunnah untuk menetapkan, bahwa amal itu masuk dalam bagian iman. Yang tentunya akan menjelaskan kepada kita, bila iman itu bisa bertambah karena perbuatan ta’at, dan bisa berkurang karena perbuatan maksiat.
Contoh ke delapan, hadits nomor 32, dari jalan Abdullah bin Mas’ud.
قَالَ لَمَّا نَزَلَتْ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ قَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّنَا لَمْ يَظْلِمْ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Ibnu Mas’ud mengatakan, “ketika turun firman Allah (yang artinya) Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al An’am 82), para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Siapakah diantara kita yang tidak berbuat zhalim ?’ lalu Allah menurunkan firmanNya (yang artinya), sesungguhnya kesyirikan itu adalah kezhaliman yang besar” Ketika ayat Al An’am 82 diturunkan, para sahabat merasa susah dan berat. Mereka mengatakan, siapakah diantara kita yang tidak menzhalimi dirinya? Maka Rasulullah n menjelaskan kepada mereka, bahwa bukan itu yang dimaksud; tidakkah kalian mendengar perkataan Luqman kepada anaknya? Jadi zhulm (kezhaliman) disini, maksudnya adalah syirik. Ini juga berbicara tentang aqidah, antara tauhid dan syirik.
Contoh ke sembilan, hadits no. 39, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ
“Sesungguhnya agama itu adalah mudah” Ini juga berbicara tentang aqidah, bahkan berbicara tentang agama ini secara keseluruhan. Bahwa ajaran Islam, pengamalan dan dakwahnya adalah mudah. Apakah ini tidak berbicara aqidah? Hadits ini berbicara tentang Islam, dan tentunya kaffah. Sebagaimana Allah memerintahkan kepada kita untuk masuk Islam secara kaffah (menyeluruh).
Contoh ke sepuluh, hadits nomor 50. Yaitu hadits tentang Jibril yang datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya Islam, iman dan ihsan, dan di Shahih Bukhari diringkas.
مَا الْإِيمَانُ قَالَ الْإِيمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَبِلِقَائِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ قَالَ مَا الْإِسْلَامُ قَالَ الْإِسْلَامُ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ وَلَا تُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ وَتُؤَدِّيَ الزَّكَاةَ الْمَفْرُوضَةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ قَالَ مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Apakah iman ? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikatNya, kitab-kitabNya, pertemuan denganNya, para rasulNya dan beriman kepada hari kebangkitan.’ Jibril bertanya, ‘Apakah Islam ? Rasulullah n bersabda, ‘Islam adalah engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan sesuatupun denganNya, mendirikan shalat, menunaikan zakat yang wajib, puasa Ramadlan. Jibril bertanya, ‘Apakah Ihsan ? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm bersabda, ‘Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya, jika engkau tidak bisa melihatnya maka sesungguhnya Dia melihatmu …” Hadits ini termasuk ahad.
Contoh ke sebelas, hadits nomor 53, yaitu hadits tentang utusan Abdul Qais yang datang kepada Rasulullah, lalu menyambut mereka dan memerintahkan kepada mereka empat perkara dan melarang dari empat perkara.
أَمَرَهُمْ بِالْإِيمَانِ بِاللَّهِ وَحْدَهُ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْإِيمَانُ بِاللَّهِ وَحْدَهُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامُ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءُ الزَّكَاةِ وَصِيَامُ رَمَضَانَ وَأَنْ تُعْطُوا مِنْ الْمَغْنَمِ الْخُمُسَ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah mereka agar beriman kepada Allah Azza wa Jalla semata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Tahukah kalian, apakah berimankepaada Allah semata itu? Mereka menjawab, ‘Allah dan RasulNya lebih tahu. Beliau menerangkan, ‘syahadat (persaksian) bahwa tidak ilah yang haq kecuali Allah dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salalm itu Rasulullah, menegakkan shalat, memberikan zakat, puasa Ramadlan dan memberikan seperlima dari ghanimah…” Ini juga berbicara tentang iman.
Contoh ke duabelas, hadits nomor 1392, dan di beberapa tempat lainnya, dari jalan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma.
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ ادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ
“Bahwasanya rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz Radhiyallahu ‘anhu ke Yaman, lalu rasulullah bersabda, ‘Serulah mereka kepada syahadat (persaksian) bahwa tidak ilah yang haq kecuali Allah dan bahwasanya aku Rasulullah. Jika mereka mentaatimu dalam hal itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima kali sehari semalam. Jika mereka mentaatimu dalam hal itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka zakat dalam harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir mereka”. Hadits yang mulia ini diterima oleh seluruh ulama. Apakah hadits ini bukan berbicara masalah aqidah? Bahkan ini merupakan asas dalam Islam. Tidak ada Islam tanpa syahadat tauhid.
Contoh ke tigabilas, dari selain Bukhari. Yaitu hadits yang masyhur dan telah diterima oleh para ulama.
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya mantera-mantera (yang bathil), jimat dan pelet termasuk bagian syirik”. Tentunya mantera-mantera yang dimaksudkan disini adalah mantera yang bathil. Karena ruqyah (pengobatan dengan bacaan) itu ada dua, ada yang syar’i dan yang tidak syar’i. Hadits ini juga ahad, dan masih banyak lagi contoh-contoh tentang hadits ahad yang berkaitan dengan aqidah, dan diterima oleh para ulama.
PEMBAGIAN HADITS MENJADI MUTAWATIR DAN AHAD
Pembagian hadits menjadi mutawatir dan ahad, memang ada dalam kaidah ilmu hadits. Namun perlu diketahui, bahwa para ulama membagi hadits menjadi mutawatir dan ahad bukan untuk menolak hadits. Pembagian itu merupakan tinjauan ilmiah, berdasarkan jumlah (banyak atau sedikiknya) perawi yang meriwayatkannya. Sebagian tinjauan mereka berdasarkan shahih dan lemahnya suatu riwayat. Berdasarkan jumlah perawinya, jika perawi suatu hadits itu banyak, maka para ulama mengatakan bahwa hadits itu mutawatir, meskipun mereka masih berbeda pendapat tentang batasan banyak atau sedikit. Juga ada definisi lain tentang mutawatir ini, yaitu jika hadits tersebut diketahui keshahihannya dan diterima secara mutlak oleh para ulama. Definisi ini dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Adapun hadits ahad, yaitu hadits di bawah mutawatir. Mereka membagi menjadi:
– Gharib, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh satu orang sahabat saja, sebagaimana hadits pada contoh pertama dan ke empat di atas.
– Aziz, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh dua orang sahabat, walaupun lafazhnya agak berbeda.
– Masyhur, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang sahabat yang berbeda. Ini semua termasuk dalam bagian hadits ahad. Maka disini ada pembagian hadits menjadi hadits shahih, hasan dan dha’if. Jika perawinya lebih dari tiga, maka disebut mutawatir.
Demikian jika mengumpulkan antara dua definisi diatas. Contoh hadits seperti ini sangat banyak. Misalnya:
من كذب على فليتبوا مقعده من النار
“Barangsiapa yang berdusta atas namaku, maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya dari neraka”
Hadits tentang azab kubur ini juga mutawatir maknawi (secara makna). Begitu juga tentang turunnya Isa Alaihissallam di akhir zaman, munculnya Dajjal, haudh (telaga) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentang bumi berlapis tujuh. Dan masih banyak lagi contohnya. Adapun berdasarkan difinisi Syaikhul Islam, yaitu hadits yang diketahui keshahihannya dan diterima secara mutlak oleh para ulama, bisa juga disebut mutawatir. Ini sangat banyak sekali, terutama hadits-hadits yang berada di shahih Bukhari dan Muslim.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun VIII/1425H/2004M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
Referensi: https://almanhaj.or.id/2854-contoh-contoh-hadits-ahad.html
=============
Ciri-Ciri Hadits Palsu
Para ulama ahli hadits telah menetapkan beberapa kaidah dan ciri-ciri untuk mengetahui kepalsuan suatu hadits. Dan ciri-ciri ini dibagi menjadi dua:
Pertama, dilihat dari sisi sanad.
Ada banyak hal yang dapat digunakan untuk mengetahui kepalsuan suatu hadits dilihat dari sisi sanadnya, diantaranya adalah:
1. Salah satu perawinya adalah seorang pendusta dan hadits itu hanya diriwayatkan olehnya. Selain itu, tidak ada seorang perawi terpercaya yang meriwayatkan hadits itu darinya.
2. Orang yang memalsukan hadits tersebut mengakui perbuatannya memalsukan hadits, seperti yang diakui oleh Abdul Karim bin Abi Auja’ yang mengaku telah memalsukan 4000 hadits.
3. Terbongkarnya kedustaan orang yang meriwayatkan hadits tersebut. Imam Al-‘Iroqi berkata, “Seperti orang yang menceritakan sebuah hadits, dia mengaku bahwa dia mendengarnya dari seorang syaikh pada tahun sekian, padahal syaikh tersebut telah meninggal dunia pada tahun sebelumnya. Dan hadits itu hanya diriwayatkan darinya saja.” [Lihat At-Taqyid wal Idhah (hal. 110)]
4. Adanya bukti kuat yang menunjukkan bahwa perawi hadits tersebut adalah seorang pendusta. Misalkan kenyataan bahwa dia adalah seorang Syi’ah yang fanatik kepada golongannya, kemudian dia meriwayatkan hadits yang mencela para sahabat dan mengagungkan ahlul bait.
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,“Bahwa bila sanad hadits itu shahih dapat diterima. Namun, bila tidak shahih maka harus ditinggalkan. Dinyatakan hubungan hadits dengan sanadnya seperti antara hubungan hewan dengan kakinya.” [Lihat Syarh Shahih Muslim (I/88)]
Dan sejak kasus pemalsuan hadits berkembang di tengah masyarakat Muslim, sebelum para imam ahli hadits itu menerima suatu hadits, mereka terlebih dahulu melakukan kritik sanad (naqdu al-sanad). Atau istilah lain yang juga biasa dipakai untuk melakukan kritik sanad itu ialah kritik ekstern. Para sahabat dan tabi’in adalah yang pertama kali menyeleksi hadits, diantaranya adalah dengan berpegang teguh kepada sanad. [Lihat As-Sunnah Qabla At-Tadwin (hal. 219), Al-Manhal Rawi (hal. 33), dan Tadribur Rawi (I/63)]
Kedua, dilihat dari sisi matan.
Matan (متن) adalah kalam (perkataan) yang disampaikan oleh sanad yang terakhir. [Lihat Syarah Nukhbatul Fikr (hal. 40) dan Tadribur Rawi (I/28)]
Diantara hal penting yang dapat diketahui dari sisi matan adalah:
1. Susunan dan tata bahasanya buruk. Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang dianugrahi kemampuan untuk meringkas kalimat dengan padat, jelas dan bermakna luas (jawami’ul kalim). Oleh sebab itu, setiap kalimat yang buruk tata bahasa dan susunannya, dipastikan bukan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Namun demikian, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata, “Buruknya tata bahasa (dalam menyampaikan hadits) tidak selamanya menunjukkan bahwa hadits itu palsu. Karena diperbolehkan untuk meriwayatkan hadits dengan makna (yang sesuai dengan hadits tersebut). Namun jika perawi hadits itu mengatakan dengan tegas bahwa (hadits) ini adalah ucapan Rasulullah maka keburukan tata bahasanya menunjukkan kepalsuan (hadits)nya.” [Lihat An-Nukat ‘ala Kitab Ibnu Shalah (hal. 360)]
2. Makna haditsnya rusak. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnul Jauzi rahimahullah, “Jika engkau melihat ada sebuah hadits yang bertentangan dengan akal sehat atau bertabrakan dengan nash (dalil) yang qath’i serta bertentangan dengan sebuah dasar hukum, ketahuilah bahwa itu adalah sebuah hadits palsu.” [Lihat Hadits Lemah dan Palsu (hal. 38)]
3. Haditsnya bertentangan dengan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih, dan hadits tersebut tidak mungkin untuk dibawa pada makna yang benar.
4. Haditsnya bertentangan dengan fakta sejarah pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
5. Haditsnya sesuai dengan madzhab dari perawinya, dan diketahui bahwa perawi tersebut adalah orang yang sangat fanatik terhadap madzhabnya.
6. Hadits tersebut seharusnya diriwayatkan oleh banyak orang, karena hadits itu disampaikan disebuah tempat yang didengar oleh banyak orang dan merupakan sebuah perkara besar. Namun, ternyata tidak ada yang meriwayatkan hadits tersebut kecuali darinya saja.
7. Hadits yang menunjukkan adanya pahala besar untuk sebuah amal perbuatan yang kecil. Atau hadits yang menyebutkan tentang ancaman yang begitu dahsyat atas sebuah dosa yang kecil. Hadits-hadits semacam ini banyak dijumpai dikalangan tukang cerita dan kaum sufi.
8. Hadits itu terdapat dalam sebuah kitab atau buku tanpa disebutkan siapa yang meriwayatkannya dan juga tanpa disebutkan sanadnya. Padahal sanad adalah tolok-ukur diterima atau ditolaknya suatu hadits. Sebagaimana dikatakan oleh Imam ‘Abdullah bin Mubarak rahimahullah, “Sanad adalah bagian dari agama. Seandainya tidak ada sanad maka semua orang akan berbicara semaunya.” [Lihat Muqaddimah Shahih Muslim (I/15)]
Untuk lebih jelasnya, silakan merujuk pada kitab Al-Manarul Munif fish Shahih wadh Dha’if, karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar