Senin, 10 November 2014

Etika Buang Air kecil Dan Makan atau Minum

Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman berkata, telah mengabarkan kepada kami Syu'aib berkata, telah mengabarkan kepada kami Abu Az Zinad bahwa 'Abdurrahman bin Hurmuz Al A'raj menceritakan kepadanya, bahwa ia mendengar Abu Hurairah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Kita adalah orang yang datang terakhir dan akan menjadi yang pertama pada hari kiamat."(No. Hadist: 231 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)


Keterangan:
Sesungguhnya kita adalah umat yang terakhir, namun menjadi umat yang pertama ketika masuk surga. Kita memang kalah duluan dengan umat lain, misalnya yahudi atau nasrani, yakni kalah duluan datangnya didunia ini. Urutannya Yahudi, Nasrani kemudian baru kita umat Muslim. Namun walaupun datangnya terakhir kali, kita masuk surga pertama kali. Sehingga untuk mendukung hal tersebut, hendaknya kita berhati-hati dengan masalah buang air dan bersuci. Tidak sedikit hamba²Nya yang disiksa di alam kubur, bukan karena dosa besar, namun hanya karena meremehkan masalah bersuci dan buang air.

(Masih dari jalur periwayatan yang sama dengan hadits sebelumnya dari Abu Hurairah). Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian kencing pada air yang tidak mengalir, lalu mandi darinya."(No. Hadist: 232 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)

Hadis riwayat Abu Hurairah: Dari Nabi Shallallahu alaihi wassalam, beliau bersabda: Janganlah salah seorang di antara kalian kencing dalam air yang diam tergenang lalu mandi dengan air tersebut. (Shahih Muslim No.424)

Keterangan:
Jangan kencing pada air yang tergenang kemudian mandi atau bersuci dng air yg tergenang itu. Karena air tergenang tersebut menjadi najis. Namun jika kencing ditempat yang tidak digunakan unt bersuci, baik tidak untuk mandi, mencuci pakaian ataupun berwudlu, maka diperbolehkan. Asalkan benar-benar yakin kalau air tersebut tidak digunakan orang lain untuk bersuci.

Juga jangan menggunakannya secara berlebih-lebihan ataupun merusaknya(dalam ekosistem air tersebut), yang meliputi merusak ekosistem, membuang sampah sembarangan, kotoran² lainnya atau bahkan racun dan limbah pabrik. Atau dengan kata lain semua kaidah umum dan ilmu yang menyatakan keburukannya, maka hal itu dilarang. Dilarang merusak ekosistem air dan sekitarnya, hingga dapat mengganggu fungsi dan pemanfaatannya dalam kebaikan.

Jika dilanggar, yakni menggunakan air tergenang yang terkena najis, maka akibatnya sholatnya menjadi tidak sah, karena berwudlu dng air yg terkena najis.

Kencing sebaiknya sambil duduk, namun diperbolehkan kencing sambil berdiri, karena Rasulullah SAW pernah melakukan kencing dengan berdiri. Atau dapat dikatakan kita harus melihat keadaan, apakah kencingnya bisa sambil duduk ataukah harus dengan berdiri, asalkan diperhatikan adakah air kencing yang terpercik ke badan atau pakaian yang dikenakan. Hati-hati dengan percikan air kencing yang mengenai badan atau pakaian yang dikenakan. Jangan sampai terkena siksa di alam kubur hanya gara² meremehkan masalah percikan kencing ini.
Di Masjid Haram dan Madinah tidak disediakan tempat kencing sambil berdiri, namun kalau dipadang arofah, semua tempat kencing adalah dengan berdiri.
Jangan menampakkan aurat kita ketika kencing, atau aurat harus ditutupi, baik menggunakan kain atau tembok.

Bab: Kencing sambil berdiri atau duduk


No. Hadist: 217 dari KITAB SHAHIH BUKHARI

حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ أَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُبَاطَةَ قَوْمٍ فَبَالَ قَائِمًا ثُمَّ دَعَا بِمَاءٍ فَجِئْتُهُ بِمَاءٍ فَتَوَضَّأَ

Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Al A'masy dari Abu Wa'il dari Hudzaifah berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mendatangi tempat pembuangan sampah suatu kaum, beliau lalu kencing sambil berdiri. Kemudian beliau meminta air, maka aku pun datang dengan membawa air, kemudian beliau berwudlu."

Dan hadits berikut ini juga hampir mirip:
Hannad menceritakan kepada kami, Waki' menceritakan kepada kami dari Al A'masy, dari Abu Wail, dari Hudzaifah, dia berkata, "Nabi SAW mendatangi tempat pembuangan sampah suatu penduduk, lalu beliau kencing di atasnya dengan berdiri. Lalu aku membawa air wudhu kepada beliau. Kemudian aku pergi untuk mundur dari beliau tapi Beliau memanggilku sampai aku di dekatnya. Beliau wudhu dan mengusap kedua sepatunya (khuf)". Shahih: Ibnu Majah (305) dan Muttafaqun 'alaih

Walaupun ada hadis yang menyatakan tidak najisnya air, jika lebih dari 2 kullah(kira² 1 drum), namun tetap saja dilarang kencing pada air yang tergenang(tidak mengalir). Hanya saja jika rumahnya kebanjiran, dan kamar mandinya kebanjiran, maka tidak mengapa kencing dan bersuci di air banjir tersebut. Cukup dengan menyibak air banjir tersebut dan menyiram tubuh kita, maka najis menjadi hilang.

Dalam suatu lafadz hadits yg dikeluarkan oleh Imam Empat:

وعَنْ عَبدِ اللهِ بنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رسولُ الله صلى اللهُ عليه وسلم: إِذَا كَانَ المَآءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحمِلِ الخَبَثَ، وفي لَفْظٍ: لَمْ يَنْجُسْ، أَخْرَجَهُ الأَرْبَعَةُ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ والحاكمُ وابْنُ حِبَّانَ.

Dari Abdullah bin Umar ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Apabila jumlah air mencapai 2 qullah, tidak membawa kotoran." Dalam lafadz lainnya,"Tidak membuat najis." (HR Arba'ah: Abu Daud, Nasai, Tirmizi dan ibnu Majah)

Ibnu Khuzaimah, Al-Hakim dan Ibnu Hibban menshahihkan hadits ini.

Para ulama kontemporer kemudian mencoba mengukurnya dengan besaran zaman sekarang. Dan ternyata dalam ukuran masa kini kira-kira sejumlah 270 liter (atau dalam suatu kotak wadah yg berukuran 64,64 cm x 64,64 cm x 64,64 cm). Demikian disebutkan oleh Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu.

Pertanyaan >> Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang buang air kecil sambil berdiri sebagaimana diriwayatkan oleh sayyidah Aisyah. Tetapi kemudian beliau buang air kecil sambil berdiri, bagaimana mengkompromikannya ?”

Jawaban.
Riwayat bahwa beliau melarang kencing sambil berdiri tidak shahih. Baik riwayat Aisyah ataupun yang lain.

Disebutkan dalam sunan Ibnu Majah dari hadits Umar, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :

لاَ تَبُلْ قَائِمًا

“Janganlah engkau kencing berdiri”.

Hadits ini lemah sekali. Adapun hadits Aisyah, yang disebut-sebut dalam pertanyaan tadi sama sekali tidak berisi larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kencing sambil berdiri. Hadits tersebut hanya menyatakan bahwa Aisyah belum pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kencing sambil berdiri.

Kata Aisyah Radhiyallahu ‘anha.

مَنْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ النَّبِيَّ بَالَ قَئِمًا فَلاَ تُصًدِّقُّوْهُ

“Barangsiapa yang mengatakan pada kalian bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah buang air kecil sambil berdiri maka janganlah kalian membenarkannya (mempercayainya)”.

Apa yang dikatakan oleh Aisyah tentu saja berdasarkan atas apa yang beliau ketahui saja.

Disebutkan dalam shahihain dari hadits Hudzaifah bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati tempat sampah suatu kaum, kemudian buang air kecil sambil berdiri (lihat dan baca hadits diatas).

Dalam kasus-kasus seperti ini ulama fiqih berkata : “Jika bertentangan dua nash ; yang satu menetapkan dan yang lain menafikan, maka yang menetapkan didahulukan daripada yang menafikan, karena ia mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh pihak yang menafikan.

Jadi bagaimana hukum kencing sambil berdiri ?

Tidak ada aturan dalam syari’at tentang mana yang lebih utama kencing sambil berdiri atau duduk, yang harus diperhatikan oleh orang yang buang hajat hanyalah bagaimana caranya agar dia tidak terkena cipratan kencingnya. Jadi tidak ada ketentuan syar’i, apakah berdiri atau duduk. Yang penting adalah seperti apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan.

اِسْتَنْزِهُوْا مِنَ الْبَوْلِ

“Lakukanlah tata cara yang bisa menghindarkan kalian dari terkena cipratan kencing”.

Dan kita belum mengetahui adakah shahabat yang meriwayatkan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah kencing sambil berdiri (selain hadits Hudzaifah tadi, -pent-). Tapi ini bukan berarti bahwa beliau tidak pernah buang air kecil (sambil berdiri, -pent-) kecuali pada kejadian tersebut.

Sebab tidak lazim ada seorang shahabat mengikuti beliau ketika beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam buang air kecil. Kami berpegang dengan hadits Hudzaifah bahwa beliau pernah buang air kecil sambil berdiri akan tetapi kami tidak menafikan bahwa beliaupun mungkin pernah buang air kecil dengan cara lain.

[Disalin dari buku Majmu’ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Albani, Penulis Muhammad Nashiruddin Al-Albani Hafidzzhullah, Penerjemah Adni Kurniawan, Penerbit Pustaka At-Tauhid]

Bagaimana dengan Hadis siksa kubur ?
Kebanyakan yang disiksa di dalam kubur adalah karena kencing yang tidak bersih dan tidak beres, bukan karena kencing sambil berdiri.
Hadits berikut disebutkan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Bulughul Marom saat membahas bab “Buang Hajat”.

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – اِسْتَنْزِهُوا مِنْ اَلْبَوْلِ, فَإِنَّ عَامَّةَ عَذَابِ اَلْقَبْرِ مِنْهُ – رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيّ
وَلِلْحَاكِمِ: – أَكْثَرُ عَذَابِ اَلْقَبْرِ مِنْ اَلْبَوْلِ – وَهُوَ صَحِيحُ اَلْإِسْنَاد ِ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersihkanlah diri dari kencing. Karena kebanyakan siksa kubur berasal dari bekas kencing tersebut.” Diriwayatkan oleh Ad Daruquthni.

Diriwayatkan pula oleh Al Hakim, “Kebanyakan siksa kubur gara-gara (bekas) kencing.” Sanad hadits ini shahih.

Ibnu Abbas ra mengisahkan bahwa suatu hari Rasulullah saw melintasi dua makam, lalu beliau berkata,: 
“Sesungguhnya mereka berdua sedang disiksa, mereka keduanya sedang diazab, dan tidaklah keduanya diazab disebabkan suatu perkara yang besar (menurut kalian) . Salah satu dari mereka disiksa karena TIDAK SAMPAI BERSIH SAAT BERSUCI setelah BUANG AIR KECIL, sedangkan yang lain suka mengadu domba antara manusia.” ” Beliau lalu mengambil sebuah pelepah kurma yang masih basah, kemudian beliau belah menjadi dua bagian dan beliau tancapkan satu bagian pada masing-masing kuburan. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan hal ini?” Beliau menjawab: “Mudah-mudahan diringankan azab tersebut dari keduanya selama pelepah kurma itu belum kering.” (Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu Abbas)

Dalam kitab Al-Mausuah Al-Fiqhiyah, hlm. 4/125, diterangkan sbb:


" ذكر الحنفية والشافعية والحنابلة أنه إذا فرغ من الاستنجاء بالماء استحب له أن ينضح فرجه أو سراويله بشيء من الماء ، قطعاً للوسواس حتى إذا شك حمل البلل على ذلك النضح ما لم يتيقن خلافه .. ومن ظن خروج شيء بعد الاستنجاء فقد قال أحمد بن حنبل : لا تلتفت حتى تتيقن ، وألْهَ عنه فإنه من الشيطان ، فإنه يذهب إن شاء الله 


Artinya: Mazhab Hanafi, Syafi'i dan Hambali menyebutkan bahwa apabila selesai istinjak dengan air maka disunnahkan untuk mengalirkan sedikit air pada kemaluan atau celananya untuk menghentikan rasa waswas sehingga apabila seseorang dalam keadaan ragu-ragu, maka kebasahan itu dinisbatkan pada air tadi selagi tidak yakin kebalikannya. Barangsiapa yang mengira keluar sesuatu setelah istinjak maka Ahmad bin Hambal berkata: jangan berpaling kecuali kamu yakin dan abaikan karena itu dari setan. Dengan cara ini rasa was-was akan hilang insyaAllah.



Bab: Bolehkah Makan dan Minum Sambil Berdiri?

Oleh:Muhammad Abduh Tuasikal, MSc

Dalam masalah ini, sebagian orang bersikap terlalu keras. Demikian sikap kami pula di masa silam. Namun setelah mengkaji dan melihat serta menimbang dalil2 ternyata dapat disimpulkan bahwa minum dan makan sambil berdiri sah-sah saja, artinya boleh. Karena dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah minum sambil berdiri dan keadaan lain sambil duduk. Intinya, ada kelonggaran dalam hal ini. Tetapi afdholnya dan lebih selamat adalah sambil duduk.

Dalil Larangan

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- زَجَرَ عَنِ الشُّرْبِ قَائِمًا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh melarang dari minum sambil berdiri.” (HR. Muslim no. 2024).

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu pula, ia berkata,

عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ نَهَى أَنْ يَشْرَبَ الرَّجُلُ قَائِمًا

“Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di mana beliau melarang seseorang minum sambil berdiri.” Qotadah berkata bahwa mereka kala itu bertanya (pada Anas), “Bagaimana dengan makan (sambil berdiri)?” Anas menjawab, “Itu lebih parah dan lebih jelek.” (HR. Muslim no. 2024). Para ulama menjelaskan, dikatakan makan dengan berdiri lebih jelek karena makan itu membutuhkan waktu yang lebih lama daripada minum.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَشْرَبَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ قَائِمًا فَمَنْ نَسِىَ فَلْيَسْتَقِئْ

“Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian minum sambil berdiri. Apabila dia lupa maka hendaknya dia muntahkan.” (HR. Muslim no. 2026)

Dalil Pembolehan

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhuma berkata,

سَقَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ زَمْزَمَ فَشَرِبَ قَائِمًا

“Aku memberi minum kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari air zam-zam, lalu beliau minum sambil berdiri.” (HR. Bukhari no. 1637 dan Muslim no. 2027)

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu anhuma, ia berkata,

كُنَّا نَأْكُلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَنَحْنُ نَمْشِى وَنَشْرَبُ وَنَحْنُ قِيَامٌ

“Kami dahulu pernah makan di masa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sambil berjalan dan kami minum sambil berdiri.” (HR. Tirmidzi no. 1880 dan Ibnu Majah no. 3301. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Dalil ini bahkan menyatakan makan sambil berjalan.

Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata,

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَشْرَبُ قَائِمًا وَقَاعِدًا

“Aku pernah melihat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- minum sambil berdiri, begitu pula pernah dalam keadaan duduk.” (HR. Tirmidzi no. 1883 dan beliau mengatakan hadits ini hasan shahih)

Menyikapi Dalil

Al Maziri rahimahullah berkata,

قَالَ الْمَازِرِيّ : اِخْتَلَفَ النَّاس فِي هَذَا ، فَذَهَبَ الْجُمْهُور إِلَى الْجَوَاز ، وَكَرِهَهُ قَوْم

“Para ulama berselisih pendapat tentang masalah ini. Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat boleh (makan dan minum sambil berdiri). Sebagian lainnya menyatakan makruh (terlarang).” (Lihat Fathul Bari, 10: 82)

Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata,

بَلْ الصَّوَاب أَنَّ النَّهْي فِيهَا مَحْمُول عَلَى التَّنْزِيه ، وَشُرْبه قَائِمًا لِبَيَانِ الْجَوَاز ، وَأَمَّا مَنْ زَعَمَ نَسْخًا أَوْ غَيْره فَقَدْ غَلِطَ ، فَإِنَّ النَّسْخ لَا يُصَار إِلَيْهِ مَعَ إِمْكَان الْجَمْع لَوْ ثَبَتَ التَّارِيخ ، وَفِعْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِبَيَانِ الْجَوَاز لَا يَكُون فِي حَقّه مَكْرُوهًا أَصْلًا ، فَإِنَّهُ كَانَ يَفْعَل الشَّيْء لِلْبَيَانِ مَرَّة أَوْ مَرَّات ، وَيُوَاظِب عَلَى الْأَفْضَل ، وَالْأَمْر بِالِاسْتِقَاءَةِ مَحْمُول عَلَى الِاسْتِحْبَاب ، فَيُسْتَحَبّ لِمَنْ شَرِبَ قَائِمًا أَنْ يَسْتَقِيء لِهَذَا الْحَدِيث الصَّحِيح الصَّرِيح ، فَإِنَّ الْأَمْر إِذَا تَعَذَّرَ حَمْله عَلَى الْوُجُوب حُمِلَ عَلَى الِاسْتِحْبَاب

“Yang tepat adalah larangan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– mengenai minum sambil berdiri dibawa ke makna makruh tanzih. Sedangkan dalil yang menyatakan beliau minum sambil berdiri menunjukkan bolehnya. Adapun yang mengklaim bahwa adanya naskh (penghapusan hukum) atau semacamnya, maka itu keliru. Tidak perlu kita beralih ke naskh (penggabungan dalil) ketika masih memungkinkan untuk menggabungkan dalil yang ada meskipun telah adanya tarikh (diketahui dalil yang dahulu dan belakangan). Perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum sambil berdiri menunjukkan bolehnya karena tidak mungkin kita katakan beliau melakukan yang makruh. Beliau kadang melakukan sesuatu sekali atau berulang kali dalam rangka untuk menjelaskan (suatu hukum). Dan kadang beliau merutinkan sesuatu untuk menunjukkan afdholiyah (sesuatu yang lebih utama). Sedangkan dalil yang memerintahkan untuk memuntahkan ketika seseorang minum sambil berdiri menunjukkan perintah istihbab (sunnah, bukan wajib). Artinya, disunnahkan bagi yang minum sambil berdiri untuk memuntahkan yang diminum berdasarkan penunjukkan tegas dari hadits yang shahih ini. Karena jika sesuatu tidak mampu dibawa ke makna wajib, maka dibawa ke makna istihbab (sunnah).”(Fathul Bari, 10: 82)

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan,

وَالصَّوَاب فِيهَا أَنَّ النَّهْي فِيهَا مَحْمُول عَلَى كَرَاهَة التَّنْزِيه . وَأَمَّا شُرْبه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمًا فَبَيَان لِلْجَوَازِ ، فَلَا إِشْكَال وَلَا تَعَارُض

“Yang tepat dalam masalah ini, larangan minum sambil berdiri dibawa ke makna makruh tanzih (bukan haram). Adapun hadits yang menunjukkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum sambil berdiri, itu menunjukkan bolehnya. Sehingga tidak ada kerancuan dan pertentangan sama sekali antara dalil-dalil yang ada.” (Syarh Muslim, 13: 195)

Penulis ‘Aunul Ma’bud berkata,

وَقَدْ أَشْكَلَ عَلَى بَعْضهمْ وَجْه التَّوْفِيق بَيْن هَذِهِ الْأَحَادِيث وَأَوَّلُوا فِيهَا بِمَا لَا جَدْوَى فِي نَقْله ، وَالصَّوَاب فِيهَا أَنَّ النَّهْي مَحْمُول عَلَى كَرَاهَة التَّنْزِيه ، وَأَمَّا شُرْبه قَائِمًا فَبَيَان لِلْجَوَازِ ، وَأَمَّا مَنْ زَعَمَ النَّسْخ أَوْ الضَّعْف فَقَدْ غَلِطَ غَلَطًا فَاحِشًا . وَكَيْف يُصَار إِلَى النَّسْخ مَعَ إِمْكَان الْجَمْع بَيْنهمَا لَوْ ثَبَتَ التَّارِيخ ، وَأَنَّى لَهُ بِذَلِكَ وَإِلَى الْقَوْل بِالضَّعْفِ مَعَ صِحَّة الْكُلّ .

“Sebagian orang bingung bagaimana cara mengkompromikan dalil-dalil yang ada sampai-sampai mentakwil (menyelewengkan makna) sebagian dalil. Yang tepat, dalil larangan dibawa ke makna makruh tanzih. Sedangkan dalil yang menunjukkan minum sambil berdiri menunjukkan bolehnya. Adapun sebagian orang yang mengklaim adanya penghapusan (naskh) pada dalil atau adanya dalil yang dho’if (lemah), maka itu keliru. Bagaimana mungkin kita katakan adanya naskh (penghapusan) dilihat dari tarikh (adanya dalil yang dahulu dan ada yang belakangan) sedangkan dalil-dalil yang ada masih mungkin dijamak (digabungkan)? Bagaimana kita katakan dalil yang ada itu dho’if (lemah), padahal semua dalil yang menjelaskan hal tersebut shahih? ” (‘Aunul Ma’bud, 10: 131)

Catatan: Sebagian orang mengatakan bahwa minum air zam-zam disunnahkan sambil berdiri berdasarkan riwayat-riwayat yang telah disebutkan di atas. Anggapan ini tidaklah tepat karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum zam-zam sambil berdiri menunjukkan kebolehkan saja agar orang tidak menganggapnya terlarang. Jadi yang beliau lakukan bukanlah suatu yang sunnah atau sesuatu yang dianjurkan. Sebagaimana dikatakan Al Bajuri dalam Hasyiyah Asy Syamail,

وإنما شرب (ص) وهو قائم، مع نهيه عنه، لبيان الجواز، ففعله ليس مكروها في حقه، بل واجب، فسقط قول بعضهم إنه يسن الشرب من زمزم قائما اتباعا له

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah minum sambil berdiri. Padahal di sisi lain beliau melarangnya. Perbuatan minum sambil berdiri tadi menunjukkan bolehnya. Jadi yang beliau lakukan  bukanlah makruh dari sisi beliau, bahkan bisa jadi wajib (untuk menjelaskan pada umat akan bolehnya). Sehingga gugurlah pendapat sebagian orang yang menyatakan disunnahkan minun air zam-zam sambil berdiri dalam rangka ittiba’ (mencontoh) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Dinukil dari I’anatuth Tholibin, 3: 417)

Amannya > Makan dan Minum Sambil Duduk


Wallahu a’lam bish showwab. Wallahu waliyyut taufiq fil ‘ilmi wal ‘amal.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar