Jumat, 06 Januari 2017

Kamasutra?


QS.30. Ar Ruum:

وَمِنْ ءايَـٰتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجاً لِّتَسْكُنُوۤاْ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِى ذَلِكَ لأَيَـٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

21. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. 

ALASAN MENIKAH

Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Wanita itu dinikahi karena empat perkara;
[1] karena harta bendanya,
[2] karena keturunannya,
[3] karena kecantikannya dan
[4] karena agamanya. Maka pilihlah wanita yang beragama, maka kamu akan beruntung.”
[Bukhari, Muslim, Nasa’I , Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan Ad-Darami]


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ « أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ »

“Hubungan badan antara kalian (dengan isteri atau hamba sahaya kalian) adalah sedekah. Para sahabat lantas ada yang bertanya pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Wahai Rasulullah, apakah dengan kami mendatangi istri kami dengan syahwat itu mendapatkan pahala?’ Beliau menjawab, ‘Bukankah jika kalian bersetubuh pada yang haram, kalian mendapatkan dosa. Oleh karenanya jika kalian bersetubuh pada yang halal, tentu kalian akan mendapatkan pahala’.” [HR. Muslim]

Ibnul Qayyim menjelaskan manfaat jimak secara kesehatan, beliau berkata,

وَأَمَّا الْجِمَاعُ وَالْبَاهُ، فَكَانَ هَدْيُهُ فِيهِ أَكْمَلَ هَدْيٍ، يَحْفَظُ بِهِ الصِّحَّةَ، وَتَتِمُّ بِهِ اللَّذَّةُ وَسُرُورُ النَّفْسِ، وَيَحْصُلُ بِهِ مَقَاصِدُهُ الَّتِي وُضِعَ لِأَجْلِهَا، فَإِنَّ الْجِمَاعَ وُضِعَ فِي الْأَصْلِ لِثَلَاثَةِ أُمُورٍ هِيَ مَقَاصِدُهُ الْأَصْلِيَّةُ:

“Adapun jimak berhubungan badan, sungguh petunjuk beliau -shalallahu alaihi wasallam- dalam hal ini adalah petunjuk yang paling sempurna. Dengan jimak, kesehatan akan terjaga, kelezatan dan keceriaan jiwa akan menjadi sempurna, akan tercapai semua maksud yang ditujukan (kemashlahatan).” [Thibbun Nabawi 1/187]

Begitu besar manfaat jimak yang halal ini, sampai-sampai ulama menyebutkan bahwa syahwat jimak yang halal merupakan syahwat yang paling disukai oleh para nabi dan orang-orang shalih. Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata,

اعلم أن شهوة الجماع شهوة أحبها الأنبياء و الصالحون, قالوا لما فيها من المصا لح الدينية و الدنيوية, و من غض البصر, و كسر الشهوة عن الزنا, و حصول النسل الذي تتم به عمارة الدنيا و تكثر به الأمة إلى يوم القيامة. قالوا: و سائر الشهوات يقسي تعاطيهم القلب, إلا هذه فإنها ترقق القلب

“Ketahuilah bahwa syahwat jimak adalah syahwat yang paling disukai oleh para nabi dan orang-orang shalih. Mereka berkata, karena padanya terdapat berbagai mashalat agama dan dunia berupa menundukkan pandangan, meredam syahwat dari zina dan memperoleh keturunan yang dengannya menjadi sempurna bangunan dunia dan memperbanyak jumlah umat islam. Mereka berkata, semua syahwat bisa mengeraskan hati jika ditunaikan kecuali syahwat ini, karena bisa melembutkan hati.” [Syarh Al-Arbain An-Nawawiyah hal 91, Darul Aqidah]

Hidup lama membujang tanpa udzur atau sengaja tidak menikah seumur hidup merupakan larangan dalam syariat karena ada bahaya dan madharatnya.

Sa’ad bin Abi Waqqash berkata,

رَدَّ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ التَّبَتُّلَ ، وَلَوْ أَذِنَ لَهُ لاَخْتَصَيْنَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengizinkan ‘Utsman bin Mazh’un untuk tabattul (hidup membujang), kalau seandainya beliau mengizinkan tentu kami (akan bertabattul) meskipun (untuk mencapainya kami harus) melakukan pengebirian.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Terlalu lama menbujang akan membahayakan bagi kesehatan. Ibnul Qayyim memisalnya seperti sumur yang tidak diambil (dikeluarkan) airnya, maka sumur tersebut menjadi sumur tua dan rusak serta kotor. Beliau berkata,

وَيَنْبَغِي أَنْ لَا يَدَعَ الْجِمَاعَ، فَإِنَّ الْبِئْرَ إِذَا لَمْ تُنْزَحْ ذَهَبَ مَاؤُهَا

“Selayaknya tidak meninggalkan jimak (yang halal). Sebagaimana sumur, apabila airnya tidak diambil (dikeluarkan), maka airnya akan sirna dengan sendirinya (sumur tua rusak dan kotor)” [Thibbun Nabawi 1/187]

Muahammad bin Zakariya menjelaskan bahwa meninggalkan jimak dalam waktu yang lama akan membuat tubuh lemah, beliau berkata,

مَنْ تَرَكَ الْجِمَاعَ مُدَّةً طَوِيلَةً ضَعُفَتْ قُوَى أَعْصَابِهِ، وَانْسَدَّتْ مَجَارِيهَا، وَتَقَلَّصَ ذَكَرُهُ

“Barangsiapa meninggalkan jimak dalam waktu lama, kekuatan otot-ototnya akan melemah, salurannya akan tersumbat, dan kemaluannya akan mengkerut.”[Zaadul Ma’ad 4/228-229]

Secara medis jimak juga memiliki banyak manfaat misalnya jimak merupakan olahraga bergerak yang menyehatkan, menguatkan otot dan tulang, meredakan nyeri dan pegal, mengeluarkan hormon kebahagiaan serat membuat pikiran menjadi tenang.


WANITA ADALAH MAKHLUK YG LEMBUT, DAN BUTUH BIMBINGAN YG LEMBUT JUGA, TERUTAMA MASALAH AGAMA
Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya wanita itu seperti tulang rusuk. Jika kamu berusaha meluruskannya, maka kamu akan mematahkannya. Tetapi kalau kamu biarkan saja, maka kamu akan menikmatinya dengan tetap dalam keadaan bengkok.” [Bukhari, Muslim, Tirmizi, Ahmad dan Ad-Darami]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapapun diantara kamu, janganlah menyamai (menggauli) isterinya seperti seekor hewan bersenggama, tapi hendaklah ia dahului dengan perantaraan.” Selanjutnya, ada yang bertanya: “Apakah perantaraan itu”? Rasul Allâh SAW bersabda, “Yaitu ciuman dan ucapan-ucapan romantis,(foreplay)” (HR. Bukhâri dan Muslim).

TIDAK BOLEH MALU TERHADAP KEBENARAN
Ibnu Abu Umar menceritakan kepada kami, Sufyan bin Uyainah menceritakan kepada kami dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, dari Zainab binti Abu Salamah, dari Ummu Salamah, ia berkata, "Ummu Sulaim binti Milham menghadap Nabi SAW lalu ia berkata, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran, apakah wanita wajib mandi apabila ia mimpi seperti apa yang dialami oleh laki-laki?'. Beliau bersabda, 'Ya Apabila wanita itu melihat air (air mani perempuan) maka hendaklah ia mandi'."
Ummu Salamah berkata, "Aku berkata kepadanya, 'Kamu membuka aib wanita, hai Ummu Sulaim!'"
Shahih: shahih sunan tirmidzi (122); Ibnu Majah (600) dan Muttafaq 'alaih

--> Tidak boleh malu terhadap kebenaran!
--> Sesungguhnya apabila wanita mimpi seperti yang dialami oleh laki-laki lalu ia mengeluarkan air mani perempuan, maka dia wajib mandi. Itu adalah pendapat kebanyakan fuqaha.

KAMASUTRA DALAM ISLAM

1. ISTRI TIDAK BOLEH MENOLAK AJAKAN SUAMI
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Demi ALLAH yang jiwaku di tangan-NYA, apabila seorang laki-laki memanggil isterinya tidur ke ranjang, tetapi si isteri enggan (menolak), maka penduduk langit [malaikat] marah kepadanya hingga suaminya memaafkannya.” [Muslim]

--> Itulah beberapa hadis yang menyebut tentang larangan bagi isteri menolak ajakan suaminya. Dan tentunya kita harus ketahui pula bahwa seorang suami pun harus pula memahami keinginan isterinya. Karena hasrat birahi yang ada pada wanita tergantung pada banyak sebab, yang terkadang karena kesibukan pekerjaan rumah-tangga menjadikan si istri sangat lelah atau sakit. Sehingga sungguh bijaksana jika suami juga belajar memahaminya.

2. FOREPLAY (Pendahuluan, Pemanasan, atau Percumbuan)
Percumbuan adalah seperangkat tindakan fisik maupun nonfisik yang dilakukan oleh suami-istri dengan maksud untuk membangkitkan birahi mereka. Percumbuan biasanya merupakan persiapan menuju hubungan seksual.

Meski tidak semua hubungan seks pasti berujung faragh, tetapi upaya optimal pencapaian faragh yang adil hukumnya wajib. Yang dimaksud faragh yang adil adalah klimaks atau orgasme yang bisa dirasakan oleh kedua belah pihak, yakni suami dan istri.

Mengapa wajib? Karena faragh bersama merupakan salah satu unsur penting dalam mencapai tujuan pernikahan yakni sakinah, mawaddah dan rahmah. Ketidakpuasan salah satu pihak dalam jima’, jika dibiarkan berlarut-larut, dikhawatirkan akan mendatangkan madharat yang lebih besar, yakni perselingkuhan. Maka, sesuai dengan prinsip dasar islam, la dharara wa la dhirar (tidak berbahaya dan membahayakan), segala upaya mencegah hal-hal yang membahayakan pernikahan yang sah hukumnya juga wajib.

Namun, kepuasan yang wajib diupayakan dalam jima’ adalah kepuasan yang berada dalam batas kewajaran manusia, adat dan agama. Tidak dibenarkan menggunakan dalih meraih kepuasan untuk melakukan praktik-praktik seks menyimpang, seperti lewat duburnya (liwath) yang secara medis telah terbukti berbahaya. Atau penggunaan kekerasaan dalam aktivitas seks (mashokisme), baik secara fisik maupun mental, yang belakangan kerap terjadi.

Maka, sesuai dengan kaidah ushul fiqih “ma la yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajibun” (sesuatu yang menjadi syarat kesempurnaan perkara wajib, hukumnya juga wajib), mengenal dan mempelajari unsur-unsur yang bisa mengantarkan jima’ kepada faragh juga hukumnya wajib.

BERBUAT BAIKLAH KEPADA ISTRI
Yakni upaya optimal pencapaian faragh yang adil. Yang dimaksud faragh yang adil adalah klimaks atau orgasme yang bisa dirasakan oleh kedua belah pihak, yakni suami dan istri.

      عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُول اللَّه صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ : أَكْمَل الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ … رواه الترمذي وغيره 
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-sebaik kamu adalah orang yang paling baik kepada istrinya
(HR. At-Tirmidzi, 3/466;  Ahmad, 2/250 dan Ibnu Hibban, 9/483. Hadits dinyatakan shahih oleh Imam at-Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albani).

Bagi kaum laki-laki, tanda tercapainya faragh sangat jelas yakni ketika jima’ sudah mencapai fase ejakulasi atau keluar mani. Namun tidak demikian halnya dengan kaum hawa’ yang kebanyakan bertipe “terlambat panas”, atau –bahkan— tidak mudah panas. Untuk itulah diperlukan berbagai strategi mempercepatnya.

Dan, salah satu unsur terpenting dari strategi pencapaian faragh adalah pendahuluan atau pemanasan yang dalam bahasa asing disebut foreplay (isti’adah). Pemanasan yang cukup dan akurat, menurut para pakar seksologi, akan mempercepat wanita mencapai klimaks, orgasme atau faragh.

Karena dianggap amat penting, pemanasan sebelum berjima’ juga diperintahkan Rasulullah SAW. Beliau bersabda:

“Janganlah salah seorang di antara kalian menggauli istrinya seperti binatang. Hendaklah ia terlebih dahulu memberikan pendahuluan, yakni ciuman dan cumbu rayu,” (HR. At-Tirmidzi).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapapun diantara kamu, janganlah menyamai (menggauli) isterinya seperti seekor hewan bersenggama, tapi hendaklah ia dahului dengan perantaraan.” Selanjutnya, ada yang bertanya: “Apakah perantaraan itu”? 
Rasul Allâh SAW bersabda, “Yaitu ciuman dan ucapan-ucapan (rayuan) yang romantis, (foreplay)” (HR. Bukhâri dan Muslim).

Ciuman Suami-Istri
Ciuman dalam hadits diatas tentu saja dalam makna yang sebenarnya. Bahkan, Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, diceritakan dalam Sunan Abu Dawud, mencium bibir Aisyah dan mengulum lidahnya. Dua hadits tersebut sekaligus mendudukan ciuman antar suami istri sebagai sebuah kesunahan sebelum berjima’.

Ketika Jabir menikahi seorang janda, Rasulullah bertanya kepadanya, “Mengapa engkau tidak menikahi seorang gadis sehingga kalian bisa saling bercanda ria? …yang dapat saling mengigit bibir denganmu,” HR. Bukhari (nomor 5079) dan Muslim (II:1087).

Rayuan Yang Membangkitkan Gairah
Sedangkan rayuan yang dimaksud di atas adalah semua ucapan yang dapat memikat pasangan, menambah kemesraan dan merangsang gairah berjima’. Dalam istilah fiqih kalimat-kalimat rayuan yang merangsang disebut rafats, yang tentu saja Haram diucapkan kepada selain istrinya.
Selain ciuman dan rayuan, unsur penting lain dalam pemanasan adalah sentuhan mesra. Bagi pasangan suami-istri, seluruh bagian tubuh adalah obyek yang halal untuk disentuh, termasuk kemaluan. Terlebih jika dimaksudkan sebagai penyemangat jima’. Demikian Ibnu Taymiyyah berpendapat.


Bab. Hukum Menyentuh Kemaluan Istri

Para ulama sepakat bahwa suami boleh menyentuh kemaluan istrinya.

Ibnu ‘Abidin berkata, “Abu Yusuf pernah bertanya pada Abu Hanifah mengenai seorang suami yang menyentuh alat vital (kemaluan) istrinya dan istrinya pun melakukan sebaliknya sehingga suami terangsang, apakah seperti itu bermasalah? Jawab Imam Abu Hanifah, tidak masalah, bahkan aku harap seperti itu mendapatkan pahala yang besar.” (Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, 5: 234, dinukil dari Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 32: 90).

Menyentuh Kemaluan Membatalkan Wudhu?

Ada hadits yang menyebutkan bahwa menyentuh kemaluan membatalkan wudhu. Dari Busrah binti Shafwan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ

“Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu.” (HR. Abu Daud no. 181, An Nasai no. 163, Ibnu Majah no. 479, dan Tirmidzi no. 82. Al Hafizh Abu Thahir menyatakan bahwa hadits ini shahih)

Dalil lainnya yang berbeda menyatakan bahwa wudhu tidak batal ketika menyentuh kemaluan. Dari Thalq bin ‘Ali di mana ada seseorang yang mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya,

مَسِسْتُ ذَكَرِى أَوِ الرَّجُلُ يَمَسُّ ذَكَرَهُ فِى الصَّلاَةِ عَلَيْهِ الْوُضُوءُ قَالَ « لاَ إِنَّمَا هُوَ مِنْكَ

“Aku pernah menyentuh kemaluanku atau seseorang menyentuh kemaluannya ketika shalat, apakah ia diharuskan untuk wudhu?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Kemaluanmu itu adalah bagian darimu.” (HR. Ahmad 4: 23. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan)


Terkait dengan Batalnya Wudhu

Sebagian ulama menyatakan bahwa menyentuh kemaluan istri membatalkan wudhu sebagaimana yang dipegang oleh mayoritas ulama. Sedangkan ulama lainnya menyatakan wudhu tersebut tidak batal karena tidak adanya dalil yang menyatakan batal. (Lihat Fiqh As-Sunnah li An Nisaa’, hal. 41).

Pendapat yang menyatakan tidak batal, itulah pendapat yang lebih kuat.

Terkait dengan Wajib Mandi

Dijelaskan oleh Syaikh Abu Malik, jika seorang suami menyentuh kemaluan istrinya dan bukan jima’, maka tidak wajib mandi selama tidak keluar mani. (Lihat Fiqh As-Sunnah li An Nisaa’, hal. 41).

Berarti, jika keluar mani, tetap wajib mandi meskipun tidak sampai jima’.

https://rumaysho.com/10986-hukum-menyentuh-alat-vital-istri.html
÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷

3. BOLEH SENGGAMA DI SIANG HARI (KECUALI PADA SIANG HARI RAMADLON)
Dari Abu Hurairah, ia berkata: Seorang lelaki datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Celaka saya, wahai Rasulullah.” Beliau bertanya: “Apa yang membuat engkau celaka?” Lelaki itu menjawab: “Saya telah bersetubuh dengan istri saya pada siang hari Ramadhan.” Beliau bertanya: “Apakah engkau mempunyai sesuatu untuk memerdekakan seorang budak?” Ia menjawab: Tidak punya. Beliau bertanya: “Apakah engkau mampu berpuasa selama dua bulan berturut-turut?." Ia menjawab: "Tidak mampu." Beliau bertanya kembali: “Apakah engkau mempunyai sesuatu untuk memberi makan 60 (enam puluh) orang miskin?”. Ia menjawab: “Tidak punya.” Kemudian ia duduk menunggu sebentar. Lalu Rasulullah SAW memberikan sekeranjang kurma kepadanya sambil bersabda: “Sedekahkanlah ini.”
Lelaki tadi bertanya: “Berarti aku harus menyedekahkannya (kurma) kepada orang yang paling miskin di antara kita, sedangkan di daerah ini tidak ada keluarga yang paling memerlukannya selain dari kami.”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tertawa hingga kelihatan salah satu bagian giginya. Kemudian beliau bersabda: “Pulanglah dan berikan makan keluargamu.” [Bukhari, Muslim, Tirmizi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, Malik dan Ad-Darami]

--> Inilah salah satu hadis yang menyebut tentang adanya umat Rasulullah yang bersenggama pada siang hari. Dan para ulama berpendapat bahwa hadis ini berisi tentang dibolehkannya suami-isteri bersenggama pada siang hari.
Seandainya perbuatan itu dilarang, tentu saja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memberikan sanksi (hukuman) atau mengeluarkan larangan.
Adapun sebab orang itu kena denda adalah karena ia bersenggama pada siang hari puasa Ramadhan. Maka ia dan isterinya tidak hanya batal puasa dan wajib meng-qadha (membayar) puasanya, melainkan mereka harus membayar denda lainnya sebagaimana yang disebut dalam hadis itu.

4. BERDOA SEBELUM SENGGAMA
Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Apabila salah seorang mereka akan menggauli isterinya, hendaklah ia membaca:
“Bismillah. Ya ALLAH, jauhkanlah kami dari setan, dan jauhkanlah setan dari apa yang ENGKAU karuniakan kepada kami.”
Karena apabila ditakdirkan hubungan antara mereka berdua tersebut membuahkan anak, maka setan tidak akan membahayakan anak itu selamanya. [Bukhari, Muslim, Tirmizi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan Ad-Darami]

Dia meringkas hadits Ma'mar dari Ibnu Thawus dari bapaknya, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, "Sulaiman bin Daud pernah berkata, 'Malam ini, aku akan mengelilingi (mendatangi) tujuh puluh orang istri (istri2 beliau) yang masing­-masing akan melahirkan satu orang anak'. Maka ia pun mengelilingi mereka, namun tidak ada satupun istrinya yang melahirkan kecuali satu orang, itupun tubuh anaknya tidak sempurna".
Lalu Rasulullah SAW bersabda, "Seandainya ia mengucap, 'Insya Allah (jika Allah menghendaki)', niscaya akan terjadi seperti apa yang dikatakannya'."
Hadits tentang Sulaiman bin Daud ini juga diriwayatkan dari jalur lain; dari Abu Hurairah dari Rasulullah SAW (shahih sunan tirmidzi No.1532)

5. BOLEH SENGGAMA DARI ARAH BELAKANG
Dari Jabir, ia berkata: Orang-orang Yahudi biasa mengatakan bahwa apabila seorang laki-laki menggauli istrinya pada qubulnya (vagina) dari belakang, maka anak yang terlahir akan juling matanya. Lalu turunlah ayat:

نِسَآؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُواْ حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ وَقَدِّمُواْ لأَِنفُسِكُمْ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَٱعْلَمُوۤاْ أَنَّكُم مُّلَـٰقُوهُ وَبَشِّرِ ٱلْمُؤْمِنِينَ

[2. Al Baqarah: 223]. Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.
[Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Ad-Darami]

--> Hadis ini adalah dalil yang memperbolehkan suami untuk menyetubuhi isterinya dari arah belakang, tetapi yang halal adalah mendatanginya dari tempat yang sudah ditetapkan yaitu vagina (faraj). Adapun jika memasukkan penisnya (zakar) ke dalam anus (dubur), maka hukumnya haram.

--> Menurut ahli tafsir, ayat ini turun sehubungan dengan kejadian di Madinah. Suatu ketika beberapa wanita Madinah yang menikah dengan kaum muhajirin mengadu kepada Rasulullah SAW, karena suami-suami mereka ingin melakukan hubungan seks dalam posisi ijba’ atau tajbiyah.
Ijba adalah posisi seks dimana lelaki mendatangi farji perempuan dari arah belakang. Yang menjadi persoalan, para wanita Madinah itu pernah mendengar perempuan-perempuan Yahudi mengatakan, barangsiapa yang berjima’ dengan cara ijba’ maka anaknya kelak akan bermata juling. Lalu turunlah ayat tersebut.
Terkait dengan ayat 223 Surah Al-Baqarah itu Imam Nawawi menjelaskan, “Ayat tersebut menunjukan diperbolehkannya menyetubuhi wanita dari depan atau belakang, dengan cara menindih atau bertelungkup. Adapun menyetubuhi melalui dubur tidak diperbolehkan, karena itu bukan lokasi bercocok tanam.” Bercocok tanam" yang dimaksud adalah berketurunan.
Muhammad Syamsul Haqqil Azhim Abadi dalam ‘Aunul Ma’bud menambahkan, “Kata ladang (hartsun) yang disebut dalam Al-Quran menunjukkan, wanita boleh digauli dengan cara apapun : berbaring, berdiri atau duduk, dan menghadap atau membelakangi..”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kamu mendatangi perempuan lewat pantatnya” atau Nabi bersabda pula: "Pada duburnya". [Tirmizi, Ibnu Majah dan Ahmad]

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Terlaknatlah laki-laki yang mendatangi perempuan lewat duburnya (anus).” [Tirmizi, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad]

--> Tentu saja secara logika dan akal kita mengetahui bahwa anus adalah lubang yang kotor karena merupakan saluran percernaan dimana tahi keluar darinya. Demikian pula agama Islam yang penuh dengan kesucian dan menyukai kebersihan, tentu saja agama kita melarang dengan keras menyetubuhi isteri pada anusnya (dubur).

6. BEBAS BER-FANTASY
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dan, didalam persetubuhan salah seorang diantara kalian ada pahala”. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, adakah salah seorang diantara kami memuaskan birahinya dan dia mendapat pahala karena itu?” Beliau bersabda: “Bagaimana pendapat kalian jika dia meletakkannya kepada hal yang haram, apakah dia mendapat dosa?” Mereka menjawab, “Benar”, beliau bersabda, “Demikian pula jika dia meletakannya pada hal yang halal, maka dia mendapat pahala”. [Muslim]

--> Hadis di atas menjadi salah satu dalil yang memberikan kebebasan penuh kepada suami-isteri untuk berfantasy terhadap apapun keinginan mereka berdua ketika bersenggama. Bebas, selama perbuatan mereka berdua tidak ada yang mengetahui atau mengintip, maka suami-istri diberi kebebasan apa saja, sebagaimana terdapat dalam surat Al-Baqarah: 223 itu (lihat no.5).

Syaikh Nashirudin Al-Albany, mengutip perkataan Ibnu Urwah Al-Hanbali dalam kitabnya yang masih berbentuk manuskrip, Al-Kawakbu Ad-Durari,

“Diperbolehkan bagi suami istri untuk melihat dan meraba seluruh lekuk tubuh pasangannya, termasuk kemaluan. Karena kemaluan merupakan bagian tubuh yang boleh dinikmati dalam bercumbu, tentu boleh pula dilihat dan diraba. Diambil dari pandangan Imam Malik dan ulama lainnya.”

QS.11. Huud:

أَلَا إِنَّهُمْ يَثْنُونَ صُدُورَهُمْ لِيَسْتَخْفُوا مِنْهُ ۚ أَلَا حِينَ يَسْتَغْشُونَ ثِيَابَهُمْ يَعْلَمُ مَا يُسِرُّونَ وَمَا يُعْلِنُونَ ۚ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ

5. Ingatlah, sesungguhnya (orang munafik itu) memalingkan dada mereka untuk menyembunyikan diri daripadanya (Muhammad). Ingatlah, di waktu mereka menyelimuti dirinya dengan kain, Allah mengetahui apa yang mereka sembunyikan dan apa yang mereka lahirkan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati. 

Telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin Muhammad bin Shabbah Telah menceritakan kepada kami Hajjaj dia berkata; Ibnu Juraij berkata; Telah mengabarkan kepadaku Muhammad bin 'Abbad bin Ja'far bahwasanya aku mendengar Ibnu Abbas membaca; 'Ketahuilah, sesungguhnya mereka memalingkan dada mereka (QS. Hud; 5).' Ibnu Ja'far berkata; Aku bertanya kepadanya mengenai ayat tersebut. Maka Ibnu Abbas menjawab; beberapa dari kalangan orang-orang munafik merasa malu ketika membuang hajat mereka dalam keadaan telanjang dan ketika mereka bersetubuh dengan istri-istri mereka. Maka ayat ini turun kepada mereka.(No. Hadist: 4313 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)

Berkat kebesaran Allah, setiap bagian tubuh manusia memiliki kepekaan dan rasa yang berbeda saat disentuh atau dipandangi. Maka, untuk menambah kualitas jima’, suami-istri diperbolehkan pula menanggalkan seluruh pakaiannya. Dari Aisyah , ia menceritakan, “Aku pernah mandi bersama Rasulullah dalam satu bejana…” (HR. Bukhari dan Muslim).

Untuk mendapatkan hasil sentuhan yang optimal, seyogyanya suami-istri mengetahui dengan baik titik-titik yang mudah membangkitkan gairah pasangan masing-masing. Maka diperlukan sebuah komunikasi terbuka dan santai antara pasangan suami istri, untuk menemukan titik-titik tersebut, agar menghasilkan efek yang maksimal saat berjima’. Dan silahkan berfantasy (bebas), menurut imajinasi dan keinginan suami-istri tersebut.

Diperbolehkan bagi pasangan suami istri yang tengah berjima’ untuk mendesah. Karena desahan adalah bagian dari meningkatkan gairah. Imam As-Suyuthi meriwayatkan, ada seorang qadhi yang menggauli istrinya. Tiba-tiba sang istri meliuk dan mendesah. Sang qadhi pun menegurnya. Namun tatkala keesokan harinya sang qadhi mendatangi istrinya ia justru berkata, “Lakukan seperti yang kemarin.”


Mengenai Hadits Lemah dan Palsu: Pakailah Kain Penutup Ketika Berjimak Dengan Istri.

Diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Al Ausath (2/127) dari jalan Yahya bin Ayyub dari Ubaidillah bin Zahr dari Abul Munib dari Yahya bin Abi Katsir dari Abu Salamah dari Abu Hurairah secara marfu‘,
إذا أتى أحَدُكم أهلَه فلْيستتِرْ فإنَّه إذا لَمْ يستتِرِ استحيَتِ الملائكةُ وخرَجَتْ وحضَره الشَّيطانُ فإذا كان بَيْنَهما ولَدٌ كان الشَّيطان فيه شَريكٌ
“Apabila salah seorang dari kalian mmendatangi istrinya maka hendaklah menggunakan kain penutup. Karena apabila tidak maka para malaikat akan malu lalu keluar, kemudian datanglah setan, dan apabila keduanya mempunyai anak, berarti setan memiliki bagian atas anak tersebut”

Derajat hadits
Hadits ini lemah. Berkata Ath Thabrani: “tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Yahya kecuali Abul Munib, dan tidak ada yang meriwayatkan darinya melainkan Ubaidillah”.
Berkata Al Albani: “Ubaidullah dan Abul Munib lemah, hanya saja Ubaidullah lebih lemah”.


Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1921) dari Walid bin Qosim Al Hamadani, telah menceritakan kepada kami Al Ahwash bin Hakim dari bapaknya dan Rosyid bin Sa’ad dan Abdul A’la bin Adi dari ‘Utbah bin Abdus Sulami secara marfu‘.
إذا أتى أحدُكُم أَهْلَهُ فليستَترِ ، ولا يتَجرَّد تجرُّدَ العيرَينِ
“Apabila salah seorang dari kalian mmendatangi istrinya maka hendaklah menggunakan kain penutup, dan janganlah keduanya telanjang sebagaimana telanjangnya dua ekor keledai”

Derajat hadits
Hadits ini lemah. Berkata Al Bushiri: “sanad hadits ini lemah karena kelemahan Al Ahwash”.
Dan dalam masalah ini terdapat beberapa hadits lainnya, namun semuanya tidak ada yang shahih, sebagaimana diterangkan oleh imam Al Albani dalam Adabuz Zifaf.
[disalin dari buku “Hadits Lemah & Palsu Yang Populer Di Indonesia“, karya Ust. Ahmad Sabiq Abu Yusuf hafizhahullah]


Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, bahwa dia mengatakan: ‘Aku tidak pernah melihat aurat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali.’ 
Dalam sanadnya terdapat Barakah bin Muhammad al-Halabi, semoga tidak ada keberkahan padanya, sebab dia adalah pendusta dan pemalsu. 
Al-Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan dalam al-Lisaan mengenai hadits ini, berkenaan dengan kebathilan-kebathilannya. Sedangkan hadits:

 إِذَا جَامَعَ أَحَدُكُمْ زَوْجَتَهُ أَوْ جَارِيَتَهُ، فَلاَ يَنْظُرْ إِلَى فَرْجِهَا، فَإِنَّ ذَلِكَ يُوْرِثُ الْعَمَى. ‘

Jika seseorang menyetubuhi isteri atau hamba sahayanya, maka janganlah melihat kemaluannya, sebab hal itu akan menyebabkan kebutaan.’(Syaikh Al-Albani berkata dalam Aadaabuz Zifaaf (hal. 111): “Hadits ini maudhu’ sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Abu Hatim ar-Razi, Ibnu Hibban, dan diikuti oleh Ibnul Jauzi dan ‘Abdul Haqq dalam Ahkaamnya (143/1), juga Ibnu Daqiq al-‘Ied dalam al-Khulaashah (118/2). Dan saya telah menjelaskan ‘illatnya (alasan-alasannya) dalam Silsilah al-Ahaadiits adh-Dha’iifah (no. 195).
Adalah hadits maudhu’ (palsu).
 Juga hadits:

 إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ فَلْيَسْتَتِرْ، وَلاَ يَتَجَرَّدْ تَجَرَّدَ الْعَيْرَيْنِ. ‘

Jika seseorang dari kalian mendatangi isterinya, maka pakailah penutup, dan janganlah bertelanjang seperti telanjangnya dua ekor keledai.’”(HR. Ibnu Majah (no. 1921) kitab an-Nikaah, dan didha’ifkan oleh Syaikh al-Albani dalam Aadaabuz Zifaaf (hal. 111).


MASING-MASING SUAMI ISTERI BERHAK MEMANDANG TUBUH PASANGANNYA DAN MANDI BERSAMA. 

Suami isteri boleh mandi bersama di satu tempat (ruangan), walaupun masing-masing memandangnya. Dalil atas hal itu adalah sebagai berikut: 
Apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia menuturkan: 
“Aku mandi bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari satu bejana yang berada di antara aku dengan beliau sambil tangan-tangan kami berebutan di dalamnya. Beliau mendahuluiku sehingga aku mengatakan: ‘Sisakan untukku, sisakan untukku!’ ‘Aisyah mengatakan, bahwa keduanya dalam keadaan junub.”(HR. Al-Bukhari (no. 250) kitab al-Ghusl, Muslim (no. 46) kitab al-Haidh, dan lafazh baginya).

Al-Hafizh rahimahullah berkata dalam al-Fat-h: “Dengan hadits ini ad-Dawudi (pengikut madzhab azh-Zhahiri) berargumen atas bolehnya laki-laki melihat tubuh isterinya atau sebaliknya. Hal ini dipertegas oleh apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari jalan Sulaiman bin Musa, bahwa dia ditanya tentang seseorang yang melihat kemaluan isterinya? 
Ia menjawab: “Aku bertanya kepada ‘Atha’, maka ia menjawab, ‘Aku bertanya kepada ‘Aisyah, lalu dia menyebutkan hadits ini secara makna, dan ini adalah nash (keterangan) dalam masalah ini.(Fat-hul Baari (I/364).
 

Apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Mu’awiyah bin Haidah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: “Aku mengatakan ‘Wahai Rasulullah, tentang aurat kami, apa yang boleh kami tampakkan dan apa yang harus kami sembunyikan?’ Beliau bersabda:
 اِحْفَظْ عَوْرَتَكَ، إِلاَّ مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِيْنُكَ. ‘Peliharalah auratmu, kecuali terhadap isteri atau hamba sahaya yang engkau miliki.’ Aku mengatakan: ‘Wahai Rasulullah, jika suatu kaum berada pada kaum lainnya?’ Beliau menjawab: إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ لاَ يَرَيَنَّهَا أَحَدٌ فَلاَ يَرَيَنَّهَا. ‘Jika engkau mampu agar tidak ada seorang pun melihatnya, maka janganlah sampai seorang pun melihatnya.’ Aku bertanya: ‘Wahai Rasulullah, jika salah seorang dari kami tengah sendirian?’ Beliau menjawab: اَللهُ أَحَقُّ أَنْ يُسْتَحْيَا مِنْهُ مِنَ النَّاسِ. ‘Allah lebih berhak untuk disikapi rasa malu daripada manusia.’(HR. At-Tirmidzi (no. 2769) kitab al-Adab, Ibnu Majah (no. 1921) kitab an-Nikaah, dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Aadaabuz Zifaaf (hal. 112).
 
Inilah salah seorang imam yang membolehkan memandang kemaluan isteri dan sebaliknya: Ibnu ‘Urwah al-Hanbali mengatakan: “Mubah bagi tiap-tiap suami isteri memandang semua tubuh pasangannya dan menjamahnya hingga kemaluannya, berdasarkan hadits ini. Karena kemaluan isterinya halal baginya untuk menikmatinya, maka boleh pula memandangnya dan menjamahnya seperti anggota badan lainnya.”(Dinisbatkan oleh Syaikh al-Albani dalam Aadaabuz Zifaaf (hal. 111) kepada al-Kawaakib (575/29/1).  Imam Malik juga berpendapat demikian. (Fat-hul Baari (I/307).


7. MENGELUARKAN MANI DI LUAR VAGINA
Dari Abu Said Al-Khudri, ia berkata: Kami berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melawan Bani Musthaliq lalu kami berhasil menawan beberapa wanita Arab yang cantik. Kami sudah lama tidak berhubungan dengan isteri, maka kami ingin sekali menebus mereka sehingga kami dapat menikahi mereka secara mut’ah dan melakukan ‘azal [mengeluarkan sperma di luar vagina untuk menghindari kehamilan]. Kami berkata: "Kami melakukan demikian sedangkan Rasulullah berada di tengah-tengah kami tanpa kami tanyakan tentang hal tersebut." Lalu kami tanyakan juga kepada beliau dan beliau bersabda: “Tidak apa-apa walaupun tidak kamu lakukan (‘azal itu) karena tidak ada satu jiwa pun yang telah ALLAH tentukan untuk tercipta sampai hari kiamat kecuali pasti akan terjadi.” [Bukhari, Muslim, Tirmizi, Nasa’I, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, Malik dan Ad-Darami]

--> Ini adalah hadis yang di mansukh (dihapus / di-delete), karena Nikah Mut’ah hanya diizinkan selama 3 hari karena waktu itu belum datang wahyu. Namun setelah 3 hari itu Nikah Mut’ah ini di-HARAM-kan selama-lamanya oleh ALLAH.

Dari Jabir, ia berkata: “Kami tetap melakukan ‘azal disaat Al-Qur’an masih turun”. Ishaq menambahkan; Sufyan berkata: “Kalau ada sesuatu yang terlarang pasti Al-Qur’an telah melarang hal tersebut”. [Bukhari, Muslim, Tirmizi, Ibnu Majah dan Ahmad]

Dari Abu Said Al-Khudri, ia berkata: Masalah ‘azal pernah dibicarakan orang di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau bertanya: “Apakah itu ‘azal?” Jawab para sahabat: “[‘azal adalah] Seorang laki-laki menyetubuhi isterinya yang sedang menyusui anaknya, tetapi dia tidak ingin isterinya itu hamil. Atau seorang laki-laki yang menyetubuhi hamba sahayanya, tetapi dia tidak ingin sahaya itu hamil karenanya.” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak ada gunanya kalian berbuat seperti itu. Karena kehamilan itu termasuk qadar.”
Kata Ibnu ‘Aun, “setelah itu kukabarkan kepada Hasan, maka kata Hasan: Demi ALLAH, sesungguhnya yang demikian itu adalah teguran dari ALLAH. [Muslim]

Dari Jabir, ia berkata: “Kami pernah melakukan ‘azal pada masa Rasulullah dan berita perbuatan kami itu sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tetapi beliau tidak melarang kami melakukannya.” [Muslim]

Dari Abu Said Al-Khudri, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya orang tentang ‘azal, jawab beliau: “Tidak semua air mani (sperma) langsung menjadi anak. Tetapi apabila ALLAH menghendaki menjadikan sesuatu, tidak satupun yang dapat menghalanginya.” [Muslim]

Dari Saad bin Abi Waqqash, katanya: Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu dia bertanya: “Saya melakukan ‘azal terhadap isteriku (yang sedang pada masa menyusui bayi). Bagaimana itu hukumnya, ya Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Apa yang menyebabkan kamu melakukannya?”. Jawab laki-laki itu: “Saya kasihan terhadap anak-anaknya (takut kalau ia menjadi cacat)”. Rasulullah bersabda: “Seandainya hal itu menyebabkan anak-anak cacat, sudah pasti akan cacatlah orang-orang Persia dan Romawi.” [Muslim]

--> Dan masih banyak hadis lainnya tentang ‘azal baik dari Bukhari maupun Muslim, belum lagi dari kitab Sunan dan Musnad. Sehingga para ulama pun sependapat bahwa mengeluarkan mani di luar vagina adalah Boleh.
Sedangkan yang di-HARAM-kan selama-lamanya oleh ALLAH adalah Nikah Mut’ah/kawin kontrak (karena mirip perzinahan yang terselubung, dengan adanya batas waktu pernikahan. Apalagi ada indikasi tidak menggunakan wali yang paling berhak yaitu ayah kandungnya dst).

8. BERWUDHU JIKA INGIN MENGULANGI SENGGAMA
Dari Abu Sa’id Al Khudri, katanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila kamu bersenggama kemudian ingin mengulangi senggamanya kembali, maka hendaklah berwudhu terlebih dahulu".[Muslim]

--> Hadis ini tidak menulis dengan jelas siapa yang disuruh berwudhu. Tetapi para ulama berpendapat bahwa yang mengulang wudhu adalah mereka berdua, yaitu suami dan isteri yang ingin mengulangi senggama mereka. Hal ini disesuaikan dengan hadis-hadis lain yang menyebut bahwa perkara senggama adalah perbuatan berdua, maka kewajiban yang timbul akibat perbuatan itu juga harus menjadi tanggungan suami-isteri itu. Dan salah satu hikmah mengulang wudhu adalah menambah/menumbuhkan kembali kekuatan untuk mengulangi lagi dalam bersenggama.
Demikian juga apabila suami-isteri ini ingin tidur sesudah mereka bersenggama, maka mereka berdua juga hendaknya berwudhu terlebih dahulu sebelum tidur.

9. PENUTUPAN (COOLING DOWN)
Setelah selesai melakukan senggama, hendaknya tidak langsung tidur. Namun bisa diakhiri dengan berbincang santai, bergurau, berwudlu ataupun mandi bersama. Hal seperti ini, selengkapnya dapat dibaca keterangan selanjutnya.

10. MATI DALAM SENGGAMA ADALAH SYAHID
-->Bahkan karena keutamaan bersenggama ini, hingga perbuatan itu termasuk dalam golongan syuhada apabila ia mendapati dirinya mati dalam keadaan junub setelah mengumpuli istrinya. Begitu pula sebaliknya.

Dari Jabir bin Atik dari Rasulullah shalallahu alaihi wassalam beliau bersabda:
“Syuhada itu ada tujuh selain orang yang gugur berperang fi sabilillah ( di jalan Allah) yaitu:
[1] Orang yang mati ditusuk adalah syahid,
[2] mati tenggelam adalah syahid,
[3] mati berkumpul dengan istri adalah syahid,
[4] mati sakit perut adalah syahid,
[5] mati terbakar adalah syahid,
[6] mati tertimpa reruntuhan adalah syahid dan
[7] wanita yang mati melahirkan anak adalah syahid”.
[Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, dan Hakim dalam kitab Mustadraknya dengan komentar hadits ini sanadnya shahih. Pendapat ini di setujui oleh Adh-Dhahabi]

11. BERWUDHU (OPSIONAL) JIKA INGIN TIDUR
Dari Aisyah, katanya: Apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam hendak tidur, padahal beliau sedang junub, maka beliau wudhu terlebih dahulu seperti wudhu shalat, sesudah itu barulah beliau tidur. [Bukhari, Muslim, Nasai, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad & Ad Darami]

Dari Ibnu Umar, katanya: (ayahnya) Umar bin Khattab bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: "Ya, Rasulullah, bolehkah kami tidur dalam keadaan junub?". Jawab Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: “Boleh saja, tetapi harus berwudhu terlebih dahulu.” [Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasai, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, Malik & Ad Darami]

Dari Aisyah, katanya: Apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sedang dalam keadaan junub, padahal beliau ingin makan atau tidur, maka beliau wudhu terlebih dahulu seperti wudhu shalat. [Muslim]

Dari Abdullah bin Abu Qais katanya: Aku bertanya kepada Aisyah tentang shalat Witir Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu dia (Aisyah) menjawab dengan menyebutkan hadis mengenai Witir. Kemudian aku bertanya pula: "Apakah yang dilakukan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam keadaan jinabah (junub), apakah beliau mandi sebelum tidur? Ataukah beliau tidur terlebih dahulu kemudian mandi?". Jawab Aisyah: "Kedua-duanya pernah dilakukan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Kadang-kadang beliau mandi terlebih dahulu, sesudah itu beliau tidur. Kadang-kadang beliau berwudhu terlebih dahulu baru kemudian beliau tidur." Kataku (Abdullah): "Segala puji bagi ALLAH yang telah menjadikan segala urusan menjadi lapang". [Muslim]

Boleh Tidak Berwudlu ataupun Mandi
Hannad menceritakan kepada kami, Abu Bakar bin Ayyasy dari Al A'masy, dari Abu Ishaq, dari Al Aswad, dari Aisyah, ja berkata, "Suatu ketika Rasulullah SAW tidur, sedangkan beliau dalam keadaan junub dan tidak menyentuh air. "
Shahih: shahih sunan Tirmidzi (118) dan IbnuMajah (581)

12. SUAMI-ISTERI BOLEH MANDI BERSAMA
Dari Ummu Salamah, ia berkata: Ketika aku sedang berbaring bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam satu selimut, tiba-tiba aku haid, maka aku keluar dengan pelan-pelan lalu mengambil pakaian khusus waktu haid. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepadaku: "Apakah kamu haid?". Aku jawab: "Ya." Beliau shallallahu 'alaihi wasallam memanggilku dan aku kembali berbaring bersama beliau dalam satu selimut. Zainab binti Ummu Salamah berkata: "Dia (Ummu Salamah) dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mandi jinabat bersama dalam satu bejana". [Bukhari, Muslim, Nasai, Ibnu Majah, Ahmad bin Hanbal dan Ad Darami]

Dari Ubaid bin Umair, ia berkata: Aisyah menyampaikan bahwa Abdullah bin Amru memerintahkan para wanita untuk mengurai rambutnya apabila mereka mandi. Aisyah berkata: "Betapa anehnya Ibnu Amru ini, dia menyuruh kaum wanita untuk menguraikan rambutnya saat mandi, mengapa tidak menyuruh agar mencukur rambutnya saja? Sesungguhnya aku pernah mandi bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dari satu wadah dan aku tidak menyiram kepalaku lebih dari tiga siraman". [Bukhari, Muslim, Nasai, Ibnu Majah, Ahmad bin Hanbal dan Ad Darami]

--> Suami-istri diperbolehkan mandi bersama-sama dan menyiram kepala dalam mandi junub, tidak lebih dari tiga siraman (tidak perlu menguraikan rambut, bagi perempuan).

Dari Aisyah, ia berkata: "Aku mandi berduaan dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dari satu bejana, sehingga tangan kami saling bergantian masuk ke dalam bejana itu. Padahal ketika itu kami sama-sama mandi junub". [Muslim]

Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Maslamah telah mengabarkan kepada kami Aflah bin Humaid dari Al Qasim dari 'Aisyah berkata, "Aku pernah mandi bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dari satu bejana, dan tangan kami saling bersentuhan."(No. Hadist: 253 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)

Dari Aisyah, ia berkata: "Saya mandi dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam (juga ikut mandi) dari air satu bejana yang disebut bejana Al Faraq (volume 15 liter)". [Bukhari]

Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Maimunah (istri Nabi SAW) mengabarkan kepada saya bahwa ia mandi (berduaan) bersama dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dari satu bak. [Bukhari, Muslim. Tirmizi, Nasai, Ibnu Majah & Ahmad]

Abu Musa Muhammad bin Al Mutsanna menceritakan kepada kami, Al Walid bin Muslim menceritakan kepada kami dari Al Auza'i, dari Abdurrahman bin Al Qasim, dari ayahnya, dari Aisyah, ia berkata, "Apabila khitan bertemu khitan (kemaluan laki-laki bertemu kemaluan perempuan/bersetubuh), maka wajib mandi. Aku melakukannya bersama Rasulullah SAW, maka kami mandi." Shahih: shahih sunan tirmidzi (108); Ibnu Majah (608) dan Shahih Muslim

--> Jika suami-istri telah bersenggama (baik selesai ataupun tidak), maka mereka wajib mandi junub, walaupun belum mengeluarkan sperma/cairan. dan diperbolehkan mandi bersama-sama antara suami-istri tanpa ada batasan apupun juga.

13. JANGAN BILANG SIAPA-SIAPA
Dari Abu Said Al-Khudri, katanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seburuk-buruk tempat manusia di sisi ALLAH kelak pada hari kiamat adalah tempat suami yang telah saling percaya-mempercayai dengan isterinya, tetapi kemudian si suami membuka rahasia pribadi isterinya sendiri.” [Muslim]

--> Ini adalah hadis yang melarang kita dengan keras atau bahkan mengharamkan kepada pihak suami maupun isteri untuk menceritakan apapun yang mereka berdua kerjakan ketika bersenggama, kepada orang lain.
Hadits di atas berbunyi tentang rahasia pribadi isteri, maksudnya adalah termasuk rahasia bagian-bagian tubuh isterinya atau apapun yang berhubungan dengan rahasia yang semestinya hanya suami-isteri saja yang tahu.
Dan orang yang tidak boleh diberitahu ini adalah semuanya, apakah itu orang tua atau mertua sekalipun, maka rahasia berdua itu tidak boleh disebarkan.

Sesungguhnya pernikahan itu dihalalkan namun Perzinahan itu diHaramkan oleh Allah.
Sehingga senggama dengan yang bukan istri atau suaminya itu Haram Hukumnya, apalagi membuat videonya, lalu menyebarluaskannya ...! Tentu hal tersebut  diHaramkan kuadrat!

2 komentar: