Jumat, 26 Januari 2018

Jangan Mau Bangkrut

Tidak seorangpun mengetahui, apakah amal baiknya diterima Allah ataukah tidak ...
Walaupun ia beramal sangat banyak, ia tetap tidak tahu, apakah amal baiknya diterima Allah ataukah tidak ...
Namun jangan salah paham, yakni merasa bahwa amal yang banyak, belum tentu diterima oleh Allah, maka ia akan sedikit beramal atau bahkan tidak beramal sama sekali ...
Kalau yang banyak saja belum tentu diterima, maka apakah yang sedikit itu akan diterima ...?
Tentunya amal yang banyak, akan memiliki peluang yang banyak juga untuk diterima ...

Juga tidak seorangpun mengetahui, apakah amal baiknya masih tersisa ataukah tidak ...
Karena perbuatan zhalimnya kepada orang lain, hingga pahalanya diberikan kepada orang yang di zholimi tersebut ...
Padahal, apabila pahalanya telah habis, maka dosa-dosa dari orang yang telah dizholimi tersebut, malah berpindah ke dirinya sendiri (yakni orang yang telah berbuat zholim) ...


Ingatlah amal yang diterima adalah amal yang baik, dari sumber yang baik dan untuk tujuan yang baik pula, yakni untuk Allah ...
Andaikan ia menampakkan amal sunnahnya dengan harapan ingin dilihat dan sanjung orang lain, maka Allah akan memenuhi harapannya itu, hingga orang lain menyanjungnya, dan Allah tidak memberikan balasannya di akhirat ...
Namun untuk amal fardlu, misalnya sholat fardlu dan zakat, maka hal itu wajib dilihat orang lain sebagai saksi dan menghindarkan kesalahpahaman ...
Amal baik itu akan tetap ada dan terpelihara di sisiNya, apabila orang tersebut tetap pada keadaannya istiqomah dijalanNya dan tidak berbuat zholim kepada yang lain ...

Ingatlah pula, amal buruk itu pasti diterima oleh Allah, walaupun ia menampakkan atau menyembunyikan amal buruk itu ...
Tidak ada sedikitpun amal buruk yang ditolak oleh Allah, melainkan Allah akan membalasnya atau Allah akan mengampuninya dengan RahmatNya ...

Siapakah Orang yang Bangkrut itu?
Hadits Muslim Nomor 4678

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالَا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ وَهُوَ ابْنُ جَعْفَرٍ عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ

Telah menceritakan kepada kami [Qutaibah bin Sa'id] dan ['Ali bin Hujr] keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami [Isma'il] yaitu Ibnu Ja'far dari [Al A'laa] dari [Bapaknya] dari [Abu Hurairah] bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah bertanya kepada para sahabat: "Tahukah kalian, siapakah orang yang bangkrut itu?" Para sahabat menjawab; 'Menurut kami, orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak memiliki uang dan harta kekayaan.' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Sesungguhnya umatku yang bangkrut adalah orang yang pada hari kiamat datang dengan shalat, puasa, dan zakat, tetapi ia selalu mencaci-maki, menuduh, dan makan harta orang lain serta membunuh dan menyakiti orang lain. Setelah itu, pahalanya diambil untuk diberikan kepada setiap orang dari mereka hingga pahalanya habis, sementara tuntutan mereka banyak yang belum terpenuhi. Selanjutnya, sebagian dosa dari setiap orang dari mereka diambil untuk dibebankan kepada orang tersebut, hingga akhirnya ia dilemparkan ke neraka.'
[HR Muslim, juga At Tirmizi no. 2418 dan Ahmad (2/303, 334, 371), dari Abu Hurairah]

------------------------------------------
Orang yang bangkrut adalah Orang yang pada hari kiamat datang dengan shalat, puasa, dan zakat, tetapi ia:
1. Selalu mencaci-maki
2. Menuduh
3. Makan harta orang lain
4. Membunuh orang lain
5. Menyakiti orang lain.
Sehingga, pahalanya diambil untuk diberikan kepada setiap orang dari mereka (yang di zhalimi) hingga pahalanya habis.
Dan apabila pahalanya telah habis, maka sebagian dosa dari setiap orang dari mereka diambil untuk dibebankan kepada orang tersebut, hingga akhirnya ia dilemparkan ke neraka ...
[lihat hadis diatas dan juga tambahan hadis berikut ini]
------------------------------------------

Termasuk Juga Ghibah/Menggunjing, maka Tinggalkanlah:
Hadits Muslim Nomor 4690

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ وَابْنُ حُجْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ

Telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Ayyub] dan [Qutaibah] dan [Ibnu Hujr] mereka berkata; Telah menceritakan kepada kami [Isma'il] dari [Al A'laa] dari [Bapaknya] dari [Abu Hurairah] bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah bertanya: "Tahukah kamu, apakah ghibah itu?" Para sahabat menjawab; 'Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.' Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.' Seseorang bertanya; 'Ya Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan? ' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata: 'Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu ada padanya, maka berarti kamu telah menggunjingnya. Dan apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah membuat-buat kebohongan terhadapnya.'

>>> Ghibah adalah membicarakan orang lain mengenai sesuatu (kebenaran) yang orang lain itu tidak menyukainya untuk disebarluaskan, sedangkan apabila yang dibicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti ia telah membuat-buat kebohongan terhadap orang lain.
---> Jangan berkumpul atau dengan alasan silaturahmi, namun sebenarnya yang terjadi adalah melakukan pergunjingan.

Dan Jangan Memfitnah, atau Menyebarkan Berita Bohong (Hoax)
Dari Abdullah ibnu Amr radhiallahu’anhuma, di berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:”

من حالت شفاعته دون حدٍّ من حدود اللّه، فقد ضادَّ اللّه، ومن خاصم في باطلٍ وهو يعلمه لم يزل في سخط اللّه حتى ينزع عنه، ومن قال في مؤمنٍ ما ليس فيه أسكنه اللّه ردغة الخبال حتى يخرج مما قال

“Barangsiapa mendapatkan pembelaanku pada selain batas dari batas-batas Allah Ta’ala, maka sungguh ia telah melawan Allah Ta’ala. Barangsiapa yang bertengkar dalam kebatilan, sedangkan ia mengetahuinya, maka ia akan terus meninggalkannya. Barangsiapa yang membicarakan tentang diri seorang mukmin dengan sesuatu yang tidak ada padanya, maka Allah Ta’ala akan menempatkannya di Radaghatul Khabal hingga ia keluar dari apa yang ia katakannya.” (Dikeluarkan oleh Ahmad (2/276) dan Abu Dawud (3597))

Iri dan Dengki? Jauhilah!
Hadits Abu Daud Nomor 4257

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ صَالِحٍ الْبَغْدَادِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ يَعْنِي عَبْدَ الْمَلِكِ بْنَ عَمْرٍو حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ أَبِي أَسِيدٍ عَنْ جَدِّهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ فَإِنَّ الْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ أَوْ قَالَ الْعُشْبَ

Telah menceritakan kepada kami [Utsman bin Shalih Al Baghdadi] berkata, telah menceritakan kepada kami [Abu Amir] -maksudnya Abdul Malik bin Amru- berkata, telah menceritakan kepada kami [Sulaiman bin Bilal] dari [Ibrahim bin Abu Asid] dari [Kakeknya] dari [Abu Hurairah] bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jauhilah hasad (dengki), karena hasad dapat memakan kabaikan seperti api memakan kayu bakar."

>>> Iri, berarti menginginkan dirinya sendiri untuk memiliki sesuatu yang dimiliki orang lain.
Sedangkan Dengki yaitu, menginginkan nikmat yang diterima orang lain itu hilang.

Memalsukan Hadis Nabi SAW untuk Tujuan Baik?
Sabda Nabi SAW,

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتُعُمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَةُ مِنَ النَّارِ

“Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di Neraka.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (I/7, 35, 36; II/81 dan IV/145, 157) dan Muslim (I/7, 8), Ahmad (I/83, 321; II/22, 103, 104, 159, 203, 214 dan IV/47, 50, 106, 252), Ibnu Majah (no. 31, 34, 36), Abu Dawud  (no. 3651) dan Tirmidzi (IV/142, 147), dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]

>>> Mereka yang berkata, “Kami berbohong tidak untuk merusak syari’at Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, akan tetapi kami berbohong untuk membela beliau shallallahu’alaihi wa sallam.”
Maka bagi mereka yang melakukan kebohongan terhadap sabda Nabi SAW, maka kedudukannya itu di Neraka!.
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “... Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak butuh kepada orang lain untuk kesempurnaan syari‘at dan keutamaannya. Mereka ini umumnya kaum yang menyandarkan diri mereka kepada zuhud dan sufi.” [Lihat Al-Maudhu’at (I/37-47), Al-Madkhal (hal. 51-59), Adh-Dhu‘afa’ (I/62-66 dan 85), Majmu‘ Fatawa (XVIII/46), Al-Ba’itsul Hatsits (I/263), Syarh Nukhbatul Fikr (hal. 84-85), dan Mizanul I’tidal (II/644)]

Jangan Pula Berbuat Riya, Jika Tidak ingin Bangkrut!

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ z قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ : إِنَّ اَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَعَهَا, قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: قَاتَلْتُ فِيْكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ ِلأَنْ يُقَالَ جَرِيْءٌ, فَقَدْ قِيْلَ ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى اُلْقِيَ فيِ النَّارِ, وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأََ اْلقُرْآنَ فَأُُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَعَهَا, قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيْكَ اْلقُرْآنَ, قَالَ:كَذَبْتَ, وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ وَقَرَأْتَ اْلقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِىءٌٌ ، فَقَدْ قِيْلَ ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى اُلْقِيَ فيِ النَّارِ, وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ وَاَعْطَاهُ مِنْ اَصْْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا, قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: مَاتَرَكْتُ مِنْ سَبِيْلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيْهَا إِلاَّ أَنْفَقْتُ فِيْهَا لَكَ, قَالَ: كَذَبْتَ ، وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ فَقَدْ قِيْلَ, ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ. رواه مسلم (1905) وغيره

Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Dia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengenalinya.
Allah bertanya kepadanya : ‘Amal apakah yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Ia menjawab : ‘Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.’ Allah berfirman : ‘Engkau dusta! Engkau berperang supaya dikatakan seorang yang gagah berani. Memang demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu atas mukanya (tertelungkup), lalu dilemparkan ke dalam neraka.
Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca al Qur`an. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya: ‘Amal apakah yang telah engkau lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab: ‘Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya, serta aku membaca al Qur`an hanyalah karena engkau.’ Allah berkata : ‘Engkau dusta! Engkau menuntut ilmu agar dikatakan seorang ‘alim (yang berilmu) dan engkau membaca al Qur`an supaya dikatakan (sebagai) seorang qari’ (pembaca al Qur`an yang baik). Memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.
Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengenalinya (mengakuinya). Allah bertanya : ‘Apa yang engkau telah lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Dia menjawab : ‘Aku tidak pernah meninggalkan shadaqah dan infaq pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau.’ Allah berfirman : ‘Engkau dusta! Engkau berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan (murah hati) dan memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.’”
[HR. Muslim, Kitabul Imarah, bab Man Qaatala lir Riya’ was Sum’ah Istahaqqannar (VI/47) atau (III/1513-1514 no. 1905). Dan An Nasa-i, Kitabul Jihad bab Man Qaatala liyuqala : Fulan Jari’, Sunan Nasa-i (VI/23-24), Ahmad dalam Musnad-nya (II/322) dan Baihaqi (IX/168).
Hadits yang semakna dengan ini diriwayatkan oleh Imam at Tirmidzi dalam Sunan-nya, Kitab Az Zuhud, bab Ma Ja’a fir Riya’ was Sum’ah , no. 2382; Tuhfatul Ahwadzi (VII/54 no. 2489); Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya, no. 2482 dan Ibnu Hibban no. 2502 -Mawariduzh Zham’an- dan al Hakim (I/418-419)]

Menurut istilah riya’ dapat didefinisikan “memperlihatkan suatu ibadah dan amal shalih kepada orang lain, bukan karena Allah tetapi karena sesuatu selain Allah, dengan harapan agar mendapat pujian atau penghargaan dari orang lain.” Sementara  memperdengarkan ucapan tentang ibadah dan amal salehnya kepada orang lain disebut sum’ah (ingin didengar).

Jangan Mengambil atau Mengakui Harta Orang Lain Sebagai Miliknya, apalagi dengan Dikuatkannya Sumpah:
Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Umamah secara marfu’ disebutkan:

مَنِ اقْتَطَعَ حَقَّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِينِهِ، فَقَدْ أَوْجَبَ اللهُ لَهُ النَّارَ، وَحَرَّمَ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ» فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: وَإِنْ كَانَ شَيْئًا يَسِيرًا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: «وَإِنْ قَضِيبًا مِنْ أَرَاكٍ

“Barangsiapa yang mengambil harta saudaranya dengan sumpahnya, maka Allah mewajibkan dia masuk neraka dan mengharamkan masuk surga. Lalu ada seorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, meskipun hanya sedikit?” Beliau menjawab, “Meskipun hanya sebatang kayu araak (kayu untuk siwak).“ (H.R.Muslim)

Allah Mahaadil Hingga Perbuatan Aniaya Terkecil diperhitungkanNya
Ingatlah, Allah Mahaadil, hingga Allah memberi kesempatan kepada binatang yang tidak bertanduk, yang saat di dunia dia ditanduk oleh binatang bertanduk untuk membalasnya di akhirat.

يقضي الله بين خلقه الجن و الإنس و البهائم ، و إنه ليقيد يومئذ الجماء من القرناء حتى إذا لم يبق تبعة عند واحدة لأخرى قال الله : كونوا ترابا ، فعند ذلك يقول الكافر : * ( يا ليتني كنت ترابا )

Allah memberikan keputusan yang adil antar makhlukNya: Jin, manusia, dan para binatang. Pada hari itu binatang yang tidak bertanduk diberi kesempatan membalas kepada yang bertanduk hingga tidak tersisa adanya kedzhaliman antar hewan itu hingga Allah berfirman: Jadilah kalian tanah. Pada saat itu, orang kafir berkata: Duhai seandainya aku menjadi tanah (riwayat Ibnu Jarir dalam Tafsirnya, dishahihkan Syaikh al-Albaniy dalam as-Shahihah)

Jangan Mau di Curhati Istri Orang Lain Dan Jangan Berzina
Abu Daud (5170) juga telah meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa ia berkata: Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

مَنْ خَبَّبَ زَوْجَةَ امْرِئٍ أَوْ مَمْلُوكَهُ فَلَيْسَ مِنَّا ) ، وصححه الألباني في " صحيح أبي داود 

“Barang siapa yang merusak istri orang lain atau merusak hamba sahayanya, maka bukanlah termasuk golongan kami”. (Dishahihkan oleh al Baani dalam Shahih Abu Daud)

Syeikh Abdul Adzim Abadi –rahimahullah- berkata:

خبب “ adalah merusak atau menipu

امرأة على زوجها adalah menyebutkan keburukan suami di depan istrinya atau kebaikan laki-laki lain di depan wanita tersebut”. (‘Aun Ma’bud: 6/159)

Al Manawi –rahimahullah- berkata:

“Syeikh kami asy Sya’rawi berkata: “Termasuk dalam hal tersebut adalah jika seorang laki-laki didatangi istri orang lain yang sedang marah agar membantunya untuk memperbaiki hubungan rumah tangganya, dan orang tersebut justru mengajaknya makan, menambah pemberian dan lebih dermawan dari sebelumnya, meskipun kedermawanan tersebut juga ditujukan kepada suaminya, maka hal ini bisa jadi akan menjadikan wanita tersebut lebih cenderung kepada laki-laki lain tersebut dan mengharap apa yang dimilikinya, maka sudah masuk dalam hadits tersebut. Posisi seseorang yang mengetahui akan dibalas sesuai dengan yang semestinya, meskipun ia melakukannya secara tidak sengaja.

Ia berkata: “Saya selalu melakukan perangai seperti ini, saya mempengaruhi seorang wanita yang sedang marah, saya pun berpesan kepada keluarga saya untuk menjadikannya lapar, agar ia kembali merasakan dan mengetahui nikmat adanya suami”. (Faidhul Qadir Syarh al Jami’ as Shagir: 6/159)

Barang siapa yang merusak hubungan seorang wanita dengan suaminya, sampai benar-benar rumah tangganya hancur dan bercerai, kemudian laki-laki tadi menikahinya, maka nikahnya tidak sah dan keduanya wajib dipisahkan sesuai dengan pendapat yang dipilih oleh Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahulla- dan merupakan madzhab Maliki.

Nabi SAW telah menyampaikan,
Bahwa Iblis menyebar para tentaranya ke muka bumi, berkata, “Siapa di antara kalian yang menyesatkan seorang muslim akan aku kenakan sebuah mahkota di kepalanya. Siapa yang paling besar fitnahnya paling dekatlah kedudukannya kepadaku (Iblis).
Salah satu tentaranya menghadap dan berkata, ‘Aku akan terus menggoda si fulan sampai ia mau menceraikan istrinya.’ Iblis berkata, ‘Aku tidak akan memberikan mahkota sebab pasti nanti ia menikah lagi dengan yang lain.’ Tentara yang lain menghadap dan berkata, ‘Aku akan terus menggoda si fulan sampai aku berhasil menanamkan permusuhan antara ia dan saudaranya.’ Iblis berkata, ‘Aku tidak akan memberikan mahkota sebab suatu saat ia pasti berdamai lagi.’
Tentara yang lain menghadap dan berkata, ‘Aku akan terus menggoda si fulan sampai ia berzina.’ Iblis berkata, ‘Wah, bagus sekali itu.’ Lalu Iblis mendekatkan tentaranya itu kepadanya dan meletakkan mahkota di atas kepalanya.” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dari jalur Ibrahim bin Al-Asy’ats (berkata), telah menceritakan kepada kami Fudhail bin Iyadh dari Atha’ bin Saib dari Abu Abdurrahman As-Sulami dari Abu Musa secara marfu’)

Disebutkan pula bahwa barangsiapa berzina dengan seorang wanita yang telah bersuami, maka bagi mereka berdua setengah adzab umat ini di dalam kubur. Ketika hari kiamat, Allah akan memberikan kepada suaminya berupa kebaikan istri (yang berzina) tersebut, apabila (perilaku zina istri itu) tanpa pengetahuan suaminya. Namun, apabila suaminya mengetahuinya dan mendiamkan saja, maka Allah mengharamkan bagi suami itu surga, karena Allah telah tuliskan (tetapkan) pada pintu surga itu, “Kamu haram bagi dayuts (yaitu laki-laki [suami] yang mengetahui perbuatan keji [zina] keluarganya, namun dia mendiamkan saja dan tidak menghiraukannya).”

Jangan Membunuh atau Melukai Hati ataupun Badan Non Muslim Sembarangan
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ لَمْ يَجِدْ رِيحَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

“Barangsiapa membunuh seorang kafir dzimmi, maka dia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun. ” (HR. An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Al Bukhari membawakan hadits dalam Bab “Dosa orang yang membunuh kafir mu’ahad [Telah Membuat Kesepakatan untuk Tidak Berperang] tanpa melalui jalan yang benar”.Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

“Siapa yang membunuh kafir mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari no. 3166)


Islam Melarang Perbuatan Zhalim kepada Hewan, apalagi Zalim terhadap Manusia! 
1. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan terhadap segala sesuatu. Apabila kamu membunuh, maka lakukanlah dengan baik dan apabila kamu menyembelih maka lakukanlah dengan baik. Dan hendaklah seorang dari kamu, menajamkan pisaunya dan hendaklah ia menyenangkan hewan sembelihannya” (HR.Muslim No.3615, At Tirmidzi No.1329 dan An Nasa’i No 4329).
2. Islam melarang perbuatan mencincang, menyakiti, dan mencederai binatang. Misalnya Nabi Saw bersabda, “Siapa saja yang menyiksa/membuat cacat sesuatu yang bernyawa, lalu tidak bertobat, niscaya Allah menyiksanya pada Hari Kiamat” (HR Ahmad).
3. Jika di berbagai wilayah di bumi ini masih ada ajaran primitif seperti mengadu ayam
jantan atau mengadu banteng, maka Rasulullah saw. melarang secara tegas melarangnya (HR.Al Tirmidzi; No. 1630 dan Abu Dawud No.3199).
4. Islam melarang memberi cap pada binatang. Suatu saat seekor keledai yang
telah dicap pada bagian mukanya melintas di hadapan Nabi saw. Maka Nabi bersabda,
“Allah melaknat orang yang memberi cap (pada bagian muka) keledai” (HR. Muslim No. 3953).
5. Rasulullah saw. melarang menyengsarakan binatang dengan cara memisahkan anak dari
induknya. Seorang sahabat bercerita bersama Rasulullah Saw. dalam suatu perjalanan.
Kami melihat Hummarah (sejenis burung), bersamanya dua ekor anaknya. Sahabat itu
mengambil dua ekor anak burung itu, maka datanglah Hummarah itu mengkibas-kibas
kepaknya. Lalu Rasulullah saw. pun bersabda, “Siapa yang menyakiti (menyusahkan) anak-anak burung ini dengan (memisahkan) dari ibunya? Kembalikan semula anak burung ini kepada ibunya” (HR. Abu Daud).
6. Haram pula hukumnya mengurung binatang hingga mati kelaparan. Rasulullah
saw. bersabda, “Seorang perempuan disiksa (karena) seekor kucing yang telah dikurungnya sehingga mati kelaparan. Dengan sebab itu masuklah perempuan itu dalam api nereka” (HR. Bukhari No. 3192)
7. Islam juga melarang memberikan beban terlalu berat kepada binatang. Nabi saw. pernah menegur seorang sahabat, “Apakah engkau tidak takut kepada Allah mengenai binatang ini yang telah diberikan Allah kepadamu? Dia memberitahu kepadaku bahwa engkau telah membiarkannya lapar dan membebaninya dengan pekerjaan-pekerjaan yang berat” (HR. Muslim, Abu Daud dan Ahmad).
8. Islam memerintahkan agar memberi makan yang cukup pada binatang piaraan.
Sabda Nabi saw, “Takutlah kalian kepada Allah terhadap hewan-hewan yang tidak bisa bicara ini, tunggangilah dengan baik, dan berikan makan dengan baik pula” (HR. Abu Daud).
9. Tidak patut memperlihatkan proses penyembelihan dihadapan hewan lain yang akan disembelih pula. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati seseorang yang meletakkan kakinya di leher kambing, kemudian dia menajamkan pisaunya, sementar binatang itu melihatnya. Lalu beliau bersabda (artinya): “Mengapa engkau tidak menajamkannya sebelum ini ?! Apakah engkau ingin mematikannya sebanyak dua kali?!.” (HR. Ath-Thabrani dengan sanad sahih).
Di riwayat lain, Nabi saw. memerintahkan untuk mengasah pisau, tanpa memperlihatkannya kepada hewan. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengasah pisau, tanpa memperlihatkannya kepada hewan.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah ).


Bab: Bagaimana Tindakan yang Harus Kita Lakukan Supaya Tidak Bangkrut? 

Amal ibadah yang berusan dengan manusia cenderung rawan hilang. Hal ini disebabkan beberapa hal:
1. Amal ibadah itu sebenarnya sudah diterima Allah, namun dihapus atau dilimpahkan ke hambaNya yang lain.
    Penyebab --> Berlaku zhalim kepada orang lain atau mengghibahnya
2. Amal ibadah itu ditolak oleh Allah
    Penyebab ---> Amal tersebut bukan untuk Allah (riya') atau dari sumber yang haram
3. Amal ibadah itu menggantung, hingga tanggungannya dilunasi
    Penyebab ---> Mungkin ada nadzar yang belum dilakukan atau belum bayar zakat fitrah

>>> Apakah yang harus kita lakukan supaya tidak bangkrut?
Beberapa yang harus kita lakukan adalah:
1. Secepatnya dalam berbuat kebaikan, dengan niat hanya untuk Allah.
2. Jangan meremehkan kebaikan sekecil apapun, termasuk menyingkirkan paku dijalanan.
3. Jangan menggunjing atau meng-ghibah orang lain.
4. Jangan menyakiti perasaan orang lain.
5. Jangan mengambil hak orang lain.
6. Jangan menuduh sembarangan.
7. Jangan mengolok-olok orang lain.
8. Hindari kumpul-kumpul bareng kalau tidak jelas tujuannya, karena ditakutkan menggunjing orang lain.
9.  Segera dalam bertaubat dan meminta ampun kapada Allah.
10. Suka memaafkan orang lain.
11. Jangan memposting/reposting sesuatu yang tidak jelas (HOAX). Kalau yang diposting itu benar, namanya ghibah atau ngrasani tapi jika salah maka artinya ia memfitnahnya.
12. Jangan pula memposting/reposting hadis yang tidak jelas, karena melakukan kebohongan terhadap Sabda Nabi SAW (walaupun untuk tujuan baik), hadiahnya adalah Neraka.
13. Jangan iri masalah dunia apalagi dengki terhadap nikmat yang diberikan kepada orang lain.
14. Jangan mengambil atau mengakui Harta Orang Lain sebagai miliknya, apalagi dengan dikuatkannya Sumpah.
15. Jangan mau di Curhati Istri orang lain dan jangan berzina.

>>> Bagaimana Cara Mengembalikan Harta yang Bukan Miliknya? (Mungkin karena korupsi, mencuri, memalak, merampok dll)

Yaitu dengan cara mengembalikan seluruh harta yang bukan miliknya tersebut, termasuk harta yang berkembang karenanya. Sehingga ia wajib mengembalikan harta pokok (yang bukan miliknya), beserta harta tambahan (harta yang berkembang/bertambah banyak karena memanfaatkan harta pokok yang bukan miliknya).

Berdasarkan hadis:
Dari Abu ‘Abdir Rahman, yaitu Abdullah bin Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhuma, katanya: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

انْطَلَقَ ثَلاَثَةُ رَهْطٍ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَتَّى أَوَوُا الْمَبِيتَ إِلَى غَارٍ فَدَخَلُوهُ ، فَانْحَدَرَتْ صَخْرَةٌ مِنَ الْجَبَلِ فَسَدَّتْ عَلَيْهِمُ الْغَارَ فَقَالُوا إِنَّهُ لاَ يُنْجِيكُمْ مِنْ هَذِهِ الصَّخْرَةِ إِلاَّ أَنْ تَدْعُوا اللَّهَ بِصَالِحِ أَعْمَالِكُمْ

“Ada tiga orang dari orang-orang sebelum kalian berangkat bepergian. Suatu saat mereka terpaksa mereka mampir bermalam di suatu goa kemudian mereka pun memasukinya. Tiba-tiba jatuhlah sebuah batu besar dari gunung lalu menutup gua itu dan mereka di dalamnya. Mereka berkata bahwasanya tidak ada yang dapat menyelamatkan mereka semua dari batu besar tersebut kecuali jika mereka semua berdoa kepada Allah Ta’ala dengan menyebutkan amalan baik mereka.”
............
قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – وَقَالَ الثَّالِثُ اللَّهُمَّ إِنِّى اسْتَأْجَرْتُ أُجَرَاءَ فَأَعْطَيْتُهُمْ أَجْرَهُمْ ، غَيْرَ رَجُلٍ وَاحِدٍ تَرَكَ الَّذِى لَهُ وَذَهَبَ فَثَمَّرْتُ أَجْرَهُ حَتَّى كَثُرَتْ مِنْهُ الأَمْوَالُ ، فَجَاءَنِى بَعْدَ حِينٍ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ أَدِّ إِلَىَّ أَجْرِى . فَقُلْتُ لَهُ كُلُّ مَا تَرَى مِنْ أَجْرِكَ مِنَ الإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ وَالرَّقِيقِ . فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ لاَ تَسْتَهْزِئْ بِى . فَقُلْتُ إِنِّى لاَ أَسْتَهْزِئُ بِكَ . فَأَخَذَهُ كُلَّهُ فَاسْتَاقَهُ فَلَمْ يَتْرُكْ مِنْهُ شَيْئًا ، اللَّهُمَّ فَإِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ . فَانْفَرَجَتِ الصَّخْرَةُ فَخَرَجُوا يَمْشُونَ »

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, lantas orang ketiga berdo’a, “Ya Allah, aku dahulu pernah mempekerjakan beberapa pegawai lantas aku memberikan gaji pada mereka. Namun ada satu yang tertinggal yang tidak aku beri. Malah uangnya aku kembangkan hingga menjadi harta melimpah. Suatu saat ia pun mendatangiku. Ia pun berkata padaku, “Wahai hamba Allah, bagaimana dengan upahku yang dulu?” Aku pun berkata padanya bahwa setiap yang ia lihat itulah hasil upahnya dahulu (yang telah dikembangkan), yaitu ada unta, sapi, kambing dan budak. Ia pun berkata, “Wahai hamba Allah, janganlah engkau bercanda.” Aku pun menjawab bahwa aku tidak sedang bercanda padanya. Aku lantas mengambil semua harta tersebut dan menyerahkan padanya tanpa tersisa sedikit pun. Ya Allah, jikalau aku mengerjakan sedemikian itu dengan niat benar-benar mengharapkan wajah-Mu, maka lepaskanlah kesukaran yang sedang kami hadapi dari batu besar yang menutupi kami ini”. Lantas goa yang tertutup sebelumnya pun terbuka, mereka keluar dan berjalan. (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 2272 dan Muslim no. 2743)

Hadis diatas menjelaskan bagaimana seorang juragan yang memanfaatkan uang pegawainya untuk dikembangkan. Uang itu bukanlah hasil korupsi, namun uang itu uang pegawainya yang belum diambil karena pegawainya segera pergi.
Oleh sang juragan, uang itu dikembangkan dalam suatu usaha, hingga bertambah berlipat ganda. Ketika pegawainya itu kembali untuk menagih bayarannya dulu yang belum diambil, maka sang juragan memberikan harta itu seluruhnya, tanpa mengambil sisa sedikitpun.
Niat sang juragan baik, nah, apalagi kalau harta yg dikembangkan itu hasil dari mencuri, korupsi atau dari jalan haram lainnya. Tentu semua harta itu beserta hasil berkembangnya lebih berhak untuk dikembalikan, karena semua itu bukan miliknya.

Namun Terjadi Perselisihan Pendapat
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah bagaimanakah hukum harta yang tumbuh dari investasi harta yang haram. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah menjelaskan mengenai perselisihan ulama dalam masalah ini dan menyimpulkan pendapat terkuat. Beliau rahimahullah mengatakan,

“Mengenai harta hasil curian yang dimanfaatkan oleh pencuri hingga mendapatkan hasil setelahnya, para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Apakah harta yang tumbuh itu kembali menjadi si pemilik pertama saja? Ataukah harta tersebut si pencuri dan pemilik menyedekahkannya?” … Terhadap harta semacam ini, ‘Umar bin Al Khottob pada awalnya menyikapinya dengan memerintahkan untuk menyerahkan seluruhnya pada Baitul Maal. Keuntungan sama sekali tidak boleh diambil oleh mereka yang memanfaatkan harta haram tadi. Lalu ‘Abdullah bin ‘Umar menyanggah ayahnya dengan mengatakan bahwa seandainya harta tersebut rusak, maka dhoman (ganti rugi) bagi yang memegangnya saat itu. Kalau punya kewajiban ganti rugi, lalu mengapa dalam masalah keuntungan tidak didapat? ‘Umar lantas terdiam. Kemudian sebagian sahabat mengatakan pada ‘Umar bahwa harta tersebut di bagi saja untuk mereka dan separuhnya lagi untuk (maslahat) kaum muslimin, yaitu setengah keuntungan pada mereka dengan setengahnya lagi pada kaum muslimin. ‘Umar pun memilih melaksanakan hal itu.

Inilah yang jadi pilihan para fuqoha dalam masalah mudhorobah yang berasal dari ketetapan ‘Umar bin Al Khottob dan para sahabat pun sependapat dengannya, dan inilah bentuk keadilan. Keuntungan yang tumbuh dari harta haram tersebut tidaklah dikhususkan milik salah satunya. Begitu pula tidaklah harta tersebut disucikan seluruhnya melalui sedekah dengan seluruh harta tadi. Yang tepat, keuntungan tersebut milik mereka berdua, sebagaimana pembagian dalam akad mudhorobah.” (Majmu’ Al Fatawa, 30: 323)

Sehingga misalnya ada seseorang yang memanfaatkan harta curian atau korupsi untuk investasi, maka ia hanya berhak mendapat 50% dari hasil keuntungan. Sisanya diserahkan kepada pemilik harta yang sebenarnya. Jadi pemilik sebenarnya, mendapatkan harta modal, ditambah dengan 50% keuntungan dari harta modal tersebut.
Sedangkan kalau investasi tersebut mengalami kerugian, maka yang menanggung kerugiannya adalah yang memegangnya saat itu (koruptor/pencuri). Sehingga pemilik yang sebenarnya, mendapatkan harta modal penuh, yaitu harta yang telah dicuri atau yang dikorupsi, dikembalikan penuh kepada pemilik sebenarnya, semua harta yang telah diambilnya .
Jika tidak memungkinkan mengembalikan kepada pemilik sebenarnya, maka modal dan separuh dari keuntungan tadi disucikan dengan disalurkan untuk kemaslahatan kaum muslimin, seperti untuk menolong orang fakir, membangun rumah sakit, atau membangun sekolah (Tapi tidak untuk pembangunan Masjid*). Jika ternyata pemilik harta tadi datang, maka jelaskan bahwa seluruh hartanya telah disedekahkan atau mengembalikan sejumlah uang yang menjadi haknya yang tersisa. Lihat Fatwa Islamweb.

*) Demikian pendapat ulama Lajnah Ad Daimah Kerajaan Saudi Arabia. Tidak boleh harta tersebut disalurkan untuk pembangunan masjid karena haruslah harta tersebut berasal dari harta yang thohir (suci).
Pendapat ini muncul karena kewaro’an (kehati-hatian) dalam masalah asal yaitu shalat di tanah rampasan (al ardhul maghsubah), di mana masalah kesahan shalat di tempat tersebut masih diperselisihkan. Jadinya hal ini merembet, harta haram tidak boleh disalurkan untuk pembangunan masjid. [Disarikan dari penjelasan Syaikh Kholid Mihna, http://www.almoslim.net/node/82772]


Berikut ini ayat2 yang mendukung supaya kita segera berbuat baik:

1.a. Perintah untuk Bersegera Berbuat Kebaikan
Ali imran ayat 133:

وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,

1.b. Perintah untuk Selalu Menafkahkan Hartanya di Waktu Lapang (kaya) ataupun Sempit (miskin, tentunya kadarnya berbeda dibandingkan saat masih kaya) Dan Perintah untuk Memaafkan Kesalahan Orang lain Walaupun Kita Mampu untuk Membalasnya
Ali imran ayat 134:

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

1.c. Sedangkan Bagi Manusia yang Telah Berbuat Dosa, Hendaknya Mereka segera Memohon Ampun Terhadap Dosa2nya dengan Segera dan Sungguh2:
Ali imran ayat 135:

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.

>>> Balasan Bagi yang telah Melaksanakan 1.a, 1.b, 1.c, yakni:
Ali imran ayat 136:

أُولَٰئِكَ جَزَاؤُهُمْ مَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَجَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ وَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ

Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar