Senin, 12 Januari 2015

Agama adalah nasehat (loyalitas dan taat) kepada Allah, Rasul-Nya dan para pemimpin

Diriwayatkan dari sahabat Tamim Ad-Daari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الدِّينُ النَّصِيحَةُ
“Agama adalah nasihat.” Kemudian para sahabat bertanya, “Untuk siapa (wahai Rasulullah)?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan masyarakat pada umumnya.” (HR. Muslim no. 55)

“Saya memberi wasiat kepada kalian agar tetap bertaqwa kepada Allah ‘azza wa jalla, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memerintah kalian seorang hamba sahaya (budak)”. (HR. Abu Daud dan At Tirmidzi, Hadits Hasan Shahih)


Islam lewat lisan Nabinya telah mengajarkan bagaimana kita bermuamalah dengan pemerintah atau penguasa. Sebagian kalangan bersikap keras sehingga mudah mengkafirkan. Sebagian lagi bersikap lembek.
-->Sikap terbaik yang menjadi akidah seorang muslim adalah tetap menasehati penguasanya dengan baik tatkala mereka tergelincir. Penyampaian nasehat ini pula disalurkan dengan cara yang baik, bukan dengan menyebarkan aib mereka di depan umum. Juga prinsip penting dalam muamalah dengan penguasa adalah tetap mentaati mereka selama mereka masih muslim, walaupun mereka berbuat zholim. Berikut nasehat Nabi kita -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan para ulama dalam hal ini.

Dari Abu Najih, Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat kepada kami dengan satu nasehat yang menggetarkan hati dan menjadikan air mata berlinang”. Kami (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, nasihat itu seakan-akan adalah nasihat dari orang yang akan berpisah, maka berilah kami wasiat.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّوَجَلَّ , وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكَ عَبْدٌ

“Saya memberi wasiat kepada kalian agar tetap bertaqwa kepada Allah ‘azza wa jalla, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memerintah kalian seorang hamba sahaya (budak)”. (HR. Abu Daud dan At Tirmidzi, Hadits Hasan Shahih)

Mentaati Pemimpin dalam Kebajikan

Ta’at kepada pemimpin adalah suatu kewajiban sebagaimana disebutkan dalam Al Kitab dan As Sunnah. Di antaranya Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisa’ [4] : 59)

Dalam ayat ini Allah menjadikan ketaatan kepada pemimpin pada urutan ketiga setelah ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya. Namun, untuk pemimpin di sini tidaklah datang dengan lafazh ‘ta’atilah’ karena ketaatan kepada pemimpin merupakan ikutan (taabi’) dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, apabila seorang pemimpin memerintahkan untuk berbuat maksiat kepada Allah, maka tidak ada lagi kewajiban dengar dan ta’at.

Makna zhohir (tekstual) dari hadits ini adalah kita wajib mendengar dan ta’at kepada pemimpin walaupun mereka bermaksiat kepada Allah dan tidak menyuruh kita untuk berbuat maksiat kepada Allah. Karena terdapat hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Hudzaifah bin Al Yaman.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ ». قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ « تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ ».

“Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku (dalam ilmu, pen) dan tidak pula melaksanakan sunnahku (dalam amal, pen). Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia. “

Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?”

Beliau bersabda, ”Dengarlah dan ta’at kepada pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka.” (HR. Muslim no. 1847. Lihat penjelasan hadits ini dalam Muroqotul Mafatih Syarh Misykah Al Mashobih, 15/343, Maktabah Syamilah)

Padahal menyiksa punggung dan mengambil harta tanpa ada sebab yang dibenarkan oleh syari’at –tanpa ragu lagi- termasuk maksiat. Seseorang tidak boleh mengatakan kepada pemimpinnya tersebut, “Saya tidak akan ta’at kepadamu sampai engkau menaati Rabbmu.” Perkataan semacam ini adalah suatu yang terlarang. Bahkan seseorang wajib menaati mereka (pemimpin) walaupun mereka durhaka kepada Rabbnya.

عَنِ الزُّبَيْرِ بْنِ عَدِىٍّ قَالَ أَتَيْنَا أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ فَشَكَوْنَا إِلَيْهِ مَا نَلْقَى مِنَ الْحَجَّاجِ فَقَالَ « اصْبِرُوا ، فَإِنَّهُ لاَ يَأْتِى عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلاَّ الَّذِى بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ ، حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ » . سَمِعْتُهُ مِنْ نَبِيِّكُمْ – صلى الله عليه وسلم –
Dari Az Zubair bin ‘Adiy, ia berkata, “Kami pernah mendatangi Anas bin Malik. Kami mengadukan tentang (kekejaman penguasa yakni Al Hajjaj) Al Hajjaj pada beliau. Anas pun mengatakan, “Sabarlah, karena tidaklah datang suatu zaman melainkan keadaan setelahnya lebih jelek dari sebelumnya sampai kalian bertemu dengan Rabb kalian (taatlah hingga ajal menjemput kalian). Aku mendengar wasiat ini dari Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 7068).

--->Adapun jika mereka memerintahkan kita untuk bermaksiat kepada Allah, maka kita dilarang untuk mendengar dan mentaati mereka. Karena Rabb pemimpin kita dan Rabb kita (rakyat) adalah satu yaitu Allah Ta’ala oleh karena itu wajib ta’at kepada-Nya. Apabila mereka memerintahkan kepada maksiat maka tidak ada kewajiban mendengar dan ta’at.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ

“Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat).” (HR. Bukhari no. 7257)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ ، فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

“Seorang muslim wajib mendengar dan taat dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (HR. Bukhari no. 7144)

(Pembahasan ini kami sarikan dari penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarh Arba’in An Nawawiyah, hal. 279, Daruts Tsaroya dan ada tambahan hadits)


Doakan Kebaikan Bagi Pemimpin Kalian
Dari ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ ». قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ « لاَ مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلاَةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian. Mereka mendo’akan kalian dan kalian pun mendo’akan mereka. Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka pun membenci kalian, juga kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.” Kemudian ada yang berkata, ”Wahai Rasulullah, tidakkah kita menentang mereka dengan pedang?”   Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang kalian benci, maka bencilah amalannya  dan janganlah melepas ketaatan kepadanya.” (HR. Muslim no. 1855)

Imam al-Barbahari (wafat tahun 329 H) rahimahullah dalam kitabnya, Syarhus Sunnah berkata: “Jika engkau melihat seseorang mendo’akan keburukan kepada pemimpin, ketahuilah bahwa ia termasuk salah satu pengikut hawa nafsu, namun jika engkau melihat seseorang mendo’akan kebaikan kepada seorang pemimpin, ketahuilah bahwa ia termasuk Ahlus Sunnah, insya Allah.”

Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Jikalau aku mempunyai do’a yang baik yang akan dikabulkan, maka semuanya akan aku tujukan bagi para pemimpin.” Ia ditanya: “Wahai Abu ‘Ali jelaskan maksud ucapan tersebut?” Beliau berkata: “Apabila do’a itu hanya aku tujukan bagi diriku, tidak lebih hanya bermanfaat bagi diriku, namun apabila aku tujukan kepada pemimpin dan ternyata para pemimpin berubah menjadi baik, maka semua orang dan negara akan merasakan manfaat dan kebaikannya.”

Jangan Melepaskan Ketaatan
Ibnu ‘Umar berkata bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِىَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِى عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barangsiapa yang melepaskan tangannya dari ketaatan pada pemimpin, maka ia pasti bertemu Allah pada hari kiamat dengan tanpa argumen yang membelanya. Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak ada baiat di lehernya, maka ia mati dengan cara mati jahiliyah.” (HR. Muslim no. 1851).

 
Janji Allah bagi Pemimpin Zalim dan Rakyat yang Teraniaya
Dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah saw bersabda:
إِنَّ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ عَادِلٌ وَأَبْغَضَ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ وَأَبْعَدَهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ جَائِرٌ

“Sesungguhnya manusia yang paling dicintai oleh Allah pada hari kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi Allah adalah seorang pemimpin yang adil. Sedangkan orang yang paling dibenci oleh Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah seorang pemimpin yang zalim.” (HR. Tirmidzi)

Sebuah riwayat dari Abu Hurairah radiyallahu anhu menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ شَيْخٌ زَانٍ وَمَلِكٌ كَذَّابٌ وَعَائِلٌ مُسْتَكْبِرٌ

“Tiga orang yang Allah enggan berbicara dengan mereka pada hari kiamat kelak. (Dia) tidak sudi memandang muka mereka, (Dia) tidak akan membersihkan mereka daripada dosa (dan noda). Dan bagi mereka disiapkan siksa yang sangat pedih. (Mereka ialah ): Orang tua yang berzina, Penguasa yang suka berdusta dan fakir miskin yang takabur.” (HR. Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا رَاعٍ غَشَّ رَعِيَّتَهُ فَهُوَ فِي النَّارِ

“Siapapun pemimpin yang menipu rakyatnya, maka tempatnya di neraka.” (HR. Ahmad)

Dalam riwayat lain, Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنِ اسْتَرْعَاهُ اللهُ رَعِيَّةً ثُمَّ لَمْ يُحِطْهَا بِنُصْحٍ إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الجَنَّةَ. متفق عليه. وفي لفظ : يَمُوتُ حِينَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاسِ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ.

“Barangsiapa yang diangkat oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, kemudian ia tidak mencurahkan kesetiaannya, maka Allah haramkan baginya surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam lafadh yang lain disebutkan, ”Ialu ia mati dimana ketika matinya itu dalam keadaan menipu rakyatnya, maka Allah haramkan surga baginya.”


DEKAT DENGAN PENGUASA BUKAN BERARTI MENJILAT
Seorang muslim harus melakukan hubungan baik dengan para Ulil Amri, baik dari kalangan pemimpin, para hakim penanggung jawab peradilan ataupun tokoh-tokoh lembaga-lembaga penting dan kepala-kepala penanggung jawab pemerintah. Kita tidak boleh merasa kaku serta menganggap, bila dekat dengan penguasa akan menodai kehormatan diri dalam beragama. Bukan pula berarti menjadi penjilat dan kacung bagi para penguasa, bahkan syari’at memerintahkan kita untuk menjalin hubungan erat dengan para Ulil Amri atau penguasa.

Sesungguhnya, salah satu yang menjadi penyebbab keberhasilan shahwah (kebangkitan Islam) dan dakwah kepada Allah, yaitu apabila da’wah memiliki dukungan dari penguasa dalam suatu negara. Karena, da’wah dan kekuasaan merupakan dua pilar perbaikan terhadap umat. Penyair berkata:

الْمُــــلْكُ بِالدِّيْنِ يَبْقَى وَالدِّيْنُ بِالْمُلْكِ يَقْوَى

Kekuasaan yang bersanding dengan agama akan menjadi stabil, dan agama yang bersanding dengan kekuasaan akan menjadi kuat dan kokoh.

Bila keduanya bertemu dan bersatu, maka tujuan dan sasaran da’wah tercapai. Cita-cita membangun umat akan teralisasi dengan izin Allah. Namun, jika keduanya berpisah, apalagi saling berhadapan, maka segala usaha akan sia-sia atau melemah sampai pada batas kehinaan, sehingga muncul berbagai fitnah dan musibah bagi umat

MENASIHATI PENGUASA BUKAN MEMBANGKANG
Islam memiliki etika tersendiri dalam menasihati pemimpin, bahkan mempunyai kaidah-kaidah dasar yang tidak boleh dilecehkan; sebab, pemimpin tidak sama dengan rakyat. Apabila menasihati kaum muslimin, secara umum memerlukan kaidah dan etika, maka menasihati para pemimpin lebih perlu memperhatikan kaidah dan etikanya.

Dari Ibnu Hakam meriwayatkan, bahwa Nabi bersabda,”Barangsiapa yang ingin menasihati pemimpin, maka jangan melakukannya secara terang-terangan. Akan tetapi, nasihatilah dia di tempat yang sepi. Jika menerima nasihat, itu sangat baik. Dan bila tidak menerimanya, maka kamu telah menyampaikan kewajiban nasihat kepadanya.” [HR Imam Ahmad].

Imam Syafi’i berkata,”Barangsiapa yang menasihati temannya dengan rahasia, maka ia telah menasihati dan menghiasinya. Dan barangsiapa yang menasihatinya dengan terang-terangan, maka ia telah mempermalukan dan merusaknya.”

Dari Abu Said Al-Khudri Radhiallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ

“Jihad yang paling utama adalah mengutarakan perkataan yang adil di depan penguasa atau pemimpin yang zhalim.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Nasihat secara diam-diam merupakan pilihan awal dalam melawan kemungkaran.
Lalu ketika usaha tersebut tidak dihiraukan lagi dan pemimpin tersebut tetap pada prinsipnya yang menzalimi rakyat, maka Rasulullah SAW mengingatkan umatnya untuk menjauhi pemimpin tersebut serta jangan sampai mendekatinya, apalagi membenarkan tindakan zalim yang mereka lakukan. Sebab, ketika seseorang tetap mendekati pemimpin zalim tersebut dan membenarkan apa yang dilakukannya maka ia akan terancam keluar dari lingkaran golongan umat Nabi SAW dan ia tidak akan mendatangi telaganya nanti di hari kiamat.

Dari Ka’ab bin Ujroh radhiyallahu ‘anhu ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar mendekati kami, lalu bersabda:

إِنَّهُ سَيَكُونُ عَلَيْكُمْ بَعْدِي أُمَرَاءٌ فَمَنْ دَخَلَ عَلَيْهِمْ فَصَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهمْ ، فَلَيْسُ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ ، وَلَيْسَ بِوَارِدٍ عَلَيَّ حَوْضِي ، وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ ، فَهُوَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ وَسَيَرِدُ عَلَيَّ الْحَوْضَ

“Akan ada setelahku nanti para pemimpin yang berdusta. Barangsiapa masuk pada mereka lalu membenarkan (menyetujui) kebohongan mereka dan mendukung kezhaliman mereka maka dia bukan dari golonganku dan aku bukan dari golongannya, dan dia tidak bisa mendatangi telagaku (di hari kiamat).
Dan barangsiapa yang tidak masuk pada mereka (penguasa dusta) itu, dan tidak membenarkan kebohongan mereka, dan (juga) tidak mendukung kezhaliman mereka, maka dia adalah bagian dari golonganku, dan aku dari golongannya, dan ia akan mendatangi telagaku (di hari kiamat).” (HR. Ahmad dan An-Nasa’i)


Siapakah yang Disebut Pemimpin itu?
 Hadits  Secara Utuh Dan Terjemahnya:
     ١١٩٩~ عَبْدِ اللهِ بْنُ عُمَرُ ,أَنَّ رَسُلُ اللهِ , قَالَ:كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ, فَالأَمِيْرُ الَّذِيْ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ, وَالرَّجُلُ راعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ, وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ, وَالْمَرْأَةُ رَاعِيْةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَ وَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ, وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ ,أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَ كُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

     (أخرجه البخري في : ٤٩ كتاب العتق:١٧ باب كراهية التطاول على الرقيق)
Terjemah:
1199 ~ Abdullah bin Umar, dia berkata: Rasulullah bersabda “Kalian semua adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap rakyat yang dipimpinnya.
Seorang raja memimpin rakyatnya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya itu.
Seorang suami memimpin keluarganya, dan akan ditanya kepemimpinannya itu.
Seorang ibu memimpin rumah suaminya dan anak-anaknya, dan dia akan ditanya tentang kepemimpinannya itu.
Seorang budak mengelola harta majikannya dan akan ditanya tentang pengelolaanya.
Ingatlah bahwa kalian semua memimpin dan akan ditanya pertanggung jawabannya atas kepemimpinannya itu.” [Al-Bukhari meletakkan hadits ini di kitab 49; Budak. Bab 17; dibencinya perbuatan menyiksa budak.]

وعن بن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلّم قال: كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعيّتِهِ, والأميرُ راعٍ, والرّجُلُ راعٍ على أهلِ بيتِهِ, والمرأةُ رَاعِيَّةٌ على بيتِ زوجِها وَوَلَدِهِ, فكلّكم راعٍ وكلّكم مسئولٌ عنْ رَعِيَّتِهِ. (متفق عليه)

Dari Ibn Umar ra. Dari Nabi saw, beliau bersabda : “ Kalian adalah pemimpin dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan kalian.
Seorang penguasa adalah pemimpin,
seorang suami adalah seorang pemimpin seluruh keluarganya,
demikian pula seorang isteri adalah pemimpin atas rumah suami dan anaknya.
Kalian adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungtawaban atas kepemimpinan kalian”.(HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits diatas, jelaslah Allah telah menjadikan setiap orang menjadi pemimpin baik skala bangsa, umat, keluarga, istri dan anak-anaknya. Pembantu dan budak juga pemimpin terkait pekerjaan yang dipasrahkan kepadanya.
Setiap orang akan dimintai pertanggung jawabannya dihadapan Allah. Bahkan orang yang sendirian juga pemimpin, yakni pemimpin bagi dirinya sendiri untuk taat kepada Allah.

Term راع : Sebagaimana disebutkan di atas bahwa term ra'in pada dasarnya(secara bahasa) berarti penggembala, jika ditinjau lebuh dalam lagi راع adalah orang yang bisa menjaga dan dipercaya untuk menjaga apa yang diamanatkan kepadanya ( misalnya anak dan istri),  dan dia dituntut untuk berlaku adil dan mampu  melaksanakan sesuai dengan tugasnya dan penuh tanggungjawab.

Term الأمير  : adalah orang yang mempunyai kewenangan atas beberapa hukum (hakim)

Yang dimaksud  dengan والرجل راع على أهل بيته  adalah tanggungjawab seorang suami pada keluarganya diantaranya yaitu mampu memberi nafkah sesuai dengan kebutuhan baik dia dalam keadaan kesulitan maupun tidak, memerintahkan kepada keluarganya untuk berbuat kebaikan, serta memberikan nasehat-nasehat mengenai kebutuhan syari’at.

Sedangkan  yang dimaksud  dengan   والمرأة  راعية  على بيت زوجها و ولده  adalah tanggungjawab seorang istri dalam menjaga dirinya dan dan mampu menjaga harkat martabat keluarganya (suami maupun anaknya) dengan hati yang lapang , jadi semua  itu dilakukan karena memang adanya  pengertian , ketulusan,  dan kecintaan dari seorang istri pada suami dan anak-anaknya .


Telah bercerita kepada kami Muhammad bin Basysyar telah bercerita kepada kami Ghundar telah bercerita kepada kami Syu'bah dari Al Hakam, aku mendengar Abu Wa'il berkata; "Ketika 'Ali mengutus 'Amar dan Al Hasan ke kota Kufah untuk mengerahkan mereka berjihad, 'Ammar menyampaikan khuthbah. Katanya; "Sungguh aku mengetahui bahwa dia (maksudnya Aisyah) adalah istri beliau (shallallahu 'alaihi wasallam) di dunia dan akhirat, akan tetapi sekarang Allah menguji kalian apakah akan mentaati-Nya (mentaa'ti 'Ali radliallahu 'anhuma sebagai pemimpin yang berarti mentaati Allah) atau mengikuti dia ('Aisyah radliallahu 'anha) ".(No. Hadist: 3488 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)

Baca Juga: https://tausyiahaditya.blogspot.com/2017/09/analisis-sejarah-pemerintahan-ali-bin.html


Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan kepada kami Yahya dari Isma'il berkata, telah menceritakan kepadaku Qais bin Abu Hazim dari Jarir bin Abdullah berkata: "Aku telah membai'at Rasulullah untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat dan menasehati kepada setiap muslim". (No. Hadist: 55 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)

Telah menceritakan kepada kami Abu An Nu'man berkata, telah menceritakan kepada kami Abu 'Awanah dari Ziyad bin 'Alaqah berkata; saya mendengar Jarir bin Abdullah berkata ketika Al Mughirah bin Syu'bah meninggal, sambil berdiri dia memuji Allah dan mensucikan-Nya, berkata: "Wajib atas kalian bertakwa kepada Allah satu-satunya dan tidak menyekutukannya, dan dengan penuh ketundukan dan ketenangan sampai datang pemimpin pengganti, dan sekarang datang penggantinya, " kemudian dia berkata: "Mintakanlah maaf kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala buat pemimpin kalian ini (Al Mughirah), karena dia suka memberi maaf." Lalu berkata: "Amma ba'du, sesungguhnya aku mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kemudian aku berkata: "Aku membai'at engkau untuk Islam". Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memberi syarat dan menasehati kepada setiap muslim, maka aku membai'at Beliau untuk perkara itu, dan demi Pemilik Masjid ini, sungguh aku akan selalu memberi nasihat kepada kalian" Kemudian dia beristighfar lalu turun dari mimbar. (No. Hadist: 56 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)


NIKMATNYA MEMILIKI PEMIMPIN YANG ADIL DAN JABATAN ITU KARENA ALLAH, BUKAN KARENA DUNIA, MANUSIA ATAUPUN KELOMPOK

KISAH PANGLIMA PERANG YANG DIPECAT KARENA TAK PERNAH BERBUAT KESALAHAN

Pada zaman pemerintahan Khalifah Syaidina Umar bin Khatab, ada seorang panglima perang yang disegani lawan dan dicintai kawan. Panglima perang yang tak pernah kalah sepanjang karirnya memimpin tentara di medan perang. Baik pada saat beliau masih menjadi panglima Quraish, maupun setelah beliau masuk Islam dan menjadi panglima perang umat muslim. Beliau adalah Jenderal Khalid bin Walid.

Namanya harum dimana-mana. Semua orang memujinya dan mengelu-elukannya. Kemana beliau pergi selalu disambut dengan teriakan, "Hidup Khalid, hidup Jenderal, hidup Panglima Perang, hidup Pedang Allah yang Terhunus." Ya! .. beliau mendapat gelar langsung dari Rasulullah SAW yang menyebutnya sebagai Pedang Allah yang Terhunus. 

Dalam suatu peperangan beliau pernah mengalahkan pasukan tentara Byzantium dengan jumlah pasukan 240.000. Padahal pasukan muslim yang dipimpinnya saat itu hanya berjumlah 46.000 orang. Dengan kejeliannya mengatur strategi, pertempuran itu bisa dimenangkannya dengan mudah. Pasukan musuh lari terbirit-birit. 

Itulah Khalid bin Walid, beliau bahkan tak gentar sedikitpun menghadapi lawan yang jauh lebih banyak.

Ada satu kisah menarik dari Khalid bin Walid. Dia memang sangat sempurna di bidangnya; ahli siasat perang, mahir segala senjata, piawai dalam berkuda, dan karismatik di tengah prajuritnya. Dia juga tidak sombong dan lapang dada walaupun dia berada dalam puncak popularitas. 

Pada suatu ketika, di saat beliau sedang berada di garis depan, memimpin peperangan, tiba-tiba datang seorang utusan dari Amirul mukminin, Syaidina Umar bin Khatab, yang mengantarkan sebuah surat. Di dalam surat tersebut tertulis pesan singkat, "Dengan ini saya nyatakan Jenderal Khalid bin Walid di pecat sebagai panglima perang. Segera menghadap!"

Menerima khabar tersebut tentu saja sang jenderal sangat gusar hingga tak bisa tidur. Beliau terus-menerus memikirkan alasan pemecatannya. Kesalahan apa yang telah saya lakukan? Kira-kira begitulah yang berkecamuk di dalam pikiran beliau kala itu. 

Sebagai prajurit yang baik, taat pada atasan, beliaupun segera bersiap menghadap Khalifah Umar Bin Khatab. Sebelum berangkat beliau menyerahkan komando perang kepada penggantinya. 

Sesampai di depan Umar beliau memberikan salam, "Assalamualaikum ya Amirul mukminin! Langsung saja! Saya menerima surat pemecatan. Apa betul saya di pecat?"

"Walaikumsalam warahmatullah! Betul Khalid!" Jawab Khalifah.

"Kalau masalah dipecat itu hak Anda sebagai pemimpin. Tapi, kalau boleh tahu, kesalahan saya apa?"

"Kamu tidak punya kesalahan."

"Kalau tidak punya kesalahan kenapa saya dipecat? Apa saya tak mampu menjadi panglima?"

"Pada zaman ini kamu adalah panglima terbaik."

"Lalu kenapa saya dipecat?" tanya Jenderal Khalid yang tak bisa menahan rasa penasarannya. 

Dengan tenang Khalifah Umar bin Khatab menjawab, "Khalid, engkau jenderal terbaik, panglima perang terhebat. Ratusan peperangan telah kau pimpin, dan tak pernah satu kalipun kalah. Setiap hari Masyarakat dan prajurit selalu menyanjungmu. Tak pernah saya mendengar orang menjelek-jelekkan. Tapi, ingat Khalid, kau juga adalah manusia biasa. Terlalu banyak orang yang memuji bukan tidak mungkin akan timbul rasa sombong dalam hatimu. Sedangkan Allah sangat membenci orang yang memiliki rasa sombong''

''Seberat debu rasa sombong di dalam hati maka neraka jahanamlah tempatmu. Karena itu, maafkan aku wahai saudaraku, untuk menjagamu terpaksa saat ini kau saya pecat. Supaya engkau tahu, jangankan di hadapan Allah, di depan Umar saja kau tak bisa berbuat apa-apa!"

Mendengar jawaban itu, Jenderal Khalid tertegun, bergetar, dan goyah. Dan dengan segenap kekuatan yang ada beliau langsung mendekap Khalifah Umar.

Sambil menangis beliau berbisik, "Terima kasih ya Khalifah. Engkau saudaraku!"

Bayangkan …. mengucapkan terima kasih setelah dipecat, padahal beliau tak berbuat kesalahan apapun. Adakah pejabat penting saat ini yang mampu berlaku mulia seperti itu? Yang banyak terjadi justru melakukan perlawanan, mempertahankan jabatan mati-matian, mencari dukungan, mencari teman, mencari pembenaran, atau mencari kesalahan orang lain supaya kesalahannya tertutupi.

Jangankan dipecat dari jabatan yang sangat bergengsi, 'kegagalan' atau keterhambatan dalam perjalanan karir pun seringkali tidak bisa diterima dengan lapang dada. Akhirnya semua disalahkan, sistem disalahkan, orang lain disalahkan, semua digugat.....bahkan hingga yang paling ekstrim.... Tuhan pun digugat..

Kembali ke Khalid bin Walid, hebatnya lagi, setelah dipecat beliau balik lagi ke medan perang. Tapi, tidak lagi sebagai panglima perang. Beliau bertempur sebagai prajurit biasa, sebagai bawahan, dipimpin oleh mantan bawahannya kemarin. 

Beberapa orang prajurit terheran-heran melihat mantan panglima yang gagah berani tersebut masih mau ikut ambil bagian dalam peperangan. Padahal sudah dipecat. Lalu, ada diantara mereka yang bertanya, "Ya Jenderal, mengapa Anda masih mau berperang? Padahal Anda sudah dipecat."

Dengan tenang Khalid bin Walid menjawab, "Saya berperang bukan karena jabatan, popularitas, bukan juga karena Khalifah Umar. Saya berperang semata-mata karena mencari keridhaan Allah."


Tidak ada komentar:

Posting Komentar