Senin, 01 Agustus 2016

Jangan Mengeluh

Ahhh, kok enak ya, kerja dikit dapat duitnya banyak, aku aja yg kerjanya lebih berat dapatnya malah sedikit ...
Sudah susah² ke sana, eh malah dapatnya lebih mahal ...
Kenapa sih kok jadinya seperti ini, padahal sudah susah² ngerjainnya ...
Hidup kok seperti ini, susah, ruwet, gak seperti jaman dulu, enak dan nyaman ...
Kenapa ya kok hidup seperti ini, tidak seperti sifulan yg enak hidupnya, sudah kaya, punya segalanya, jadi pejabat tinggi pula ...

Hadis riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung berfirman: Seorang anak Adam mencaci-maki masa padahal Akulah masa, siang dan malam hari ada di tangan-Ku. (Shahih Muslim No.4165)


Seringkali kita mendengar keluhan² disekitar kita ...
Baik keluhan yang kita lontarkan atau keluhan yang kita dengar dari seseorang ...
Keluhan memang wajar kita dengar, namun apakah menjadi wajar bagi seorang mukmin?

Keluhan atau keluh kesah adalah suatu ungkapan hati yang tidak puas atau tidak ridlo terhadap suatu peristiwa atau nasib yang menimpanya ...
Suatu peristiwa atau nasib yang tidak diinginkan terjadi pada kita, namun kenyataannya malah menimpa kita ...
Apakah keluh-kesah seperti ini baik bagi kita?
Tidakkah kita tahu, kalau sebenarnya semua hamba²Nya yang beriman pasti mendapatkan cobaan?
Semakin tinggi tingkat keimanannya, maka semakin tinggi pula cobaan yang diterimanya?
Bukankah cobaan² itu untuk menghapus dosa² yang telah kita lakukan dan juga untuk menambah derajat kita?
Bukankah segala cobaan itu hanya sementara saja? coba dibandingkan dengan lamanya kehidupan abadi, setelah kematian kita didunia ini ...
Tidakkah kita ridlo dengan keputusan-Nya, yang pasti terbaik bagi kita?

QS.39. Az Zumar:

أَوَلَمْ يَعْلَمُوۤاْ أَنَّ ٱللَّهَ يَبْسُطُ ٱلرِّزْقَ لِمَن يَشَآءُ وَيَقْدِرُ إِنَّ فِى ذَلِكَ لأََيَـٰتٍ لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

52. Dan tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang dikehendaki-Nya? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman.

Hadis riwayat Kaab bin Malik Radhiyallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda: Perumpamaan orang mukmin itu seperti tanaman lunak dan lembut yang dapat digoyangkan oleh hembusan angin, sesekali miring dan kemudian tegak kembali sehingga bergoyang-goyang. Sedangkan perumpamaan orang kafir adalah seperti pohon cemara yang tegak berdiri di atas akarnya tidak dapat digoyangkan oleh sesuatu apapun sehingga ia tumbang sekaligus. (Shahih Muslim No.5025)

Hadis riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu: Dari Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. bahwa beliau bersabda: Tidak seorang pun di antara kalian yang akan diselamatkan oleh amal perbuatannya. Seorang lelaki bertanya: Engkau pun tidak, wahai Rasulullah? Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam menjawab: Aku juga tidak, hanya saja Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadaku akan tetapi tetaplah kalian berusaha berbuat dan berkata yang benar. (Shahih Muslim No.5036)

Hadis riwayat Amru bin Auf Radhiyallahu’anhu, ia berkata: Bahwa Rasulullah mengutus Abu Ubaidah bin Jarrah ke Bahrain untuk memungut jizyahnya (upeti), karena Rasulullah telah mengadakan perjanjian damai dengan penduduk Bahrain dan mengangkat Alaa’ bin Hadhrami sebagai gubernurnya. Kemudian Abu Ubaidah kembali dengan membawa harta dari Bahrain. Orang-orang Ansar mendengar kedatangan Abu Ubaidah lalu melaksanakan salat Subuh bersama Rasulullah. Setelah salat, beliau beranjak lalu mereka menghalanginya. Ketika melihat mereka beliau tersenyum dan bersabda: Aku tahu kalian telah mendengar bahwa Abu Ubaidah telah tiba dari Bahrain dengan membawa harta upeti. Mereka berkata: Benar, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: Bergembiralah dan berharaplah agar mendapatkan sesuatu yang menyenangkan kamu sekalian. Demi Allah, bukan kefakiran yang aku khawatirkan terhadap kalian, tetapi yang aku khawatirkan adalah jika kekayaan dunia dilimpahkan kepada kalian sebagaimana telah dilimpahkan kepada orang-orang sebelum kalian, kemudian kalian akan berlomba-lomba mendapatkannya sebagaimana mereka berlomba-lomba dan akhirnya dunia itu membinasakan kalian sebagaimana ia telah membinasakan mereka. (Shahih Muslim No.5261)

Hadis riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, ia berkata: Bahwa Rasulullah bersabda: Ketika seorang dari kalian memandang orang yang melebihi dirinya dalam harta dan anak, maka hendaklah ia juga memandang orang yang lebih rendah darinya, yaitu dari apa yang telah dilebihkan kepadanya. (Shahih Muslim No.5263)

Hadis riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, ia berkata: Bahwa ia mendengar Nabi bersabda: Sungguhnya ada tiga orang Bani Israel, seorang berkulit belang, seorang berkepala botak dan yang lain matanya buta. Allah ingin menguji mereka, maka Dia mengirim malaikat. Malaikat ini mendatangi orang yang berkulit belang dan bertanya: Apa yang paling kamu sukai? Orang itu menjawab: Warna (kulit) yang bagus, kulit yang indah dan sembuhnya penyakit yang membuat orang jijik kepadaku. Malaikat tersebut mengusap tubuhnya, maka penyakitnya sembuh dan ia diberi warna yang bagus dan kulit yang indah. Malaikat bertanya lagi: Harta apa yang paling kamu senangi? Orang itu menjawab: Unta. Atau: Ia menjawab: Sapi. (Ishak ragu-ragu tentang itu). Lalu ia diberi unta yang hampir melahirkan lalu malaikat berkata: Semoga Allah memberkahinya untukmu. Kemudian ia mendatangi orang yang botak lalu bertanya: Apa yang paling kamu sukai? Orang itu berkata: Rambut yang indah dan sembuhnya penyakit yang membuat orang jijik kepadaku. Malaikat mengusapnya, maka penyakitnya sembuh dan ia diberi rambut yang indah. Malaikat bertanya lagi: Harta apa yang paling kamu senangi? ia menjawab: Sapi. Maka ia diberi sapi bunting lalu malaikat berkata: Semoga Allah memberkahinya untukmu. Kemudian malaikat mendatangi yang buta, lalu bertanya: Apa yang paling kamu sukai? Ia menjawab: Allah mengembalikan penglihatanku, sehingga aku dapat melihat manusia. Maka Malaikat mengusapnya, sehingga penglihatannya kembali normal. Malaikat itu bertanya lagi: Harta apa yang paling kamu sukai? Ia menjawab: Kambing. Maka ia diberi kambing yang beranak. Selanjutnya semua binatang yang diberikan itu beranak-pinak sehingga orang yang berpenyakit belang dapat mempunyai unta satu lembah, yang botak mempunyai sapi satu lembah dan yang asalnya buta memiliki kambing satu lembah. Pada suatu ketika malaikat kembali mendatangi orang yang berpenyakit belang dalam bentuk dan cara seperti ia dahulu lalu berkata: Aku orang miskin yang telah terputus seluruh sumber rezeki dalam perjalananku, maka pada hari ini tidak ada lagi pengharapan, kecuali kepada Allah dan kamu. Demi Tuhan yang telah menganugerahimu warna yang bagus, kulit yang indah serta harta benda, aku minta seekor unta untuk membantuku dalam perjalanan. Orang itu berkata: Masih banyak sekali hak-hak yang harus kupenuhi. Maka malaikat itu berkata kepadanya: Aku seperti mengenal kamu, bukankah kamu yang dahulu berpenyakit kulit belang yang manusia jijik kepadamu, serta yang dahulu fakir lalu diberi harta oleh Allah? Orang itu berkata: Aku mewarisi harta ini secara turun-temurun. Malaikat berkata: Kalau kamu berdusta, semoga Allah menjadikan kamu seperti dahulu lagi. Setelah itu malaikat tadi mendatangi orang yang dahulu botak dalam bentuknya seperti dahulu lalu berkata kepadanya seperti apa yang dikatakannya kepada orang yang berkulit belang, dan orang itu menjawabnya seperti jawaban orang yang belang tadi. Maka malaikat berkata: Jika kamu berdusta, semoga Allah menjadikan kamu seperti dahulu lagi. Kemudian sesudah itu malaikat mendatangi orang yang dahulu buta dalam bentuk dan cara seperti dahulu lalu berkata: Aku orang miskin yang mengembara dan telah terputus seluruh sumber rezeki dalam perjalananku, maka pada hari ini tidak ada lagi pengharapan, kecuali kepada Allah dan kamu. Demi Tuhan yang telah memulihkan penglihatanmu, aku minta seekot kambing untuk membantuku dalam perjalanan. Orang itu berkata: Dahulu aku buta, lalu Allah memulihkan penglihatanku, maka ambillah apa yang kamu inginkan dan tinggalkanlah apa yang tidak kamu inginkan. Demi Allah aku tidak akan membebani kamu untuk mengembalikan sesuatu yang telah kamu ambil untuk Allah. Maka malaikat berkata: Peganglah hartamu itu semua, karena kamu sekalian hanya sekedar diuji, kamu telah diridai Tuhan, sedangkan kedua sahabatmu telah dimurkai Allah. (Shahih Muslim No.5265)

_______________________________________________________
Jika ada yg berkata, "Kamu itu sering ke Masjid tp kok masih sambat saja, apa gunanya Klo begitu ke Masjid?" ...
Subhanallah, tidakkah orang yg berkata seperti itu tahu, kalau sebenarnya manusia yg sambat itulah yang benar ...
Lo kok gitu ...?
Sebab:
1. Orang yg sambat ke manusia itu bagian dari suatu proses sambat hanya kepada Allah. Karena orang seperti ini kelak akan sadar kalau sambat kepada sesama makhluq itu rugi dan merugikan. Karena ia pasti akan dihina oleh mereka.
2. Para Nabi pun sambat, namun sambatnya hanya kepada Allah.
3. Orang yang tidak pernah sambat sedikitpun itu malah hina dan tersesat, contohnya Firaun. Firaun tidak pernah sambat kepada Allah, juga tidak kepada makhluq. Bahkan Firaun dengan sombongnya berkata, bahwa Firaun adalah tuhan semesta alam yang mahatinggi..!
4. Orang yang tidak pernah sambat, cenderung melakukan bunuh diri. Beberapa peristiwa bunuh diri, baik yg masalah sepele ataupun berat, disebabkan ia tidak pernah sambat, sehingga setan menang dalam membisikkan keburukan dalam hatinya.
5. Allah senang menerima sambatan makhluqNya. Karena itu menandakan makhlukNya itu butuh Allah. Sehingga seringkali, manusia yg taat beribadah diberi cobaan bertubi-tubi, supaya ia sering sambat dan kembali kepada Allah.
Sangat berbeda dengan makhluq yg jauh dari Allah, yg tidak pernah beribadah kepadaNya. Makhluk yg jauh dariNya malah diberikan gemerlap dan kekayaan dunia, bahkan kemudahan dalam memperoleh dunia, hingga suatu waktu yg dahsyat datang. Istidraj ...
_______________________________________________________

Bab. Wabah atau Telah Berkembang Menjadi Epidemi 

ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻨﻬﺎ ﺯﻭﺝ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻟﺖ ﺳﺄﻟﺖ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻦ اﻟﻄﺎﻋﻮﻥ ﻓﺄﺧﺒﺮﻧﻲ ﺃﻧﻪ ﻋﺬاﺏ ﻳﺒﻌﺜﻪ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﻳﺸﺎء ﻭﺃﻥ اﻟﻠﻪ ﺟﻌﻠﻪ ﺭﺣﻤﺔ ﻟﻠﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﻟﻴﺲ ﻣﻦ ﺃﺣﺪ ﻳﻘﻊ اﻟﻄﺎﻋﻮﻥ ﻓﻴﻤﻜﺚ ﻓﻲ ﺑﻠﺪﻩ ﺻﺎﺑﺮا محتسبا ﻳﻌﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺼﻴﺒﻪ ﺇﻻ ﻣﺎ ﻛﺘﺐ اﻟﻠﻪ ﻟﻪ ﺇﻻ ﻛﺎﻥ ﻟﻪ ﻣﺜﻞ ﺃﺟﺮ ﺷﻬﻴﺪ.

“Sayyidah Aisyah ra bertanya pada Nabi saw tentang tha’un (jatuhnya banyak korban wabah). Nabi saw menceritakan bahwa sesungguhnya tha’un itu merupakan adzab yang dikirim Allah swt pada siapa yang dikehendaki, dan Allah menjadikannya rahmat bagi orang-orang mukmin. Tidaklah seseorang tertimpa tha’un, lalu berdiam di tempat dengan sabar, mengisolasi diri, mengerti tidak ada yang mengenainya selain apa yang telah ditetapkan Allah padanya, kecuali baginya ada pahala seperti mati syahid” (HR. Bukhari: 4/213, no: 3287).

Perlu dicatat, menurut riwayat hadits-hadits shohih, terlebih shohih al-Bukhari, larangan keluar bagi penduduk daerah terdampak tho’un itu adalah keluar dari desa/kota, bukan dari rumah, sebagaimana yang diviralkan. Memang ada riwayat imam Ahmad bin Hanbal menggunakan redaksi (fi baitihi) sebagai ganti (fi baladihi), akan tetapi sesuai disiplin ilmu mustholah hadits, kita harus mendahulukan Imam Bukhari, yang lebih shohih. Atau begini, maksud redaksi (fi baitihi) dalam riwayat Imam Ahmad, adalah keluar dari kamar, karena lafadz bait belum tentu bermakna rumah. Jadi pemahaman hadits versi riwayat Imam Ahmad demikian: “Bagi seseorang yang terdampak tho’un, hendaknya ia mengisolasi diri dengan menetap di dalam kamar”. Karena jika hadits ini diartikan larangan keluar rumah, maka akan berkonsekuensi pada larangan sholat berjamaah, sholat jumat, pengurusan jenazah, pencarian nafkah, dan seterusnya.


إن عمر خرج إلى الشام فلما كان بسرغ بلغه أن الوباء قد وقع بالشام فأخبره عبد الرحمن بن عوف أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال إذا سمعتم به بأرض فلا تقدموا عليه وإذا وقع بأرض وأنتم بها فلا تخرجوا فرارا منه. صحيح البخاري (5/ 2164)

“Suatu ketika Umar bin Khatthab pergi ke Syam. Setelah sampai di Sargh, dia mendengar bahwa wabah penyakit sedang melanda di Syam. Maka ‘Abdurrahman bin ‘Auf mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: “Apabila kamu mendengar wabah berjangkit di suatu negeri, maka janganlah kamu datangi negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, janganlah kamu keluar dari negeri itu karena hendak melarikan diri darinya”. (Hadits Riwayat Bukhari)


Pada suatu ketika ‘Umar bin Khaththab pergi ke Syam. Setelah sampai di Saragh, pimpinan tentaranya di Syam datang menyambutnya. Antara lain terdapat Abu “Ubaidah bin Jarrah dan para sahabat yang lain. Mereka mengabarkan kepada ‘Umar bahwa wabah penyakit sedang berjangkit di Syam. Umar kemudian bermusyawarah dengan para tokoh Muhajirin, Anshor dan pemimpin Quraish.

Lalu ‘Umar menyerukan kepada rombongannya; ‘Besok pagi-pagi aku akan kembali pulang. Karena itu bersiap-siaplah kalian! ‘ Abu ‘Ubaidah bin Jarrah bertanya; ‘Apakah kita hendak lari dari takdir Allah? ‘ Jawab ‘Umar; ‘Mengapa kamu bertanya demikian hai Abu ‘Ubaidah? Agaknya ‘Umar tidak mau berdebat dengannya. Dia (Umar) menjawab; Ya, kita lari dari takdir Allah kepada takdir Allah. Bagaimana pendapatmu, seandainya engkau mempunyai seekor unta, lalu engkau turun ke lembah yang mempunyai dua sisi. Yang satu subur dan yang lain tandus. Bukankah jika engkau menggembalakannya di tempat yang subur, engkau menggembala dengan takdir Allah juga, dan jika engkau menggembala di tempat tandus engkau menggembala dengan takdir Allah? ‘

Tiba-tiba datang ‘Abdurrahman bin ‘Auf yang sejak tadi belum hadir karena suatu urusan. Lalu dia berkata; ‘Aku mengerti masalah ini. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Apabila kamu mendengar wabah berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu datangi negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, maka janganlah keluar dari negeri itu karena hendak melarikan diri.’ Ibnu ‘Abbas berkata; ‘Umar bin Khaththab lalu mengucapkan puji syukur kepada Allah, setelah itu dia pergi.’ (HR Bukhari dan Muslim).


Sebuah kisah diriwayatkan dari shahabat Amr bin Al-Ash RA, beliau berkata:
“Ketika mewabahnya penyakit, bangkitlah sahabat Abu Ubaidah bin Al-Jarrah R.A. diantara umat lalu berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya penyakit ini adalah rahmat dari Tuhan kalian dan panggilan dari Nabi kalian, juga (menyebabkan) kematian orang-orang sholih sebelum kalian, dan Abu Ubaidah memohon kepada Allah SWT agar mendapatkan bagian penyakit itu untuknya, sehingga terjangkitlah beliau dan wafatlah ia.
Lalu Muadz bin Jabal R.A. menggantikannya memimpin umat, lalu ia bersabda kepada khalayak dan berkata sebagaimana Abu Ubaidah R.A. berkata namun ia menambahkan dengan permohonan agar keluarganya pun mendapatkan penyakit tersebut, maka terjangkitilah putranya bernama Abdurrahman dan meninggallah, maka beliaupun berdoa bagi dirinya maka terjangkitilah ia seraya berkata: “Dengan ini, aku tidak mencintai sedikitpun bagianku di dunia.” lalu wafatlah beliau.
Dan kemudian digantikan oleh Amru bin Al-Ash R.A., ketika menjadi pemimpin menggantikan pendahulunya namun berbeda pandangan dengan mereka, beliau berseru kepada khalayak umat dengan mengatakan:

أيها الناس ! إن هذا الوجع إذا وقع فإنما يشتعل اشتعال النار فتحصّنوا منه في الجبال.

“Wahai manusia, sesungguhnya penyakit ini apabila menimpa maka ia akan bekerja bagaikan bara api maka bentengilah dari penyakit ini dengan berlari ke gunung-gunung.” (Diriwayatkan dari Imam Ibn Hajar Al-Asqalani dalam kitab Badzlul Maa’un hal 163)

Dalam riwayat yang lain, Amr bin Ash berkata: "Wahai sekalian manusia, penyakit ini menyebar layaknya kobaran api. Jaga jaraklah dan berpencarlah kalian dengan menempatkan diri di gunung-gunung."
Mereka pun berpencar dan menempati di gunung-gunung. Akhirnya, wabah pun berhenti layaknya api yang padam karena tidak bisa lagi menemukan bahan yang dibakar.

Namun wabah itu berhenti setelah  sekitar 25 ribu orang wafat (ada yang mengatakan 30 ribu yang wafat) karena wabah Tha'un yang jumlahnya hampir separuh penduduk Syam ketika itu.

Keterangan:
Terjadi perbedaan pendapat dikalangan para sahabat Nabi SAW terdekat. Yakni kubu Abu ubaidah ra dan Muadz bin jabal dengan kubu Umar bin khattab dan Amr bin Ash.
Masing2 punya argumen sendiri dan masing2 saling menghormati perbedaan itu. Hal ini terlihat bahwa Umar tidak mau mendebat Abu ubaidah yang berbeda pendapat dengannya.
Akhirnya Abu ubaidah dan Muadz bin jabal wafat terkena wabah itu, BUKAN karena tertular, namun karena doa yang dipanjatkan oleh keduanya. Yakni supaya terkena wabah dan syahid.

Jangan Menyentuh ataupun Bersalaman
Rasululullah SAW pernah menolak bersalaman dengan seorang lelaki dari delegasi Tsaqif, yang menderita kusta, yang hendak baiat kepada Nabi Muhammad SAW.
وَأَخْرَجَ مُسْلِمٌ مِنْ حَدِيثِ عَمْرِو بْنِ الشَّرِيدِ الثَّقَفِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ فِي وَفْدِ ثَقِيفٍ رَجُلٌ مَجْذُومٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا قَدْ بَايَعْنَاكَ فَارْجِعْ.

“Dalam delegasi Tsaqif (yang akan dibai’at Rasulullah SAW) terdapat seorang laki-laki berpenyakit kusta. Maka Rasulullah mengirim seorang utusan supaya mengatakan kepadanya: “Kami telah menerima bai’at Anda. Karena itu Anda boleh pulang.” (HR. Muslim).

Pisahkan yang Sehat dan yang Sakit
لاَ يُورِدَنَّ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحٍّ

“Janganlah pemilik unta membawakan untanya yang sakit kepada pemilik unta yang sehat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

وَفِرَّ مِنَ المَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ الأَسَدِ

“Dan larilah kamu dari orang yang terkena penyakit kusta sebagaimana kamu lari dari singa.” (HR. Bukhari)

Menurut Ibnu Rajab Al Hanbaliy rahimahullah, bahwa larangan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
1. Larangan mendatangkan unta yang sakit kepada unta yang sehat,
2. Perintah Beliau untuk melarikan diri dari orang yang terkena penyakit kusta,
3. Dan larangan masuk ke negeri yang sedang mewabah penyakit tha’un adalah termasuk menjauhi sebab yang Allah Ta’ala jadikan sebagai sebab kebinasaan atau bahaya. Dan seorang hamba diperintahkan menjauhi sebab-sebab bala-musibah jika dirinya ingin terhindar darinya. Nah, oleh karena dia juga diperintahkan untuk Tidak menjatuhkan dirinya ke dalam air, api, atau ke tempat-tempat roboh dan sebagainya yang menurut kebiasaan membuatnya binasa atau terkena bahaya, maka demikian pula diperintahkan menjauhi orang yang sakit seperti kusta, atau larangan untuk mendatangi negeri yang tersebar wabah tha’un di dalamnya.
Ini semua merupakan sebab terkena penyakit dan kebinasaan (oleh karena itu jauhilah), dan Allah Ta’ala Dialah Pencipta sebab dan musabbabnya, tidak ada Pencipta selain Dia dan tidak ada pengatur selain Dia.” (Lihat Latha’iful Ma’arif pada pembahasan Wazhifah Syahri Shafar).

Tertimpa thaun adalah Syahid
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا تَعُدُّونَ الشَّهِيدَ فِيكُمْ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَهُوَ شَهِيدٌ قَالَ إِنَّ شُهَدَاءَ أُمَّتِي إِذًا لَقَلِيلٌ قَالُوا فَمَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ مَاتَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ مَاتَ فِي الطَّاعُونِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ مَاتَ فِي الْبَطْنِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَالغَرِيْقُ شَهِيدٌ Artinya, “Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bertanya (kepada sahabatnya), ‘Siapakah orang yang mati syahid di antara kalian?’ Mereka menjawab, ‘Orang yang gugur di medan perang itulah syahid ya Rasulullah,.’ Rasulullah SAW merespons, ‘Kalau begitu, sedikit sekali umatku yang mati syahid.’ Para sahabat bertanya ‘Mereka itu siapa ya Rasul?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Orang yang gugur di medan perang itu syahid, orang yang mati di jalan Allah (bukan karena perang) juga syahid, orang yang tertimpa tha‘un (wabah) pun syahid, orang yang mati karena sakit perut juga syahid, dan orang yang tenggelam adalah syahid,’” (HR Muslim).


Jangan gegabah melarang aktifitas sholat berjama’ah dan sholat jum’ah hingga menyebabkan pengosongan dan penutupan masjid, terlebih Ka’bah dan Masjid Nabawi, apa kalian tidak takut ancaman Allah SWT dalam firmannya:

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ مَنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَنْ يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ وَسَعَى فِي خَرَابِهَا أُولَئِكَ مَا كَانَ لَهُمْ أَنْ يَدْخُلُوهَا إِلَّا خَائِفِينَ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ[البقرة: 114]

“Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang melarang di dalam masjid-masjid Allah untuk menyebut nama-Nya, dan berusaha merobohkannya? Mereka itu tidak pantas memasukinya kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka mendapat kehinaan di dunia dan di akhirat mendapat azab yang berat”. (Q.S. Al Baqarah : 114)

Al-Imam al-Sya’bi, ulama salaf dari generasi tabi’in, رحمه الله تعالى berkata:

كَانُوا إِذَا فَرَغُوا مِنْ شَيْءٍ أَتَوُا الْمَسَاجِدَ

“Mereka (para sahabat) apabila ketakutan tentang sesuatu, maka mendatangi masjid” (Al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman (juz 3 hlm 84 2951)


Jangan menuduh masjid sebagai tempat penularan wabah...!
Lihatlah bagaimana interaksi manusia dengan yang lainnya, yakni ketika berbelanja, ke toko, restoran, warung, supermarket dan yang lainnya. Bukankah lebih berbahaya  interaksi belanja dan jual beli yang tentunya harus bercakap2, ngobrol dan bahkan bersin didepannya.
Suatu aktivitas yang tidak kita dapatkan di masjid, sehingga relatif masjid lebih aman (tanpa ngobrol, dan tanpa bersin dihadapan orang dll, sebab semua menghadap kiblat dan TIDAK saling berhadapan seperti pada aksi jual beli).
Masjid itu tempat bercakap2 dengan Allah bukan dengan manusia, tempat berdzikir, tempat meminta ampun dan beribadah. Sehingga dari Masjidlah Rahmat Allah turun.
Subhanallah...


Tambahan:
Para syuhadaa' dari kalangan sahabat Nabi yang meninggal karena tha'un amwas tahun 18 hijriyah:
1. Abu 'Ubaidah bin Al-Jarrah (Gubernur Syam)
2. Al-Fadhl bin Al-'Abbaas bin 'Abdil-Muthallib
3. Syurahbiil bin Hasanah
4. Mu'aadz bin Jabal Al-Khazrajiy (Gubernur Syam, pengganti Abu 'Ubaidah)
5. 'Abdurrahman bin Mu'aadz bin Jabal (Anak Mu'adz bin Jabal)
6. Al-Haarits bin Hisyaam Al-Makhzuumiy
7. 'Amru bin Suhail Al-'Aamiriy
8. Abu Jandal bin 'Amru bin Suhail
9. 'Inabah bin 'Amru bin Suhail
10. 'Aamir bin Ghailaan Ats-Tsaqafiy
11. 'Ammaar bin Ghailaan Ats-Tsaqafiy
12. Nash rbin Ghaanim Al-'Adawiy
13. Hudzaafah bin Nashr Al-'Adawiy
14. Salamah bin Nashr Al-'Adawiy
15. Shakhr bin Nashr Al-'Adawiy
16. Shukhair bin Nashr Al-'Adawiy
17. Hamthath bin Syuraiq Al-'Adawiy
18. Waail bin Riab Al-'Adawiy
19. Ma'mar bin Riab
20. Habiib bin Riab
radliyallaahu 'anhum ajma'iin.


》Siapakah Abu ubaidah ra dan Muadz bin jabal ra, sehingga Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra, merasa segan terhadap mereka dan tidak mau berdebat?


*Siapakah Abu Ubaidah bin Jarrah?
Nama lengkapnya Amir bin Abdullah bin Jarrah Al-Fihry Al-Quraiys, namun lebih dikenal dengan Abu Ubaidah bin Jarrah. Wajahnya selalu berseri, matanya bersinar, ramah kepada semua orang, sehingga mereka simpati kepadanya. Di samping sifatnya yang lemah lembut, dia sangat tawadhu dan pemalu. Tapi bila menghadapi suatu urusan penting, ia sangat cekatan bagai singa jantan.

Abdullah bin Umar pernah berkata tentang orang-orang yang mulia. "Ada tiga orang Quraiys yang sangat cemerlang wajahnya, tinggi akhlaknya dan sangat pemalu. Bila berbicara mereka tidak pernah dusta. Dan apabila orang berbicara, mereka tidak cepat-cepat mendustakan. Mereka itu adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Utsman bin Affan, dan Abu Ubaidah bin Jarrah."

Abu Ubaidah termasuk kelompok pertama sahabat yang masuk Islam. Dia masuk Islam atas ajakan Abu Bakar Ash-Shiddiq, sehari setelah Abu Bakar masuk Islam. Waktu menemui Rasulullah SAW, dia bersama-sama dengan Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Mazh'un dan Arqam bin Abi Arqam untuk mengucapkan syahadat di hadapan beliau. Oleh sebab itu, mereka tercatat sebagai pilar pertama dalam pembangunan mahligai Islam yang agung dan indah.

Dalam kehidupannya sebagai Muslim, Abu Ubaidah mengalami masa penindasan yang kejam dari kaum Quraiys di Makkah sejak permulaan sampai akhir. Dia turut menderita bersama kaum Muslimin lainnya. Walau demikian, ia tetap teguh menerima segala macam cobaan, tetap setia membela Rasulullah SAW dalam tiap situasi dan kondisi apa pun.

Dalam Perang Badar, Abu Ubaidah berhasil menyusup ke barisan musuh tanpa takut mati. Namun tentara berkuda kaum musyrikin menghadang dan mengejarnya. Kemana pun ia lari, tentara itu terus mengejarnya dengan beringas. Abu Ubaidah menghindar dan menjauhkan diri untuk bertarung dengan pengejarnya. Ketika si pengejar bertambah dekat, dan merasa posisinya strategis, Abu Ubaidah mengayunkan pedang ke arah kepala lawan. Sang lawan tewas seketika dengan kepala terbelah.

Siapakah lawan Abu Ubaidah yang sangat beringas itu? Tak lain adalah Abdullah bin Jarrah, ayah kandungnya sendiri! Abu Ubaidah tidak membunuh ayahnya, tapi membunuh kemusyrikan yang bersarang dalam pribadi ayahnya.

Berkenaan dengan kasus Abu Ubaidah ini, Allah SWT berfirman: "Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung." (QS Al-Mujaadalah: 23)

Ayat di atas tidak membuat Abu Ubaidah besar kepala dan membusungkan dada. Bahkan menambah kokoh imannya kepada Allah dan ketulusannya terhadap agama-Nya. Orang yang mendapatkan gelar "kepercayaan umat Muhammad" ini ternyata menarik perhatian orang-orang besar, bagaikan magnet yang menarik logam di sekitarnya.

Pada suatu ketika, utusan kaum Nasrani datang menghadap Rasulullah seraya berkata, "Wahai Abu Qasim, kirimlah kepada kami seorang sahabat anda yang pintar menjadi hakim tentang harta yang menyebabkan kami berselisih sesama kami. Kami senang menerima putusan yang ditetapkan kaum Muslimin."

"Datanglah sore nanti, saya akan mengirimkan kepada kalian 'orang kuat yang terpercaya'," kata Rasulullah SAW.

Umar bin Al-Khathab berujar, "Aku ingin tugas itu tidak diserahkan kepada orang lain, karena aku ingin mendapatkan gelar 'orang kuat yang terpercaya'."

Selesai shalat, Rasulullah menengok ke kanan dan ke kiri. Umar sengaja menonjolkan diri agar dilihat Rasulullah. Namun beliau tidak menunjuknya. Ketika melihat Abu Ubaidah, beliau memanggilnya dan berkata, "Pergilah kau bersama mereka. Adili dengan baik perkara yang mereka perselisihkan!"

Abu Ubaidah berangkat bersama para utusan tersebut dengan menyandang gelar "orang kuat yang terpercaya".

Abu Ubaidah selalu mengikuti Rasulullah berperang dalam tiap peperangan yang beliau pimpin, hingga beliau wafat.

Dalam musyawarah pemilihan khalifah yang pertama (Al-Yaum Ats-Tsaqifah), Umar bin Al-Khathab mengulurkan tangannya kepada Abu Ubaidah seraya berkata, "Aku memilihmu dan bersumpah setia, karena aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, 'Sesungguhnya tiap-tiap umat mempunyai orang kepercayaan. Dan orang paling dipercaya dari umat ini adalah engkau."

Abu Ubaidah menjawab, "Aku tidak mau mendahului orang yang pernah disuruh Rasulullah untuk mengimami kita shalat sewaktu beliau hidup—Abu Bakar Ash-Shiddiq. Walaupun sekarang beliau telah wafat, marilah kita imamkan juga dia."

Akhirnya mereka sepakat untuk memilih Abu Bakar menjadi khalifah pertama, sedangkan Abu Ubaidah diangkat menjadi penasihat dan pembantu utama khalifah.

Setelah Abu Bakar wafat, jabatan khalifah pindah ke tangan Umar bin Al-Khathab. Abu Ubaidah selalu dekat dengan Umar dan tidak pernah menolak perintahnya. Pada masa pemerintahan Umar, Abu Ubaidah memimpin tentara Muslimin menaklukkan wilayah Syam (Suriah). Dia berhasil memperoleh kemenangan berturut-turut, sehingga seluruh wilayah Syam takluk di bawah kekuasaan Islam, dari tepi sungai Furat di sebelah timur hingga Asia kecil di sebelah utara.

Abu Ubaidah meninggal dunia karena terkena penyakit menular yang mewabah di Syam. Menjelang wafatnya, ia berwasiat kepada seluruh prajuritnya, "Aku berwasiat kepada kalian. Jika wasiat ini kalian terima dan laksanakan, kalian tidak akan sesat dari jalan yang baik, dan senantiasa dalam keadaan bahagia. Tetaplah kalian menegakkan shalat, berpuasa Ramadhan, membayar zakat, dan menunaikan haji dan umrah. Hendaklah kalian saling menasihati sesama kalian, nasihati pemerintah kalian, dan jangan biarkan mereka tersesat. Dan janganlah kalian tergoda oleh dunia. Walaupun seseorang berusia panjang hingga seribu tahun, dia pasti akan menjumpai kematian seperti yang kalian saksikan ini."

Kemudian dia menoleh kepada Mu'adz bin Jabal, "Wahai Muadz, sekarang kau yang menjadi imam (panglima)!"

Tak lama kemudian, ruhnya meninggalkan jasad untuk menjumpai Tuhannya.

Dalam kisah yang lain:
Abu Ubaidah, sahabat Nabi yang mendapat julukan “Amiinu Haadzihil Ummah” (Orang Terpercaya umat ini), sejak masa Abu Bakar, diandalkan untuk memimpin pasukan dalam pembebasan Syam. Kepemimpinannya di negeri yang Allah berkahi ini, terus berlangsung sampai masa Umar bin Khattab. Loyalitas dan ketaatannya kepada Khalifah tidak diragukan lagi. Hanya sekali ia tidak sesuai dengan keinginan khalifah. Yakni ketika Umar menyuratinya untuk datang ke Madinah dan meninggalkan bumi Syam yang sedang terkena wabah, ia justru menolak permintaan tersebut.
Abu Ubaidah mengerti maksud Umar. Tapi, ia tidak ingin menyelamatkan diri sendiri dan meninggalkan pasukannya. Ia balas surat Umar dengan memohon agar dibebaskan dari perintah tersebut. Saat membaca balasan itu, Umar menangis sehingga orang-orang mengira Abu Ubaidah telah wafat. “Belum” kata Umar. “Tetapi, sepertinya, ajal telah mendekati dirinya.”
Tak lama kemudian, firasat Umar menjadi kenyataan. Aminu Hadizhil Ummah yang memang positif terserang penyakit tho’un, telah bersiap menjemput ajalnya. Ia berpesan kepada pasukan yang dipimpinnya untuk senantiasa menunaikan sholat, berlaku jujur dan mentaati pimpinan. Setelah wasiat-wasiat itu ia sampaikan, ia menghadap Mu’adz bin Jabal seraya berkata, “Wahai Mu’adz, pimpinlah kami sholat.”
Dalam sholat itulah Abu Ubaidah mengakhiri kehidupannya di dunia ini dengan indah. Gugurlah ia menyandang gelar syahid. Innaa Lillaahi wa Inaa ilaihi Raji’un..


**Siapakah Mu'adz bin jabal?
Dia seorang pemuda Anshar yang menjadi senior dan tokoh bukan karena usia. Ia adalah pemimpinnya para ulama di akhirat kelak. Dialah yang disebut oleh Nabi Muhammad sebagai orang yang paling tahu tentang halal dan haram. Dialah Muadz bin Jabal al-Anshari radhiallahu ‘anhu.

>Mengenal Muadz

Nama dan nasabnya adalah Muadz bin Jabal bin Amr bin Aus. Kabilah Aus merupakan salah satu kabilah besar yang terpandang di Kota Madinah. Adapun kun-yahnya adalah Abu Abdurrahman. Ia memeluk Islam di usia masih sangat belia, 18 tahun. Di antara peristiwa bersejarah yang melibatkan namanya adalah peristiwa Baiat Aqabah. Muadz bersama 70 orang Yatsrib lainnya berjanji akan menyediakan tempat baru di negeri mereka, kalau Rasulullah dan para sahabat benar-benar akan berhijrah. Ia turut serta pula dalam Perang Badar dan seluruh perang yang diikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari sini kita mengetahui, usia muda bukanlah penghalang untuk taat kepada Allah. Bukan penghalang melakukan amalan besar di dunia dan akhirat.

Muadz bin Jabal merupakan pemuda yang memiliki kedudukan besar di hati Nabi. Di antara hal yang menunjukkan hal itu adalah Nabi pernah memboncengnya. Pernah memegang tangannya sambIl berkata,

يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّى لأُحِبُّكَ وَاللَّهِ إِنِّى لأُحِبُّكَ

“Wahai Mu’adz, demi Allah, sesungguhnya aku mencintaimu, sungguh aku mencintaimu.” (HR. Abu Daud no. 1522 dan An Nasai no. 1304. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Walaupun usia Muadz masih sangat muda, ia memiliki wawasan keislaman yang luas. Buktinya Nabi mengutusnya berdakwah ke Yaman setelah Perang Tabuk. Beliau antar Muadz ke ujung jalan sambil berjalan kaki, sementara Muadz berada di tunggangan.

Di antara anak-anaknya adalah Abdurrahman, Ummu Abdullah, dan anak-anak lainnya yang tidak disebutkan oleh sejarawan nama-nama mereka.

Dari Abu Bahriyah Yazid bin Qutaib as-Sakuni, ia berkata, “Aku memasuki Masjid Homs (salah satu kota di Suriah sekarang). Kulihat seorang pemuda keriting dikelilingi orang-orang. Kalau ia berbicara, seakan cahaya dan mutiara keluar dari lisannya. Aku bertanya, Siapa orang itu?” Orang-orang menjawab, “Muadz bin Jabal.” (Hilyatul Auliya oleh Abu Nu’aim, No: 815)

Dari Abu Muslim al-Khaulani, ia berkata, “Aku memasuki Masjid Damaskus. Ternyata kulihat ada sebuah halaqah besar diampu oleh salah seorang sahabat Nabi Muhammad. Ternyata ia seorang pemuda. Ia bercelak mata. Gigi serinya putih bersih. Jika orang-orang berbeda pendapat tentang satu hal mereka tanyakan pada pemuda tersebut. Aku bertanya pada orang di sebelahku, ‘Siapa dia?’” Mereka menjawab, “Itu adalah Muadz bin Jabal.” (Hilyatul Auliya oleh Abu Nu’aim, No: 813).

Dari al-Waqidi, guru-gurunya menyampaikan, “Muadz adalah seorang yang tinggi, putih, rambutnya indah, matanya besar, alisnya bersambung, dan berisi badannya.” (Shifatu ash-Shafwah, 1/186).

>Kedekatan dengan Nabi

Sejak Nabi hijrah ke Madinah, Muadz intens berguru pada Nabi (mulazamah). Ia belajar Alquran dan ilmu-ilmu syariat langsung dari sumbernya. Hingga ia menjadi seorang yang paling fasih bacaan Alqurannya di antara para sahabat. Dan termasuk yang paling berilmu tentang hukum-hukum agama. Muadz merupakan salah satu dari enam penghafal Alquran terbaik di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Muadz bin Jabal radhiallahu ‘anhu berkata, “Suatu hari, Rasulullah menggamit tanganku. Beliau bersabda,

يا معاذ، والله إني لأحبك

“Hai Muadz, demi Allah sungguh aku benar-benar mencintaimu.”

Aku menjawab,

بأبي أنت وأمي، والله إني لأحبك

“Ibu dan ayahku menjadi tebusan, demi Allah sungguh aku juga benar-benar mencintaimu.”

Beliau bersabda,

يا معاذ، إني أوصيك، لا تدعَنَّ أن تقول دبر كل صلاة: اللهم أعنِّي على ذكرك وشكرك وحسن عبادتك

“Hai Muadz, aku ingin memberi wasiat padamu. Jangan sampai kau lewatkan untuk membaca di setiap usai shalat, ‘Allahumma A’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatika (Ya Allah, bantulah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu).” (Hadits Shahih riwayat Abu Dawud).

Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiallahu ‘anhu berkata bahwa Muadz bin Jabal hendak bersafar.

وعن عبد الله بن عمرو بن العاص، أن معاذ بن جبل أراد سفرًا فقال: يا نبي الله، أوصني. قال: “اعبد الله لا تشرك به شيئًا”. قال: يا نبي الله، زدني. قال: “إذا أسأت فأحسن”. قال: يا رسول الله، زدني. قال: “استقم وليحسن خلقك”.

Muadz berkata, “Wahai Nabi Allah, beri aku wasiat.” Nabi bersabda, “Sembahlah Allah dan jangan kau sekutukan dengan sesuatu apapun.” Muadz kembali berkata, “Wahai Nabi Allah, tambahkan lagi.” Beliau bersabda, “Jika kau meminta (bertanya), lakukanlah dengan baik.” “Tambahkan lagi”, pinta Muadz. “Istiqomahlah dan perbaguslah akhlakmu.” (Shahih Ibnu Hibban, Kitab al-Bir wa al-Ihsan, No: 529).

>Pujian Rasulullah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang selektif dalam memuji. Beliau memberi pujian bukan sekadar basa-basi. Karena pujian beliau adalah sebuah rekomendasi. Menunjukkan bahwa orang yang dipuji bisa dijadikan rujukan bagi umatnya. Di antara sahabat yang banyak dipuji oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Muadz bin Jabal radhiallahu ‘anhu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أعلم أمتي بالحلال والحرام معاذ بن جبل

“Umatku yang paling tahu tentang halal dan haram adalah Muadz bin Jabal.” (HR. Turmudzi 4159, Ibn Hibban 7137 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

نعم الرجل أبو بكر، نعم الرجل عمر، نعم الرجل أبو عبيدة، نعم الرجل أسيد بن حُضير، نعم الرجل ثابت بن قيس بن شماس، نعم الرجل معاذ بن عمرو بن الجموح، نعم الرجل معاذ بن جبل

“Pria terbaik adalah Abu Bakr, Umar, Abu Ubaidah, Usaid bin Hudhair, Tsabit bin Qais bin Syammas, Mu’adz bin Amru ibnul Jamuh, dan Mu’adz bin Jabal.” (Ash Shahihah (875))

Dalam sabdanya yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji Muadz:

اسْتَقْرِئُوا الْقُرْآنَ مِنْ أَرْبَعَةٍ: مِنِ ابْنِ مَسْعُودٍ، وَسَالِمٍ، مَوْلَى أَبِي حُذَيْفَةَ، وَأُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، وَمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ

“Belajarlah Alquran dari empat orang: Ibnu Mas’ud, Salim maula Abu Hudzaifah, Ubay bin Ka’ab, dan Muadz bin Jabal.” (HR. Muslim).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa di hari kiamat, Muadz berada jauh di depannya para ulama. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنه يأتي يوم القيامة إمام العلماء بربوة

“Sesungguhnya di datang pada hari kiamat nanti sebagai pimpinan para ulama. Di depan mereka sejauh lemparan yang jauh.” (HR. al-Hakim)

>Diutus Ke Yaman

Dari Ashim bin Humaid bahwa Muadz bin Jabal mengisahkan, “Tatkala Rasulullah mengutusku ke Yaman, Rasulullah keluar mengantar dan memberi wasiat. Muadz berada di atas tunggangannya. Sementara Rasulullah berjalan mengiringinya. Saat hendak berpisah, beliau bersabda,

يا معاذ، إنك عسى ألا تلقاني بعد عامي هذا، ولعلك تمر بمسجدي هذا وقبري

‘Hai Muadz, bisa jadi kau tak akan berjumpa lagi denganku selepas tahun ini. Engkau lewat di masjidku dan di sini kuburku.’

Muadz pun menangis. Ia takut berpisah dengan Nabi. Kemudian Nabi berbalik ke arah Madinah. Beliau bersabda,

إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِي الْمُتَّقُوْنَ ، مَنْ كَانُوْا وَحَيْثُ كَانُوْا

“Sesungguhnya orang-orang yang paling utama disisiku adalah orang yang bertakwa, siapapun dan dimanapun mereka.” (HR. Ahmad).

>Pujian Para Sahabat

Asy-Sya’bi (tabi’in) berkata,  “Faurah bin Naufal al-Asyja’i menyampaikan kepadaku bahwa Abdullah bin Mas’ud berkata, “Sesungguhnya Muadz bin Jabal adalah seorang yang patuh kepada Allah (qanit) dan hanif. Ada yang berkata,

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِّلَّهِ حَنِيفًا

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif.” [Quran An-Nahl: 120].

Aku tidak lupa. Apakah kau tahu apa yang dimaksud dengan umat? Dan apa juga makna Qanit? Faurah berkata, “Allahu a’lam.” Ibnu Mas’ud berkata, “Umat adalah yang mengetahui kebaikan. Sedangkan qanit adalah yang tunduk patuh kepada Allah Azza wa Jallah dan Rasul-Nya. Dan Muadz bin Jabal adalah orang yang paling mengetahui kebaikan. Dan dia juga seorang yang patuh kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya.” (Tafsir ath-Thabari)

Syahr bin Hausyab berkata, “Apabila para sahabat nabi berbicara (menyampaikan hadits), mereka melihat ke arah Muadz sebagai penghormatan padanya.” (Hilyatul Awliya’ oleh Abu Nu’aim)

>Zuhud dan Wara’

Malik ad-Dari mengisahkan bahwa Umar bin al-Khattab mengambil uang sebanyak 400 Dinar. Lalu ia masukkan dalam satu bungkusan. Umar berkata pada budak laki-lakinya, “Pergilah! Bawa ini untuk Abu Ubaidah bin al-Jarah. Singgahlah sebentar, lihat apa yang akan ia dilakukan.”

Budak itu berangkat. Sesampainya di sana, ia berkata, “Amirul Mukminin berpesan padamu agar sebagian uang ini dimanfaatkan untuk kebutuhanmu.” Abu Ubaidah berkata, “Semoga Allah menyambung dan merahmatinya.” Kemudian ia memanggil budak perempuannya, “Kemarilah hai Jariyah (budak perempuan). Bawa 7 dari uang ini menuju si Fulan. Lima untuk si Fulan. Lima lagi untuk si Fulan. Sampai uang tersebut habis.”

Budak laki-laki Umar pun kembali menuju tuannya. Ia mengabarkan apa yang ia lihat. Kemudian Umar juga menyiapkan sejumlah uang yang sama untuk Muadz bin Jabal. Ia berkata, “Bawa ini menuju Muadz bin Jabal. Singgahlah sebentar. Perhatikan apa yang ia lakukan.”

Budak itu berangkat membawa uang tersebut. Sesampainya di tempat Muadz, ia berkata, “Amirul Mukminin berpesan padamu agar sebagian dari uang ini dipakai untuk memenuhi kebutuhanmu.” Muadz berkata, “Semoga Allah merahmati dan menyambungnya. Kemarilah Jariyah (budak perempuan). Bawa sejumlah uang ini menuju rumah Fulan. Pergilah ke rumah Fulan dengan uang sekadar ini.” Kemudian istrinya datang. Ia berkata, “Demi Allah, aku juga adalah orang yang membutuhkan. Berilah juga untukku.” Saat itu, tidak tersisa di kantong kecuali dua Dinar saja. Muadz menyerahkan dua Dinar itu untuk istrinya. Kemudian budak itu kembali menuju Umar. Ia kabarkan apa yang ia lihat. Umar berkomentar, “Mereka itu adalah saudara. Sebagian mereka bagian dari yang lain.” (Siyar A’lam an-Nubala, 1/456). Demikianlah zuhudnya Muadz terhadap dunia.

Yahya bin Said mengatakan, “Muadz memiliki dua orang istri. Apabila ia berada di salah satu rumah istrinya, ia tidak akan minum air dari rumah yang lain.” (Hilyatul Aulia oleh Abu Nu’aim No: 823). Inilah bentuk kehati-hatian (wara’) Muadz. Ia tidak ingin zalim kepada salah seorang istrinya walaupun hanya mengecap air dari rumah yang bukan menjadi gilirannya.

Yahya bin Said juga menuturkan bahwa Muadz bin Jabal memiliki dua orang istri. Pada saat hari giliran salah seorang istrinya, ia tidak berwudhu di rumah yang lain. Kemudian kedua istrinya wafat karena wabah di Syam. Orang-orang pun dalam keadaan sibuk. Ia makamkan keduanya di satu liang. Lalu ia undi, siapa yang dikedepankan diletakkan dalam kubur.” (Hilyatul Auliya).

Tsaur bin Yazid mengatakan, “Apabila Muadz mengerjakan tahajud di malam hari, ia berkata,

اللهم قد نامت العيون وغارت النجوم وأنت حي قيوم: اللهم طلبي للجنة بطيء، وهربي من النار ضعيف، اللهم اجعل لي عندك هدى ترده إلي يوم القيامة إنك لا تخلف الميعاد.

“Ya Allah, mata-mata telah terlelap. Bintang-bintang telah terbenam. Dan Engkaulah Yang Maha Hidup dan Senantiasa mengurusi hamba-hamba-Mu. Ya Allah, usahaku untuk mengejar surga begitu lambat. Dan lariku dari neraka begitu lemah. Ya Allah, berilah petunjuk untukku yang ada di sisi-Mu hingga hari kiamat. sesungguhnya Engkau tidak menyelisihi janji.” (Hilyatul Auliya, No: 823).

Ibnu Ka’ab bin Malik berkata, “Muadz bin Jabal adalah seorang pemuda yang tampan dan santun. Ia adalah salah satu pemuda terbaik di kaumnya. Tidaklah ia dipinta sesuatu pasti ia berikan.” (Hilyatul Auliya, No: 817).

>Nasihat-Nasihat Muadz

Dari Muawiyah bin Qurah, Muadz bin Jabal radhiallahu ‘anhu berkata pada anaknya, “Anakku, apabila engkau shalat, shalatlah seakan itu shalat terakhirmu. Jangan berpikir kalau kau nanti akan berkesempatan mengerjakannya kembali. Ketauhilah anakku, seorang mukmin itu mati di antara dua kebaikan. Kebaikan yang telah ia kerjakan dan kebaikan yang akan ia kerjakan.” (Hilyatul Auliya oleh Abu Nu’aim, No: 824).

Dari Abu Idris al-Khaulani, Muadz bin Jabal radhiallahu ‘anhu berkata, “Setiap engkau bersama -orang-orang, pastilah mereka membicarakan suatu hal. Apabila kau lihat mereka lalai, bersemangatlah engkau menuju Rabmu.” (Hilyatul Auliya oleh Abu Nu’aim, No: 834). Maksudnya saat orang-orang lalai, engkau tetap mengingat Rabbmu. Karena terdapat keutamaan mengingat Allah di saat kebanyakan orang melalaikannya.

Dari Asy’ats bin Sulaim, dari Raja’ bin Haiwah, Muadz bin Jabal berkata, “Kalian telah diuji dengan kesulitan, kalian mampu bersabar. Nanti kalian akan diuji dengan kesenangan. Dan yang paling aku takutkan atas kalian adalah ujian wanita. Kalian diliputi emas dan kaum wanita memakai Riyath (jenis pakaian) Syam, dan kain Yaman. Mereka membuat lelah orang-orang kaya. Dan membuat yang miskin terbebani.” (Hilyatul Auliya oleh Abu Nu’aim, No: 839).

>Sakit dan Wafat

Thariq bin Abdurrahman mengisahkan bahwa tersebar wabah kolera di Syam. Saking rata penyebarannya, sampai orang-orang berkomentar, ‘Ini adalah banjir. Hanya saja tak ber-air’. Komentar ini sampai ke telinga Muadz, ia pun berkhotbah, ‘Telah sampai padaku apa yang kalian ucapkan. Tapi, ini adalah rahmat dari Rab kalian dan doa Nabi kalian. Seperti kematian orang shaleh sebelum kalian. Mereka takut dengan sesuatu yang lebih buruk dari ini. Yaitu seseorang keluar dari rumahnya di pagi hari dalam keadaan tidak tahu apakah ia beriman atau munafik. Dan mereka takut kepemimpinan anak-anak kecil (yang tidak kompeten)’.” (Shifatu ash-Shafwah, 1/189).

Abdullah bin Rafi’ berkata, “Saat Abu Ubaidah bin al-Jarah wafat karena wabah kolera. Orang-orang mengangkat Muadz bin Jabal sebagai pemimpin. Sakitnya bertambah parah. Orang-orang berkata pada Muadz, ‘Berdoalah kepada Allah untuk menghilangkan kotoran (wabah) ini’. Muadz menjawab, ‘Ini bukanlah kotoran. Tapi ini adalah doa nabi kalian. Dan keadaan wafatnya orang-orang shaleh dan syuhada sebelum kalian. Allah mengistimewakan siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya di antara kalian. Masyarakat sekalian, ada empat hal yang kalau kalian mampu untuk tidak bertemu sedikit pun dari empat hal ini, lakukanlah’.

Mereka bertanya, ‘Apa itu?’

Muadz menjawab, ‘Akan datang suatu masa dimana kebatilan begitu dominan. Sehingga seseorang di atas agamanya bertemu dengan yang lain, orang itu berkata, ‘Demi Allah, aku tak tahu sedang sakit apa aku ini. Aku tidak merasakan hidup di atas petunjuk. Tidak pula mati di atasnya. Seseorang memberi orang lain harta dari harta-harta Allah dengan syarat mereka mengucapkan kedustaan yang membuat Allah murka. Ya Allah, datangkanlah untuk keluarga Muadz ketentuan untuk mereka. Dan sempurnakanlah rahmat ini’.

Anak Muadz berseloroh, ‘Bagaimana kau anggap (wabah) ini sesuatu yang ingin segera didatangkan dan rahmat?’

Muadz berkata, ‘Wahai anakku (beliau nukilkan firman Allah),

الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ

“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” [Quran Al-Baqarah: 147].

Anaknya menjawab, ‘Aku (ia menukil firman Allah)

سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

“Insyaallah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” [Quran Ash-Shaffat: 102]

Kemudian kedua istrinya terkena wabah ini. Keduanya wafat. Sementara Muadz, terjangkiti wabah ini di jempolnya. Ia usap dengan mulutnya sambil berkata, “Ya Allah, sesungguhnya ini kecil. Berkahilah. Sesungguhnya Engkau Maha memberi keberkahan pada yang kecil.” Muadz pun wafat karena wabah ini.

Sejarawan sepakat bahwa Muadz bin Jabal radhiallahu ‘anhu wafat karena penyakit tha’un (kolera). Ia wafat di sebuah wilayah di Yordania (Syam) pada tahun 28 H. Adapun usianya saat wafat, sejarawan berbeda pendapat. Pendapat pertama menyatakan ia wafat saat berusia 38 tahun. Dan pendapat lainnya menyatakan 33 tahun. Semoga Allah meridhai dan merahmati Muadz bin Jabal, pemimpin para ulama di akhirat kelak.

Dalam kisah yang lain:
Umar bin Khattab pernah berkata tentang kefakihannya, “Man arodal fiqh, fal ya’ti Mu’adz bin Jabal.” Beliau menghormati dan sangat segan kepada Mu'adz bin jabal.
Lebih dari itu, sekiranya Umar diminta untuk menunjuk penerus kekhilafahannya, maka ia akan mengangkat Mu’adz sebagai penggantinya. “Jika aku ditanya kenapa harus memilihanya” kata Umar, “Maka aku menjawab: ‘Karena aku mendengar Nabiyullah bersabda, apabila para ulama datang menghadap Rabb mereka, pasti ada Mu’adz bin Jabal di antara mereka.” Dan memang Rasul juga pernah mengukuhkan kedalaman ilmu Mu’adz dengan menilainya sebagai, “Orang yang paling paham tentang halal-haram.”

Sama seperti Abu Ubaidah, Mu’adz menganggap wabah ini merupakan rahmat dari Allah. Ia sendiri mendengar langsung bahwa Nabi menubuwahkan; kelak, umat Islam akan berhijrah ke Syam dan di sana mereka akan terkena penyakit semacam bisul yang dengannya Allah mensyahidkan mereka dan menggugurkan dosa-dosa mereka. (Lihat Al-Jami’ Ash-Shaghir karya As-Suyuthi, no hadits 4666).


***Siapakah 𝒀𝒂𝒛𝒊𝒅 𝒃𝒊𝒏 𝑨𝒃𝒊 𝑺𝒖𝒇𝒚𝒂𝒏?

Ia dikenal sebagai salah satu ‘uqola’: orang-orang cerdas, dan syuj’an: pemberani. Di antara kontribusi terbesarnya adalah ketika ia ditunjuk oleh Abu Bakar sebagai komandan pada pertempuran Yarmuk, pertarungan paling dahsyat melawan pasukan Romawi. Ketika itu Abu Bakar membagi pasukan menjadi empat kelompok: Abu Ubaidah, Syurahbil bin Hasan, Amru bin Ash, dan Yazid Abi Sufyan.

Prestasi kemiliterannya tergolong sangat gemilang. Ia menjayakan Islam dengan melakukan pembebasan-pembebasan wilayah. Pasca wafatnya kedua sahabat pemimpin Syam: Abu Ubaidah dan Mu’adz, Khalifah Umar mengangkatnya. Qaddarallah wa maa sya’a fa’ala. Beliau juga wafat setelah terkena tho’un, lalu digantikan oleh saudaranya Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

𝑲𝒆𝒆𝒎𝒑𝒂𝒕 𝒅𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒍𝒊𝒎𝒂, 𝑺𝒖𝒉𝒂𝒊𝒍 𝒃𝒊𝒏 𝑨𝒎𝒓𝒖 𝒅𝒂𝒏 𝑨𝒃𝒖 𝑱𝒂𝒏𝒅𝒂𝒍

Pemuka masyarakat Makkah yang satu ini adalah pemimpin Bani Amir. Ketokohannya sejajar dengan reputasi Abu Jahal, Utbah bin Rabi’ah dan Abu Sufyan. Walaupun agak terlambat memeluk Islam, Suhail yang sempat menyiksa anaknya (Abu Jandal) okarena mengikuti ajaran Sang Rasul, pada akhirnya menjemput hidayah ketika Fathu Makkah.

Salah satu keahlian yang sangat menonjol pada diri Suhail adalah kekuatan sihir bayan yang ia punya. Khutbahnya yang sangat menyejarah adalah ketika ia mengingatkan kaum muslimin agar tetap berpegang teguh dengan Islam ketika banyak orang-orang murtad sepeninggalan Rasulullah, “Wahai penduduk Makkah. Janganlah kalian menjadi manusia yang paling akhir masuk ke dalam Islam, dan menjadi orang pertama yang murtad.”

Semua orang terharu mendengar kata-kata itu. Padahal, dahulunya ia termasuk pemuja berhala. Namun begitu celupan keislaman mewarnai hatinya, ia tampil sebagai orator ulung yang disenangi kaum muslimin. Allah teguhkan keistiqamahannya sampai ajal menjemput dalam perjalanan mulia; jihad fi sabilillah membebaskan negeri Syam. Wabah th’aun menjadi rahmat bagi Suhail dan anaknya, Abu Jandal. Ayah dan anak bernasib sama. Tha’un amwas mengantarkan mereka menuju kebahagian abadi.

Demikianlah kisah para syuhada’ tha’un. Di antara hikmah yang bisa kita petik; penyakit yang mewabah bisa menyerang siapa saja. Maka kewaspadaan perlu ditingkatkan. Namun apabila kita menjadi salah satu korban, tidak perlu bersedih, ridhoi dan hadapi dengan kesabaran sepenuh hati. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa apabila tho’un menimpa orang-orang kafir, maka itulah adzab yang Allah berikan kepadanya. Namun, apabila sebuah penyakit menjangkiti orang-orang sholeh lagi mulia, berarti rahmat Allah sedang turun kepadanya. Wallahu A’lam bish Showab.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar