Jumat, 18 Agustus 2017

= Disyari'atkannya Ibadah Qurban =

Secara etimologi, Qurban berasal dari kata Qaruba yg berarti kedekatan. Secara terminologi adalah upaya pendekatan diri seorang hamba kepada Tuhannya dng media penyembelihan ternak. Secara syar'iyah binatang ternak yg dipaparkan hadits adalah berupa domba/kambing, sapi dan unta.

Pengertian Qurban diberbagai referensi sering tidak dibedakan, sehingga timbul kerancuan. Padahal "penyembelihan ternak" dalam perspektif hadits setidaknya ada empat macam:
1. Penyembelihan ternak terkait dng pelaksanaan ibadah Haji, disebut "Al Hadyu".
2. Penyembelihan ternak terkait sanksi pelanggaran manasik Haji, disebut "Al Dam"
3. Penyembelihan ternak terkait merayakan hari raya Qurban, disebut "Udhiyah".
4. Penyembelihan ternak terkait tasyakkuran kelahiran anak, disebut "Aqiqah".


Pada keempat jenis penyembelihan tersebut mempunyai prosesi dan persyaratan yg berbeda.
Sebagai contoh:
> Tempat penyembelihan "Al Hadyu" dan "Al Dam" telah ditentukan, yakni ketika jamaah haji masih berada di Manhar (tempat penyembelihan Qurban) pada waktu tertentu. Dan tidak mungkin disembelih ditanah air, walaupun ada pemikiran lebih bermanfaat di sini, karena banyaknya yg miskin.
> Kalau "Udhiyah" boleh disembelih dimanapun kita berada dan pada waktu tertentu. Juga boleh untuk sekeluarga peruntukannya (lengkapnya silahkan baca keterangan dibawah), sangat berbeda dengan "Al Hadyu" dan "Al Dam" yang hanya diperbolehkan satu kambing/domba untuk satu orang saja.
> Sedangkan "Aqiqah" malah lebih luas lagi, yakni bisa disembelih dimanapun dan kapanpun kita berada.
>> Masalah yg berhak menerima (orangnya) dan "dalam keadaan mentah/matang pendistribusian dagingnya" pun berlainan.

Menurut Ulama Mazhab Syafi'i, daging qurban dan aqiqoh sama2 dibagikan kepada orang lain (maksudnya, distribusi daging bukan mereka yg mendatangi untuk mengambil daging qurban, namun pe-qurbanlah yg mengantarkan dagingnya kepada orang lain).
Dan bedanya, daging aqiqoh diberikan/didistribusikan setelah dimasak terlebih dahulu (dalam keadaan matang dan siap makan), sedangkan daging kurban di distribusikan dalam keadaan mentah.
Untuk undangan yg di rumah (acara tasyakuran aqiqah dirumah) hendaknya dihidangkan makanan selain dari sembelihan daging aqiqoh (misalnya: soto ayam dan semangka), sebab daging aqiqoh yg telah dimasak hendaknya dikirim/diantarkan (misal: dibungkus kotak/rantang) ke tetangga, sahabat, atau yg lainnya.


Sesungguhnya keutamaan berkurban sedemikian besarnya hingga ada imam madzhab yang mewajibkan dan ada yg mengijinkan supaya berhutang dulu untuk bisa berkurban dng catatan ia sanggup melunasi hutangnya dlm waktu dekat. 
Berkurban itu bentuk implementasi kecintaan hamba kepada Tuhannya yang Mahapemurah. 
Allah SWT.
Bahkan di sunnahkan juga menyaksikan penyembelihan atau menyembelih sendiri. 
Bukan paksaan namun hanya bentuk kecintaan hamba kepada Allah, Tuhan semesta alam.
Sehingga dapat dikatakan, berqurban itu bukan milik orang kaya, namun milik hamba yang mencintai Tuhannya, Allah SWT.


No. Hadist: 5123 dari KITAB SHAHIH BUKHARI

حَدَّثَنَا صَدَقَةُ أَخْبَرَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ ابْنِ سِيرِينَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ النَّحْرِ مَنْ كَانَ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلَاةِ فَلْيُعِدْ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ هَذَا يَوْمٌ يُشْتَهَى فِيهِ اللَّحْمُ وَذَكَرَ جِيرَانَهُ وَعِنْدِي جَذَعَةٌ خَيْرٌ مِنْ شَاتَيْ لَحْمٍ فَرَخَّصَ لَهُ فِي ذَلِكَ فَلَا أَدْرِي بَلَغَتْ الرُّخْصَةُ مَنْ سِوَاهُ أَمْ لَا ثُمَّ انْكَفَأَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى كَبْشَيْنِ فَذَبَحَهُمَا وَقَامَ النَّاسُ إِلَى غُنَيْمَةٍ فَتَوَزَّعُوهَا أَوْ قَالَ فَتَجَزَّعُوهَا

Telah menceritakan kepada kami Shadaqah telah mengabarkan kepada kami Ibnu 'Ulayyah dari Ayyub dari Ibnu Sirin dari Anas bin Malik dia berkata; pada hari raya kurban, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda: "Barangsiapa menyembelih binatang kurban sebelum shalat (ied), hendaknya ia mengulangi lagi (untuk Qurban)." Lalu ada seorang laki-laki yang berdiri sambil bertanya; "Wahai Rasulullah, Sesungguhnya hari ini adalah hari di bagi-bagikannya daging kurban, -lalu ia menyebutkan sebagian para tetangganya- sementara aku hanya memiliki jad'ah (anak kambing yang belum genap berumur satu tahun atau belum kupak atau belum ada yg tanggal/copot salah satu gigi depannya) yang lebih banyak dagingnya daripada dua ekor kambing biasa." Maka beliau memberi keringanan kepadanya untuk berkurban dengan kambing tersebut, aku tidak tahu apakah keringanan tersebut juga untuk yang lain atau tidak. Setelah itu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pergi menuju dua ekor kambing dan menyembelihnya, lalu orang-orang pun pergi menuju sekumpulan kambing dan membagi-bagikannya."

Sedangkan hikmah disyari'atkannya ibadah qurban dapat dijelaskan sebagai berikut:
Banyak hikmah/ibroh yang dapat kita petik dari disyari'atkannya ibadah qurban, di antara hikmah yang telah disebutkan oleh para ulama adalah:
      1. Untuk mendekatkan diri hanya kepada Alloh, dan inilah hikmah qurban yang paling utama, sebagaimana firman-Nya;
قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Katakanlah, sesungguhnya sholatku, penyembe­lihanku, hidupku dan matiku hanya untuk Alloh semata Robbul 'alamin tiada sekutu bagi-Nya. (QS. al-An'am [6]: 162)
      1. Menghidupkan kembali sunnah Nabi Ibrahim عليه السلام yang telah diperbaharui kembali oleh Nabi kita Mu­hammad صلي الله عليه وسلم.
      2. Memberi kelonggaran dalam perkara mubah untuk anggota keluarga dan menebarkan rahmat Alloh di muka bumi ini, karena hari-hari ini adalah hari-hari bahagia, menikmati berbagai makanan dan minuman dengan tetap ingat kepada Alloh.
      3. Sebagai ungkapan rasa syukur seorang hamba yang telah diberi kuasa memiliki dan mengalahkan bina­tang-binatang yang ada, sebagaimana firman-Nya:
كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Demikianlah kami jadikan buat kamu (binatang-binatang itu) tunduk supaya kamu mau bersyukur(QS.al-Haj[22]:36)

Bab:Hukum Berkurban dan Apakah Boleh Berkurban untuk Orang yg sudah Mati?
Berqurban hukumnya adalah sunnah muakkad (sangat2 dianjurkan menurut jumhur ulama, bahkan Nabi SAW. sendiri Tidak pernah meninggalkan untuk berkurban setiap tahun)) dan disyari'atkan bagi orang yang masih hidup yang mampu membeli atau memiliki binatang qurban, tidak disyari'atkan berqurban bagi orang yang sudah mati. Oleh karena itu tidak pernah Rosululloh صلي الله عليه وسلم berqurban dan diniatkan bagi orang yang telah mati se­cara tersendiri seperti istri-istrinya, anak-anaknya, pa­man-pamannya, dan para kerabatnya, hanya saja ketika berqurban, Rosululloh صلي الله عليه وسلم menyertakan keluarganya dalam niat qurbannya, dan bukan diniatkan untuk orang yang telah mati secara tersendiri.

Sebagaimana beliau pernah menyembelih binatang qurbannya dan mengucapkan;

بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي

"Dengan menyebut nama Alloh, dan Alloh maha Agung, ya Alloh (qurban) ini dariku dan orang-orang yang ti­dak berqurban dari umatku" (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi(Minhajul Muslim hlm.342), dan al-Albani mengatakan dalam Takhrij at-Thohawiyah: "Hadits ini shohih karena ada beberapa penguatnya.")

Menurut madzhab Syafii, kategori mukmin supaya berqurban adalah minimal mampu membeli kambing dan mencukupi kebutuhan keluarganya dihari raya qurban dan 3 hari setelahnya (hari2 tasyrik).
Misalkan: punya uang Rp. 6 jt, bisa beli kambing Rp. 3 jt dan sisa Rp. 3 jt cukup untuk kebutuhan keluarganya, maka ia sangat dianjurkan untuk berkurban.
Sedangkan dalam madzhab Hanafi, wajib berqurban jika ia sudah memiliki kelebihan harta Rp.40 jt an. Sedangkan harta itu adalah harta nganggur, bukan rumah, kendaraan ataupun modal kerja.
Boleh berhutang dalam membeli hewan kurban, asalkan bisa mengembalikan hutangnya dalam waktu dekat. Mengingat sangat banyaknya keutamaan ber qurban.
Wa Allahu 'alam ...

Bab:Sunnahnya Seseorang berqurban seekor kambing dengan mengikut sertakan Keluarganya
Sudah menjadi kebiasaan para sahabat dan para Salafus Sholih, setiap datang hari raya Idul Adhha, mereka menyembelih seekor kambing untuk dirinya beserta keluarganya, karena meneladani apa yang dicontohkan Rosululloh صلي الله عليه وسلم, hal ini ditunjukkan oleh sebuah hadits;

عَنْ أَبَا أَيُّوبَ كَانَ الرَّجُلُ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ

Dan Abu Ayub berkata: "Adalah seorang laki-laki pada zaman Rosululloh menyembelih seekor kambing un­tuk dirinya beserta keluarganya" (Ibnu Majah 3147, dan dishohihkan al-Albani  dalam Irwa' al-Gholil 1142)

Dari ‘Atho’ bin Yasar, ia berkata,

سَأَلْتُ أَبَا أَيُّوبَ الأَنْصَارِيَّ كَيْفَ كَانَتْ الضَّحَايَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فَقَالَ : كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ ، فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ


“Aku pernah bertanya pada Ayyub Al Anshori, bagaimana qurban di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Beliau menjawab, “Seseorang biasa berqurban dengan seekor kambing (diniatkan) untuk dirinya dan satu keluarganya. Lalu mereka memakan qurban tersebut dan memberikan makan untuk yang lainnya.” (HR. Tirmidzi no. 1505, shahih)

Dari hadits di atas dipahami bahwa termasuk Sunnah apabila seorang berqurban seekor kambing hendaknya mengikut sertakan keluarganya untuk mendapatkan pahala qurbannya, sedangkan bersekutu atau patungan dua orang atau lebih untuk berqurban seekor kambing, maka tidak pernah ada pada zaman Rosululloh صلي الله عليه وسلم dan sahabatnya, oleh karena itu perlu dibedakan antara me­nyertakan anggota keluarga untuk mendapat pahala (yang pernah diajarkan oleh Rosululloh صلي الله عليه وسلم dengan bersekutu dalam berqurban seekor kambing (yang tidak pernah ada contohnya)

Khusus hadits yg diriwayatkan oleh ibnu Majah:
Yahya bin Musa menceritakan kepadaku, Abu Bakar Al Hanafi menceritakan kepada kami, Dhahhak bin Utsman menceritakan kepada kami, Umarah bin Abdullah menceritakan kepadaku, ia berkata, "Aku mendengar Atha' bin Yasar berkata, 'Aku pernah bertanya kepada Abu Ayyub Al Anshari, 'Bagaimana pelaksanaan kurban pada masa hidup Rasulullah SAW?' ia menjawab, 'Saat itu, seseorang boleh berkurban dengan seekor kambing untuknya dan untuk seluruh keluarganya. Mereka memakan daging hewan kurban itu dan juga memberi makan (membagikan dagingnya ke orang lain), sampai manusia saling membanggakan diri —dengan kurban itu—, maka jadilah pelaksanaan kurban itu seperti yang kamu lihat sekarang'." Shahih: ibnu Majah (3147).

Dalam Tuhfatul Ahwadzi disebutkan, “Hadits ini adalah dalil tegas bahwa satu kambing bisa digunakan untuk berqurban satu orang beserta keluarganya, walau jumlah anggota keluarga tersebut banyak. Inilah yang benar.”

Al Hafizh Ibnul Qoyyim dalam Zaadul Ma’ad berkata, “Di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, satu kambing sah untuk qurban satu orang beserta keluarganya walau jumlah mereka banyak.”

Asy Syaukani mengatakan, “Yang benar, qurban kambing boleh diniatkan untuk satu keluarga walaupun dalam keluarga tersebut ada 100 jiwa atau lebih.” Beliau sebutkan hal ini dalam Nailul Author.

Hadits diatas lebih jelas menunjukkan bolehnya seseorang berkurban dengan seekor kambing untuknya dan untuk seluruh keluarganya, jadi tidak perlu bergantian dalam berkurban, misal: tahun ini suami, tahun depan istri, tahun depannya lagi anak dst. Hal seperti ini tidak perlu dilakukan, karena berkurban dengan seekor kambing saja sudah cukup untuknya dan untuk seluruh keluarganya.

Bab:Berapa Bagiankah Daging Kurban yg Boleh dimakan sendiri?
Dalam qaul qadim dari Imam syafi'i, daging kurban yg dimakan sendiri dan dibagikan kepada orang lain prosentasenya adalah 50:50, namun dalam qaul jadidnya, Imam Syafi'i menyebutkan maksimal yg boleh dimakan sendiri dari hewan kurbannya adalah 1/3 nya saja.

Bab:Syarat Sahnya binatang Qurban
Ada beberapa perkara yang menjadi syarat sahnya binatang yang akan dijadikan binatang qurban, di an­taranya;
  1. Hendaknya binatang yang diqurbankan adalah onta, sapi atau kambing, sebagaimana yang kami jelaskan di atas, hal ini didasari oleh firman Alloh:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنسَكاً لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ
Dan tiap- tiap umat kami syari'atkan penyembelihan (qurban) supaya mereka mengingat nama Alloh ter­hadap binatang ternak yang telah direzekikan kepada mereka. (QS. al-Haj [22]: 34)

Adapun selain onta, sapi dan kambing (seperti kuda, kijang dan lainnya) maka tidak termasuk binatang piaraan dalam istilah bahasa Arab, oleh karena itu tidak sah berqurban dengan selain tiga binatang di atas walaupun binatang itu lebih mahal harganya.
  1. Binatang yang diqurbankan sudah mencapai umur yang ditentukan secara syar'i.
Hal ini berdasarkan sabda Rosululloh صلي الله عليه وسلمyang ber­kata:

لَا تَذْبَحُوا إِلَّا مُسِنَّةً إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنْ الضَّأْنِ

"Janganlah kamu menyembelih qurban kecuali musinnah, kecuali kamu kesulitan, maka boleh kamu me­nyembelih domba jadha'ah" (HR. Muslim 2797)

Musinnah atau biasa disebut dengan istilah tsaniyyah adalah setiap binatang piaraan (onta, sapi atau kambing) yang telah gugur salah satu gigi depannya yang berjumlah empat (dua di bagian atas dan dua di bagian bawah).
Adapun dikatakan onta yang musinnah biasanya onta tersebut telah berumur tahun sempurna, dise­but sapi yang musinnah biasanya sapi tersebut telah berumur tahun sempurna, dan disebut kambing yang musinnah biasanya kambing tersebut berumur satu tahun sempurna. Sedangkan Domba jadha'ah yaitu domba yang belum genap berumur satu ta­hun.
Dari perincian di atas menjadi jelas bahwasanya ti­dak sah berqurban dengan onta, sapi atau kambing yang belum mencapai umur masing-masing yang telah ditentukan, kecuali apabila tidak memiliki  yang musinnah, maka boleh berqurban dengan yang  di bawah musinnah
  1. Binatang yang diqurbankan tidak boleh cacat atau  berpenyakit yang parah.        
Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi dalam hadits

عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ أَنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ مَاذَا يُتَّقَيْ مِنْ الْضَحَايَا؟ فَأَشَارَ بِيَدِهِ فَقَالَ أَرْبَعًا الْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ ظَلْعُهَا وَالْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا وَالْعَجْفَاءُ الَّتِي لَا تُنْقِي

Dari Baro' bin Azib, bahwasanya Rosululloh pernah ditanya tentang binatang qurban yang harus dihindari. Maka beliau mengisyaratkan dengan tan gannya sambil mengatakan: "Ada empat (yang harus dihindari), yaitu pincang yang benar-benar jelas pincangnya, buta sebelah yang jelas-jelas butanya, sakit yang jelas-jelas sakitnya, dan lemah atau kurus yang jelas-jelas lemah atau kurusnya. ( HR. Abu Dawud 2802, Tirmidzi 1541, Nasa'i 7/214, Ibnu Majah 3144, dan dishohihkan al-Albani dalam Misykat al Mashobih 1465)
Hadits di atas menjelaskan kepada kita beberapa kriteria yang harus dihindari dari binatang qurban, di antaranya
  • Apabila pincang yang terlihat jelas pincangnya yaitu apabila berjalan tidak seimbang
  • Apabila sebelah matanya benar-benar buta, bukan sekedar juling
  • Apabila sakit dengan sakit yang benar-benar mem pengaruhi keseimbangan badan binatang tersebut, sehingga dia tampak lemah disebabkan oleh penyakit tersebut, seperti luka yang parah, kudis yang parah, atau penyakit yang lain yang mengakibatkan binatang tersebut tidak mau makan dan badannya menjadi lemah
  • Lemah atau kurus, atau biasa disebut kering yang tidak lagi bersumsum, dan binatang yang lemah seperti ini faktor penyebab yang dominan adalah karena umurnya tua. Binatang seperti ini selain lemah dan dagingnya juga sudah tidak enak rasanya seperti binatang lainnya yang sehat, juga binatang seperti ini tidak sedap dipandang , oleh karena itu Nabi صلي الله عليه وسلم melarang berqurban dengan binatang seperti ini
  • Demikian juga cacat atau penyakit semisal disebutkan dalam hadits Baro' bin Azib atau yang lebih parah dari semua yang disebutkan, maka hukumnya sama. Suatu contoh binatang yang buta ke dua matanya, maka tidak boleh diqurbankan, wa laupun dalam hadits hanya disebutkan yang buta sebelah matanya, binatang yang putus salah satu kakinya atau lebih dari satu kakinya yang terputus maka tidak boleh diqurbankan walaupun dalam hadits hanya disebutkan pincang, ini semua karena berlaku hukum qiyas bahkan termasuk qiya aulawi (penyamaan hukum yang lebih utama).
Hendaknya disembelih binatang qurban itu pada waktu yang ditentukan, yaitu dimulai setelah pelaksanaan sholat Idul Adhha sampai akhir hari Tasyrik baik malam hari atau siang hari, sehingga jumlah hari menyembelih adalah empat hari penuh, hari pertama adalah tanggal 10 Dzul Hijjah, diteruskan tanggal 11, 12, dan diakhiri ketika tenggelamnya matahari tanggal 13 Dzul Hijjah! Maka barangsiapa yang menyembelih binatang qurbannya sebelum pelaksanaan sholat Idul Adhha atau setelah tenggelam matahari tanggal 13 Dzul Hijjah maka sembelihannya bukan qurban tetapi dianggap daging biasa, sebagaimana hadits-hadits di atas

Bagi seseorang yang ingin berqurban hendaknya memilih hewan qurban yang paling afdhol dengan kriteria binatang qurban yang gemuk, bertanduk, sempurna badannya, dan menyenangkan apabila dipandang, hal ini lantaran Nabi صلي الله عليه وسلم memilih hewan qurban yang paling afdhol sebagaimana dalam beberapa hadits seperti:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالك أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَحَّي بِكَبْشَيْنِ أَقْرَنَيْنِ أَمْلَحَيْنِ

Dari Anas bin Malik, bahwasanya Rasulullah صلي الله عليه وسلم menyembelih Qurban dua ekor kibas yang bertanduk lagi berwarna bagus (HR. Bukhori 1626, dan Muslim dalam kitab al-Adhoni 17-18)

Berkata Ibnu Utsaimin: "Kibas adalah jenis kambing yang berbadan besar."
Para ulama beristimbath dari hadits ini bahwa bina­tang qurban yang paling afdhol adalah kibas yang ber­tanduk dan berwarna bagus.
Adapun binatang qurban yang tidak bertanduk, maka tetap dibolehkan karena para ulama hanya ber­sepakat disunnahkan hewan qurban yang bertanduk dan tidak diwajibkan.
Sedangkan أَمْلَحَيْنِ (keduanya berwarna bagus), ini menunjukkan warna binatang qurban yang bagus/in­dah.
Siddiq Hasan Khon mengatakan أَمْلَحُ (berwarna ba­gus) maksudnya adalah berwarna putih sempurna, ada yang mengatakan berwarna putih bercampur sedikit warna hitam, ada yang mengatakan putih bercampur sedikit warna merah, ada juga yang mengatakan warna putihnya lebih dominan dibanding hitamnya.

Dalam hadits yang lain disebutkan:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ يُضَحِّي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُضَحِّي بِكَبْشٍ أَقْرَنَ فَحِيلٍ يَنْظُرُ فِي سَوَادٍ وَيَأْكُلُ فِي سَوَادٍ وَيَمْشِي فِي سَوَادٍ

Dari Abu Said beliau berkata: "Adalah Rosululloh berqurban dengan kibas yang bertanduk, yang nampak jelas kejantanannya, (kibas itu) melihat dengan (mata yang) hitam, makan dengan ( mulut yang hitam, dan berjalan dengan (kaki yang) hitam" (HR. Abu Dawud 3/95, Ibnu Majah 2/1046, Nasa'i 7/220, dan dishohihkan al-Albani dalam Sunan Abi Dawud 2796)
Imam Nawawi mengatakan: "Maksud dari per­kataan melihat dengan mata yang hitam...., maksudnya adalah (kibas itu warnanya putih) tetapi mulut, mata, dan ujung-ujung kakinya berwarna hitam".

Bab:Disyari'atkan untuk Tidak Memotong rambut, kuku dan kulitnya, hingga hari penyembelihan
Disyari'atkan bagi seorang yang hendak berqurban apabila datang bulan Dzul Hijjah untuk tidak memotong atau mengambil sedikitpun dari rambut, kuku dan kulitnya, sehingga dia telah menyembelih qurbannya, sebagaimana sabda Rosululloh صلي الله عليه وسلم;

إِذَا دَخَلَتْ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَأْخُذُنَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَرِهِ شَيْئًا حَتَّي يُضَحِّيَ

Apabila masuk sepuluh hari (awal bulan Dzul Hijjah), lalu di antara kamu hendak berqurban, maka sungguh janganlah mengambil/ memotong rambut, dan kukunya sedikitpun sampai benar-benar dia menyembelih (qur­bannya) (HR. Muslim 1566)

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum memotong atau mengambil rambut dan kukunya bagi orang yang hendak berqurban sebelum menyembelih qurbannya, Sebagian ulama berpendapat makruh, akan tetapi pendapat yang lebih dekat kepada dalil adalah yang mengharamkannya. Ini didasari oleh asal hukum larangan adalah haram selama tidak terdapat dalil lain yang memalingkannya dan dalam masalah ini tidak terdapat dalil lain yang memalingkan asal hukum ini, ditambah lagi Rosululloh melarang dengan tam­bahan huruf نّ (nun ditasydid yang berfungsi sebagai penguat) pada kata فَلَا يَأْخُذُنَّ (maka sungguh janganlah mengambil/memotong)

Bab:Bersekutu dalam Berkurban (dng orang lain atau bukan anggota keluarganya)
Khusus binatang sapi atau onta, maka dibolehkan bersekutu maksimal tujuh orang beserta keluarga masing-masing, hal ini didasari oleh sebuah hadits;

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كُنَّا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَذْبَحُ الْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْجَزُورَ عَنْ سَبْعَةٍ نَشْتَرِكُ فِيهِ

Dari Jabir berkata: "Pada zaman Rosululloh صلي الله عليه وسلم kami menyembelih sapi untuk tujuh orang, dan onta untuk tujuh orang, kami bersekutu di dalamnya." (HR. Muslim 1318)

Dari keterangan di atas kita mengetahui bahwa ber­sekutu lebih dari seorang untuk berqurban kambing dan bersekutu lebih dari tujuh orang untuk berqurban sapi atau onta tidaklah diperkenankan, hal ini karena beberapa alasan, di antaranya;
  1. Perbuatan itu tidak terdapat keterangan/dalil dalam al-Qur'an dan as-Sunnah.
  2. Barang siapa mengadakan suatu ibadah yang tidak dicontohkan oleh Alloh سبحانه و تعاليdan Rosul-Nya, maka ibadah tersebut ditolak, sebagaimana dalam HR. Muslim 1718.
  3. Sebagian bentuk ibadah tata-caranya tidak ditentu­kan oleh pembuat syariat (seperti anjuran shilaturohmi, birrul walidain, dan sebagainya), maka siapa saja boleh melaksanakan ibadah jenis ini sesuai dengan kebiasaan yang berjalan asalkan tidak menyelisihi syariat, sedangkan ibadah yang tata-caranya sudah ditentukan oleh pembuat syariat, dan berqurban adalah termasuk ibadah yang telah ditentukan tata-caranya sehingga tidak boleh siapa pun menyelisihi tata-caranya.
  4. Belum pernah terjadi pada zaman Rosululloh dan para salafus sholih berqurban dengan cara di atas, dan seandainya hal itu baik atau seandainya  perbuatan ini mendidik, maka mereka pasti lebih dahulu mengamalkannya, karena mereka adalah generasi terbaik di muka bumi ini, dan mereka tidak akan menyia-nyiakan satu kesempatan pun apabila hal itu baik dan dibolehkan
Bab:Disunnahkan bagi orang yang berqurban untuk Menyembelih Qurbannya Sendiri (tidak diwakilkan)
Disunnahkan bagi orang yang hendak berqurban untuk menyembelih qurbannya sendiri (tidak diwakil­kan), hal ini karena Rosululloh صلي الله عليه وسلم menyembelih de­ngan tangannya sendiri ketika berqurban, sebagaimana dalam sebuah hadits;

عَنْ أَنَسِ قَالَ: ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ وَسَمَّى وَكَبَّرَ

Dari Anas bin Malik (berkata): "Rosululloh صلي الله عليه وسلم menyem­belih dua ekor kambing kibas yang bagus warnanya, dan keduanya bertanduk, beliau menyembelih sendiri dengan tangannya, beliau membaca basmalah dan bertakbir. (HR. Bukhori 5565, dan Muslim 1966)

Namun apabila ada suatu kebutuhan, sehingga dia harus mewakilkan penyembelihan kepada orang lain, maka hal itu dibolehkan (asalkan si pe-qurban tersebut menyaksikan penyembelihan hewan qurbannya, namun apabila tetap tidak bisa, maka tidaklah mengapa). Oleh karena itu ketika Rosu­lulloh صلي الله عليه وسلم mempersembahkan 100 ekor onta ke Makkah untuk diqurbankan, beliau menyembelih dengan tangan­nya sendiri sebanyak 63 ekor ontanya, kemudian beliau memerintahkan Ali bin Abi Tholib melanjutkan penyembelihan sisa ontanya, sebagaimana dalam HR. Bukhori 1557, dan Muslim 1210.


ADAB-ADAB MENYEMBELIH BINATANG
  1. Hendaknya binatang qurban dihadapkan ke kiblat, dikarenakan kiblat adalah arah yang paling mulia.
  2. Apabila yang disembelih adalah onta, maka disunnahkan onta tersebut disembelih dalam keadaan berdiri, sebagaimana dalam sebuah hadits: 
عَنِ ابْنَ عُمَرَ أَنَّهُ أَتَى عَلَى رَجُلٍ قَدْ أَنَاخَ بَدَنَتَهُ يَنْحَرُهَا فَقَالَ ابْعَثْهَا قِيَامًا مُقَيَّدَةً سُنَّةَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Dari Ibnu Umar bahwasanya dia datang kepada orang yang sedang membaringkan ontanya untuk disembelih, maka dia berkata: "Biarkan onta itu (disembelih) berdiri dalam keadaan diikat, ini adalah Sunnah Nabi Muhammad صلي الله عليه وسلم." (HR. Bukhori 1/430, dan Muslim 4/89)
  1. Sedangkan sapi atau kambing, maka disunnahkan untuk dibaringkan ketika menyembelihnya, sebagai­mana yang dilakukan Rosululloh صلي الله عليه وسلم setelah siap dengan pisau yang tajam, sebagaimana Aisyah رضي الله عنها berkata menerangkan apa yang dilakukan Rosu­lulloh صلي الله عليه وسلم:
فَأَضْجَعَهُ وَذَبَـحَهُ

Kemudian Nabi membaringkan (kambingnya), dan menyembelihnya. (HR. Muslim kitab al-Adhohi 19)
  1. Diharuskan ketika hendak menyembelih membaca basmalah, dan disunnahkan setelahnya untuk ber­takbir. Adapun kewajiban membaca basmalah maka sebagaimana perintah Alloh dalam al-Quran yang artinya: "Janganlah kamu makan sembelihan yang tidak disebut nama Alloh atasnya." (QS. al-An'am: 121) Sedangkan disunnahkan mengucapkan Al-lohu Akbar, maka berdasarkan hadits dari Anas bin Malik beliau mengatakan: "Bahwa Rosululloh صلي الله عليه وسلم apabila menyembelih qurban, beliau mengucapkan;
بِسْمِ اللهِ والله أَكْبَر
"Bismillah wallohu Akbar." (HR. Muslim kitab al-Ad­hohi 17-18)
  1. Disunnahkan ketika menyembelih untuk berdoa supaya qurbannya diterima oleh Alloh سبحانه و تعاليsebagai­mana Rosululloh صلي الله عليه وسلم mengucapkannya ketika me­nyembelih;
بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ
"Bismillah, Ya Alloh terimalah (qurban ini) dari Mu­hammad, dari keluarga Muhammad, dan dari umat­nya Muhammad" lalu beliau menyembelih. (HR. Muslim kitab al-Adhohi 19 dari jalan Aisyah)

Kemudian hadits dari Jabir radhiyallahu anhu ia berkata,

شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْأَضْحَى بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ مِنْ مِنْبَرِهِ وَأُتِيَ بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ وَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي


“Aku ikut bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Idul Adha di Mushalla (lapangan tempat shalat). Setelah selesai khutbah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam turun dari mimbar, lalu dibawakan kepadanya seekor kambing kibas, lalu Rasulullah menyembelihnya dengan kedua tangannya seraya berkata, ‘Dengan menyebut nama Allah, Allahu akbar, ini adalah Kurbanku dan Kurban siapa saja dari umatku yang belum berkurban.’” (HR. At-Tirmidzi, no. 1521)

Berdasarkan riwayat di atas, dianjurkan bagi orang yang hendak menyembelih qurban untuk mengucapkan kalimat ikrar di atas. Jika pemilik hewan menyembelih sendiri, dia bisa ucapkan :

بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُمَّ هَذَا عَنِّي وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِي

Bismillahi wallahu Akbar, Allahumma hadza ‘Anni wa ‘an Ahli Baiti.

“Dengan menyebut nama Allah, Allah Maha Besar, Ya Allah, ini dari hamba dan dari keluarga hamba.”

بسم الله الله اكبر 
بسم الله اللهم تقبل مني وعائلتي.

  1. Memotong dengan cepat urat leher binatang qur­ban dengan alat yang sudah diasah dengan baik dan tajam, karena demikianlah cara menyembelih yang terbaik, dan Rosululloh صلي الله عليه وسلمmemerintahkan untuk melakukan penyembelihan sebaik mungkin, sebagaimana sabdanya; 
إِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ

Apabila kamu menyembelih, maka baguskanlah penyembelihannya, hendaklah diasah alat untuk menyembelihnya, dan hendaknya binatang yang disembelih disegerakan. (HR. Muslim 1955)
  1. Alat yang digunakan harus tajam dan dapat men­galirkan darah dengan ketajamannya, sehingga bi­natang tersebut mati karena dialirkan darahnya, baik alat itu dari besi, batu, kayu (bambu) atau yang lainnya selama bukan gigi dan bukan kuku, sebagai­mana sabda Rosululloh صلي الله عليه وسلم
عَنْ رَافِعِ بْنِ خُدَيْجِ مَرْفُعًا مَ أُنْهِرَ الدَّمُ فَكُلْ لَيْسَ السِّنَّ وَالظُّفْرَ
Dari Rofi' bin Khodij (hadits ini sampai kepada Rosu­lulloh صلي الله عليه وسلم) beliau berkata: "Binatang yang dialirkan darahnya (dengan alat yang tajam), maka makanlah, asalkan bukan dengan gigi dan kuku" (HR. Bukhori 2/110-111, dan Muslim 6/78)
  1. Tidak mengasah alat untuk menyembelih di hadap­an binatang yang hendak disembelih, sebagaimana dalam sebuah hadits;
عَنِ ابْنَ عُمَرَ  قَالَ أَمَرَ رضي الله عنهما النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَدِّ الشِّفَارِ وَأَنْ تُوَارَى عَنْ الْبَهَائِمِ
Dari Ibnu Umar رضي الله عنهما berkata: "Rosululloh صلي الله عليه وسلم memerintahkan untuk diasah alat menyembelih, dan tidak diperlihatkan kepada binatang-binatang" (HR. Ahmad 2/108, Ibnu Majah 3172, dan dishohihkan al-Albani dalam Shohih at-Targhib wat-Tarhib 1091)

Syarat Sah Penyembelihan
Urat yang terdapat pada leher hewan ada 4 jenis: Tenggorokan (Saluran Pernafasan), Kerongkongan (Saluran pencernaan), dan 2 urat besar di sisi samping leher. Sehingga Para Ulama sepakat jika salah satu dari 4 urat tersebut tidak ada yang terpotong maka sembelihan tidak sah dan dagingnya tidak halal dimakan.
“Ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa dicukupkan dengan memotong 3 urat/saluran dari 4 saluran tersebut, dan ulama mazhab Maliki berpendapat sahnya sembelihan dengan memotong tenggorokan (saluran pernafasan) dan 2 urat di sisi leher tanpa harus memotong kerongkongan (Saluran makanan/minuman, dan Ulama mazhab Syafi’I dan Hambali berpendapat bahwa sah nya sembelihan dengan memotong Tenggorokan dan Kerongkongan.” (Al-Fiqh Al-Muyassar: 4/18).

Teknik Menyembelih
“Dan Hendaklah ia mengayunkan pisau atau alat sembelih secara kuat dan cepat agar mempercepat proses sembelihan, dan supaya menenangkan hewan sembelihan, berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ (Jika seseorang di antara kalian menyembelih hendaklah ia mempercepat proses sembelihan)(HR. Ahmad: 5864) (Al-Fiqh Al Muyassar: 4/21).

Maksud dari pemotongan / penyembelihan berulang adalah sekira pisau yang digunakan untuk menyembelih belum terpisah dari leher hewan maka masih terhitung satu kali penyembelihan walaupun cara menyembelihya mengiris² leher hewan kurban dengan bolak balik.

Maka perhitungan penyembelihan itu (lebih dari sekali) adalah lepasnya pisau dari leher hewan bukan banyaknya gerakan pisau ke leher hewan (selama pisau masih menempel pada leher).


Sedangkan dua kali Penyembelihan dianggap bisa menjadikan hewan haram jika dalam sembelihan kedua hewan sudah tidak dalam keadaan "hayat al mustaqirroh".

Melainkan jika dalam sembelihan kedua hewan masih dalam keadaan "hayat al mustaqirroh" maka sembelihan tetap halal.

حاشية البيجوري ١ / ٣٧٢

قوله يكون قطع ما ذكر أي من الحلقوم والمريء قوله دفعة واحدة لا دفعتين أي إذا لم توجد الحياة المستقرة عند الدفعة الثانية أما إذا وجدت الحياة المستقرة عند الدفعة الثانية فيحل المذبوح حينئذ

ومثل الدفعة الثانية غيرها كالثالثة

Boleh dan halal dimakan dagingnya selagi jarak sembelihan pertama dan kedua tidak lama, bila keduanya berjarak maka disyaratkan adanya keberadaan kehidupan (hayat al-mustaqirrah) pada hewan yang ia sembelih..

تنوير القلوب ٢٣٧

ويشترط في قطع ذلك ان يكون دفعة واحدة فلو قطع باكثر كما لو رفع السكين فاعادها فورا او القاها لكللها واخذ غيرها او سقطت منه فاخذها او قلبها وقطع ما بقي وكان فورا حل ولا يشترط وجود الحياة المستقرة في دفعة الفعل الثاني الا ان طال الفصل بين الفعلين فلا بد من وجود الحياة المستقرة اول الفعل الثاني

Dan disyaratkan dalam pemotongan tersebut dengan sekali potongan maka bila dipotong dengan lebih banyak seperti bila ia mengangkat pisau kemudian ia kembalikan secepatnya atau ia letakkan pisau tersebut karena tumpul dan ia ambil pisau lainnya atau pisaunya terjatuh kemudian segera ia ambil atau ia ganti dan ia memotong bagian yang tersisa serta yang demikian dilakukan secepatnya maka halal daging hewan sembelihannya.

Dan tidak disyaratkan adanya keberadaan kehidupan dalam ulangan pemotongan yang kedua kecuali bila jarak antara dua pemotongan tersebut lama maka disyaratkan "al hayat al mustaqirrah" pada saat memulai pemotongan yang kedua.

Al hayat al mustaqirrah yaitu : ruhnya masih ada di jasadnya, dan masih bisa melihat, berbicara dan bergerak yang bersifat ikhtiyari (bukan gerakan kesakitan mau mati)
______________
Ketika seseorang sedang menyembelih, lalu pisaunya jatuh atau dia angkat tangannya, sementara hewan itu belum mati, statusnya seperti hewan yang terluka. Karena itu, jika penyembelih ini langsung mengulangi sembelihannya, hingga hewan itu mati, statusnya sah dan halal dimakan.

Imam ad-Dirdir – ulama Malikiyah mengatakan,

فإن عاد عن قرب أكلت رفع يده اختيارا أو اضطرارا، والقرب والبعد بالعرف، فالقرب مثل أن يسن السكين أو يطرحها ويأخذ أخرى من حزامه أو قربه

Jika penyembelih segera mengulang penyembelihan, maka hewannya halal. Baik dia mengangkat tangannya sengaja atau tidak sengaja. Cepat dan lama ukurannya adalah urf (sesuai yang dipahami masyarakat). Yang dekat seperti mengasah pisau, atau menggantinya dengan pisau yang lain, yang dia ikat di sabuknya atau di dekatnya. (as-Syarh al-Kabir, 2/99)

Sayid Sabiq juga menjelaskan yang semisal. Beliau menuliskan,

وإذارفع المذكي يده قبل تمام الذكاة ثم رجع فورا وأكمل الذكاة فإن هذا جائز لأنه جرحها ثم ذكاها بعد وفيها الحياة فهي داخلة في وقول الله تعالى {إلا ما ذكيتم}.

Apabila orang yang menyembelih mengangkat tangannya sebelum penyembelihan sempurna, lalu dia segera kembali menyempurnakan sembelihannya, ini dibolehkan. Karena yang terjadi, dia melukai hewan itu, kemudian dia sembelih dan ketika itu hewan masih hidup. Sehingga termasuk dalam cakupan firman Allah, (yang artinya), kecuali yang sempat kamu menyembelihnya. (Fiqhus Sunah, 3/304)

Karena itu, ketika pisau jatuh saat mengiris pertama, kemudian penyembelih langsung mengambilnya dan menyempurnakan sembelihan, insyaAllah sembelihan sah dan qurban juga sah.

Wa Allahu 'alam 

2 komentar:

  1. assalamualaiku kak,, kalau boleh tahu apa yah imbalan untuk orang yang melaksanakan kurban?
    Akikah Jogja

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wa alaikumussalam,
      Ini insyaAllah jawabannya:
      1. Qurban Pintu Mendekatkan Diri Kepada Allah
      Sungguh ibadah qurban adalah salah satu pintu terbaik dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagaimana halnya ibadah shalat. Ia juga menjadi media taqwa seorang hamba. Sebagaimana firman Allah surat Al-Maidah ayat 27, “Sesungguhnya Allah hanya menerima (qurban) dari orang-orang yang bertaqwa”.
      Berqurban juga menjadi bukti ketaqwaan seorang hamba.
      Perhatikan (QS:Al Hajj:37)

      2. Sebagai sikap Kepatuhan dan Ketaaan pada Allah

      “Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).” [QS: Al Hajj : 34]

      3.Sebagai Saksi Amal di Hadapan dari Allah
      Ibadah qurban mendapatkan ganjaran yang berlipat dari Allah SWT, dalam sebuah hadits disebutkan, “Pada setiap lembar bulunya itu kita memperoleh satu kabaikan.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

      Juga kelak pada hari akhir nanti, hewan yang kita qurbankan akan menjadi saksi.

      “Tidak ada amalan yang dikerjakan anak Adam ketika hari (raya) kurban yang lebih dicintai oleh Allah Azza Wa Jalla dari mengalirkan darah, sesungguhnya pada hari kiamat ia akan datang dgn tanduk-tanduknya, kuku-kukunya & bulu-bulunya. Dan sesungguhnya darah tersebut akan sampai kepada Allah Azza Wa Jalla sebelum jatuh ke tanah, maka perbaguslah jiwa kalian dengannya.” [HR. ibnumajah No.3117].

      4. Membedakan dengan Orang Kafir

      Sejatinya qurban (penyembelihan hewan ternak) tidak saja dilakukan oleh umat Islam setiap hari raya adha tiba, tetapi juga oleh umat lainnya. Sebagai contoh, pada zaman dahulu orang-orang Jahiliyah juga melakukan qurban. Hanya saja yang menyembelih hewan qurban untuk dijadikan sebagai sesembahan kepada selain Allah.

      قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
      لاَ شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَاْ أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

      “Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku (qurbanku), hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu baginya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” [QS: al-An’am : 162-163]

      5. Ajaran Nabiullah Ibrahim AS

      Berkurban juga menghidupkan ajaran Nabi Ibrahim – ‘alaihis salaam yang ketika itu Allah memerintahkan beliau untuk menyembelih anak tercintanya sebagai tebusan yaitu Ismail ‘alaihis salaam ketika hari an nahr (Idul Adha).
      “Berkata kepada kami Muhammad bin Khalaf Al ‘Asqalani, berkata kepada kami Adam bin Abi Iyas, berkata kepada kami Sullam bin Miskin, berkata kepada kami ‘Aidzullah, dari Abu Daud, dari Zaid bin Arqam, dia berkata: berkata para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Wahai Rasulullah, hewan qurban apa ini?” Beliau bersabda: “Ini adalah sunah bapak kalian, Ibrahim.” Mereka berkata: “Lalu pada hewan tersebut, kami dapat apa wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Pada setiap bulu ada satu kebaikan.” Mereka berkata: “Bagaimana dengan shuf (bulu domba)?” Beliau bersabda: “Pada setiap bulu shuf ada satu kebaikan.” [HR. Riwayat Ibnu Majah dalam Sunannya No. 3127]

      6. Berdimensi Sosial Ekonomi

      Ibadah qurban juga memiliki sisi positif pada aspek sosial. Sebagaimana diketahui distribusi daging qurban mencakup seluruh kaum muslimin, dari kalangan manapun ia, fakir miskin hingga mampu sekalipun.

      Sehingga hal ini akan memupuk rasa solidaritas umat. Jika mungkin bagi si fakir dan miskin, makan daging adalah suatu yang sangat jarang. Tapi pada saat hari raya Idul Adha, semua akan merasakan konsumsi makanan yang sama.

      Hadits dari Ali bin Abu Thalib,

      ”Rasulullah memerintahkan kepadaku untuk mengurusi hewan kurbannya, membagi-bagikan dagingnya, kulit dan pakaiannya kepada orang-orang miskin, dan aku tidak diperbolehkan memberi sesuatu apapun dari hewan kurban (sebagai upah) kepada penyembelihnya.” Wallahu ‘alam bisshawab.

      Hapus