Jumat, 13 Oktober 2017

Sahkah Sholat Kita Apabila Terkena Darah Nyamuk? Dan Bagaimana dengan Air Liur?

Surat Al-Baqarah Ayat 173

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ ۖ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Surat Al-An'am Ayat 145

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -- karena sesungguhnya semua itu kotor -- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".


Ibnu Abdul Barr –rahimahullah- berkata: “Hukum setiap darah seperti darah haid, namun sedikit darah hukumnya dimaafkan, karena adanya syarat Allah Subhanahu Wata’ala dalam najisnya darah haruslah masfuh (mengalir). Pada saat seperti itu hukumnya rijs dan rijs sama dengan najis. Ini adalah ijma’ ummat Islam bahwa darah yang mengalir adalah kotor lagi najis. (Kitab At-Tamhid, 22/230)

Dari Abi Hurairah, bahwa Rasul SAW. bersabda: "Apabila lalat hinggap dalam minuman salah seorang di antara kamu, maka celupkanlah seluruh (tubuh)nya, kemudian angkatlah lalat itu, karena pada salah satu sayapnya mengandung obat dan yang lainnya mengandung penyakit.".
(HR Ahmad, Bukhari, Abu Dawud dan Ibnu Majah. Demikian juga dari Imam Ahmad dan Ibnu Majah dari hadis Abi Sa’id.)

Semua jenis darah adalah diharamkan, baik darah yang mengalir maupun tertumpah. Misalnya, darah yang mengalir dari hewan yang disembelih ataupun darah haid. Akan tetapi, darah yang sedikit dimaafkan.

Ketika Abu Mijlaz ditanya tentang darah yang terdapat pada bekas sembelihan domba atau darah yang dijumpai di permukaan periuk, beliau menjawab, "Tidak mengapa! Sebab yang dilarang hanyalah darah yang tertumpah." (HR. Abdu Hamid dan Abu Syaikh)

Aisyah r.a. berkata,

كنا نأكل اللحم والدم خطوط على القدر

"Kami makan daging, sedangkan darahnya masih tampak jelas bagaikan untaian benang di dalam periuk."

Bagaimana dengan Darah Haid?
Untuk darah haidh sudah dijelaskan bahwa darah tersebut adalah darah yang najis. Dalil yang menunjukkan hal ini, dari Asma’ binti Abi Bakr, beliau berkata, “Seorang wanita pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata, “Di antara kami ada yang bajunya terkena darah haidh. Apa yang harus kami perbuat?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Gosok dan keriklah pakaian tersebut dengan air, lalu percikilah. Kemudian shalatlah dengannya.” (HR. Bukhari no. 227 dan Muslim no. 291)

Shidiq Hasan Khon rahimahullah mengatakan, “Perintah untuk menggosok dan mengerik darah haidh tersebut menunjukkan akan kenajisannya.” (Ar Roudhotun Nadiyah, hal. 30.)
Hal ini pun telah disepakati oleh para ulama. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/77.)

Bagaimana dengan Darah manusia?
Untuk darah manusia, mengenai najisnya terdapat  perbedaan pendapat di antara para ulama. Mayoritas ulama madzhab menganggapnya najis.
Dalil mereka adalah firman Allah Ta’ala,

Surat Al-An'am Ayat 145

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -- karena sesungguhnya semua itu kotor -- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".

Para ulama tersebut menyatakan bahwa karena dalam ayat ini disebut darah itu haram, maka konsekuensinya darah itu najis.

Namun ulama lainnya semacam Asy Syaukani (Lihat Ad Daroril Madhiyah, hal. 27) dan muridnya Shidiq Hasan Khon (Lihat Ar Roudhotun Nadhiyah, Shidiq Hasan Khon, 1/30, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, 1422 H.), Syaikh Al Albani (Lihat Tamamul Minnah fit Ta’liq ‘ala Fiqhis Sunnah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 51-52, Al Maktabah Al Islamiyah, cetakan ketiga, tahun 1409 H.) dan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahumullah menyatakan bahwa darah itu suci. Alasan bahwa darah itu suci sebagai berikut.

Pertama: Asal segala sesuatu adalah suci sampai ada dalil yang menyatakannya najis. Dan tidak diketahui jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan membersihkan darah selain pada darah haidh. Padahal manusia tatkala itu sering mendapatkan luka yang berlumuran darah. Seandainya darah itu najis tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memerintahkan untuk membersihkannya. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/78.)

Kedua: Sesuatu yang haram belum tentu najis sebagaimana dijelaskan oleh Asy Syaukani rahimahullah. (Lihat Ad Daroril Madhiyah Syarh Ad Durorul Bahiyah, hal. 29).

Ketiga: Para sahabat dulu sering melakukan shalat dalam keadaan luka yang berlumuran darah. Mereka pun shalat dalam keadaan luka tanpa ada perintah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membersihkan darah-darah tersebut.

Sebagaimana terdapat dalam sebuah hadits yang menceritakan seorang Anshor. Ketika itu ia sedang shalat malam, kemudian orang-orang musyrik memanahnya. Ia pun mencabut panah tadi dan membuangnya. Kemudian ia dipanah sampai ketiga kalinya. Namun ketika itu ia masih terus ruku’ dan sujud padahal ia dalam shalatnya berlumuran darah. (Riwayat ini dikeluarkan oleh Al Bukhari secara mu’allaq (tanpa sanad), juga dikeluarkan oleh Imam Ahmad dengan menyambungkan sanadnya dan hadits ini dikeluarkan pula oleh Abu Daud.)

Ketika membawakan riwayat ini, Syaikh Al Albani rahimahullah menjelaskan, “Riwayat ini dihukumi marfu’ (sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Karena sangat mustahil kalau hal ini tidak diperhatikan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seandainya darah yang amat banyak itu menjadi pembatal shalat, tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskannya. Karena mengakhirkan penjelasan di saat dibutuhkan tidak diperbolehkan, sebagaimana hal ini telah kita ketahui bersama dalam ilmu ushul.” (Tamamul Minnah, hal. 51.)

Juga ada beberapa riwayat lainnya yang mendukung hal ini. Al Hasan Al Bashri mengatakan,

مَا زَالَ الْمُسْلِمُونَ يُصَلُّونَ فِى جِرَاحَاتِهِمْ

“Kaum muslimin (yaitu para sahabat) biasa mengerjakan shalat dalam keadaan luka.” (Disebutkan oleh Bukhari secara mu’allaq (tanpa sanad) dalam kitab shahihnya.)

Dalam Muwatho’ disebutkan mengenai sebuah riwayat dari Miswar bin Makhromah, ia menceritakan bahwa ia pernah menemui ‘Umar bin Al Khottob pada malam hari saat ‘Umar ditusuk. Ketika tiba waktu Shubuh, ia pun membangunkan ‘Umar untuk shalat Shubuh. ‘Umar mengatakan,

وَلَا حَظَّ فِي الْإِسْلَامِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلَاةَ

“Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” Lalu ‘Umar shalat dalam keadaan darah yang masih mengalir. (Diriwayatkan oleh Malik dalam Muwatho’nya (2/54).)

Hasan mengatakan,

مَا زَالَ الْمُسْلِمُونَ يُصَلُّونَ فِى جِرَاحَاتِهِمْ

"Kaum muslimin tetap melakukan shalat, meskipun mereka luka-luka yang mengalirkan darah." (HR. Bukhari)

Kemudian sebuah riwayat yang sahih dari Umar r.a. bahwa ia pernah shalat, sedangkan lukanya masih berdarah (Al-Hafizh dalam kitab Fathul Bari). Sementara Abu Hurairah r.a. berpendapat, tidak mengapa jika seseorang mengerjakan shalat sekiranya darah itu hanya setetes atau dua tetes.

Segala sesuatu yang haramkan Allah belum tentu najis, berdasarkan firman Allah Ta’ala,

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ

“Diharamkan atas kamu ibu-ibumu …” (QS. An Nisa’: 23),
Beranikah anda mengatakan najis kepada ibumu dst ...?

Bagaimana dengan darah dari hewan yang halal dimakan?
Ada riwayat dari Ibnu Mas’ud yang menguatkan bahwa darah dari hewan yang halal dimakan itu suci. Dihukumi suci namun diharamkan untuk memakan atau meminumnya.
Riwayat tersebut,

صَلَّى بْنُ مَسْعُوْدٍ وَعَلَى بَطْنِهِ فَرْثٌ وَدَمٌّ مِن جَزْرِ نَحْرِهَا وَلَمْ يَتَوَضَّأْ

“Ibnu Mas’ud pernah shalat dan di bawah perutnya terdapat kotoran (hewan ternak) dan terdapat darah unta yang disembelih, namun beliau tidak mengulangi wudhunya.” (Mushonnaf ‘Abdur Rozaq (1/125))

Ada pula riwayat dari Ibnu Mas’ud, ia mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di sisi Ka’bah. Sedangkan Abu Jahl dan sahabat-sahabatnya sedang duduk-duduk ketika itu. Sebagian mereka mengatakan pada yang lainnya, “Coba kalian pergi ke tempat penyembelihan si fulan”. Lalu Abu Jahl mendapati kotoran hewan, darah sembelihan dan sisa-sisa lainnya, kemudian ia perlahan-lahan meletakkannya pada pundak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamketika beliau sujud. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa kesulitan dalam shalatnya. Ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud, Abu Jahl kembali meletakkan kotoran dan darah tadi di antara pundaknya. Beliau tetap sujud, sedangkan Abu Jahl dan sahabatnya dalam keadaan tertawa.” (HR. Bukhari no. 240 dan Muslim no. 1794.)


Bagaimana dengan Darah Nyamuk?
Darah nyamuk dan darah yang menetes dari bisul, maka ia dimaafkan berdasarkan atsar atau riwayat dari para sahabat, seperti yang disebutkan tadi. Abu Mijlaz pernah ditanya mengenai nanah bisul yang bercampur darah, lalu menimpa badan atau pakaian. Beliau menjawab, "Tidak mengapa karena yang disebut Allah hanyalah darah dan tidak ada menyebutkan tentang nanah." Ibnu Taimiyah mengatakan, "Tidak wajib mencuci kain yang terkena nanah beku dan nanah yang bercampur darah. Sebab tidak ditemukan dalil mengenai hukum najisnya." Walaupun demikian, seseorang mesti menjaga diri, pakaian dan tempat tinggalnya agar tidak terkena benda-benda tersebut.
Darah nyamuk, kutu, lalat adalah darah yang suci menurut sebagian ulama, karena bangkainya suci.
(Al-Asybaah wa An-Nazhaa’ir-Ibnu Najim Al-Hanafy 2/193)

Para ulama berbeda pendapat, namun masalah nanah mendapat hukum lebih ringan dari pada darah. Sehingga nanah yang sedikit, sulit untuk dihindari, tidak apa-apa. 

Berkata Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu:

دم الذباب والبعوض وشبهه لأن ميتته طاهرة كما دل عليه حديث أبي هريرة في الأمر بغمسه إذا وقع في الشراب ، ومن الشراب ما هو حار يموت به، وهذا دليل على طهارة دمه لما سبق من علة تحريم الميتة .

Artinya: “Darah lalat dan nyamuk dan yang semacamnya (adalah suci) karena bangkainya suci, sebagaimana yang ditunjukkan hadist Abu Hurairah ketika diperintahkan untuk menenggelamkan lalat apabila masuk dalam minuman, dan diantara minuman ada yang panas lagi mematikan, ini menjadi dalil atas sucinya darah lalat karena apa yang sudah berlalu tentang sebab diharamkannya bangkai.” (Majmu Fatawa Wa Rasa’il Syeikh ‘Utsaimin 11/267)

Dengan demikian shalat seseorang yang badan atau pakaiannya terkena darah nyamuk atau kutu atau lalat adalah sah.

Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan sebuah atsar dari Zajir bin Shalt, dari Al-Harits bin Malik, beliau berkata:

انطلقت إلى منزل الحسن فجاء رجل فسأله فقال: يا أبا سعيد ! الرجل يبيت في الثوب فيصبح وفيه من دم البراغيث شئ كثير يغسله أو ينضحه أو يصلي فيه؟ قال: لا ينضحه ولا يغسله يصلي فيه

Dalam sebuah Atsar diriwayatkan dari Al-Haarits bin Malik beliau berkata: "Aku pergi ke rumah Hasan (Al-Bashry), kemudian datang seorang laki-laki seraya bertanya: Wahai Abu Sa’id! Jika seseorang tidur, kemudian ketika di pagi hari banyak darah kutu di bajunya, apakah dia harus mencucinya atau memercikkan air di bajunya atau langsung shalat dengannya? Beliau menjawab: Tidak perlu memercikinya dan tidak perlu mencucinya, silakan dia shalat dengannya” (Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf 1/285 no: 2035)

Al-Majmu', Juz : 3  Hal : 133-134

قال المصنف رحمه الله : وأما الدماء فينظر فيها فإن كان دم القمل والبراغيث وما أشبهها فإنه يعفى عن قليله لأنه يشق الاحتراز منه فلو لم يعف عنه شق وضاق وقد قال الله تعالى (وما جعل عليكم في الدين من حرج) وفي كثيره وجهان قال أبو سعيد الإصطخري لا يعفى عنه لأنه نادر لا يشق غسله وقال غيره يعفى عنه وهو الأصح لانه هذا الجنس يشق الاحتراز منه في الغالب فالحق نادره بغالبه
...............................
أما دم القمل والبراغيث والبق والقردان وغيرها مما لا نفس له سائلة فهو نجس عندنا كما سبق في باب إزالة النجاسة وذكرنا خلاف أبي حنيفة وأحمد فيه واتفق أصحابنا على أنه يعفى عن قليله وفي كثيره وجهان مشهوران أحدهما قاله الإصطخري لا يعفى عنه وأصحهما باتفاق الأصحاب يعفى عنه قال القاضي أبو الطيب هذا قول ابن سريج وأبي إسحاق المروزي قال صاحب البيان هذا قول عامة أصحابنا وقال المحاملي في المجموع هذا قول ابن سريج وأبي إسحاق وسائر أصحابنا

Menurut Imam Nawawi pendapat yang lebih shohih (ashoh) adalah darah dari jenis hewan-hewan tersebut dihukumi najis ma'fu secara mutlak, baik sedikit ataupun banyak, meskipun sampai merata pada bagian tubuh atau baju, karena terkena keringat semisal.

Hanya saja, darah tersebut dihukumi najis yang ma'fu apabila menempelnya pada baju atau pakaian bukan karena perbuatannya sendiri dan tidak menempel pada pakaian yang dipakai saat sholat hanya sekedar untuk memperindah penampilan. Maka apabila najis tersebut sengaja  ditempelkan pada badan atau pakaian, dan apabila najis tersebut menempel pada pakaian yang dipakai hanya untuk berhias, maka darah dari hewan tersebut, hanya dima'fu apabila sedikit, dan apabila banyak, tidak dima'fu. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitab "Tahqiq", "Al-Majmu'", dan kitab-kitab lainnya.

Kesimpulannya, darah nyamuk yang menempel pada baju, baik itu sedikit atau banyak, apabila menempel dengan sendirinya maka hukumnya dima'fu (dimaafkan), dan apabila pakaian tersebut dipakai sholat, maka sholatnya sah. Namun apabila menempelnya pada pakaian dengan sengaja atau menempel pada pakaian yang hanya untuk memperindah penampilan, hanya dima'fu apabila darahnya sedikit.

Bab: Bagaimana dengan Hati Ayam dan Darah yang ada di Tulang Iga Ayam?
Allah memberikan keterangan tambahan bahwa darah yang haram itu adalah darah yang memancar. Keterangan tambahan “darah yang memancar” dalam istilah ushul disebut muqayyad.

Dari dua ayat diatas, para ulama memahami ayat mutlak kepada ayat muqayyad. Artinya darah yang diharamkan pada surat Al-Baqarah di atas, dipahami sebagai darah yang memancar dan bukan semua darah, sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-An’am.

Muqayyad adalah lafadz yang menunjukan suatu hakikat dengan qayid (batasan).
Mutlaq menurut ushul fiqih adalah suatu lafadz yang menunjukan pada makna/pengertian tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz lainnya. Misalnya: kata “meja”, “rumah”, “jalan”, kata-kata ini memiliki makna mutlak karena secara makna kata-kata tersebut telah menunjuk pada pengertian makna tertentu yang telah kita pahami.
Para ulama berkata:”Kapan saja ditemukan suatu dalil yang mengikat (menjadikan muqayyad), maka yang mutlaq itu ditafsirkan dengannya. Dan jika tidak ditemukan, maka juga tidak."

Diriwayatkan bahwa Aisyah mengatakan,

لولا أنّ الله قال أو دماً مسفوحاً لتتبّع الناس ما في العروق

“Andai Allah tidak berfirman, ‘darah yang memancar’ tentu orang-orang akan mencari-cari darah yang menyelip di daging.” (Rawa’iul Bayan, 1:164)

Hal yang sama juga dinyatakan Ikrimah, murid Ibnu Abbas,

لولا هذه الآية لتتبع الناس ما في العُرُوق، كما تتبعه اليهود

“Andaikan bukan ayat ini, tentu kaum muslimin akan mencari-cari darah yang ada di daging, sebagaimana yang dilakukan orang Yahudi.” (Tafsir Ibn Kasir, 3:352)

Imam Qatadah juga mengatakan,

حرم من الدماء ما كان مسفوحًا، فأما لحم خالطه دم فلا بأس به

“Darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir, adapun daging yang di sela-selanya terselip darah, tidak haram.” (Tafsir Ibn Kasir, 3:352)

Keterangan di atas menunjukkan bahwa para sahabat sepakat, darah yang menempel di daging tidak haram.

Apa itu darah yang memancar?
Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan, “Darah yang memancar adalah darah yang keluar dari binatang sebelum dia mati.” (Asy-Syarhul Mumti’, 15:8)
Misalnya: hewan hidup yang ditusuk pahanya, kemudian mengeluarkan darah. Oleh sebagian orang, darah ini ditampung untuk dikonsumsi. Sementara hewannya masih dibiarkan hidup. Ini adalah kebiasaan sebagian masyarakat jahiliyah.
Hewan yang baru disembelih, darahnya keluar. Selama hewan ini belum mati total, darah yang keluar ini tergolong Ad-Dam Al-Masfuh (darah yang memancar).

Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah menambahkan bahwa ”Pendapat yang benar, bahwa darah yang diharamkan oleh Allah adalah darah yang mengalir. Adapun sisa darah yang menempel pada daging, maka tidak ada satupun dari kalangan ulama’ yang mengharamkannya”. (Al-Mulakhas Al-Fiqhi 2/461 oleh Syaikh Dr. Shahih Al-Fauzan).

Atsar Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau berkata :

أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ , فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ , وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ

"Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Dua macam bangkai itu adalah belalang dan ikan, sedangkan dua macam darah adalah hati dan limpa “  (Atsar di atas diriwayatkan oleh Ahmad(2/97) dan Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Daruqutni dan Hakim. Berkata Ibnu Hajar : Atsar ini dikatagorikan *hadits marfu’) 

*Hadits marfu adalah hadits yang khusus disandarkan kepada Nabi saw berupa perkataan, perbuatan atau taqrir beliau; baik yang menyandarkannya sahabat, tabi’in atau yang lain; baik sanad hadits itu bersambung atau terputus.

Diriwayatkan dari Ikramah bahwa suatu ketika seorang laki-laki mendatangai Ibnu Abbas dan bertanya : “Bolehkah aku memakan limpa ?". Ibnu Abbas menjawab : "boleh". Laki-laki bertanya lagi : “bukankah limpa itu kandungannya adalah darah ?". Ibnu Abbas menjawab : “Sesungguhnya yang diharamkan adalah darah yang mengalir“. (Atsar ini disebutkan oleh Imam Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah)

Para sahabat dahulu dan orang-orang sesudahnya secara turun temurun biasa memakan daging kambing atau unta dengan cara dibakar tanpa dicuci terlebih dahulu, hal ini menunjukkan kebolehannya. Begitu juga menunjukkan bahwa agama Islam itu mudah dan tidak sulit.

Sehingga darah yang masih tersisa setelah penyembelihan, dan yang masih menempel dalam daging, tulang maupun urat, hukumnya halal untuk dimakan, karena yang diharamkan hanyalah darah yang mengalir karena sembelihan, dan bukan darah yang menempel.
Sedangkan Dideh itu haram, karena dibuat dengan cara menampung darah yang mengalir, hasil sembelihan hewan kemudian dibekukan dengan menggunakan garam dalam sebuah cetakan dan direbus, dan selintas terlihat seperti ati sapi.

Jadi hati ayam dan darah yang ada di tulang iga itu tidak termasuk sebagai darah yang mengalir, sehingga boleh dimakan.

Apakah itu Atsar?
Atsar adalah sinonim dari hadis, yaitu segala sesuatu yang berasal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Atsar berbeda dengan hadis, adapun pengertiannya adalah :

ما أضيف إلى الصحابة و التابعين من أقوال أو أفعال

Perkataan ataupun perbuatan yang disandarkan kepada Sahabat ataupun Tabiin.


Bab: Bagaimana dengan Air Liur?
Imam Nawawi dalam "Al-Majmu'' menyatakan bahwa hukum dari air liur / ngiler adalah suci selama belum diyakini bahwa air liur tersebut benar-benar keluar dari dalam perut (atau pencernaan, dimana dihukumi muntahan jika keluar dari pencernaan yang berarti najis).
Beliau sudah menanyakan sendiri pada beberapa ahli kedokteran yang terpercaya, dan hasilnya mereka semua menyatakan bahwa air tersebut (yakni air liur/ngiler) tidak keluar dari pencernaan, dan mereka juga mengingkari orang-orang yang mengharuskan membersihkan air liur.

Surat Al-Baqarah Ayat 286

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ ۖ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا ۚ أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir".



Imam Ibnu Majah dalam sunannya menyebutkan judul bab:
بَابُ اللُّعَابِ يُصِيبُ الثَّوْبَ
Bab, tentang air liur yang mengenai baju.
Kemudian, beliau menyebutkan satu hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa bercerita,
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَامِلَ الْحَسَنَ بْنَ عَلِيٍّ عَلَى عَاتِقِهِ، وَلُعَابُهُ يَسِيلُ عَلَيْه
“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam menggendong Husain bin ‘Ali di atas pundak beliau, dan air liur Husain menetes mengenai beliau.” Hadis ini diriwayatkan Ibn Majah 658 dan dishahihkan al-Albani, juga disebutkan oleh Imam Ahmad no. 9779 dalam Musnadnya dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth.

Termasuk Liur yang Keluar ketika Tidur

Dr. Soleh al-Fauzan pernah ditanya tentang liur yang keluar ketika tidur. Jawaban beliau,
اللعاب الذي يخرج من النائم أثناء نومه طاهر وليس بنجس، والأصل فيما يخرج من بني آدم الطهارة إلا ما دل الدليل على نجاسته لقول النبي صلى الله عليه وسلم : ( إن المؤمن لا ينجس ) [ رواه الإمام البخاري في ” صحيحه ” من حديث أبي هريرة رضي الله عنه
Air Liur yang keluar ketika seseorang tidur statusnya suci dan tidak najis. Dan hukum asal segala sesuatu yang keluar dari manusia adalah suci, kecuali yang terdapat dalil bahwa itu najis. 

Berdasarkan Hadits (diedit oleh Admin dengan hadits shahih berikut ini):
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada Abu Hurairah,
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لاَ يَنْجُسُ
“Sesungguhnya orang mukmin tidaklah najis.” (HR. Bukhari, no. 283 dan Muslim, no. 372).

Kemudian beliau menegaskan,
فاللعاب والعرق ودمع العين وما يخرج من الأنف كل هذه طاهرة، لأن هذا هو الأصل، والبول والغائط وكل ما يخرج من السبيلين نجس. وهذا اللعاب الذي يخرج من الإنسان حال نومه داخل في الأشياء الطاهرة كالبلغم والنخامة وما أشبه ذلك، وعلى هذا فلا يجب على الإنسان غسله ولا غسل ما أصابه من الثياب والفرش.
Air Liur, keringat, air mata, atau cairan yang keluar dari hidung, semuanya suci. Inilah hukum asal. Sementara kencing, kotoran, dan setiap yang keluar dari dua jalan, statusnya najis. Air Liur yang keluar dari seseorang ketika dia tidur (ngiler), termasuk benda suci, sebagaimana ingus, dahak atau semacamnya. Karena itu, tidak wajib bagi seseorang untuk mencucinya atau mencuci baju yang terkena liur.
[al-Muntaqa min Fatawa al-Fauzan, 5/10].


Wallahu'alam bishowab.
_____________________
Bagaimana dengan orang yang tidur namun tidak perlu berwudlu' lagi? Silahkan baca: http://tausyiahaditya.blogspot.co.id/2014/05/orang-yang-tidur-tidak-perlu-berwudlu.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar