Rabu, 10 Mei 2017

Keikhlasan Dan Menghadhirkan Niat Dalam Segala Perbuatan

Allah Ta'ala berfirman:

وما أمروا إلا ليعبدوا االله مخلصين له الدين حنفاء ويقيموا الصلاة، ويؤتوا الزكاة، وذلك
دين القيمة

"Dan tidaklah mereka itu diperintahkan melainkan supaya sama menyembah Allah, dengan tulus ikhlas menjalankan agama untuk-Nya semata-mata, berdiri lurus dan menegakkan shalat serta menunaikan zakat dan yang sedemikian itulah agama yang benar." (al-Bayyinah: 5)

Allah Ta'ala berfirman pula:

لن ينال االله لحومها ولا دماؤها ولكن يناله التقوى منكم

"Samasekali tidak akan sampai kepada Allah daging-daging dan darah-darah binatang kurban itu, tetapi akan sampailah padaNya ketaqwaan engkau sekalian." (al-Hajj: 37)

Allah Ta'ala berfirman pula:

قل إن تخفوا ما في صدوركم أو تبدوه يعلمه االله

"Katakanlah - wahai Muhammad, sekalipun engkau semua sembunyikan apa-apa yang ada di dalam hatimu ataupun engkau sekalian tampakkan, pasti diketahui juga oleh Allah." (ali-lmran: 29)


1. Dari Amirul mu'minin Abu Hafs yaitu Umar bin Al-khaththab bin Nufail bin Abdul 'Uzza bin Riah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin 'Adi bin Ka'ab bin Luai bin Ghalib al-Qurasyi al-'Adawi r.a. berkata: Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Hanyasanya semua amal perbuatan itu dengan disertai niat-niatnya dan hanyasanya bagi setiap orang itu apa yang telah menjadi niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya itu untuk Allah dan RasulNya, maka hijrahnya itupun kepada Allah dan RasulNya. Dan barangsiapa yang hijrahnya itu untuk harta dunia yang hendak diperolehinya, ataupun untuk seorang wanita yang hendak dikawininya, maka hijrahnyapun kepada sesuatu yang dimaksud dalam hijrahnya itu."
(Muttafaq (disepakati) atas keshahihannya Hadis ini)

Diriwayatkan oleh dua orang imam ahli Hadis yaitu Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Almughirah bin Bardizbah Alju'fi Albukhari, - lazim disingkat dengan Bukhari saja -dan Abulhusain Muslim bin Alhajjaj bin Muslim Alqusyairi Annaisaburi, - lazim disingkat dengan Muslim saja - radhiallahu 'anhuma dalam kedua kitab masing-masing yang keduanya itu adalah seshahih-shahihnya kitab Hadis yang dikarangkan.

Keterangan:
Hadis di atas adalah berhubungan erat dengan persoalan niat. Rasulullah s.a.w. menyabdakannya itu ialah karena di antara para sahabat Nabi s.a.w. sewaktu mengikuti untuk berhijrah dari Makkah ke Madinah, semata-mata sebab terpikat oleh seorang wanita yakni Ummu Qais. Beliau s.a.w. mengetahui maksud orang itu, lalu bersabda sebagaimana diatas.
Oleh karena orang itu memperlihatkan sesuatu yang bertentangan dengan maksud yang terkandung dalam hatinya, meskipun sedemikian itu boleh saja, tetapi sebenarnya tidak patut sekali sebab saat itu sedang dalam suasana yang amat genting dan rumit, maka ditegurlah secara terang-terangan oleh Rasulullah s.a.w.
Bayangkanlah, betapa anehnya orang yang berhijrah dengan tujuan memburu wanita yang ingin dikawin, sedang sahabat beliau s.a.w. yang lain-lain dengan tujuan menghindarkan diri dari amarah kaum kafir dan musyrik yang masih tetap berkuasa di Makkah, hanya untuk kepentingan penyebaran agama dan keluhuran Kalimatullah.
Bukankah tingkah-laku manusia sedemikian itu tidak patut sama-sekali.
Jadi oleh sebab niatnya sudah keliru, maka pahala hijrahnyapun kosong. Lain sekali dengan sahabat-sahabat beliau s.a.w. yang dengan keikhlasan hati bersusah payah menempuh jarak yang demikian jauhnya untuk menyelamatkan keyakinan kalbunya, pahalanyapun besar sekali kerana hijrahnya memang dimaksudkan untuk mengharapkan keridhaan Allah dan RasulNya. Sekalipun datangnya Hadis itu mula-mula tertuju pada manusia yang salah niatnya ketika ia mengikuti hijrah, tetapi sifatnya adalah umum. Para imam mujtahidin berpendapat bahwa sesuatu amal itu dapat sah dan diterima serta dapat dianggap sempurna apabila disertai niat. Niat itu ialah sengaja yang disembunyikan dalam hati, ialah seperti ketika mengambil air untuk wudhu', mandi untuk shalat dan lain-lain sebagainya.

Perlu pula kita maklumi bahwa barangsiapa berniat mengerjakan suatu amalan yang bersangkutan dengan ketaatan kepada Allah ia mendapatkan pahala. Demikian pula jikalau seseorang itu berniat hendak melakukan sesuatu yang baik, tetapi tidak jadi dilakukan, maka dalam hal ini orang itupun tetap juga menerima pahala. Ini berdasarkan Hadis yang berbunyi:
"Niat seseorang itu lebih baik daripada amalannya."
Maksudnya: Berniatkan sesuatu yang tidak jadi dilakukan sebab adanya halangan yang tidak dapat dihindarkan itu adalah lebih baik daripada sesuatu kelakuan yang benar-benar dilaksanakan, tetapi tanpa disertai niat apa-apa.

Hanya saja dalam menetapkan wajibnya niat atau tidaknya,agar amalan itu menjadi sah, maka ada perselisihan pendapat para imam mujtahidin. Imam-imam yakni Syafi'i, Maliki dan Hanbali mewajibkan niat itu dalam segala amalan, baik yang berupa wasilah yakni perantaraan seperti wudhu', tayammum dan mandi wajib, atau dalam amalan yang berupa maqshad (tujuan) seperti shalat, puasa, zakat, haji dan umrah. Tetapi imam Hanafi hanya mewajibkan adanya niat itu dalam amalan yang berupa maqshad atau tujuan saja sedang dalam amalan yang berupa wasilah atau perantaraan tidak diwajibkan dan sudah dianggap sah.
Adapun dalam amalan yang berdiri sendiri, maka semua imam mujtahidin sependapat tidak perlunya niat itu, misalnya dalam membaca al-Quran, menghilangkan najis dan lain-lain.
Selanjutnya dalam amalan yang hukumnya mubah atau jawaz (yakni yang boleh dilakukan dan boleh pula tidak), seperti makan-minum, maka jika disertai niat agar kuat beribadat serta bertaqwa kepada Allah atau agar kuat bekerja untuk bekal dalam melakukan ibadat bagi dirinya sendiri dan keluarganya, tentulah amalan tersebut mendapat pahala, sedangkan kalau tidak disertai niat apa-apa, misalnya hanya supaya kenyang saja, maka kosonglah pahalanya.

2. Dari Ummul mu'minin yaitu ibunya - sebenarnya adalah bibinya - Abdullah yakni Aisyah radhiallahu 'anha, berkata: Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Ada sepasukan tentara yang hendak memerangi - menghancurkan - Ka'bah, kemudian setelah mereka berada di suatu padang dari tanah lapang lalu dibenamkan-dalam tanah tadi -dengan yang pertama sampai yang terakhir dari mereka semuanya."
Aisyah bertanya: "Saya berkata, wahai Rasulullah, bagaimanakah semuanya dibenamkan dari yang pertama sampai yang terakhir, sedang di antara mereka itu ada yang ahli pasar - maksudnya para pedagang - serta ada pula orang yang tidak termasuk golongan mereka tadi - yakni tidak berniat ikut menggempur Ka'bah?"
Rasulullah s.a.w. menjawab: "Ya, semuanya dibenamkan dari yang pertama sampai yang terakhir, kemudian nantinya mereka itu akan diba'ats - dibangkitkan dari masing-masing kuburnya - sesuai niat-niatnya sendiri - untuk diterapi dosa atau tidaknya.
Disepakati atas Hadis ini (Muttafaq 'alaih) - yakni disepakati keshahihannya oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim - Lafaz di atas adalah menurut Imam Bukhari.

Keterangan:
Sayidah Aisyah diberi gelar Ummul mu'minin, yakni ibunya sekalian orang mu'min sebab beliau adalah isteri Rasulullah s.a.w., jadi sudah sepatutnya. Beliau juga diberi nama ibu Abdullah oleh Nabi s.a.w., sebenarnya Abdullah itu bukan puteranya sendiri, tetapi putera saudarinya yang bernama Asma'. Jadi dengan Sayidah Aisyah, Abdullah itu adalah keponakannya. Adapun beliau ini sendiri tidak mempunyai seorang puterapun.
Dari uraian yang tersebut dalam Hadis ini, dapat diambil kesimpulan bahwa seseorang yang shalih, jika berdiam di lingkungan suatu golongan yang selalu berkecimpung dalam kemaksiatan dan kemungkaran, maka apabila Allah Ta'ala mendatangkan azab atau siksa kepada kaum itu, orang shalih itupun pasti akan terkena pula. Jadi Hadis ini mengingatkan kita semua agar jangan sekali-kali bergaul dengan kaum yang ahli kemaksiatan, kemungkaran dan kezaliman.
Namun demikian perihal amal perbuatannya tentulah dinilai sesuai dengan niat yang terkandung dalam hati orang yang melakukannya itu.
Mengenai gelar Ummul mu'minin itu bukan hanya khusus diberikan kepada Sayidah Aisyah radhiallahu 'anha belaka, tetapi juga diberikan kepada para isteri Rasulullah s.a.w. yang lain-lain.

3. Dari Abu Abdillah yaitu Jabir bin Abdullah al-Anshari radhiallahu'anhuma, berkata: Kita berada beserta Nabi s.a.w. dalam suatu peperangan - yaitu perang Tabuk - kemudian beliau s.a.w. bersabda:
"Sesungguhnya di Madinah itu ada beberapa orang lelaki yang engkau semua tidak menempuh suatu perjalanan dan tidak pula menyeberangi suatu lembah, melainkan orang-orang tadi ada besertamu -yakni sama-sama memperoleh pahala- mereka itu terhalang oleh sakit -maksudnya andaikata tidak sakit pasti ikut berperang-."
Dalam suatu riwayat dijelaskan: "Melainkan mereka -yang tertinggal itu- berserikat denganmu dalam hal pahalanya." (Riwayat Muslim)

Hadis sebagaimana di atas, juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Anas r.a., Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Kita kembali dari perang Tabuk beserta Nabi s.a.w., lalu beliau bersabda: "Sesungguhnya ada beberapa kaum yang kita tinggalkan di Madinah, tiada menempuh lereng ataupun lembah, melainkan mereka itu bersama-sama dengan kita juga -jadi memperoleh pahala seperti yang berangkat untuk berperang itu- mereka itu terhalang oleh sesuatu keuzuran."

Maksudnya:
Sama-sama memperoleh pahala, meskipun tidak ikut berangkat. Hal ini disebabkan mereka tidak bisa ikut berangkat karena sakit. Andaikan mereka tidak sakit, tentu meraka akan ikut berangkat. Sehingga Allah tetap mencatat mereka (yang sakit) untuk memperoleh pahala yang sama, karena niat baik mereka.


Renungkanlah:

Jika Anda tekun beribadah itu untuk mendapatkan kedudukan yang tinggi, kekayaan dunia yang melimpah, dan Do'a yang selalu dikabulkan Allah, lalu apa bedanya dengan Iblis?

Iblis dulunya sangat tekun beribadah, hingga luar-biasa tekunnya, ia diangkat sebagai panglima para Malaikat ...
Namun karena ia tidak terima kepada Makhluq baru yang bernama Adam as, yang jelas2 ibadahnya jauuuh dibawah Iblis, namun malah dimuliakan oleh Allah ...
Hingga akhirnya Iblis dikutuk oleh Allah karena perbuatannya itu ...
Namun ingatlah, Allah tetap mengabulkan semua Do'a Iblis, walaupun Do'a itu untuk menyesatkan manusia, dan Allah tetap memberikan kedudukan yang tinggi kepadanya, diantara para setan dan para pembangkangNya, hingga hari Kiamat ...

Ingatlah, ibadah itu untuk mencari ridlo Allah, dan bukan untuk mendapatkan kedudukan yang tinggi, kekayaan dunia yang melimpah, ataupun Do'a yang selalu dikabulkan Allah ...!!!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar