Senin, 05 Januari 2015

Kisah Kematian Umar bin Khattab dan kesepakatan atas Utsman bin Affan

Kisah pertama:
Pada saat Umar menjadi Imam sholat shubuh di Masjid Nabawi di Madinah. Ketika Umar selesai membaca Al Fatihah dan membaca surat Al Ahzab ayat 38:

وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَرًا مَقْدُورًا

“…Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.”

Tiba-tiba jamaah kehilangan suara Umar, seseorang telah menikam tubuh khalifah Umar. Khalifah tersungkur akibat terluka parah.


Peristiwa ini benar-benar mengagetkan seluruh penduduk kota Madinah Al-Munawaroh, Siapakah orang yang berani melukai dan membunuh seorang Khalifah Adil, Umar bin Khatab yang dicintai seluruh kaum muslimin.

Saat itulah terungkap pelaku kriminal yang mengamuk di Masjid Nabawi adalah seorang Majusi dari Persia bernama Abu Lu’lu’ah, yang mempunyai dendam karena Persia ditaklukan oleh kekhalifahan Umar.

Setelah berhasil menikam Umar, Abu Lu’lu’ah sempat mengamuk dengan Pisaunya dan mengakibatkan 13 orang terluka dan 7 lainnya meninggal. Maka segera Abu Lu’lu’ah ditangkap, namun Abu Lu’lu’ah bunuh diri menggunakan pisau yang sama digunakan untuk menikam Umar.

Umar segera dibawa ke rumahnya sementara darah mengalir deras dari luka-lukanya. Umar berkali-kali jatuh pingsan dan sadar, orang-orang mengingatkannya Sholat, beliau sadar sambil berkata,
“Ya, Aku akan Sholat dan tidak ada bagian dari Islam bagi orang yang meninggalkan Shalat. Kemudian beliau Shalat.

Setelah Shalat Umar bertanya,
‘Siapa yang menikam saya? Apakah Muslim atau kafir?’
ketika di jawab bahwa yang membunuh adalah orang Musyrik, Kafir seperti Abu Lu’lu’ah maka Umar mengatakan, Alhamdulillah...
bukan Muslim yang membunuh saya. Kalau seorang Muslim yang membunuh saya, jangan-jangan saya telah menyakiti hati Muslim.

Tiga hari kemudian Umar bin Khattab wafat sebagai syuhada.

Kisah dari Hadits Bukhari:
Telah bercerita kepada kami Musa bin Isma'il telah bercerita kepada kami Abu 'Awanah dari Hushain dari 'Amru bin Maimun berkata; Aku melihat 'Umar bin Al Khaththab radliallahu 'anhu di Madinah beberapa hari sebelum dia ditikam. Ia berdiri di hadapan Hudzaifah bin Al Yaman dan 'Utsman bin Hunaif. 'Umar bertanya; "Bagaimana yang kalian berdua kerjakan?. Apakah kalian berdua khawatir membebani penduduk Sawad (yang mereka terkena pajak) dengan sesuatu yang melebihi kemampuannya?. Keduanya menjawab; "Kami membebaninya dengan kebijakan yang sesuai kemampuannya, tidak ada kelebihan beban yang besar". 'Umar berkata; "Jika Allah Subhaanahu wa Ta'ala menyelamatkan aku, tentu akan kubiarkan janda-janda penduduk 'Iraq tidak membutuhkan seorang laki-laki setelah aku untuk selama-lamanya". Perawi berkata; "Setelah pembicaraan itu, 'Umar tidak melewati hari-hari kecuali hanya sampai hari ke empat semenjak dia terkena mushibah (tikaman).
Perawi ('Amru) berkata; "Aku berdiri dan tidak ada seorangpun antara aku dan dia kecuali 'Abdullah bin 'Abbas pada Shubuh hari saat 'Umar terkena mushibah. Shubuh itu, 'Umar hendak memimpin shalat dengan melewati barisan shaf lalu berkata; "Luruskanlah shaf". Ketika dia sudah tidak melihat lagi pada jama'ah ada celah-celah dalam barisan shaf tersebut, maka 'Umar maju lalu bertakbir. Sepertinya dia membaca surat Yusuf atau an-Nahl atau seperti surat itu pada raka'at pertama hingga memungkinkan semua orang bergabung dalam shalat. Ketika aku tidak mendengar sesuatu darinya kecuali ucapan takbir tiba-tiba terdengar dia berteriak; "Ada orang yang membunuhku, atau katanya; "seekor anjing telah menerkamku", rupanya ada seseorang yang menikamnya dengan sebilah pisau bermata dua. Penikam itu tidaklah melewati orang-orang di sebelah kanan atau kirinya melainkan dia menikamnya pula hingga dia telah menikam sebanyak tiga belas orang yang mengakibatkan tujuh orang diantaranya meninggal dunia. Ketika seseorang dari kaum muslimin melihat kejadian itu, dia melemparkan baju mantelnya dan tepat mengenai si pembunuh itu. Dan ketika dia menyadari bahwa dia musti tertangkap (tak lagi bisa menghindar), dia bunuh diri. 'Umar memegang tangan 'Abdur Rahman bin 'Auf lalu menariknya ke depan. Siapa saja orang yang berada dekat dengan 'Umar pasti dapat melihat apa yang aku lihat. Adapun orang-orang yang berada di sudut-sudut masjid, mereka tidak mengetahui peristiwa yang terjadi, selain hanya tidak mendengar suara 'Umar. Mereka berkata; "Subhaanalah, Subhaanalah (maha suci Allah) ". Maka 'Abdur Rahman melanjutkan shalat jama'ah secara ringan. Setelah shalat selesai, 'Umar bertanya; "Wahai Ibnu 'Abbas, lihatlah siapa yang telah membunuhku". Ibnu 'Abbas berkeliling sesaat lalu kembali dan berkata; "Budaknya Al Mughirah". 'Umar bertanya; "O, si budak yang pandai membuat pisau itu?. Ibnu 'Abbas menjawab; "Ya benar". 'Umar berkata; "Semoga Allah membunuhnya, sungguh aku telah memerintahkan dia berbuat ma'ruf (kebaikan). Segala puji bagi Allah yang tidak menjadikan kematianku di tangan orang yang mengaku beragama Islam. Sungguh dahulu kamu dan bapakmu suka bila orang kafir non arab banyak berkeliaran di Madinah. 'Abbas adalah orang yang paling banyak memiliki budak. Ibnu 'Abbas berkata; "Jika anda menghendaki, aku akan kerjakan apapun. Maksudku, jika kamu menghendaki kami akan membunuhnya". 'Umar berkata; "Kamu berbohong, (sebab mana boleh kalian membunuhnya) padahal mereka telah telanjur bicara dengan bahasa kalian, shalat menghadap qiblat kalian dan naik haji seperti haji kalian".
Kemudian 'Umar dibawa ke rumahnya dan kami ikut menyertainya. Saat itu orang-orang seakan-akan tidak pernah terkena mushibah seperti hari itu sebelumnya. Diantara mereka ada yang berkata; "Dia tidak apa-apa". Dan ada juga yang berkata; "Aku sangat mengkhawatirkan nasibnya". Kemudian 'Umar disuguhkan anggur lalu dia memakannya namun makanan itu keluar lewat perutnya. Kemudian diberi susu lalu diapun meminumnya lagi namun susu itu keluar melalui lukanya. Akhirnya orang-orang menyadari bahwa 'Umar segera akan meninggal dunia. Maka kami pun masuk menjenguknya lalu diikuti oleh orang-orang yang datang dan memujinya. Tiba-tiba datang seorang pemuda seraya berkata; "Berbahagialah anda, wahai Amirul Mu'minin dengan kabar gembira dari Allah untuk anda karena telah hidup dengan mendampingi (menjadi shahabat) Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan yang terdahulu menerima Islam berupa ilmu yang anda ketahui. Lalu anda diberi kepercayaan menjadi pemimpin dan anda telah menjalankannya dengan adil lalu anda mati syahid". 'Umar berkata; "Aku sudah merasa senang jika masa kekhilafahanku berakhir netral, aku tidak terkena dosa dan juga tidak mendapat pahala." Ketika pemuda itu berlalu, tampak pakaiannya menyentuh tanah, maka 'Umar berkata; "Bawa kembali pemuda itu kepadaku". 'Umar berkata kepadanya; "Wahai anak saudaraku, angkatlah pakaianmu karena yang demikian itu lebih mengawetkan pakaianmu dan lebih membuatmu taqwa kepada Rabbmu. Wahai 'Abdullah bin 'Umar, lihatlah berapa jumlah hutang yang menjadi kewajibanku". Maka mereka menghitungnya dan mendapatkan hasilnya bahwa hutangnya sebesar delapan puluh enam ribu atau sekitar itu. 'Umar berkata; "Jika harta keluarga 'Umar mencukupi bayarlah hutang itu dengan harta mereka. Namun apabila tidak mencukupi maka mintalah kepada Bani 'Adiy bin Ka'ab. Dan apabila harta mereka masih tidak mencukupi, maka mintalah kepada masyarakat Quraisy dan jangan mengesampingkan mereka dengan meminta kepada selain mereka lalu lunasilah hutangku dengan harta-harta itu. Temuilah 'Aisyah, Ummul Mu'minin radliallahu 'anha, dan sampaikan salam dari 'Umar dan jangan kalian katakan dari Amirul Muminin karena hari ini bagi kaum mu'minin aku bukan lagi sebagai pemimpin dan katakan bahwa 'Umar bin Al Khaththab meminta izin untuk dikuburkan di samping kedua shahabatnya". Maka 'Abdullah bin 'Umar memberi salam, meminta izin lalu masuk menemui 'Aisyah radliallahu 'anha. Ternyata 'Abdullah bin 'Umar mendapatkan 'Aisyah radliallahu 'anha sedang menangis. Lalu dia berkata; "'Umar bin Al Khathtab menyampaikan salam buat anda dan meminta ijin agar boleh dikuburkan disamping kedua sahabatnya (Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan Abu Bakr radliallahu 'anhu) ". 'Aisyah radliallahu 'anha berkata; "Sebenarnya aku juga menginginkan hal itu untuk diriku namun hari ini aku tidak akan lebih mementingkan diriku". Ketika 'Abdullah bin 'Umar kembali, dikatakan kepada 'Umar; "Ini dia, 'Abdullah bin 'Umar sudah datang". Maka 'Umar berkata; "Angkatlah aku". Maka seorang laki-laki datang menopangnya. 'Umar bertanya: "Berita apa yang kamu bawa?". Ibnu 'Umar menjawab; "Berita yang anda sukai, wahai Amirul Mu'minin. 'Aisyah telah mengizinkan anda". 'Umar berkata; "Alhamdu lillah. Tidak ada sesuatu yang paling penting bagiku selain hal itu. Jika aku telah meninggal, bawalah jasadku kepadanya dan sampaikan salamku lalu katakan bahwa 'Umar bin Al Khaththab meminta izin. Jka dia mengizinkan maka masukkanlah aku (kuburkan) namun bila dia menolak maka kembalikanlah jasadku ke kuburan Kaum Muslimin. Kemudian Hafshah, Ummul Mu'minin datang dan beberapa wanita ikut bersamanya. Tatkala kami melihatnya, kami segera berdiri. Hafshah kemudian mendekat kepada 'Umar lalu dia menangis sejenak. Kemudian beberapa orang laki-laki meminta izin masuk, maka Hafshah masuk ke kamar karena ada orang yang mau masuk. Maka kami dapat mendengar tangisan Hafshah dari balik kamar. Orang-orang itu berkata; "Berilah wasiat, wahai Amirul Mu'minin. Tentukanlah pengganti anda". 'Umar berkata; "Aku tidak menemukan orang yang paling berhak atas urusan ini daripada mereka atau segolongan mereka yang ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam wafat beliau ridla kepada mereka. Maka dia menyebut nama 'Ali, 'Utsman, Az Zubair, Thalhah, Sa'ad dan 'Abdur Rahman. Selanjutnya dia berkata; "'Abdullah bin 'Umar akan menjadi saksi atas kalian. Namun dia tidak punya peran dalam urusan ini, dan tugas itu hanya sebagai bentuk penghibur baginya. Jika kepemimpinan jatuh ketangan Sa'ad, maka dialah pemimpin urusan ini. Namun apabila bukan dia, maka mintalah bantuan dengannya. Dan siapa saja diantara kalian yang diserahi urusan ini sebagai pemimpin maka aku tidak akan memecatnya karena alasan lemah atau berkhiyanat". Selanjutnya 'Umar berkata; "Aku berwasiat kepada khalifah sesudahku agar memahami hak-hak kaum Muhajirin dan menjaga kehormatan mereka. Aku juga berwasiat kepadanya agar selalu berbuat baik kepada Kaum Anshar yang telah menempati negeri (Madinah) ini dan telah beriman sebelum kedatangan mereka (kaum Muhajirin) agar menerima orang baik, dan memaafkan orang yang keliru dari kalangan mereka. Dan aku juga berwasiat kepadanya agar berbuat baik kepada seluruh penduduk kota ini karena mereka adalah para pembela Islam dan telah menyumbangkan harta (untuk Islam) dan telah bersikap keras terhadap musuh. Dan janganlah mengambil dari mereka kecuali harta lebih mereka dengan kerelaan mereka. Aku juga berwasiat agar berbuat baik kepada orang-orang Arab Badui karena mereka adalah nenek moyang bangsa Arab dan perintis Islam, dan agar diambil dari mereka bukan harta pilihan (utama) mereka (sebagai zakat) lalu dikembalikan (disalurkan) untuk orang-orang fakir dari kalangan mereka. Dan aku juga berwasiat kepadanya agar menunaikan perjanjian kepada ahlu Dzimmah (Warga non muslim yang wajib terkena pajak), yaitu orang-orang yang dibawah perlindungan Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam (asalkan membayar pajak) dan mereka (ahlu dzimmah) yang berniyat memerangi harus diperangi, mereka juga tidak boleh dibebani selain sebatas kemampuan mereka". Ketika 'Umar sudah menghembuskan nafas, kami keluar membawanya lalu kami berangkat dengan berjalan. 'Abdullah bin 'Umar mengucapkan salam (kepada 'Aisyah radliallahu 'anha) lalu berkata; "'Umar bin Al Khaththab meminta izin". 'Aisyah radliallahu 'anha berkata; "Masukkanlah". Maka jasad 'Umar dimasukkan ke dalam liang lahad dan diletakkan berdampingan dengan kedua shahabatnya. Setelah selesai menguburkan jenazah 'Umar, orang-orang (yang telah ditunjuk untuk mencari pengganti khalifah) berkumpul. 'Abdur Rahman bin 'Auf berkata; "Jadikanlah urusan kalian ini kepada tiga orang diantara kalian. Maka Az Zubair berkata; "Aku serahkan urusanku kepada 'Ali. Sementara Thalhah berkata; "Aku serahkan urusanku kepada 'Utsman. Sedangkan Sa'ad berkata; "Aku serahkan urusanku kepada 'Abdur Rahman bin 'Auf. Kemudian 'Abdur Rahman bin 'Auf berkata; "Siapa diantara kalian berdua yang mau melepaskan urusan ini maka kami akan serahkan kepada yang satunya lagi, Allah dan Islam akan mengawasinya Sungguh seseorang dapat melihat siapa yang terbaik diantara mereka menurut pandangannya sendiri. Dua pembesar ('Utsman dan 'Ali) terdiam. Lalu 'Abdur Rahman berkata; "Apakah kalian menyerahkan urusan ini kepadaku. Allah tentu mengawasiku dan aku tidak akan semena-mena dalam memilih siapa yang terbaik diantara kalian". Keduanya berkata; "Baiklah". Maka 'Abdur Rahman memegang tangan salah seorang dari keduanya seraya berkata; "Engkau adalah kerabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan dari kalangan pendahulu dalam Islam (senior) sebagaimana yang kamu ketahui dan Allah akan mengawasimu. Seandainya aku serahkan urusan ini kepadamu tentu kamu akan berbuat adil dan seandainya aku serahkan urusan ini kepada 'Utsman tentu kamu akan mendengar dan menta'atinya". Kemudian dia berbicara menyendiri dengan 'Utsman dan berkata sebagaimana yang dikatakannya kepada 'Ali. Ketika dia mengambil perjanjian bai'at, 'Abdur Rahman berkata; "Angkatlah tanganmu wahai 'Utsman". Maka Abdur Rahman membai'at 'Utsman lalu 'Ali ikut membai'atnya kemudian para penduduk masuk untuk membai'at 'Utsman".
(No. Hadist: 3424 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)

Keterangan:
Beberapa Hal yang bisa diambil Hikmahnya:
1. Seorang pemimpin umat hendaknya menjadi imam sholat.
2. Sebelum memulai sholat, imam hendaknya memperhatikan shof makmumnya, apakah sudah lurus dan rapat.
3. Boleh melakukan sesuatu selain gerakan sholat apabila terdesak, misalkan melemparkan mantel yg dipakai, supaya pembunuh tertangkap. Tanpa membatalkan sholat.
4. Imam yg tidak bisa meneruskan sholat karena suatu sebab, hendaknya segera menarik salah satu makmum terdekat untuk menggantikannya sebagai imam. Dan imam pengganti tersebut hendaknya meneruskan sholat imam pertama (dengan ringan), tanpa mengulanginya.
5. Bagi yg pakaiannya menyentuh tanah (pakaian terlalu panjang hingga dibawah mata kaki), hendaknya mengangkat pakaiannya karena yang demikian itu lebih mengawetkan pakaian dan lebih membuat bertaqwa kepada Allah.
6. Berwasiat supaya yg menjadi pemimpin adalah orang yg bertaqwa, jujur, amanah dan yg dekat dengan Allah
7. Jangan bernafsu menjadi pemimpin, karena amanah yg ditanggungnya sangatlah berat, yakni hisab sangat berat kelak diakhirat oleh Allah SWT.
8. Hendaknya pemimpin itu memperhatikan rakyatnya, mengayomi, melindungi, mensejahterakan rakyatnya dan tidak suka dendam namun berlaku baik dan adil kepada rakyatnya.
9. Zakat / sodaqoh hendaknya diutamakan/didahulukan diberikan kepada orang yg berhak yg terdekat/tetangga kita.
10. Seseorang yg diberi amanah mengelola dana zakat, hendaknya bersikap amanah, jujur, dan teliti. Hendaknya mengambil harta dari muzakky (pezakat) dng cara yg baik dari harta berlebih meraka dng sukarela dan tidak mengambil harta pokok mereka.
11. Sebelum meninggal boleh berwasiat, dan yg diberi wasiat wajib melaksanakan, selama wasiat itu tidak bertentangan dng syariat Agama Islam.

Fitnah datang bergelombang bagaikan gelombang lautan setelah Umar ra:
Telah menceritakan kepada kami Umar bin Hafsh bin Ghiyats telah menceritakan kepada kami Ayahku telah menceritakan kepada kami Al A'masy telah menceritakan kepada kami Syaqiq Aku mendengar Khudzaifah menuturkan; ketika kami duduk-duduk bersama Umar, tiba-tiba ia bertanya; 'Siapa diantara kalian yang menghapal sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang fitnah? ' maka Khudzaifah menjawab; 'Fitnah seseorang di keluarganya, hartanya dan anaknya serta tetangganya bisa terhapus oleh shalat, sedekah, dan amar ma'ruf nahyi mungkar.' Umar berkata; 'Bukan tentang ini yang aku tanyakan kepadamu akan tetapi tentang (fitnah) yang bergelombang seperti gelombang lautan.' Khudzaifah berkata; 'kamu tidak terkena dampaknya dari fitnah itu ya amirul mukminin, sebab antara kamu dan fitnah itu terdapat pintu tertutup.' Umar bertanya; 'Apakah pintunya dipecahkan atau dibuka? ' Khudzaifah menjawab; 'bahkan di pecahkan.' Maka Umar berkata; 'kalau begitu tidak ditutup selama-lamanya.' aku menjawab; 'Betul.' Saya bertanya kepada Khudzaifah; 'Apakah Umar mengetahui pintu itu? ' Khudzaifah menjawab; 'Ya, sebagaimana ia mengetahui bahwa setelah esok ada malam, yang demikian itu karena aku menceritakan Hadits kepadanya dengan tanpa kekeliruan, maka kami khawatir untuk menanyakan kepada Umar siapa pintu sebenarnya.' lalu kami perintahkan kepada Masruq untuk bertanya kepada Khudzaifah; (siapakah pintu itu), Khudzaifah menjawab; 'Umar.'(No. Hadist: 6567 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)

Telah menceritakan kepada kami Sa'id bin Abu Maryam Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ja'far dari Syarik bin Abdullah dari Sa'id bin Al Musayyab dari Abu Musa Al Asy'ari menuturkan, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam suatu hari keluar ke sebuah kebun Madinah untuk suatu keperluannya, dan aku mengikuti di belakang beliau. Tatkala beliau masuk kebun, aku duduk di pintunya dan kukatakan dalam hati; 'Hari ini aku menjadi penjaga pintu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sekalipun beliau tidak memerintahkanku.' Nabi shallallahu 'alaihi wasallam terus pergi dan menuntaskan hajatnya, beliau duduk diatas emper sumur dan menyingkap kedua betisnya dan memasukkan keduanya ke dalam sumur (kolam). Abu Bakar datang dan meminta izin kepada beliau untuk masuk, maka aku berkata; 'kamu tetap di tempatmu sampai aku meminta izin untukmu! ' Abu bakar pun berhenti hingga aku menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan kukatakan; 'ya Nabiyullah, Abu Bakar memintamu izin kepadamu.' Nabi menjawab: "berilah dia izin, dan berilah kabar gembira kepadanya dengan surga!" Abu bakar pun masuk kebun dan datang dari sebelah kanan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Lalu ia menyingkap kedua betisnya dan masukkannya kedalam sumur (kolam). Kemudian datanglah Umar, maka aku berkata; 'kamu tetap di tempatmu sampai aku meminta izin untukmu! ' Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lantas berkata; "Berilah dia izin, dan berilah kabar gembira dengan surga, " maka dia pun datang dari sebelah kiri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan menyingkap kedua betisnya kemudian memasukkannya kedalam sumur, maka emperan sumur telah menjadi sesak, sehingga tak ada lagi ruangan sumur yang luang. Kemudian datanglah Utsman, maka aku katakan 'kamu tetap di tempatmu sampai aku meminta izin untukmu! ' Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Berilah dia izin, dan berilah kabar gembira dengan surga, dan bersama surga itu terdapat malapetaka yang akan menimpanya." Utsman pun masuk tetapi dia tidak menemukan tempat duduk bersama mereka maka dia pun berputar sehingga datang dari arah depan mereka di mulut sumur (kolam), kemudian dia menyingkap kedua betisnya dan memasukkan kedua kakinya kedalam sumur. Maka aku berkhayal saudaraku, dan aku berdoa kepada Allah agar cepat-cepat datang. Ibnul Musayyab berkata; 'maka aku takwilkan dari peristiwa itu, kuburan mereka akan menyatu disini, sedang kuburan Utsman akan tersendiri.(No. Hadist: 6568 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar