Jumat, 20 Januari 2017

Ijab Kabul Akad Nikah

SEJARAH
Telah berkata Yahya bin Sulaiman Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb dari Yunus -dalam riwayat lain- Dan Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shalih Telah menceritakan kepada kami Anbasah Telah menceritakan kepada kami Yunus dari Ibnu Syihab ia berkata; Telah mengabarkan kepadaku Urwah bin Zubair bahwa Aisyah isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah mengabarkan kepadanya bahwa; Sesungguhnya pada masa Jahiliyah ada empat macam bentuk pernikahan.
Pertama, adalah pernikahan sebagaimana dilakukan orang-orang pada saat sekarang ini, yaitu seorang laki-laki meminang kepada wali sang wanita, kemudian memberikannya mahar lalu menikahinya.
Bentuk kedua yaitu; Seorang suami berkata kepada isterinya pada saat suci (tidak haidl/subur), "Temuilah si Fulan dan bergaullah (bersetubuh) dengannya." Sementara sang suami menjauhinya sementara waktu (tidak menjima'nya) hingga benar-benar ia positif hamil dari hasil persetubuhannya dengan laki-laki itu. Dan jika dinyatakan telah positif hamil, barulah sang suami tadi menggauli isterinya bila ia suka. Ia melakukan hal itu, hanya untuk mendapatkan keturunan yang baik. Istilah nikah ini adalah Nikah Al Istibdlaa'.
Kemudian bentuk ketiga; Sekelompok orang (kurang dari sepuluh) menggauli seorang wanita. Dan jika ternyata wanita itu hamil dan melahirkan. Maka setelah masa bersalinnya telah berlalu beberapa hari, wanita itu pun mengirimkan surat kepada sekelompok laki-laki tadi, dan tidak seorang pun yang boleh menolak. Hingga mereka pun berkumpul di tempat sang wanita itu. Lalu wanita itu pun berkata, "Kalian telah tahu apa urusan kalian yang dulu. Dan aku telah melahirkannya, maka anak itu adalah anakmu wahai Fulan." Yakni, wanita itu memilih nama salah seorang dari mereka yang ia sukai, dan laki-laki yang ditunjuk tidak dapat mengelak.
Kemudian bentuk keempat; Orang banyak berkumpul, lalu menggauli seorang wanita, dan tak seorang pun yang dapat menolak bagi orang yang telah menggauli sang wanita. Para wanita itu adalah wanita pelacur. Mereka menancapkan tanda pada pintu-pintu rumah mereka sebagai tanda, sehingga bagi siapa saja yang ingin, maka ia boleh masuk dan bergaul dengan mereka. Dan ketika salah seorang dari mereka hamil, lalu melahirkan, maka mereka (orang banyak itu) pun dikumpulkan, lalu dipanggilkanlah orang yang ahli seluk-beluk nasab (Alqafah), dan Al Qafah inilah yang menyerahkan anak sang wanita itu kepada orang yang dianggapnya sebagai bapaknya, sehingga anak itu dipanggil sebagai anak darinya. Dan orang itu tidak bisa mengelak.
Maka ketika Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam diutus dengan membawa kebenaran, beliau pun memusnahkan segala bentuk pernikahan jahiliyah, kecuali pernikahan yang dilakoni oleh orang-orang hari ini. (No. Hadist: 4732 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)

Definisi Zina
Rasulullah SAW bersabda,
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَا، مُدْرِكٌ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الِاسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلَامُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

”Sesungguhnya Allah telah menetapkan atas diri anak keturunan Adam bagiannya dari zina. Dia mengetahui yang demikian tanpa dipungkiri. Mata bisa berzina, dan zinanya adalah pandangan (yang diharamkan). Zina kedua telinga adalah mendengar (yang diharamkan). Lidah (lisan) bisa berzina, dan zinanya adalah perkataan (yang diharamkan). Tangan bisa berzina, dan zinanya adalah memegang (yang diharamkan). Kaki bisa berzina, dan zinanya adalah ayunan langkah (ke tempat yang haram). Hati itu bisa berkeinginan dan berangan-angan. Sedangkan kemaluan membenarkan yang demikian itu atau mendustakannya.” (HR. Bukhari no. 6243 dan Muslim no. 2657. Lafadz hadits di atas milik Muslim).


PERNIKAHAN DALAM ISLAM
Menurut syariat Agama Islam, setiap perbuatan hukum harus memenuhi dua unsur, yaitu rukun dan syarat. Rukun ialah unsur pokok (tiang) dalam setiap perbuatan hukum, sedangkan syarat ialah unsur pelengkap dalam setiap perbuatan hukum.

Apabila kedua unsur ini tidak dipenuhi, maka suatu perbuatan dianggap tidak syah menurut hukum, demikian pula untuk syahnya suatu pernikahan harus dipenuhi rukun dan syaratnya (rukun dan syarat nikah).

I. Rukun Nikah
1) Calon mempelai pria
2) Calon mempelai wanita
3) Wali
4) Dua orang saksi (laki-laki)
5) Ijab (dari wali calon mempelai perempuan atau wakilnya) dan Qabul (dari calon mempelai laki-laki)

II. Syarat Nikah
Menurut syariat Islam syarat nikah sebagai berikut :

1.  Syarat calon pengantin pria sebagai berikut :
a) Beragama Islam
b) Terang prianya (bukan banci)
c) Tidak dipaksa
d) Tidak sedang beristri 4 (empat) orang
e) Bukan mahrom calon isteri
f) Tidak mempunyai isteri yang haram dimadu dengan calon isterinya
g) Mengetahui calon isterinya bukan perempuan yang haram dinikahinya
h) Tidak dalam ihram haji atau umroh
i) Mengetahui wali nikah calon istri yang benar

2. Syarat calon pengantin wanita sebagai berikut:
a) Beragama Islam
b) Terang wanitanya (bukan banci)
c) Telah memberi izin pada wali untuk menikahkannya (lihat No: 4741-Bukhary, dibawah)
e) Tidak bersuami dan tidak dalam keadaan iddah
f) Bukan mahrom dari calon suami
g) Belum pernah di li’an (sumpah li’an) oleh bakal suami
h) Terang orangnya
i) Tidak dalam ihram haji atau umroh

Telah menceritakan kepada kami Mu'adz bin Fadlalah Telah menceritakan kepada kami Hisyam dari Yahya dari Abu Salamah bahwa Abu Hurairah menceritakan kepada mereka bahwasanya; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seorang janda tidak boleh dinikahi hingga ia dimintai pendapatnya, sedangkan gadis tidak boleh dinikahkan hingga dimintai izinnya." Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, seperti apakah izinnya?" beliau menjawab: "Bila ia diam tak berkata-kata (bagi gadis)." (No. Hadist: 4741 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)

3. Syarat wali nikah sebagai berikut:
a) Baragama Islam
b) Baligh
c) Berakal
d) Tidak dipaksa
e) Terang lelakinya
f) Adil (bukan fasiq)
g) Tidak sedang ihram haji atau umroh
h) Tidak dicabut haknya dalam menguasai harta bendanya oleh pemerintah (mahjur bissafah)
i) Tidak rusak fikirannya karena tua atau sebagainya
j) Merdeka

Ali bin Hujr menceritakan kepada kami, Syarik bin Abdullah memberitahukan kepada kami dari Abu Ishak, Qutaibah menceritakan kepada kami, Abu Awanah memberitahukan kepada kami dari Abu Ishak, Muhammad bin Basyar menceritakan kepada kami, Abdurrahman bin Mahdi menceritakan kepada kami dari Israil, dari Abu Ishak, Abdullah bin Abu Ziyad menceritakan kepada kami, Zaid bin Hubab memberitahukan kepada kami dari Yunus bin Abu Ishak, dari Abu Burdah, dari Abu Musa, ia berkata, "Rasulullah SAW bersabda,

لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ

'Tidak sah suatu pernikahan kecuali dengan adanya wali'."

(Shahih: Ibnu Majah (1881), Abu Daud No. 1785, dan shahih sunan At-Tirmizi No. 1101, dan Ibnu Majah no. 1870)

---> Wajib memperhatikan urutan perwalian dalam nikah
Wali wanita yang berhak untuk menikahkan seseorang adalah wali yang paling dekat, sebagaimana urutan yang disebutkan di atas. Tidak boleh mendahulukan wali yang jauh, sementara wali yang dekat masih ada ketika akad nikah.

Ibn Qudamah mengatakan, “Apabila ada wali yang lebih jauh menikahkan seorang wanita, sementara wali yang lebih dekat ada di tempat, kemudian si wanita bersedia dinikahkan, sementara wali yang lebih dekat tidak mengizinkan maka nikahnya tidak sah. Inilah pendapat yang diutarakan as-Syafi’i…. karena wali yang jauh tidak berhak, selama wali yang dekat masih ada, sebagaimana hukum warisan (keluarga yang lebih jauh tidak berhak, selama masih ada keluarga yang lebih dekat).” (Al-Mughni, 7: 364)

Hal ini diperkuat oleh Al-Buhuti:
Al-Buhuti mengatakan, “Jika wali yang lebih jauh menikahkannya, atau orang lain menjadi walinya, meskipun dia hakim (pejabat KUA), sementara tidak ada izin dari wali yang lebih dekat maka nikahnya tidak sah, karena tidak adanya perwalian ketika proses akad, sementara orang yang lebih berhak (untuk jadi wali) masih ada.” (Ar-Raudhul Murbi’, 336)
Disadur dari: http://www.islamqa.com/ar/ref/150788

Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan,
Urutan Wali Nikah ada Lima:
1. Bapak dan silsilah keluarga diatasnya, mencakup ayah, kakek dari bapak dan seterusnya ke atas.
2. Anak dan seterusnya ke bawah.
3. Saudara laki-laki.
4. Paman dari pihak bapak.
5. Wala’ (orang yang membebaskan dirinya dari perbudakan atau mantan tuan).

Jika ada beberapa orang yang berasal dari jalur hubungan yang sama (misalnya ada bapak dan kakek) maka didahulukan yang kedudukannya lebih dekat (yaitu bapak). Barulah kemudian beberapa orang yang kedudukannya sama, misalnya antara saudara kandung dengan saudara sebapak, maka didahulukan yang lebih kuat hubungannya, yaitu saudara kandung. (Syarhul Mumthi’, 12: 84)

Al-Buhuti mengatakan, “Lebih didahulukan bapak si wanita (pengantin putri) dalam menikahkannya. Alasannya, karena bapak adalah orang yang paling paham dan paling kasih sayang kepada putrinya. Setelah itu, orang yang mendapatkan wasiat (wakil) dari bapaknya (untuk menikahkan putrinya), karena posisinya sebagaimana bapaknya. Setelahnya adalah kakek dari bapak ke atas, dengan mendahulukan yang paling dekat, karena wanita ini masih keturunannya, dalam posisi ini (kakek) disamakan dengan bapaknya. Setelah kakek adalah anak si wanita (jika janda), kemudian cucunya, dan seterusnya ke bawah, dengan mendahulukan yang paling dekat. Ini berdasarkan hadis dari Ummu Salamah, bahwa setelah masa iddah beliau berakhir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang untuk melamarnya. Ummu Salamah mengatakan, “Wahai Rasulullah, tidak ada seorangpun dari waliku yang ada di sini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada seorangpun diantara walimu, baik yang ada di sini maupun yang tidak ada, yang membenci hal ini.” Ummu Salamah mengatakan kepada putranya, “Wahai Umar, nikahkanlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Umar pun menikahkannya. (HR. Nasa’i).

Selanjutnya (setelah anaknya), adalah saudaranya sekandung, kemudian saudara sebapak, kemudian anak saudara laki-laki (keponakan) dan seterusnya ke bawah. Didahulukan anak dari saudara sekandung dari pada saudara seayah. Setelah itu barulah  paman (saudara bapak) sekandung, kemudian paman (saudara bapak) sebapak, anak lelaki paman (sepupu dari keluarga bapak). Selanjutnya adalah orang yang memerdekakannya (dari perbudakan).

Jika semua tidak ada maka yang memegang perwalian adalah hakim atau orang yang mewakili (pegawai KUA resmi).
Sumber: Ar-Raudhul Murbi’, hal. 335 – 336

Keterangan:
1. Berdasarkan keterangan di atas, tidak ada perwalian dari pihak ibu atau saudara perempuan. Seperti kakek dari ibu, paman dari ibu, saudara se-ibu, sepupu dari keluarga ibu, atau keponakan dari saudara perempuan.
2. Ayah tiri tidak bisa menjadi wali.

Contoh kasus:
1. Anak perempuan dari hasil hubungan zina
Anak dari hasil hubungan zina tidak memiliki bapak (juga dari suatu pernikahan yang tidak sah). Bapak biologis bukanlah bapaknya. Karena itu, tidak boleh dinasabkan ke bapak biologisnya. Dengan demikian, dia tidak memiliki keluarga dari pihak bapak. Siapakah wali nikahnya? Orang yang mungkin bisa menjadi wali nikahnya adalah
a. Anak laki-laki ke bawah, jika dia janda yang sudah memiliki anak
b. Hakim (pejabat resmi KUA)
Bapak biologis, kakek maupun paman dari bapak biologis tidak berhak menjadi wali. Apalagi Bapak tiri, malah tidak bisa dan tidak berhak menjadi wali.

2. Wanita yang orang tuanya dan semua keluarganya non muslim
Diantara syarat perwalian adalah kesamaan dalam agama. Orang kafir tidak berhak menjadi wali bagi wanita muslimah. Dalam kondisi semacam ini, yang bisa menjadi wali wanita adalah pejabat KUA.

Allahu a’lam.
[Oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah), telah diedit oleh admin]

4. Syarat saksi nikah :
a) Baragama Islam
b) Laki-laki
c) Baligh
d) Berakal
e) Adil
f) Mendengar
g) Tidak tuli
h) Bisa bercakap-cakap (tidak bisu)
i) Tidak pelupa (mughoffal)
j) Menjaga harga diri (menjaga muru’ah)
k) Mengerti ijab dan qabul
l) Tidak merangkap menjadi wali nikah
m) Dua orang saksi
0) Merdeka

5. Syarat ijab
a) Perkataan ijab tepat
b) Tidak menggunakan bahasa sindiran
c) Diucapkan oleh wali atau yang mewakilkan (sesuai urutan wali nikah, baca keterangan sebelumnya)
d) Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti nikah mut’ah
e) Tidak secara taklik

6. Syarat Qabul
a) Ucapan sesuai dengan ijab
b) Tidak ada bahasa sindiran
c) Diucapkan oleh calon suami
d) Tidak diikatkan oleh tempo waktu
e) Tidak secara taklik
f) Menyebut nama calon istri
g) Tidak diselingi oleh perkataan lain

Nikah Mut'ah, pernikahannya Rusak dan syaratnya Bathil

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ وَالْحَسَنِ ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِمَا عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْمُتْعَةِ عَامَ خَيْبَرَ وَعَنْ لُحُومِ حُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf berkata, telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Abdullah dan Al Hasan keduanya anak Muhammad bin Ali, dari Bapak keduanya dari Ali radliallahu 'anhum, ia berkata, "Saat penaklukan Khaibar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang dari nikah mut'ah (perkawinan dengan waktu terbatas semata untuk bersenang-senang) dan makan daging keledai." (No. Hadist: 5098 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)


III. Ijab dan Qabul
Ijab adalah perkataan wali pengantin wanita kepada pengantin pria: Zawwajtuka ibnatii…, saya nikahkan kamu dengan putriku…. Sedangkan Qabul adalah ucapan pengantin pria: Qabiltu ....., Saya terima…
Jika sudah dilakukan ijab kabul dan dihadiri dua saksi laki-laki atau diumumkan (diketahui khalayak), maka nikahnya sah.
Dalam pengucapan ijab kabul, tidak disyaratkan menggunakan kalimat tertentu dalam ijab kabul. Akan tetapi, semua kalimat yang dikenal masyarakat sebagai kalimat ijab kabul akad nikah maka status nikahnya sah.

Lajnah Daimah ditanya tentang lafadz nikah. Mereka menjawab,
Semua kalimat yang menunjukkan ijab kabul maka akad nikahnya sah dengan menggunakan kalimat tersebut, menurut pendapat yang lebih kuat. Yang paling tegas adalah kalimat: ‘zawwajtuka’ dan ‘ankahtuka’ (aku nikahkan kamu), kemudian ‘mallaktuka’ (aku serahkan padamu).
Fatawa Lajnah Daimah (17:82).
Demikian penjelasan di: http://www.islamqa.com/ar/ref/155354

Bolehkah akad nikah (ijab kabul) dengan selain bahasa Arab?
Pendapat yang lebih kuat, bahwa akad nikah sah dengan selain bahasa Arab, meskipun dia bisa bahasa Arab. Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyah al-Kuwaitiyah:
Mayoritas ulama berpendapat bahwa orang yang tidak bisa bahasa Arab boleh melakukan akad nikah dengan bahasa kesehariannya. Karena dia tidak mampu berbahasa Arab, sehingga tidak harus menggunakan bahasa arab. Sebagaimana orang bisu.
Kemudian disebutkan perselisihan ulama tentang akad nikah dengan selain bahasa Arab, yang kesimpulannya:

--> Akad nikah sah dengan bahasa apapun, meskipun orangnya bisa bahasa Arab. Ini adalah pendapat Hanafiyah, Syafi’iyah – menurut keterangan yang lebih kuat –, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Qudamah. Dalam hal ini kedudukan bahasa non-Arab dengan bahasa Arab sama saja. Karena Orang yang menggunakan bahasa selain Arab, memiliki maksud yang sama dengan orang yang berbahasa Arab.

--> Akad nikah tidak sah dengan selain bahasa Arab. Meskipun dia tidak bisa bahasa Arab. Ini adalah pendapat sebagian ulama Syafi’iyah. Mereka beralasan bahwa lafadz ijab kabul akad nikah statusnya sebagaimana takbir ketika salat yang hanya boleh diucapkan dengan bahasa Arab.
Akad nikah sah menggunakan selain bahasa Arab, dengan syarat pelakunya tidak bisa bahasa Arab. Jika pelakunya bisa bahasa Arab maka harus menggunakan bahasa Arab. Ini adalah pendapat ketiga dalam madzhab syafii.
(Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah: 11:174).

Apakah harus disebutkan nama pengantin wanita?
Diantara syarat sahnya nikah adalah adanya kejelasan masing-masing pengantin. Seperti menyebut nama pengantin wanita atau dengan isyarat tunjuk, jika pengantin ada di tempat akad. Misalnya, seorang wali pengantin wanita berkata kepada pengantin lelaki “Aku nikahkan kamu dengan anak ini, kemudian si wali menunjuk putrinya yang berada di sebelahnya.” hukum akad nikahnya sah.

Ibnu Qudamah mengatakan, “Diantara syarat nikah adalah adanya kejelasan pengantin. Karena orang yang melakukan akad dan yang diakadkan harus jelas. Kemudian dilihat, jika pengantin wanita ada di tempat akad, kemudian wali mengatakan, ‘saya nikahkan anda dengan anak ini’ maka akad nikahnya sah. Karena isyarat sudah dianggap penjelasan. Jika ditambahi, misalnya dengan mengatakan, ‘saya nikahkan kamu dengan anakku yang ini’ atau ‘…dengan anakku yang bernama fulanah’ maka ini sifatnya hanya menguatkan makna.
Jika pengantin wanita tidak ada di tempat akad maka ada dua keadaan:

Wali hanya memiliki satu anak perempuan. Maka dia boleh mengatakan, “Saya nikahkan anda dengan putriku” Jika disebutkan namanya maka statusnya hanya menguatkan.
Wali nikah memiliki anak perempuan lebih dari satu. Wali ini tidak boleh menggunakan kalimat umum, misalnya mengatakan, “Saya nikahkan kamu dengan putriku” Dalam keadaan ini akad nikahnya tidak sah, sampai si wali menyebutkan ciri khas salah satu putrinya yang hendak dia nikahkan, baik dengan menyebut nama atau sifatnya. Misalnya dia mengatakan, “Saya nikahkan kamu dengan putriku yang pertama atau yang bernama…” (Al-Mughni, 7:444).

Bagaimana dengan Maharnya?
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'man Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari Abu Hazim dari Sahl bin Sa'dari radliallahu 'anhu, bahwa seorang wanita mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan menawarkan dirinya pada beliau, maka beliau pun bersabda: "Hari ini aku tak berhasrat pada wanita." Tiba-tiba seorang laki-laki berkata, "Wahai Rasulullah, nikahkanlah aku dengannya." Maka beliau bertanya: "Apa yang kamu miliki (untuk dijadikan sebagai mahar)?" ia menjawab, "Aku tidak punya apa-apa." Beliau bersabda: "Berikanlan ia (mahar) meskipun hanya cincin besi." Laki-laki itu berkata, "Aku tak punya apa-apa." Akhirnya beliau bertanya: "Apa yang kamu hafal dari Al Qur`an?" laki-laki itu menjawab, "Surat ini dan ini." Beliau bersabda: "Aku telah menikahkanmu dengan wanita itu dan sebagai maharnya adalah hafalan Al Qur`anmu." (No. Hadist: 4745 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)

Ibnu Abu Umar menceritakan kepada kami, Sufyan bin Uyainah memberitahukan kepada kami dari Juraij, dari Sulaiman, dari Az­Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah, ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنْ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ

Artinya : “Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal. Jika dia telah digauli maka dia berhak mendapatkan mahar, karena lelaki itu telah menghalalkan kemaluannya. Jika terjadi pertengkaran di antara mereka, maka penguasalah yang menjadi wali atas orang yang tidak punya wali.” (Hadits Shahih Sunan At-Tirmizi no. 1102)

Contoh Kalimat Ijab dan Qobul:
I . IJAB DAN QOBUL BAHASA INDONESIA.

--> IJAB :

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ – اَسْتَغْفِرُ الله الْعَظِيْمِ –  اَشْهَدُ اَنْ لآاِلَهَ اِلاَّالله ُ- وَ اَشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
(Istighfar dibaca 3 kali)

SAUDARA/ANANDA _________________ BIN________________

SAYA NIKAHKAN DAN SAYA KAWINKAN ENGKAU DENGAN _____________________YANG BERNAMA :_______________________

DENGAN MASKAWINNYA BERUPA : ______________________, TUNAI.

Atau :

SAUDARA/ANANDA _________________ BIN________________

SAYA NIKAHKAN DAN SAYA KAWINKAN ANAK SAYA/KEPONAKAN SAYA/ADIK SAYA YANG BERNAMA _____________________ KEPADA ENGKAU.

DENGAN MASKAWINNYA BERUPA : ______________________, TUNAI.

--> QOBUL :

SAYA TERIMA NIKAHNYA DAN KAWINNYA

_______________ BINTI _______________

DENGAN MASKAWINNYA YANG TERSEBUT TUNAI.


II . IJAB DAN QOBUL BAHASA ARAB.

--> IJAB :

اَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَا نِ الرَّجِيْمِ * بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِِِ الرَّحِيْمِ *
اَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمِ … ×3 مِنْ جَمِيْعِ الْمَعَاصِيْ وَالذُّنُوْبِ وَاَتُوْبُ ِالَيْهِ
اَشْهَدُ اَنْ لآاِلَهَ اِلاَّالله ُ * وَ اَشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ *
بِسْمِ اللهِ وَالْحَمْدُِللهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ للهِ سَـيِّدِنَا مُحَمَّدِ ابْنِ عَبْدِاللهِ وَعَلى آلِهِ وَاَصْحَا بِهِ وَمَنْ تَبِـعَهُ وَنَصَـَرهُ وَمَنْ وَّالَهُ – وَلاَحَوْلَ وَلاَقُوَّةَ اِلاَّبِاللهِ اَمَّا بَعْدُ : أُوْ صِيْكُمْ وَاِيَّايَ بِتَقْوَي الله فَقَدْ فَازَالْمُتَّقُوْن –
يَا ……….. بِنْ ………… ! اَنْكَحْـتُكَ وَزَوَّجْـتُكَ ِابْنَتِيْ ………………………….. بِمَهْرِ ………….. نَـقْدًا.

-->  QOBUL :

قَبِلْتُ نِكَاحَهَا وَتَزْوِيـْجَهَا بِالْمَهْرِالْمَذ ْكُوْرِ نَـقْدًا



III . IJAB DAN QOBUL BAHASA INGGRIS.

--> IJAB :

BISMILLAAHIRROHMAANIRROOHIIM

ASTAGH FIRULLOOHAL’ADZIIM 3 X

ASY HADU ALLAA ILAAHA ILLALLOOH,

WA ASYHADU ANNA MUHAMMADARROSUULULLOOH.

MR.________________________ SON OF _________________________

I MARRY OFF AND I WED OFF

MY REAL DAUGHTER ______________________ TO YOU,

WITH THE DOWRY _____________________ , IN CASH.

--> QOBUL :

I ACCEPT HER MARRIAGE AND WEDDING :

________________ DAUGHTER OF MR. ___________________

WITH THE DOWRY MENTIONED ABOVE IN CASH.


"SEBELUM JALUR MELENGKUNG, BERARTI MASIH BOLEH ..." BOLEHKAH MEMINANG PINANGAN KAWANNYA?
Ada beberapa orang yang menganggap masih bolehnya meminang perempuan, meskipun perempuan itu sudah dipinang (khitbah) oleh orang lain. Bahkan sampai akan pelaksanaan akad-nikah pun masih diperbolehkan, selama masih belum terucap ijab kabul dengan sempurna. Benarkah demikian?

Telah menceritakan kepada kami Makki bin Ibrahim Telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij ia berkata, Aku mendengar Nafi' menceritakan bahwa Ibnu Umar radliallahu 'anhuma berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah melarang sebagian kalian untuk berjual beli atas jual beli saudaranya. Dan janganlah seseorang meminang atas pinangan yang lain hingga ia meninggalkannya atau pun menerimanya, atau pun ia telah diberi izin oleh sang peminang pertama." (No. Hadist: 4746 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)

---> Jadi Seseorang tidak boleh meminang pinangan kawannya hingga ia menyerahkannya. Biasanya pinangan (khitbah) antara pria-wanita itu terjadi jauh hari sebelum akad-nikah, sehingga menjelang pelaksanaan akad-nikahpun tetap tidak boleh diganggu. Kecuali ia telah diberi izin oleh sang peminang pertama.

APABILA ISTRI SESEORANG TIDAK CANTIK DAN TIDAK MENGGAIRAHKAN LAGI
Suatu hari Imam Syafi’i ra. kedatangan seorang Laki-laki, Suami. Dia mengadu kepada Imam Syafi’i perihal istrinya yang sudah tak cantik, dan tak Menggairahkan lagi dipandangnya.

Suami:“Wanita yg aku nikahi itu pertama kali cantik dan menggairah-kan. Tapi kenapa skrg kecantikannya hilang, tidak menggairah-kan ?”
Mendengar hal itu, Imam Syafi’i dg tersenyum berkata :“Kamu ingin istrimu kembali lagi cantik, Menggairahkan ?”
Suami: “Betul”
Imam syafi’i:“Tundukan pandanganmu dari seluruh wanita yg diharamkan selama sebulan !”

Setelah mendengar nasihat tersebut, ia segera mematuhi apa yang disampaikan Imam Syafi’i.
Sebulan kemudian Laki-laki tersebut bertemu kembali dg Sang Imam.
Imam syafi’i pun bertanya: “Bagaimana sekarang ? Istrimu sudah kelihatan cantik?”
Suami: “Maa syaa Allah wahai imam, sungguh tak ada wanita cantik, menggairahkan selain istriku.”
Imam syafi’i pun berkata dari kenyataan itu:
“Sebenarnya istrimu tidak berubah. Namun ketika kamu menjadi laki-laki yg sering melabuhkan atau mendaratkan pandangannya kepada wanita-wanita yg tidak halal. Ketika itu, Allah mencabut kenikmatan pandanganmu melihat yang halal.
Ketika Allah mencabut kepadamu kenikmatan melihat yang halal itulah kenapa kamu melihat istrimu menjadi biasa.”
“Akan tetapi ketika kamu meninggalkan pandangan yg haram. Lalu akhirnya kamu kemudian hanya menikmati pada pandangan yang halal (istrimu), disitulah kamu akan mendapati kenikmatan istrimu kembali.”

Sesungguhnya Hukum Foto Pre Wedding adalah Haram
Mengapa? Karena dalam Pre Wedding biasa Terjadi:
1. Ikhtilat dan Kholwat
Walau memakai jilbab saat foto pre wedding, tetap saja tidak boleh. Karena Islam melarang berdua-duaan antara pasangan yang belum halal, disebut kholwat. Islam juga melarang ikhtilat, yaitu campur baur antara laki-laki dan perempuan.
Dari ‘Umar bin Al Khottob, ia berkhutbah di hadapan manusia di Jabiyah (suatu perkampungan di Damaskus), lalu ia membawakan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ ثَالِثُهُمَا وَمَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَتُهُ وَسَاءَتْهُ سَيِّئَتُهُ فَهُوَ مُؤْمِنٌ

“Janganlah salah seorang di antara kalian berduaan dengan seorang wanita (yang bukan mahramnya) karena setan adalah orang ketiganya, maka barangsiapa yang bangga dengan kebaikannya dan sedih dengan keburukannya maka dia adalah seorang yang mukmin.” (HR. Ahmad 1: 18. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih, para perowinya tsiqoh sesuai syarat Bukhari-Muslim)

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلاَ لاَ يَبِيتَنَّ رَجُلٌ عِنْدَ امْرَأَةٍ ثَيِّبٍ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ نَاكِحًا أَوْ ذَا مَحْرَمٍ

“Ketahuilah! Seorang laki-laki bukan muhrim tidak boleh bermalam di rumah perempuan janda, kecuali jika dia telah menikah, atau ada muhrimnya.” (HR. Muslim no. 2171)

2. Membuka Aurat
Ada juga yang sampai membuka aurat yang haram untuk dilihat. Seperti ini pun tidak dibolehkan bahkan termasuk dosa besar.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

“Ada dua golongan dari penduduk Neraka yang belum pernah aku lihat (saat Beliau masih hidup): [1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan [2] Para wanita yang berpakaian tapi (seolah-olah) telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim No. 2128)

Dalam hadits di atas disebutkan beberapa sifat wanita yang diancam tidak mencium bau surga di mana disebutkan,

وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ

Yaitu para wanita yang: (1) berpakaian tetapi telanjang, (2) maa-ilaat wa mumiilaat, (3) kepala mereka seperti punuk unta yang miring.
Yang dimaksud berpakaian tetapi telanjang adalah wanita yang menutup sebagian tubuhnya dan menyingkap sebagian lainnya, artinya sengaja membuka sebagian aurat. Adapun maa-ilaat adalah berjalan sambil memakai wangi-wangian dan mumilaat yaitu berjalan sambil menggoyangkan kedua pundaknya atau bahunya. Sedangkan wanita yang kepalanya seperti punuk unta yang miring adalah wanita yang sengaja memperbesar kepalanya dengan mengumpulkan rambut di atas kepalanya seakan-akan memakai serban (sorban).
Nah, sifat-sifat di atas yang kita temukan juga pada foto pre-wedding ketika banyak wanita yang berpose dengan pamer aurat tanpa ada rasa malu.

3. Bersentuhan dengan lawan jenis yang haram
Ada juga yang dalam foto saling bersentuhan padahal belum halal. Dalam hadits terdapat ancaman keras,

لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ

“Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya.” (HR. Thobroni dalam Mu’jam Al Kabir 20: 211. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

4. Tabarruj yang tidak dibolehkan
Hampir dapat dipastikan, wanita berpose manis saat itu. Padahal berpenampilan tabarruj seperti ini diharamkan. Apa itu tabarruj? Di antara maksudnya adalah berdandan menor dan berhias diri. Itulah yang kita lihat pada foto pre wedding.
Allah memerintahkan pada para wanita,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyyah yang dahulu” (QS. Al Ahzab: 33).

Maqotil bin Hayan mengatakan bahwa yang dimaksud berhias diri adalah seseorang memakai khimar (kerudung) di kepalanya namun tidak menutupinya dengan sempurna. Dari sini terlihatlah kalung, anting dan lehernya. Inilah yang disebut tabarruj (berhias diri) ala jahiliyyah. Silakan kaji dari kitab Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Ibnu Katsir, 6: 183 (terbitan Dar Ibnul Jauzi).

Jika seorang wanita memakai make-up, bedak tebal, eye shadow, lipstick, maka itu sama saja ia menampakkan perhiasan diri. Inilah yang terlarang dalam ayat,

وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (QS. An Nur: 31).

5. Jika sampai ada adegan “kiss” (ciuman)
Jika sampai ada adegan kissing -padahal belum halal sebagai suami istri-, maka ini jelas lebih parah lagi.
Ada hadits yang menyebutkan,

أَنَّ رَجُلاً أَصَابَ مِنَ امْرَأَةٍ قُبْلَةً ، فَأَتَى النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – فَأَخْبَرَهُ ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ ( أَقِمِ الصَّلاَةَ طَرَفَىِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ) . فَقَالَ الرَّجُلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلِى هَذَا قَالَ « لِجَمِيعِ أُمَّتِى كُلِّهِمْ »

Ada seseorang yang sengaja mencium seorang wanita (non mahram yang tidak halal baginya), lalu ia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengabarkan tentang yang ia lakukan. Maka turunlah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (QS. Hud: 114). Laki-laki tersebut lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah pengampunan dosa seperti itu hanya khusus untuk aku?” Beliau bersabda, “Untuk seluruh umatku.” (HR. Bukhari no. 526 dan Muslim no. 2763).

Hadits ini menunjukkan berciuman bagi pasangan yang belum halal adalah satu hal yang diharamkan dan dihukumi dosa karena sahabat Nabi yang disebutkan dalam hadits ini menyesal dan ingin bertaubat.
[Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal]


Bab:Bolehnya menikahi wanita bukan karena agamanya.
Hadis riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu: Dari Nabi Shallallahu alaihi wassalam beliau bersabda: Wanita itu dinikahi karena empat perkara; karena harta bendanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita yang beragama, maka kamu akan beruntung. (Shahih Muslim No.2661)

Keterangan:
Hadits diatas menunjukkan bolehnya menikahi wanita, karena harta bendanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Tidak dilarang menikahi wanita bukan karena agamanya 
(minimal muslimah, karena haram menikahi wanita musyrik), namun lebih utama dan sebaiknya adalah karena agamanya.
Mengapa? karena dari agama yg baik itu, seorang suami bisa mendapatkan 'surganya' dunia, dimana apabila suami sedang lemah iman, maka si istri akan menasehatinya supaya segera mendekat kepada Allah. Rumah tangga akan dijaga oleh si istri dng sangat amanah, dan si istri juga dapat mendidik anak² mereka supaya bisa menjadi anak² yg sholih-sholihah, dan berbakti pada orang tua. Pendek kata, jika menikah karena agama, maka antara suami dan istri bisa saling menasehati untuk menuju keridloan Allah. Menuju 'Surga dunia' dan juga 'Surga akhirat'.
Menikah karena agamanya, juga dapat diartikan, menikah dng wanita yg berakhlak yg baik. Karena dengan akhlak yg baik, akan muncul dan tumbuh agama yg baik. Dan begitu juga sebaliknya, dengan agama yg baik, akan muncul dan tumbuh akhlak yg baik pula.


Renungkanlah...
Janganlah menikahi perempuan karena kecantikannya karena boleh jadi itu membuat mereka celaka ... 
Jangan karena kekayaannya karena boleh jadi itu membuat mereka congkak...
Tapi nikahilah perempuan karena akhlaq dan agamanya...
Sungguh budak hitam yang bodoh tapi baik akhlaq dan agamanya itu lebih utama (kamu nikahi) ...

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda kepada Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu,

أَلاَ أُخْبِرَكَ بِخَيْرٍ مَا يَكْنِزُ ا رْملَْءُ، ا رْملَْأَةُ الصَّالِحَةُ إِذَا نَظرَإِلَيْهَا سَرَّتْهُ، وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ، وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهُ

“Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki, yaitu istri salihah yang bila dipandang akan menyenangkannya, bila diperintah akan menaatinya, dan bila ia pergi si istri ini akan menjaga dirinya.” (HR. Abu Dawud no. 1417. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata dalam al-Jami’ush Shahih 3/57, “Hadits ini shahih di atas syarat Muslim.”)

Qs. Al Baqoroh: 221

{ وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ } [البقرة: 221

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.”

Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata,“Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan kepada para sahabatnya bahwa tidak berdosa mereka mengumpulkan harta selama mereka menunaikan zakatnya, beliau memandang perlunya memberi kabar gembira kepada mereka dengan menganjurkan mereka kepada apa yang lebih baik dan lebih kekal yaitu istri yang salihah yang cantik (lahir batinnya) karena ia akan selalu bersamamu menemanimu.

Bila engkau pandang menyenangkanmu, ia tunaikan kebutuhanmu bila engkau membutuhkannya. Engkau dapat bermusyawarah dengannya dalam perkara yang dapat membantumu dan ia akan menjaga rahasiamu. Engkau dapat meminta bantuannya dalam keperluan-keperluanmu, ia menaati perintahmu dan bila engkau meninggalkannya ia akan menjaga hartamu dan memelihara/ mengasuh anak-anakmu.” (‘Aunul Ma‘bud, 5/57)

Bab. Jika Suami Meninggal, di Surga Istri Tersebut dengan Siapa?
Pendapat berikut ini lemah sekali:
Imam al-Qurthubi menyebutkan satu riwayat dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu, bahwa Ummu habibah –istri Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam­- berkata: “Wahai Rasulullah, seorang wanita memiliki dua suami saat di dunia, kemudian mereka semua meninggal dan berkumpul di surga, wanita tersebut akan menjadi milik siapa dari keduanya? Yang pertama atau yang terakhir?”

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menjawab,

لأحسنهما خلقا كان معها يا أم حبيبة ، ذهب حسن الخلق بخير الدنيا والآخرة

“Untuk yang terbagus akhlaknya wahai Ummu Habibah, khusnul khuluk (akhlak yang bagus) membawa kebaikan dunia dan akhirat.” (al-Tadzkirah fi Ahwaal al-Mauta wa al-Akhirah: 2/278)

Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid berkata: Hadits ini lemah sekali. Di dalamnya terdapat dua perawi yang cacat: Ubaid bin Ishaq al-‘Aththar dan Sinan bin Haarun. Yang pertama Dhiaf jiddan (lemah sekali) dan yang kedua dhaif (lemah). Kemudian beliau menyebutkan perkataan para ulama Jarh wa Ta’dil. Sehingga beliau menyimpulkan: Maka hadits ini tidak sah dijadikan dalil, dia lemah sekali sehingga pendapat ini gugur.

Pendapat yang lebih Kuat:
Terdapat hadits marfu’ dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menyebutkan,

أيما امرأة تُوفي عنها زوجها ، فتزوجت بعده ، فهي لآخر أزواجها

“Siapa saja wanita yang ditinggal mati suaminya lalu ia menikah lagi sesudahnya, maka ia untuk suami terakhirnya.” (Dishahihkan Al-Albani Rahimahullah dalam Shahih al-Jami’ (2704) dan dalam Silsilah Shahihah (1281).

Dalil-dalil lain yang mendukungnya:

Riwayat yang disebutkan Imam al-Thabrani, saat Mu’awiyah bin Abi Sufyan melamar Ummu Darda’ setelah wafatnya Abu Darda’, maka Ummu Darda’ berkata: Sesungguhnya aku mendengar Abu Darda’ berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallambersabda: “Siapa wanita yang ditinggal mati suaminya lalu menikah lagi maka ia untuk suami terakhirnya.” Kemudian Ummu Darda’ berkata: tidaklah aku lebih memilih dirimu (wahai Mu’awiyah) daripada Abu Darda’. . .” (al-Mu’jam al-Ausath: 3/275. Dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, no. 2704 & 6691)

Al-Baihaqi menyebutkan dalam Sunannya satu atsar dari Hudzaifah Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata kepada istrinya:

إن شئت أن تكوني زوجتي في الجنة ، فلا تزوجي بعدي ، فإن المرأة في الجنة لآخر أزواجها في الدنيا ، فلذلك حرم الله على أزواج النبي صلى الله عليه وسلم أن ينكحن بعده لأنهن أزواجه في الجنة

"Jika kamu mau jadi istriku di surga maka janganlah engkau menikah lagi sesudahku, karena seorang wanita di surga untuk (bersama) suami terakhirnya di dunia, oleh karenanya Allah haramkan atas istri-istri Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam menikah lagi sesudahnya, karena mereka-mereka akan menjadi istri-istri beliau di surga.” (syaikh Al-Albani mendhaifkannya dalam Silsilah Shahihah no. 1281)

Ibnu Asakir meriwayatkan satu Atsar dari Ikrimah, ia berkata: Bahwasanya Asma binti Abu Bakar menjadi istri al-Zubair bin al-Awwam, ia laki-laki keras terhadapnya. Lalu Asma datang kepada ayahnya, lalu mengadukan semua itu kepadanya. Kemudian Abu bakar berkata: Wahai putriku, bersabarlah! Sesungguhnya seorang wanita apabila ia memiliki suami yang shalih, kemudian ia ditinggal mati suaminya dan tidak menikah lagi sesudahnya, maka Allah akan mengumpulkan keduanya di surga.

Syaikh Al-Albani mengomentari atsar ini: Dan rijalnya tsiqat (terpercaya), hanya saja di dalamnya terdapat irsal, karena Ikrimah tidak pernah berjumpa langsung dengan Abu Bakar. Namun bisa jadi ia mendapatkannya dari Asma binti Abu Bakar. Wallahu a’lam. (Silsilah Shahihah: 3/276)

Bab. Polemik Halalnya Wanita yang Dianggap Budak

Al-Mu'minun 23:6

إِلَّا عَلَىٰٓ أَزْوَٰجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ

kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka tidak tercela.

Wajib berwudlu jika hendak sholat ...
Namun apabila kenyataanya tidak ada air, maka bertayamumlah ...

Wajib mengeluarkan zakatnya...
Namun apabila kenyataannya tidak punya kelebihan harta, maka tidak usah berzakat...

Wajib berpuasa dibulan ramadhan ...
Namun apabila kenyataannya sakit, maka boleh tidak berpuasa lalu meng qodlonya ...

Wajib berhaji ke Baitullah dimusim haji ...
Namun apabila kenyataannya tidak mampu, maka boleh tidak berhaji...

Allah telah menghalalkan bagimu istri dan budak yang engkau miliki ...
Namun apabila kenyataannya tidak ada budak, maka TIDAK boleh menjadikan wanita merdeka menjadi budak, sehingga engkau menghalalkannya...
Sehingga kalau tidak ada budak, maka selama²nya engkau diharamkan terhadap semua wanita kecuali terhadap istri²mu yang engkau nikahi secara sah...

QS 24.An Nuur:33

وَلْيَسْتَعْفِفِ ٱلَّذِينَ لاَ يَجِدُونَ نِكَاحاً حَتَّىٰ يُغْنِيَهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضْلِهِ وَٱلَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَـٰبَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَـٰنُكُمْ فَكَـٰتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمُتُمْ فِيهِمْ خَيْراً وَءَاتُوهُمْ مِّن مَّالِ ٱللَّهِ ٱلَّذِىۤ ءَاتَـٰكُمْ وَلاَ تُكْرِهُواْ فَتَيَـٰتِكُمْ عَلَى ٱلْبِغَآءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّناً لِّتَبْتَغُواْ عَرَضَ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَمَن يُكْرِههُنَّ فِإِنَّ ٱللَّهِ مِن بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

"Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka[Salah satu cara dalam agama Islam untuk menghilangkan perbudakan, yaitu seorang hamba boleh meminta pada tuannya untuk dimerdekakan, dengan perjanjian bahwa budak itu akan membayar jumlah uang yang ditentukan. Pemilik budak itu hendaklah menerima perjanjian itu kalau budak itu menurut penglihatannya sanggup melunasi perjanjian itu dengan harta yang halal], jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu[Untuk mempercepat lunasnya perjanjian itu hendaklah budak- budak itu ditolong dengan harta yang diambilkan dari zakat atau harta lainnya]. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu[Tuhan akan mengampuni budak-budak wanita yang dipaksa melakukan pelacuran oleh tuannya itu, selama mereka tidak mengulangi perbuatannya itu lagi].

Selengkapnya masalah pembantu atau budak silahkan baca:
https://tausyiahaditya.blogspot.com/2012/04/budak-atau-pembantu.html


Bab. Wanita itu menghadap ke muka dalam bentuk syetan?
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ ، وَإِنَّهَا إِذَا خَرَجَتْ مِنْ بَيْتِهَا اِسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ، وَإِنَّهَا لاَتَكُوْنُ أَقْرَبَ إِلَى اللهِ مِنْهَا فِيْ قَعْرِ بَيْتِهَا

Wanita itu aurat, jika ia keluar dari rumahnya maka setan mengikutinya. Dan tidaklah ia lebih dekat kepada Allâh (ketika shalat) melainkan di dalam rumahnya
(HR. At-Thabrani no. 2911, at-Tirmidzi no. 1173, Ibnu Khuzaimah no. 1685-1686
, Ibnu Hibbân, no. 5559, At-Thabrani, no. 8092)

 حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى امْرَأَةً فَأَتَى امْرَأَتَهُ زَيْنَبَ وَهِيَ تَمْعَسُ مَنِيئَةً لَهَا

فَقَضَى حَاجَتَهُ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى أَصْحَابِهِ فَقَالَ إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ وَتُدْبِرُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمْ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِي نَفْسِهِ حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ

حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ بْنُ عَبْدِ الْوَارِثِ حَدَّثَنَا حَرْبُ بْنُ أَبِي الْعَالِيَةِ حَدَّثَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى امْرَأَةً فَذَكَرَ بِمِثْلِهِ غَيْرَ أَنَّهُ قَالَ فَأَتَى امْرَأَتَهُ زَيْنَبَ

وَهِيَ تَمْعَسُ مَنِيئَةً وَلَمْ يَذْكُرْ تُدْبِرُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ. (مسلم)

Riwayat dari Jabir bahwa Rasulullah saw melihat seorang perempuan maka beliau datang ke isterinya, Zainab yang sedang menggosok kulit (binatang) miliknya yang mau disamak, lalu beliau menunaikan hajatnya (berhubungan dengan isteri itu), kemudian beliau keluar ke sahabat-sahabatnya, lalu bersabda: Sesungguhnya wanita itu menghadap ke muka dalam bentuk syetan, dan (menghadap) ke belakang dalam bentuk syetan (pula). Maka apabila salah satu di antara kalian melihat seorang perempuan, hendaklah ia datang ke isterinya, karena hal itu membalikkan apa yang ada pada dirinya (yakni gejolak syahwat). Dalam riwayat lain, bahwa Nabi saw melihat seorang perempuan, lalu periwayat menyebutkan seperti tadi, hanya saja dia berkata, maka beliau datang ke isterinya, Zainab, dan dia sedang menggosok kulit yang mau disamak, dan periwayat tak menyebut menghadap ke belakang dalam bentuk syetan. (HR Muslim Juz 10 Kitab Nikah, hal 177)


Penjelasan:
Sekilas hadis tersebut "menghina" kaum wanita, yang seolah-olah mereka adalah setan. Padahal sebenarnya tidak sedangkal itu makna hadis tersebut.
Sebenarnya yang dimaksud dengan setan itu adalah segala sesuatu yang "Indah atau cantik atau menawan" namun dapat menyebabkan menjauh dari Allah. Jadi makna "setan" itu bukanlah sosok yang menakutkan atau bahkan menyeramkan. Namun justru maknanya itu sebaliknya, yang pasti laki2 normal senang dan bangkit syahwatnya ketika melihatnya.
Misalnya:
Perampuan cantik dan sexy tapi bukan istri sahnya, itu berarti kita melihat setan. Namun kalau melihat istri sendiri yang cantik dan sexy, maka itu berarti kita melihat Bidadari. Itulah syariat Allah, jika kita melampiaskan nafsu syahwat ke istri sah kita, maka mendatangkan pahala dan kedekatan kepada Allah, sedangkan kalau kita melakukan yang diharamkan oleh Allah, maka itu berarti kita menjauh dari Allah, dan bisa mendapat murkaNya.
Sehingga seorang istri yang sah, berpakaian sexy, genit dan menawan hanya dihadapan suaminya sendiri, maka wanita itu bukan setan namun bidadari. Sangat berbeda jika wanita itu berpakaian sexy dan menawan dihadapan pria lain. Dan bagi wanita berjilbab yang menjaga dirinya, maka mereka juga bukan termasuk setan.
Inilah yang dimaksud dengan hadis tersebut.

Sesungguhnya Allah telah menurunkan syariat-syariatNya dengan jelas dan gamblang. Ada syariat pernikahan, poligami, wajibnya sholat, zakat, muamalah dll.

Contohnya dalam pernikahan:
1) Adanya calon mempelai pria
2) Adanya calon mempelai wanita
3) Adanya Wali
4) Adanya Dua orang saksi (laki-laki)
5) Adanya Ijab (dari wali calon mempelai perempuan atau wakilnya) dan Qabul (dari calon mempelai laki-laki)
Hal tersebut merupakan rukun pernikahan yang telah ditetapkan Allah.

Sedangkan Perkawinan yang ditetapkan Iblis:
1) Adanya pria
2) Adanya wanita
3) Tanpa Wali yang sah
4) Tanpa saksi
5) Ada Ijab dan Qabul (hanya antara wanita dan laki-laki itu saja. Misalnya: ijab-qabul transaksi mengenai kesepakatan harga untuk short time atau yang lainnya)

Kalau kita perhatikan, syariat Allah dan Iblis itu mirip. Karena memang Iblis tidak bisa membuat syariat baru, melainkan syariat Allah, diolah sedikit oleh Iblis, sehingga faktor kesusahannya hilang.
Lo kok syariat Allah ada faktor kesusahannya?
Iya benar, ada faktor kesusahannya. Yaitu dengan pernikahan yang sah:
1. Harus membiayai segala kebutuhan istri, yang dulunya dipenuhi oleh Ayah atau walinya. ---> Oleh Iblis dihapus, dengan hanya bayar sekali saja. (enteng kan?)
2. Harus membiayai segala kebutuhan anak hasil pernikahannya hingga mereka dewasa. ---> Oleh Iblis dihapus, emangnye gue pikiran klo loe hamil?. (enteng kan?)
3. Harus mendidik istrinya supaya mentaati Allah. ---> Oleh Iblis dihapus, Ngapain harus taat kepada Allah, la Iblis aja gak taat? Taat itu menyusahkan lo ya?. (enteng kan?)
4. Menurut Iblis, Tidak perlu ada saksi, justru kalau ada saksi malah menyusahkan dan bisa menimbulkan perkara. (enteng kan?)

Ingatlah Surga itu diliputi perkara-perkara yang dibenci dan Neraka itu diliputi perkara-perkara yang disukai syahwat, seperti ditunjukkan dalam hadis berikut ini:

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ

“Surga itu diliputi perkara-perkara yang dibenci (oleh jiwa) dan neraka itu diliputi perkara-perkara yang disukai syahwat.”(HR. Muslim dalam Shahihnya)

Mengenal kosa kata:
Huffat: Berasal dari kata al-hafaf (الحَفَاف) yang berarti sesuatu yang meliputi sesuatu yang lain yang berarti surga dan neraka itu diliputi sesuatu. Seseorang tidak akan memasuki surga dan neraka kecuali setelah melewati hijab terebut. Dalam riwayat Bukhari kata huffat diganti dengan kata hujibat (حُجِبَت ) yang berarti tabir, hijab ataupun pembatas dan keduanya memiliki makna sama. Hal ini ditegaskan Ibnul Arabi sebagaimana dinukil Ibnu Hajar dalam Fathul Baari.

Al-Jannah: Kampung kenikmatan.
Al-Makarih: Perkara-perkara yang dibenci (oleh jiwa) berupa ketaatan dan ketundukan terhadap aturan-aturan Allah Ta’ala.
An-Nar: Kampung siksaan dan adzab.
Asy-Syahawat: Nafsu yang condong kepada kejelekan-kejelekan.

Hadis yang luar biasa, mestinya menjadi pegangan bagi semua Muslim yang ingin selamat. Karena memang berat sekali untuk bisa masuk Surga, karena di kelilingi oleh banyak sekali kesulitan. Sedangkan Neraka dikelilingi oleh segala bentuk kenikmatan, hingga Manusia pasti suka mendatanginya karena indahnya kenikmatan itu, lalu setelah sampai, ternyata manusia itu tergelincir ke Neraka.

Para Malaikat pernah berkata," Ya Allah, Kalau keadaan Surga seperti itu, maka bisa2 tidak ada Manusia yang bisa masuk Surga." Karena itu Manusia bisa masuk Surga hanya karena Rahmat dan pertolongan-Nya saja. Tidak bisa dengan usaha sendiri. Penuhilah syariat Allah hingga Allah mengampuni dan menolongmu dengan RahmatNya ...


Bab. Sekilas Kawin Mut’ah dan Nikah Miswar

Kawin Mut’ah
Adapun kawin mut’ah adalah ikatan seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam batas waktu tertentu dengan upah tertentu pula.
Kawin mut’ah ini pernah diperkenankan oleh Rasulullah s.a.w. sebelum stabilnya syariah Islamiah, yaitu diperkenankannya ketika dalam bepergian dan peperangan, kemudian diharamkannya untuk selama-lamanya.

Rahasia dibolehkannya kawin mut’ah waktu itu, ialah karena masyarakat Islam waktu itu masih dalam suatu perjalanan yang kita istilahkan dengan masa transisi, masa peralihan dari jahiliah kepada Islam. Sedang perzinaan di masa jahiliah merupakan satu hal yang biasa dan tersebar di mana-mana. Maka setelah Islam datang dan menyerukan kepada pengikutnya untuk pergi berperang, dan jauhnya mereka dari isteri merupakan suatu penderitaan yang cukup berat. Sebagian mereka ada yang imannya kuat dan ada pula yang lemah. Yang imannya lemah, akan mudah untuk berbuat zina sebagai suatu perbuatan yang keji dan cara yang tidak baik.

Sedang bagi mereka yang kuat imannya berkeinginan untuk kebiri dan mengimpotenkan kemaluannya, seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud:

“Kami pernah berperang bersama Rasulullah s.a.w. sedang isteri-isteri kami tidak turut serta bersama kami, kemudian kami bertanya kepada Rasulullah, apakah boleh kami berkebiri? Maka Rasulullah s.a.w. melarang kami berbuat demikian dan memberikan rukhshah supaya kami kawin dengan perempuan dengan maskawin baju untuk satu waktu tertentu.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Dengan demikian, maka dibolehkannya kawin mut’ah adalah sebagai suatu jalan untuk mengatasi problema yang dihadapi oleh kedua golongan tersebut dan merupakan jenjang menuju diundangkannya hukum perkawinan yang sempurna, di mana dengan hukum tersebut akan tercapailah seluruh tujuan perkawinan seperti: terpeliharanya diri, ketenangan jiwa, berlangsungnya keturunan, kecintaan, kasih-sayang dan luasnya daerah pergaulan kekeluargaan karena perkawinan itu.

Sebagaimana al-Quran telah mengharamkan khamar dan riba dengan bertahap, di mana kedua hal tersebut telah terbiasa dan tersebar luas di zaman jahiliah, maka begitu juga halnya dalam masalah haramnya kemaluan, Rasulullah tempuh dengan jalan bertahap juga. Misalnya tentang mut’ah, dibolehkannya ketika terpaksa, setelah itu diharamkannya.

Diantara dalil-dalil yang jelas telah diharamkannya mut’ah :

عن رَّبِيعُ بْنُ سَبْرَةَ الْجُهَنِيُّ أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنْ النِّسَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَهُ وَلَا تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا (أخرجه مسلم وأبو داوود والنسائي وابن ماجة وأحمد وابن حبان)

“Diriwayatkan dari Rabi’ bin Sabrah r.a. sesungguhnya rasulullah s.a.w. bersabda: “wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan nikah mut’ah, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat, oleh karenanya barangsiapa yang masih mempunyai ikatan mut’ah maka segera lepaskanlah, dan jangan kalian ambil apa yang telah kalian berikan kepada wanita yang kalian mut’ah” HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban.

عن سلمة إب لأ قواع رضى الله عنه قال : رخص رسول الله عام أوطا س في المتعة ثلا ث ثم نهى عنه

”Dari Salamah bin Akwa a berkata ; ” Rasulullah n memberikan keringanan untuk mut’ah selama tiga hari pada perang Authos kemudian beliau melarangnya [HR.Muslim 1023]

Perhatikan rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memberikan keringanan (rukhshah) untuk mut’ah, artinya pada asalnya mut’ah itu tidak diperbolehkan, karena kondisi tertentu mut’ah dibolehkan saat itu yaitu pada saat peperangan.

Bahkan Ali sendiri pun telah menyampaikan langsung sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mengenai haramnya mut’ah.

عن علي إبن أبي طالب رضي الله عنه قا ل إن النبي ص نهى عن المتعة وعن لحوم الحمر لأ حلية زمن خيبر

“Dari Ali bin Abi Thalib a berkata : ”Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang nikah mut’ah dan memakan daging khimar jinak pada waktu perang khaibar [ HR.Bukhori 5115,Muslim 1407]

Dan beberapa riwayat yang lain yang menyatakan keharaman mut’ah.
Seperti apa yang diriwayatkan oleh Ali dan beberapa sahabat yang lain, antara lain sebagai berikut:
“Dari Saburah al-Juhani, sesungguhnya ia pernah berperang bersama Nabi s.a.w. dalam peperangan fat-hu Makkah, kemudian Nabi memberikan izin kepada mereka untuk kawin mut’ah. Katanya: Kemudian ia (Saburah) tidak pernah keluar sehingga Rasulullah s.a.w. mengharamkan kawin mut’ah itu.” (Riwayat Muslim)

Tetapi apakah haramnya mut’ah ini berlaku untuk selama-lamanya seperti halnya kawin dengan ibu dan anak, ataukah seperti haramnya bangkai, darah dan babi yang dibolehkan ketika dalam keadaan terpaksa dan takut berbuat dosa?

Menurut pendapat kebanyakan sahabat, bahwa haramnya mut’ah itu berlaku selama-lamanya, tidak ada sedikitpun rukhshah, sesudah hukum tersebut diundangkan.

Menjawab Seputar Mut’ah oleh Mereka yang Membolehkannya:
Pertama:

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۖ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ ۚ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.[Qs. Al An nisa : 24]

Dengan dalih ayat di atas, Mereka mengemukakan tiga alasan sebagai berikut
1.  Dalam ayat di atas Allah swt membuat ungkapan lafadz Istimta’ bukan dengan lafadz nikah, padahal istimta’ dengan mut’ah adalah satu makna.
2. Allah swt memerintahkan pada ayat di atas agar seseorang laki-laki memberikan upah, sementara mut’ah merupakan akad sewa’an untuk mendapatkan manfa’at kemaluan.
3. Sesungguhnya Allah swt memerintahkan agar seseorang laki-laki memberikan upah kepada perempuan setelah menggauli, sedangkan cara itu hanya ada pada akad sewa-menyewa dan nikah mut’ah . sementara mahar hanya di berikan ketika proses akad nikah sedang berjalan

Jawab:
Memang sebagian ulama  menafsirkan “Istimta’tum” dengan nikah mut’ah, Akan tetapi tafsir yang benar dari ayat ini adalah; Apabila kalian menikahi wanita lalu kalian berjima dengan mereka, Maka berikanlah maharnya sebagai sebuah kewajiban atas kalian.

Imam Ath-Thabari ra berkata: ”Setelah memaparkan dua tafsir ayat tersebut : ”Tafsir yang paling benar dari ayat tersebut adalah kalau kalian menikahi wanita lalu kalian berjima dengan mereka maka berikanlah maharnya, karena telah datang dalil dari Rasulullah saw akan haramnya nikah mut’ah. [Tafsir Ath-Thabari, 8/175].

Imam Al-Qurthubi ra berkata: ”Tidak boleh ayat ini di gunakan untuk menghalalkan nikah mut’ah karena Rasulullah saw telah mengharamkannya [Tafsir Al-Qurthubi, 5/132].

Adapun “istimta’”, tidak disebutkan dalam Alquran kecuali untuk pemanfaatan yang bersifat terus menerus, tidak terputus kecuali dengan terputusnya kehidupan dunia. Sehingga batas waktunya adalah batas waktu kehidupan dunia hingga kiamat dan bukan batas waktu sekehendak manusia, seperti kawin mut'ah.
Contoh kata “istimtaa’”, dalam ayat berikut ini:

Surat Al-Ahqaf Ayat 20:

وَيَوْمَ يُعْرَضُ الَّذِينَ كَفَرُوا عَلَى النَّارِ أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِي حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا وَاسْتَمْتَعْتُمْ بِهَا فَالْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنْتُمْ تَسْتَكْبِرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَبِمَا كُنْتُمْ تَفْسُقُونَ

"Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan): "Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan karena kamu telah fasik".

–-> Imam syi’ah yg keenam (imam ma’shum) Ja’far ash-Shoddiq mengharamkan nikah mut’ah : “Telah aku haramkan mut’ah atas kalian berdua” (Al-Furu’ min Al-Kafi 2/48).

Kedua
Sebagian para sahabat masih melakukan mut’ah sepeninggal Rasulullah saw sampai Umar melarangnya, sebagaimana di sebutkan  dalam banyak riwayat , di antaranya :

” Dari Jabir bin Abdillah berkata : ”Dahulu kita nikah mut’ah dengan mahar segenggam kurma atau tepung pada masa Rasulullah saw juga Abu Bakar sampai Umar melarangnya [HR.Muslim 1023]

Jawab :
”Riwayat Jabir ini menunjukan bahwa beliau belum mengetahui terhapusnya kebolehan Mut’ah . berkata Imam An-Nawawi Ra : ”Riwayat ini menunjukan bahwa orang yang masih melakukan mut’ah pada masa Abu Bakar dan Umar h belum mengetahui terhapusnya hukum tersebut [Syarah Shahih Muslim, 3/555; Fathul Baari; Zaadul Ma’ad, 3/462; Jami Ahkamin Nissa 3/191.].

Jabir bin Abdullah adalah sahabat muda Nabi SAW tetapi beliau bukanlah ulama-nya sahabat, Sudah sangat jelas Ali, Umar, Ibnu Umar, Ibnu Zubair, Ibnu Abi Amrah Al-Anshary dll telah mengharamkannya. maka jika Jabir dan beberapa sahabat masih melakukannya pada masa Abu Bakar dan Umar, disimpulkan mereka masih belum mengetahui atau samar dalam masalah hukum Mut’ah hingga Umar menegaskannya.

Dari riwayat tersebut pun tidak bisa dijadikan dalil bahwa yang mengharamkan mut’ah adalah Umar radhiyallahu ‘anhu, karena dari riwayat-riwayat yang lain telah begitu jelas bahwa yang mengharamkan mut’ah adalah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam sendiri bahkan Ali sendiri juga mengharamkannya. Umar hanya menegaskan dan mengumumkan pengharaman tersebut dengan kapasitas beliau sebagai khalifah pada saat itu, sehingga hasilnya para sahabat yang belum mengetahui akan haramnya mut’ah menjadi jelas yang mungkin sebelum Umar mengumumkan haramnya mut’ah ada sebagian sahabat yang belum mengetahui atau masih samar mengenai hukum mut’ah.

Satu hal yang perlu digarisbawahi, saat Umar menegaskan kembali akan haramnya Mut’ah, tidak ada satu sahabat pun yang menentangnya termasuk Jabir bin Abdullah ini. Hal ini menunjukkan bahwa mereka mengakui penegasan Umar tersebut.

Pemahaman Jabir bin Abdullah saat itu mungkin sama dengan sahabat Khalid bin Muhajir bin Saifullah mengenai mut’ah yaitu masih belum mengetahui atau masih samar jika mut’ah sudah diharamkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam :

قال ابن شهاب فأخبرني خالد بن المهاجر بن سيف الله أنه بينا هو جالس عند رجل جاءه رجل فاستفتاه في المتعة فأمره بها فقال له ابن أبي عمرة الأنصاري مهلا قال ما هي ؟ والله لقد فعلت في عهد إمام المتقين قال ابن أبي عمرة إنها كانت رخصة في أول الإسلام لمن اضطر إليها كالميتة والدم ولحم الخنزير ثم أحكم الله الدين ونهى عنها

Dari Khalid bin Muhajir bin Saifullah, katanya: “Ketika dia sedang duduk dengan seorang laki-laki, tiba-tiba datang seorang laki-laki minta fatwa kepadanya tentang Mut’ah. Lalu Khalid membolehkannya. Maka berkata Ibnu Abi ‘Amrah Al-Anshari, “Tunggu dulu. Tidak begitu!” Kata Khalid, “Kenapa? Demi Allah hal itu pernah dilakukan pada masa Imam-nya orang-orang yang bertakwa (Nabi SAW).” Kata Ibnu Abi ‘Amrah. “Memang, mut’ah pernah dibolehkan (rukhshah) pada masa permulaan Islam karena terpaksa, seperti halnya boleh memakan bangkai, darah, dan daging babi. Sesungguhnya Allah telah menetapkan hukumnya dalam agama, dan melarang melakukannya.” (Shahih Muslim 2/1023 No. 1406)

Dari hadits di atas terbukti :
1. Memang terdapat beberapa sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam yang belum mengetahui atau masih samar mengenai hukum Mut’ah. Maka Jabir bin Abdullah adalah salah satunya.
2. Mut’ah memang pada asalnya dilarang, dibolehkan pada masa awal Islam hanya sebagai rukhshah karena terpaksa yaitu pada saat perang yang jauh dengan istri.

Nikah Mis-yar (nikah Miswar)
Nikah mis-yar (nikah miswar) adalah nikah di mana pasangan nikah hidup secara terpisah satu sama lain atas kesepakatan bersama dan tetap masih ada pemenuhan syahwat dan beberapa hak lainnya sesuai kesepakatan, dan bisa jadi si pasangan sepakat tidak ada pemberian tempat tinggal atau nafkah bulanan. Bagaimana pandangan Islam mengenai bentuk nikah semacam ini? Apakah dibolehkan?

Bentuk Nikah Misyar
Bentuk nikah misyar sudah ada sejak masa silam. Bentuk nikah semacam ini adalah suami mensyaratkan pada istrinya bahwa ia tidak diperlakukan sama dengan isti-istrinnya yang lain (dalam kasus poligami), bisa jadi pula ia tidak dinafkahi atau tidak diberi tempat tinggal, ada pula yang mensyaratkan ia akan bersama istrinya cuma di siang hari (tidak di malam hari). Atau bisa jadi si istri yang menggugurkan hak-haknya, ia ridho jika hanya ditemani suami di siang hari saja (bukan malam hari), atau ia ridho suaminya tinggal bersamanya hanya untuk beberapa hari saja. (islamqa.com: fatwa 97642)
Bentuk misyar ini sangat nampak sekali di negeri kita pada pasangan perselingkuhan (tanpa status nikah) atau jika suami memiliki istri simpanan tanpa diketahui istri pertama, terserah dengan status nikah yang sah dengan istri kedua atau tidak.

Walaupun sekilas hampir sama tapi ada perbedaan mendasar antara nikah misyar dan nikah mut’ah. Dalam nikah mut’ah tetap ada kewajiban nafkah & dibatasi waktu, sementara nikah misyar selain meniadakan kewajiban nafkah tapi menghalalkan hubungan suami istri juga tidak dibatasi waktu tertentu seperti nikah mut’ah.

Hukum Nikah Misyar
Nikah misyar tetap dikatakan sah jika terpenuhi syarat dan rukun nikah. Adapun pengguguran beberapa hak yang dipersyaratkan atau diizinkan oleh salah satu pasangan tidaklah menjadikannya nikahnya haram. Namun sebagian ulama memakruhkan nikah semacam ini.

Sebaiknya Tidak Dilakukan ...!!!
Syaikh Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan, salah satu anggota Al Lajnah Ad Daimah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) dan ulama senior di kota Riyadh, ditanya, “Apa pendapatmu –wahai Syaikh- mengenai nikah misyar dan hukum syari’at mengenai nikah semacam ini?”

Jawaban beliau, “Aku tidak merekomendasikan nikah semacam itu karena tidak terpenuhinya maslahat nikah di dalamnya. Nikah semacam ini hanya sekedar pemenuhan syahwat. Suami tidak bisa mengawasi istrinya dengan benar. Istri juga tidak hidup bersama dengan suami. Jika ada anak dari nikah semacam ini, maka ia akan jauh dari kerabatnya. Yang jelas nikah semacam ini tidak bisa menggapai tujuan nikah. Maka kami pun tidak menganjurkannya.”
(Sumber fatwa: http://alfawzan.ws/node/13734)
[diedit oleh Admin]
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
-------------

Selengkapnya tentang Kawin Mut’ah dan Nikah Miswar, silahkan baca di: https://alfanarku.wordpress.com/2011/03/04/menjawab-syubhat-syi%E2%80%99ah-tentang-mut%E2%80%99ah/
dan
https://alfanarku.wordpress.com/2010/12/04/praktek-mut%E2%80%99ah-kaum-syi%E2%80%99ah-khusus-dewasa/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar